BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Story: Try Again

1235720

Comments

  • @JNong next update gio sama abinya lebih manis dong ya ^^
  • @3ll0 belum. atau udah? haha

    @Bun iya nih, bikin iri *what

    @JimaeVian_Fujo semoga update yang di bawah ini lebih manis. aamiin
  • @3ll0 @Tsu_no_YanYan @Rika1006 @balaka @JimaeVian_Fujo @lulu_75@harya_kei @Cute_inuyasha @pyromaniac_pcy @Bun @meandmyself @Toraa@Zeva_21
    Maaf jika ada typo.

    Sepasang Kekasih Sinting

    Farid menganga amat lebar dan Lia melotot hingga bola matanya nyaris keluar begitu pintu rumah sahabat mereka terbuka. Yang menyambut mereka bukan Gio. Tapi seorang pemuda yang lebih pendek dengan rambut acak-acakan, dengan baju kebesaran yang memperlihatkan garis tulang belikatnya. Dan lebih mengejutkan, pemuda asing itu hanya mengenakan bokser biru gelap yang menutupi hingga setengah paha.

    “Emm, halo. Cari siapa ya?”

    Tapi keduanya hanya bisa. Masih dengan reaksi yang sama.

    “Siapa, Bi?” Gio muncul di ujung ruang dengan kaos oblong dan celana pendek, mengelap rambutnya yang basah. Ia baru saja selesai mandi.

    Dan Gio ikut melotot. Ia buru-buru menghampiri Abi, menarik pemuda itu ke belakang punggungnya dan segera membanting pintu. Farid dan Lia tersentak, kembali pada kesadaran. Keduanya saling pandang. Tanpa perlu berbicara, keduanya tahu apa yang mereka pikirkan sama.

    Pintu terbuka, dan mata sayu yang menatap seolah tanpa minta itu tertangkap oleh mereka. “Ada apa nih kalian kemari?” tanyanya, bertingkah seolah kejadian sebelumnya tak pernah terjadi. Dan Gio masih berdiri di depan pintu.

    “Apaan sih kamu? Kayak gak pernah ke rumahmu aja.” Farid melengos masuk melewati Gio yang segera menyingkir memberi jalan. Lia mengekor di belakang. “Iya nih, biasanya juga kamu gak pernah nanya.”

    Melewati ruang tamu menuju ruang keluarga, mata keduanya awas. Tapi mereka tidak menemukan sosok pemuda berkaus besar itu di manapun. Halusinasi? Jelas bukan. Mereka yakin itu. Dan tepat, pemuda berkaus besar itu ada, sedang menuruni tangga dengan sebuah celana di tangan. “Gio, semuanya kebesaran. Gak muat.”

    Farid melotot. Lia melotot. Abi melotot. Gio menepuk jidat di belakang dua sahabatnya.

    Gio segera melewati mereka, menarik lengan Abi dan menyeret pemuda itu ke kamarnya. “Astaga, pakai saja apa susahnya sih?”

    “Mana muat. Kebesaran.”

    Gio menggeram. “Sekalian saja kamu gak usah pakai apa-apa.” Ucapnya saking kesal. “Duh!” dan Abi langsung memukul bahunya saat itu juga.

    “Tuh, gak muat. Punyamu besar sih.”

    Dan mereka tak menyadari, suara mereka terdengar hingga ke bawah. Lagi, Farid dan Lia saling pandang, kali ini lengkap dengan mata mereka yang melotot.

    Di ruang keluarga, Farid, Lia dan Gio duduk di sofa yang panjang, sementara Abi duduk di single sofa dekat Gio. Oh, kali ini Abi sudah memakai celana. Abi menunduk mengusap tangan. Jelas ia gugup, sekaligus malu. Farid dan Lia memandanginya begitu intens. Sementara Gio hanya diam di ujung sofa, tak berminat untuk berbicara. Mereka, Farid, Lia dan Abi sudah berkenalan sebelumnya. Tapi tetap masih ada canggung di sana.

    “Saya… permisi ke toilet dulu.” Ucap Abi, yang dijawab dengan anggukan oleh ketiganya.

    Ketiga mata mengekorinya hingga sosoknya menghilang di ruang belakang. Kedua pasang mata lalu beralih ke Gio. Pemuda yang ditatap itu mendelik. “Apa?”

    “Dia yang baru?”

    Lia sudah berpindah di single sofa yang tadi diduduki Abi. Pembicaraan menjadi menarik baginya. Keduanya, Farid dan Lia tahu Gio yang sebenarnya. Dan mereka adalah orang yang berpikiran terbuka. Sepasang kekasih yang berpikiran terbuka.

    “Maksudmu?”

    “Kamu pasti tahu.” kali ini Lia yang bertanya dengan semangat. “Tapi seleramu bagus juga ya dari yang sebelumnya.”

    “Aku gak ngerti apa yang kalian perbincangkan.”

    Farid tertawa amat keras, lalu ia mendekat dan berbisik. “Jangan berpura-pura bodoh, kawan.” Lalu Farid kembali berbicara dengan pelan. “Bagaimana dia?” Kedua alisnya naik turun menggoda. Lia tertawa pelan di sebelahnya.

    “Bagaimana apanya?”

    Farid mendengus geli. “Berpura-pura bodoh lagi, rupanya. Kau tahu, malam, gelap, ranjang, berdua. Apa kamu mau aku bertanya lebih detail lagi?”

    “Astaga! Tidak ada yang seperti itu semalam.”

    “Lalu, kenapa dia berpakaian mengundang begitu? Hanya dengan bokser.”

    Lia melotot, tidak pada Gio. Tapi pada Farid. “Kau terpesona padanya?”

    “Astaga beib, ya enggaklah. Kan aku tanya ke Gio. Jadi maksudnya ‘mengundang’ buat dia.”

    Lia mengangguk cepat, ia mengerti dan antusias. Ia mendekat “Kau tidak menyuruhnya berpakaian seperti itu untuk memuaskan hasratmu, bukan?”

    Gio menepuk jidat. Sungguh ia lelah dengan pertanyaan kedua sahabatnya ini. “Kami tidak memiliki hubungan seperti itu.” Erangnya.

    Farid mengernyit. “Tidak bagaimana? Oh ayolah, dia di sini bukan tanpa alasan, kan?”

    “Yang jelas, hubungan kami tidak seperti yang kalian pikirkan.”

    “Tapi kamu menyukainya.”

    “Farid, sudah kubilang aku—“

    “Oh, come on, buddy. Aku tahu kamu melihat bokongnya saat dia pergi tadi.”

    Telak. Farid Benar. Dan Gio gerah. Ia berdiri “Sudahlah, aku tidak peduli dengan ocehan kalian.”

    “Kamu mau ke mana, pemuda kasmaran?” dan Lia ikut meledeknya.

    “Ke toilet.”

    “Oh my wow! Beib, Gio akan menyusul… siapa tadi? Abi? Ya, Abi. Gio akan menyusulnya ke toilet. Ada yang sedang tidak tahan sekarang, ternyata.” Lalu Farid terkikik pada ucapannya sendiri, disusul oleh kekasihnya.

    Sinting, pikir Gio. Sungguh, ia tidak percaya punya sahabat sesinting itu. Ia hanya mendengus lalu menggeleng dan melangkahkan kakinya ke dapur, meninggalkan sepasang kekasih yang tengah menertawainya. Dan tersentak ketika melihat Abi di sana, duduk bertopang dagu di meja makan. Tatapan pemuda itu sungguh membuat Gio merasa tidak enak hati.

    Uh Oh


    Elusan

    “Maaf, mereka gak bermaksud. Hanya bercanda.”

    “Aku tahu.” Abi menghela. “Dan aku lapar.”

    Gio tertawa pelan, lalu membuka lemari pendingin. “Kumasakkan sesuatu kalau begitu.”

    Abi tidak pernah memperhatikan Gio sedetail ini sebelumnya. Sungguh. Pemuda itu menguncir rambutnya, sedikit memperlihatkan lehernya yang kokoh. Ia tidak pernah menyadari kalau punggung Gio setegap itu. Ia yakin pemuda itu membentuk otot. Dan mungkin kepalanya sedang tidak waras saat ini, karena tiba-tiba saja ia berpikir kalau Gio yang sedang memasak dengan apron hijau yang terikat di tubuhnya itu terlihat sangat seksi.

    Apa ia sedang halusinasi? Apa tadi Gio menoleh padanya sesaat, tersenyum dan mengedipkan sebelah mata?

    Tiba-tiba aroma daging dan saus tercium di udara. Oh, pasti karena lapar, makanya kepalanya kacau begini.

    Beberapa menit kemudian, sepiring sphagetti terhidang di hadapannya. Pemuda itu duduk setelah menyampirkan apron di gantungan. Ia mengulum senyum pada Abi dan berkata “Makanlah, aku tidak pandai, tapi setidaknya cukup layak untuk mengisi perut.”

    Abi tertawa. Dan ketika mie italia yang bercampur saus itu meluncur menyentuh indra pengecapnya, Abi tidak bisa untuk tidak memuji. Ia tidak tahu bagaimana arti tidak pandai yang dimaksud Gio, Abi cuma tahu bahwa saus itu terasa luar biasa. “Oh, astaga. Ini lezat.” Serunya begitu kunyahan itu meluncur di tenggorokannya.

    “Asik! Gio masak, Beib.” Dan sepasang kekasih itu muncul, duduk dengan semangat di meja makan dengan pandangan berbinar. Sepertinya ada niat makan gratis ketika mereka datang. Gio yang sudah tahu gelagat kedua sahabatnya itu hanya mendengus. Ia berdiri lalu mengambil sepiring sphagetti yang menggunung.

    Farid dan Lia terkikik, saling menyuapi. Sepiring berdua, mengingatkan Abi pada kebiasaannya dengan Erga. Dan kembali bayangan di toko olahraga itu mengusiknya.

    “Bi, kamu gak apa? Sausnya gak enak?” Gio yang menyadari perubahan raut Abi, menatap pemuda itu khawatir. Ia menduga ada hubungannya dengan keadaan kacau Abi semalam.

    Abi menggeleng, memaksa senyum. “Gak apa. Kan tadi sudah kubilang ini lezat.”

    “Oh my, lihat mereka. So sweet banget.” Lias membisik di telinga Farid, tapi bisikan yang mampu di dengar siapapun.

    Tapi Gio mengabaikannya. “Apa ini ada hubungannya dengan yang semalam?”

    “Semalam? Astaga, beib. Ya ampun.”

    Sumpah, andai saja kesabarannya tidak seluas samudra, Gio yakin sudah menendang sepasang kekasih itu keluar dari rumahnya. Tapi Abi sepertinya tidak begitu memusingkan pasangan sinting yang kembali menikmati sphagetti mereka. Ia hanya menggeleng dan kembali mengulum senyum. Menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

    Yang bagi Gio adalah tidak baik. Abi kembali seperti ketika pertama kali mereka bertemu dulu. Kosong.

    “Kurasa, aku kenyang. Aku… Aku berbaring dulu di sofa.” Abi bangkit dan pergi.

    Gio menghela, mengalihkan pandangannya yang kini tajam menusuk pada Farid yang tengah menyuapi Lia. Tapi pasangan kekasih itu acuh, berpura-pura asik dalam dunia mereka. Lalu ia berdiri, dari kursi dan beranjak, menyusul Abi sambil membawa piring sphagetti yang belum dihabiskannya dan segelas air. Ia melihat Abi duduk di pinggir sofa, menyandarkan kepalanya di sandaran, menatap langit-langit ruangan.

    “Aku tahu kamu masih lapar.” Gio duduk di sebelah Abi, meletakkan gelas di meja, dan menyodorkan segulung mie itali penuh saus.

    “Aku sudah kenyang, Gio.”

    “Tidak, kamu tidak kenyang. Kamu hanya membebani dirimu dengan pemikiranmu.” Kembali ia menyodorkan. “Nah, makanlah.”

    “Gio, please…

    “Aku tidak akan berhenti memaksa sebelum kamu menghabiskannya.”

    Abi menyerah. Gio gigih, begitu pula dengan tatapannya. Jadi ia mendekat dan menerima suapan itu ke mulutnya. Suap demi suap, hingga sphagetti itu tandas beserta sausnya yang lezat. “Nah, begitu baru bagus.” Gio meletakkan piring kosong di meja ketika Abi tengah minum.

    Gio menaikkan satu kaki ke sofa dan kini ia menghadap sepenuhnnya pada Abi yang menghadap kedepan, menekuk lutut, memeluk kedua kakinya. Entah ia tidak menyadari atau tidak merasakannya, jemari Gio bermain di ujung rambutnya. Gio menatap Abi sejenak, lalu menggariskan senyum. “Aku sudah pernah berkata padamu, jika ada masalah, sebaiknya kamu mengutarakannya. Pada siapapun yang kamu percaya. Setidaknya itu bisa membuatmu lebih lega.”

    “Aku baik-baik saja, tidak ada masalah.” Ucap Abi lemah.

    “Oh ya? Jadi semalam kamu ke sana hanya untuk bersenang-senang?”

    Abi menoleh cepat, memberikan tatapan tajamnya pada Gio yang menyeringai padanya. Ia mendengus sebal, lalu menumpukan dagunya di lutut. “Iya, aku ada masalah. Puas?” dengusnya, dan Gio hanya tertawa pelan menanggapinya. Pemuda itu lalu menunduk, menyembunyikan wajah di antara lutut. “Kupikir…”

    “Hm?” Gio bergumam menunggu jawaban. Jemari Gio tak berpindah. Ia menelusupkan jemarinya di antara rambut Abi, menarik jemarinya hingga ke ujung rambut dan memainkannya di sana. Melakukannya lagi dan lagi.

    “Kupikir aku bisa lari dengan mencari kesenangan seperti itu. Tapi...” Lirihnya.

    “…Tapi nyatanya kesenangan itu yang lari dalam semalam” Gio melanjutkan.

    “Iya.” Suara Abi teredam di dalam sana. Ia menutup mata, menikmati sentuhan jemari Gio di kepalanya. Ada rasa tenang yang menjalar di perut dan dadanya. Sejenak, hanya untuk sejenak ia tak ingat dengan peristiwa di toko olahraga itu.

    “Begini saja.” Gio menarik tangannya dari kepala Abi. Ia sedikit menyesal ketika jemari Gio tak terasa lagi di rambutnya. “Jika kamu ada masalah lagi. Katakan padaku—bukan menceritakannya, itu hakmu. Lalu kita bisa mencari cara untuk menghilangkannya, membuatmu melupakannya. Apapun itu.” Buru-buru ia menambahkan “tentunya cara yang positif.”

    Abi mengangkat wajah. Terdiam cukup lama sebelum ia mengangguk dan menjawab singkat. “Iya.”

    Gio menyentuh dagu, berpikir. “Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk membuatmu lupa akan masalahmu?”

    Abi menunduk, mengggigit bibirnya erat. Ada rasa aneh ketika mengatakannya. “Elus kepalaku.”

    Kedua alis Gio terangkat, cukup lama ia menatap Abi ketika dua kata itu meluncur dari mulutnya. Lalu ia tersenyum dan berkata “Oke, itu mudah.”

    Dan jemari itu kembali bermain di rambut Abi, mengelusnya, dan sensasi nyaman itu kembali menguar di perutnya.

    Terlalu asik dengan dunia sendiri, mereka melupakan sepasang kekasih sinting yang tengah mengintip sambil cekikikan pelan melihat interaksi unik sahabatnya.
  • makin romantis mereka berdua ...
  • wiiihhh...manisssnyaa...romantis bangeeet..
  • Gosok gigi satu sikat, satu odol, satu busa.... Bingung mau bilang itu romantis atau jijik'i hehehehe

    menurutku romantis loh,,, alm. kakek n alm. nenek ku juga 1 sikat gigi berdua xixixixixi :D

    tiap aku pengen cerita yg romantis dan bikin galau lapak @JNong jd pilihan pertama :(( lanjut terus ya,,, :x your story
  • zakrie wrote: »
    Gosok gigi satu sikat, satu odol, satu busa.... Bingung mau bilang itu romantis atau jijik'i hehehehe

    menurutku romantis loh,,, alm. kakek n alm. nenek ku juga 1 sikat gigi berdua xixixixixi :D

    tiap aku pengen cerita yg romantis dan bikin galau lapak @JNong jd pilihan pertama :(( lanjut terus ya,,, :x your story

    Pakeknya gantian ya? Abis si kakek ngegosok giginya, langsung gantian si nenek yang gosok gigi dengan tanpa dicuci dulu? :D Iya romantis banget!!>< Tapi tetep aja iyuuhhh hihihihi #mungkinkarnggakpernahcoba
  • Kakak Nong, usep-usepin pala adek, kak, usep-usepin~ ;;)

    Duhhh itu orang pacaran ngintip aja sih, jadi pengen ikutan ;;)
  • jadi pengen ikut dielus juha :D



    jadi Gio belok juga n duo sahabatnya uda tau?
  • zakrie wrote: »
    Gosok gigi satu sikat, satu odol, satu busa.... Bingung mau bilang itu romantis atau jijik'i hehehehe

    menurutku romantis loh,,, alm. kakek n alm. nenek ku juga 1 sikat gigi berdua xixixixixi :D

    tiap aku pengen cerita yg romantis dan bikin galau lapak @JNong jd pilihan pertama :(( lanjut terus ya,,, :x your story

    Pakeknya gantian ya? Abis si kakek ngegosok giginya, langsung gantian si nenek yang gosok gigi dengan tanpa dicuci dulu? :D Iya romantis banget!!>< Tapi tetep aja iyuuhhh hihihihi #mungkinkarnggakpernahcoba

    hahahahaha aku jg taunya dr ortu ku, klo soal cara pakenya sih aku rasa dicuci dulu kali ya,,, klo udh ada yg make, awalnya kaget dengarnya jijik tp klo dipikir2 romantis jg, apalagi mereka dulu ke mana2 selalu berdua,,, mungkin bg sebagian org terasa menjijikan krn mereka gak pernah awet hubungan dengan pasangannya jd belum pernah sampe ke tahap itu xixixixixixixixi :D
  • @lulu_75 n @Bun yap, romantis banget mereka, bikin illfeel *nahloh

    @zakrie ya ampun, saya tersanjung setengah mampus. makasih yah, thanks banget. *hug
    haha meski menjijikkan sih, tapi menurut saya satu sikat berdua tuh romantis abis, apalagi disikatin. ampun deh.

    @Tsu_no_YanYan haha nih sya elus *elusin kepala doang nih dielus? *ehmauluapa

    @3ll0 mau saya elusin juga?
    yap, tadinya berpikir dia lurus aja. tapi kemudian berubah pikiran, lebih seru kalau dari awal Gio udah belok. dan dua sahabatnya yang sinting itu udah tau.
  • hahhaa sikat gigi satu busa bergantian??? romantisme yg njijik'i hahha join kuman donk,,, itu iyyuuhhh. tapi kalo cinta katanya tai kucing rasa coklat hahahah.
  • hahhaa sikat gigi satu busa bergantian??? romantisme yg njijik'i hahha join kuman donk,,, itu iyyuuhhh. tapi kalo cinta katanya tai kucing rasa coklat hahahah.
  • aduh yg ini juga sweet bgt dan makin romantis >_<
  • @cute_inuyasha hahaha eeeuuuhhh.... tai kucing rasa coklat itu lebih menjijikkan.

    @JimaeVian_Fujo fyuuh, syukur kalau mereka makin romantis.
Sign In or Register to comment.