It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
jadi ini flashback sebelum Abi (akhirnya si Aku ketauan juga namanya) dan Gio jadian?
Maaf jika ada typo.
---
Dia
Sore itu, Abi nyaris melompat kaget ketika melihat Gio berdiri di depan pintu rumahnya dengan cengir di wajah. Ia melotot, terkejut melihat pemuda itu. Bukan tanpa alasan, mengingat pembicaraan di mobil Gio empat hari lalu yang mengungkap jati dirinya, hubungan mereka terputus saat itu juga. Abi sadar diri, sejak melihat reaksi pemuda itu, ia tahu hal seperti ini akan terjadi. Gio bukan Derry yang menerimanya dengan tangan terbuka. Gio hanya—teman sebatas kenal.
Dan alangkah terkejutnya ia begitu melihat pemuda itu berdiri di hadapannya dan menyapanya. “Hai.”
Abi diam. Gio tertawa geli. Ia mendekatkan wajah dan berbisik “Awas, lalat bisa masuk di mulutmu.”
Kedua matanya mengerjap, dan segera menutup mulutnya. Dan ia terdiam, mematung di tempatnya. Ia menatap mata Gio. Pemuda itu diam, seolah memang menunggunya untuk berbicara. “Kamu tidak—“
“Tidak apa?” dan Abi melihat jelas di mata pemuda itu, bahwa ia tidak perlu bertanya lebih jauh lagi. Ia bisa merasa dadanya lebih hangat.
Ia baru akan membuka mulut ketika Derry muncul dari ruang keluarga menghampiri mereka. Pemuda itu merangkul bahu Abi dengan tangan kanannya. Ia menoleh pada Gio lalu pada Abi. “Siapa, Bi?”
Lagi, untuk kedua kalinya seseorang lebih dulu berbicara. Gio lebih dulu menyodorkan tangan “Aku Gio.”
Kedua alis Derry terangkat. Ia melepas rangkulan dari Abi dan menerima jabatan tangan. “Derry. Oh, Abi pernah cerita.” Setelah melepaskan jabatan tangan, Derry berbalik dan melangkah masuk. “Masuklah.”
Kening Abi mengernyit, menatap Derry yang menjauh dengan pandangan terkejut. Juga pada Gio yang kini mengekor di belakangnya. Yang tuan rumah siapa sih? Pikirnya.
Andai aku tidak melihatnya, andai hatiku telah pulih, aku tidak akan sehancur ini.
Gio dan Derry yang dengan mudahnya menjadi sekutu, berhasil menyeret Abi keluar dari tempurung, dari rumahnya. Keduanya sudah –dengan konyolnya– berjanji pada ibu Abi untuk membawa anak semata wayangnya keluar dari rumah, karena beliau gerah melihat Abi di rumah sepanjang hari. Oh, tidak adakah yang mengerti bahwa ia hanya ingin ketenangan?
Ia pernah mengutarakannya pada Derry, dan jawaban sahabatnya itu benar-benar seperti memukul perutnya. “Tidak. Aku takut kamu bunuh diri.” Astaga, demi Tuhan Abi bahkan tidak berpikir sejauh itu.
Jadi disinilah ia, berjalan melewati etalase. Ia di belakang, mengekori Gio dan Derry yang tidak berhenti membahas topik menarik yang Abi enggan untuk tahu.
Mereka berbelok memasuki toko olahraga, dan Abi hanya mengikuti tanpa minat. Berjalan melewati rak sepatu menuju kaus olahraga. Keduanya, Gio dan Derry yang menjadi sangat akrab kini mendebatkan masalah baju klub bola favorit mereka. Dan Abi merasa bosan. Andai saja ia membawa motornya sendiri, ia akan segera pulang ke rumah sekarang.
Dan Abi semakin yakin bahwa berada di tempat ini adalah kesalahan, ketika ia menangkap sosok pemuda itu di sana, di depan deretan raket tenis. Sosok itu Erga-nya. Hatinya mencelos begitu melihat seorang wanita di sebelahnya. Ketika ia melihat tangan Erga terselip di pinggang wanita itu, Abi bisa mendengar suara hatinya yang rapuh, kini hancur.
Abi tidak bisa menahan diri untuk terus berada di sana, jadi ia segera berlari keluar. Meninggalkan Gio dan Derry yang panik ketika menyadari pemuda itu menghilang.
Harusnya ia sadar bahwa ia tak sesedih ini. Ia dan Erga sudah tak memiliki hubungan apapun lagi. Meski ia tak menyangkal bahwa ia masih merindukan pemuda itu berada di sisinya, menyentuhnya dan berbisik mesra di telinganya. Tapi ia tak menyangka jika pemuda itu telah menemukan pengganti dirinya sesingkat ini. Ataukah ia yang terlalu lama tenggelam dalam sedih?
Abi terlalu bodoh untuk mengikuti kesedihan hingga tidak menyadari sejauh apa langkahnya membawanya.
“Di mana kamu?” pertanyaan itu meluncur tegas dari penelepon begitu Abi menjawabnya setelah bersusah payah. Namun Abi hanya menggumam tak jelas sebagai jawaban. Ia terlalu lelah untuk sekedar menjawab, mengabaikan keresahan penelepon di seberang.
Si penelepon mendengar suara keramaian dan musik yang berdetak cepat meningkatkan adrenalin. Ia tahu Abi di mana dan menjadi berang. “Kamu ke klub!?”
“Hmm…”
“Klub mana?”
Abi bergumam lagi, merasakan kepalanya semakin berat. Ia berhasil menyebutkan nama tempat, dan selanjutnya kepalanya terkulai lemas.
Kemarahan
Gio tak pernah semarah ini dalam hidupnya. Ketika ia berbalik, ia sudah tidak melihat Abi di manapun. Ia dan Derry mencarinya tapi pemuda itu tak berada di sudut manapun. Memberitahukan ke informasi dan menunggu sejam lebih pun, Abi tak menunjukkan diri. Mereka panik.
Abi tak menjawab telponnya yang nyaris kelima puluh kalinya. Jam dimobilnya sudah menunjukkan angka 10, dan malam semakin larut, tapi Abi tidak memberi kabar sedikit pun. Derry di kursi sebelah berusaha menghubungi, tapi hasilnya nihil. Abi hilang.
Hingga akhirnya ketika Abi menjawabnya, bukannya lega, tapi semakin panik. Ia tidak pernah mengira Abi berada di klub. Apa yang dipikirkannya? Bodoh! Jadi ia melajukan mobilnya secepat yang ia bisa, menghiraukan jarum kecepatan yang melewati batas wajar.
Ia marah begitu melihat Abi di sana, duduk di meja bar dengan gelas setengah terisi di tangan. Kepalanya terkulai, setengah sadar. Seorang pria di sebelahnya mengelus bahunya, bukan elusan untuk menenangkan, elusan untuk merangsangnya. Sial. Ia segera menghampiri diikuti Derry yang menatap sahabatnya tidak percaya. Ia mencengkeram tangan pria itu dan menyentaknya, menatapnya tajam bak elang. Ia mendesis, namun bisa didengar dengan jelas oleh si pria meski alunan musik yang keras menjadi latar belakangnya. “Jauhkan tangan anda dari pacar saya.” Si pria berdecih lalu pergi.
Abi mengangkat kepala lalu tersenyum “Oh, Gio. Hai.” Lalu tertawa. Jelas Abi mabuk.
Derry berusaha membantu Abi berdiri. Tapi Gio lebih dulu menarik lengan atas Abi. Ia menyeretnya, mengabaikan seruan Derry padanya, dan keluhan Abi di belakangnya. Ia terus menyeretnya hingga di parkiran. Dan Abi terjatuh dan mengaduh.
“Hei, jangan terlalu kasar padanya.” Derry sudah berada di sebelah Abi, melepaskan tangan Gio di lengan Abi. Tapi Abi hanya tertawa dan membuat Gio berang.
“TOLOL!”
Derry dan Abi tersentak mendengar raungan Gio. Keduanya mengangkat wajah, menatap wajah Gio yang merah karena marah. Terlihat jelas tatapan tajam itu seolah ingin membunuhnya.
Abi berdiri, dibantu oleh Derry. “Berisik!” Abi berjalan melewatinya, dan Gio bisa mencium aroma minuman memabukkan itu.
Oh, Gio bukannya tidak kenal. Ia pernah menyecapnya, tidak jarang dan juga tidak sering. Sedikit banyak ia tahu. Pelipisnya berkedut. Ia menarik lagi lengan Abi hingga berbalik padanya, mengabaikan keluhan pemuda itu.
“Apa yang kamu pikirkan, hah!?” Gio kembali meraung.
Abi tak menjawab. Ia menatap takut pada Gio yang kini menatapnya buas. Ia cegukan, dan aroma itu kembali menyapu indra penciuman Gio, membuatnya jengah. “Kalau ditanya jawab!”
Dan Abi menangis detik itu juga. Ia terisak dan mulutnya meracau. “Kamu tidak mengerti… kamu tidak mengerti…”
Gio terdiam, bukan berarti kemarahannya terhapus begitu saja. Derry yang sejak tadi hanya diam menghampiri Abi, merengkuh sahabatnya itu dalam pelukan, mengelus punggungnya untuk menenangkan dan berbisik. “It’s okay…”
Abi tak lagi meracau, tapi ia masih terisak. Gio menghembuskan napas frustasi. Bahkan ketika di perjalanan pulang pun, Abi tak berhenti untuk terisak di kursi belakang. Tidak ada yang menyuruhnya berhenti, karena mereka tahu Abi membutuhkannya.
Gio mengantar Derry terlebih dahulu ke rumah Abi untuk mengambil motornya dan memberitahukan pada kedua orang tua Abi bahwa anak tunggal mereka akan menginap di rumah Gio. Mereka tidak bisa membawa pulang Abi dalam keadaan sekacau ini. Lalu, ia membawa Abi ke rumahnya. Beruntung kedua orang tuanya sedang ke luar kota.
Ia mendudukkan Abi di sofa, dan mengerang kesal ketika pemuda itu kembali meracaukan hal yang sama. Kemudian ia menghela, lalu berlutut di depan pemuda itu. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, tapi berhentilah menangis.”
Abi berhenti meracau, tapi masih terisak. “Kamu membentak. Kamu marah. Aku takut.”
Gio tersenyum ketika melihat pemuda itu berbicara sambil menarik ingusnya yang nyaris mengalir keluar. Sungguh lucu seperti anak kecil. “Aku minta maaf, oke?”
Dan dengan polosnya Abi mengangguk, tersenyum lebar memamerkan deretan giginya, seperti anak kecil. Membuat gio tertawa pelan. Ia masih tertawa ketika pemuda itu meletakkan tangannya di mulut dan dua detik kemudian ia menerima bencana. Abi muntah di bajunya.
Damn!
Sikat Gigi
Pagi itu Abi terbangun lebih awal dengan kepala yang amat pusing. Dan mengejutkan, Gio tengah tidur di hadapannya. Rambutnya yang panjang menutupi nyaris sebagian wajahnya. Ketika bangkit, kepalanya terasa jauh lebih berat dan ia sadar, ia tidak berada di kamarnya. Mungkin kamar Gio, pikirnya. Ia tidak ingat apa yang terjadi semalam hingga berada di kamar Gio, tapi nihil. Ia benar-benar tidak ingat. Kecuali—
Oke, cukup sampai disitu, Abi, tidak perlu mengingatnya lagi, keluhnya.
Ia bangkit dari tempat tidur pelan-pelan dan ke kamar mandi. Wajahnya terlihat kusut dan matanya sembab di kaca. Apa aku menangis semalam? Ia sungguh tidak ingat, dan itu membuatnya kesal. Jadi dengan kasar ia membasuh muka di westafel. Ia nyaris memekik ketika mengangkat wajah dan Gio sudah berdiri di belakangnya tengah menyisir rambut sebahunya dengan mata yang nyaris terpejam, lalu menguap. Jelas pemuda itu masih mengantuk.
Gio terlalu malas untuk menyuruh Abi menyingkir dari hadapannya, jadi ia membiarkan pemuda itu tetap berdiri di hadapannya, di depan westafel. Ia sedikit merapat untuk mengambil sikat gigi dan pasta gigi di atas westafel dan mulai menyikat gigi.
“Semalam apa yang terjadi? Kenapa aku tidak ingat apapun?” Abi menatap Gio dari cermin di hadapannya.
“Kamu mabuk.” Jawabnya, membuat beberapa titik busa meluncur dari mulutnya.
“Mabuk?” Abi melotot. Lalu dengan cepat ia berbalik. “Aku mabuk?” sekali lagi ia memekik.
Gio selesai menyikat gigi, ia mengisi gelas di sana dengan air dan berkumur. Lalu ia membuangnya ke westafel. Ia sedikit merapat hingga bahu mereka bersentuhan ketika melakukannya. Ia kembali memberi jarak dan menatap Abi. “Ya, kamu mabuk.”
Dan tanpa mengatakan apapun, ia meraih wajah Abi dengan satu tangan, meletakkan jemarinya di rahang pemuda itu. Dengan sikat giginya yang belum ia basuh, ia menyikat gigi pemuda di hadapannya. Ia mengabaikan keluhan yang meluncur dari Abi, lalu tersenyum ketika tahu pemuda itu tak mendorongnya. Melihat tak ada perlawanan dari Abi, ia menurunkan tangan dari wajah pemuda itu dan menumpukannya di westafel. Memerangkap Abi di hadapannya.
Hingga ketika Gio merasa telah beres menyikat gigi Abi, ia membasuh sikat giginya dan dengan gelas yang sama ia mengisi air dan menyerahkannya pada Abi. Abi berkumur dan membuangnya, dan sekali lagi membasuh wajahnya. Dan ketika mengangkat wajah, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya.
Ia terlihat lebih kecil. Atau bajunya yang kebesaran?
“Apa yang terjadi pada bajuku?”
“Kamu memuntahinya.”
Gio memberikan senyum miring ketika melihat dirinya di cermin. Kedua tangannya kini bertumpu di westafel, dan Abi berada di antaranya. Jarak mereka amat dekat hingga ia bisa saja mencium tengkuk pemuda itu.
Ia nyaris melotot ketika pemuda itu tengah berusaha membuka baju. “Apa yang kau lakukan?” serunya.
“Aku risih pakai bajumu. Kebesaran.”
“Memangnya kamu mau seharian hanya pakai bokser?”
“Tidak.”
“Makanya jangan dilepas.” Dengan lemas pemuda itu memakainya kembali.
Andai aku tidak melihatnya, andai hatiku telah pulih, aku tidak akan sehancur ini. -> Ini ucapan dalam hati Abi? Iya?... Tapiiii.....
Gio dan Derry yang dengan mudahnya menjadi sekutu, berhasil menyeretku keluar dari tempurung, dari rumahku. Keduanya sudah –dengan konyolnya– berjanji pada ibuku untuk membawaku keluar dari rumah, karena beliau gerah melihatku di rumah sepanjang hari. ~> Ucapan hati Abi jugakah?? Atau diksi yang salah pemakaian Sudut Pandang?-mengingat cerita keseluruhan menggunakan Sudut Pandang orang ke 3 serba tahu-... Mari liat kalimat berikutnya ~> Oh, tidak adakah yang mengerti bahwa ia hanya ingin ketenangan?
Saran nih, mungkin lain kali kalo mau masukin dialog yg sekedar ada di pikiran tokoh, mending pake tanda kutip satu (')
Lanjuuuuuut><)/
@harya_kei maju apanya nih? *ehapaan
@Tsu_no_YanYan itu.... romantisme yang menjijjikkan. hahaha
dan, makasih dear *kecupcinta
yang ini---> Andai aku tidak melihatnya, andai hatiku telah pulih, aku tidak akan sehancur ini. sebenarnya miring sih. bukan ucapan dalam hati, tpi semacam kutipan. dan tanpa sadar saya kepengaruh ngetiknya ampe di paragraf bawahnya yang seharusnya kata ganti orang ke 3 orz.
dan sialnya lagi, ternyata kalau buka pake webproxy, saya gak bisa ngedit. nyiksa banget =_=
Saran tanda kutip satu (') akan saya pertimbangkan, mau lihat dulu gimana jadinya nanti. apakah cocok. but big thanks n big hug for you.
akan saya lanjutkan! \^^/
@AbdulFoo hee? sungguh? Apa saya juga mesti manggil anda Abi ya? hehe. thanks really, so much. *Sokinggrisgue anda mengatakan yang ingin saya dengar. Saya amat sangat menghargainya. Jadi semangat buat lanjutin nih. hehe
romantislah pokoknya mereka berdua..hehehe..