Sebenarnya saya tidak ingin membuat cerita ini. Tapi ternyata ceritanya malah stuck di kepala, bikin kepikiran. Daripada mengganggu, akhirnya saya memutuskan untuk menuangkannya. Ini hanya akan menjadi seperti kumpulan kisah pendek yang saling berhubungan.
Turut mengundang:
@3ll0 @Tsu_no_YanYan @Rika1006 @balaka @JimaeVian_Fujo @lulu_75 @harya_kei @Cute_inuyasha
Maaf, jika saya mengganggu. Silahkan layangkan dikomentar jika tidak berkenan.
How to Shut His Mouth.
Terkadang, Gio merasa pemuda itu menjadi amat sangat cerewet. Seperti hari ini, ia hanya ingin menikmati waktu bebasnya untuk menyelesaikan permainan balapnya di konsol game. Joystick sudah di tangan, dan seratus persen ia akan menang. Andai saja pintu kamarnya tidak dibanting secara paksa, dan pemuda itu duduk di sebelahnya, mulai bercerita panjang lebar. Ya Tuhan, mobil nya kini turun posisi di angka tiga.
Damn!
“… Dan dia seenak jidatnya merobek tugasku.” Pemuda di sebelahnya masih asik bercerita.
Yang tadinya menghadap ke layar TV kini berbalik menghadap padanya yang tengah sibuk dengan stick permainan di tangan. Pemuda itu mengguncang bahunya, dan dengan ekspresi yang didramatisir, ia berkata “Di depan wajahku! Bayangin! Dia merobeknya di depan wajahku!” dengan intonasi yang hiperbolis.
Pemuda itu kembali menghadap ke layar TV dengan tangan yang bersedekap. Ia mendengus keras, merasa kesal. Ia melamunkan kejadian dua jam yang lalu. Ia hanya terlambat beberapa menit mengumpulkan tugas, namun dengan sangarnya dosen tak berperikemahasiswaan itu merobek tugasnya di depan matanya sendiri.
Merasa tak ada tanggapan dari pemuda yang sibuk dengan joystick di tangan, ia melirik. Benar saja, pemuda bermata sayu itu masih fokus pada permainan balap di hadapannya. Ia menghela napas, memutar mata dengan kesalnya. “Kamu mendengarkan, gak sih?”
“Hmm…”
Pemuda itu mendengus lalu tertawa hambar sebagai tanggapan pada gumaman tanpa makna dari pemuda bermata sayu di sebelahnya. “Demi apa ya, percuma aku cerita tapi kamu malah asik-asik main. Aku sudah jauh-jauh ke sini, cerita panjang lebar sampai mulut berbusa, tapi gak didengerin. Aku lagi kesel gini, bayangin aja…” dan ia kembali mengulangi cerita yang sama untuk kedua kalinya. “… tapi kamu malah—“
Kalau ia sudah cerewet seperti itu, ada satu cara yang Gio lakukan. Gio mendesah lelah, menekan tombol pause, meletakkan joystick di paha. Ia menarik wajah pemuda yang masih asik berceloteh itu, mencium bibirnya singkat, lalu berkata “Diam dulu.”
“Oke.” Cicitnya.
Gio kembali melanjutkan permainannya, sementara pemuda di sebelahnya bungkam, jadi lebih tenang. Tangannya yang tadinya bersedekap kini terjatuh di sisi tubuh. Matanya menatap ke layar, tapi fokusnya terbang entah ke mana. Bukan lagi pada kejadian menyebalkan dua jam lalu di kampusnya.
“Sampai di mana tadi?” suara berat itu terdengar begitu mobil balapnya telah mencapai finish dengan angka 1 yang besar terpampang di layar. Gio mengubah posisi hingga menghadap pemuda di sebelahnya yang kini bungkam.
Tuh kan, kalau sudah digituin Abi jadi diam.
Comments
@Asu12345 ini apa ya? cerbung kayaknya. *nahloh.
@Rika1006 hahaha sip lah mbak. diusahain lanjut.
Lanjut></
Dimulai dari mana ya?
Oke, hubungan mereka dimulai dari pertemuan kedua mereka. Seminggu setelah hubungan Abi dan Erga berakhir.
Waktu itu, Abi masih amat sangat sulit untuk melupakan Erga. Istilahnya sih, sulit move on. Memeriksa ponselnya adalah hal pertama yang dilakukan setelah bangun tidur, berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Erga. Namun nihil. Semuanya kosong. Dan ia akan kembali bergelung di dalam selimut karena merasakan matanya terasa berat dan lelah.
Lelah karena nyaris setiap malam ia menangis. Dasar cengeng.
Jujur saja, ia menyesalkan keputusannya waktu itu untuk berpisah. Ia masih menyayangi Erga, amat menyayanginya pemuda dengan senyum menawan itu. Namun, meminta untuk kembali pun rasanya enggan, begitu gengsi. Yang terjadi setiap malam ia akan membaca pesan lawas dari pemuda itu, mengingat kenangan ketika mereka masih bersama dan menangis diam-diam.
Sangat bodoh, memang.
Ia baru akan benar-benar terbangun dan keluar dari kamar ketika ibunya telah menggedor pintunya dan berteriak. “Abi! Bangun! Jangan jadi kebo!”
Tak ada yang dilakukannya selama seharian. Ia memutuskan untuk membolos kuliah, menonton acara tidak bermutus seharian atau online dan menonton video lucu di youtube. Setidaknya ia bisa melupakan Erga untuk sehari, meski malamnya ia akan kembali tenggelam dalam kenangan bersama pemuda itu.
Hingga akhirnya bel rumahnya berbunyi, dan mata sayu dari pemuda gondrong yang ia lihat pertama kali ketika membuka pintu, berhasil membawanya keluar.
“Dari mana kau—“
“Hai.”
“Ah, Hai.”
“Boleh aku masuk?”
“Ah, tentu.” Abi menyingkir dari pintu, member jalan pada Gio untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
“Dari mana kau—“
Untuk kesekian kalinya, pemuda bermata sayu itu menyelanya. “Ibumu memintaku kemari agar anaknya tidak gila.”
“Apa maksud— Tunggu! Kau kenal ibuku?”
Pemuda itu tersenyum miring. “Tentu. Ibuku dan Ibumu berteman. Beliau sering ke rumahku bertemu Ibuku dan kelompok arisannya, dan aku sering mengantarnya pulang. Jadi begitulah bagaimana aku tahu di mana rumahmu.”
Abi terdiam, keningnya mengernyit. Berusaha mencerna ucapan Gio. Mungkin otaknya masih setengah sadar hingga sulit mengerti ucapan sederhana itu.
“Ayo.” Gio bangkit berdiri, menghampiri Abi. Pemuda yang lebih pendek darinya itu menatapnya bingung. “Kemana?” tanyanya.
Gio melangkah mundur begitu jarak mereka hanya selangkah, dan menutup hidungnya dengan satu tangan. Alisnya mengernyit nyaris menyatu menatap Abi dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kau pasti belum mandi.”
Abi yang menyadari tingkah Gio, melebarkan mata. Ia melotot dan memukul bahu pemuda itu setelah mendengar sindiran halus pemuda itu. Tanpa berkata apapun, Abi melangkah masuk dengan kesal. Meninggalkan Gio yang mendengus geli.
Jujur saja, Gio tak mencium bau yang aneh dari pemuda itu.
@Tsu_no_YanYan udah dinamain kok. hehe
Lagihhh ><
Lagihhh ><