It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ical nathan sweet bangeeet.
sandi udah cinta sama juna kaah? ciyeee
tapi oke lah ceritanya. semangat TS nya
PART-19
“Aku mencintaimu sejak awal aku bertemu denganmu. Aku mencintaimu sejak kamu menolongku. Aku jatuh cinta sejak kamu memberikan aku ciumanmu. Bolehkah itu kujadikan alasan agar aku bisa memilikimu dan membuat kamu lebih memilihku di bandingkan dengan sahabat sejak kecilmu itu. Bisakah kamu juga mencintaiku seperti aku yang selalu mencintaimu.” Suaranya benar-benar langsam seolah ia bicara pada dirinya sendiri karena matanya yang juga menatap kosong. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan kasihan, kasihan tapi tak bisa menolongnya. Itulah tatapan yang ku berikan padanya.
Suara bel tanda selesai pelajaran akhirnya berbunyi. Aku memang menyukai suara bel ini tapi entah kenapa aku malah semakin menyukainya dan itu bukan karena pelajaran melainkan teman sebangkuku yang bicara tentang sesuatu yang tidak aku suka.
Aku memasukkan bukuku kedalam ransel dan tanpa menoleh lagi kearah Daniel aku berlalu meninggalkannya dan langsung bergabung dengan temanku menuju kantin.
“Sepertinya tadi kalian terlibat pembicaraan yang serius?” Tanya Riki saat kami sudah duduk nyaman di bagian pojok kantin. Aku hanya menatap bengong kearahnya, karena pikiranku sedang entah mengembara kemana.
“Gue rasa tuh cowok tergila-gila sama lu deh Cal, lihat saja bagaimana tadi dia ngotot banget pengen sebangku sama lu. Setahu gue lu bukanlah teman sebangku yang baik.” Olokkan Sandi yang biasa akan aku tanggapi dengan emosi kali ini hanya aku diamkan saja.
“Ada sesuatu yang aneh memang sama tuh anak.” Riki menimbali.
“Lu kenapa Cal? Abis nabrak dinding. Muka udah kayak orang bego.” Aku menatap datar kearah Sandi dan hanya bisa menggeleng.
Kenapa dalam beberapa bulan ini hidupku jadi berubah total. Duniaku seolah-olah di seret ke dunia yang asing yang aku sendiri tak tahu cara mengendalikannya. Sahabat sejak kecilku mencintaiku dan sekarang teman sebangkuku juga mencintaiku. Cinta yang di tawarkan oleh dua orang itu sangat jelas berbeda jauh. Cinta apa adanya yang pada dasarnya ia mencintaiku tapi membuatku menyadari perasaan yang selama ini ku miliki dan cinta paksaan yang memaksaku untu menaruh ia di hatiku.
Jauh dari lubuk hati yang paling dalam aku sangat mencintai Nathan, entah itu sebagai sahabat ataupun kekasih dan aku tidak akan pernah suka akan kehadiran orang ketiga dalam hubungan kami tapi apa yang harus kulakukan agar orang ketiga itu menghilang.
Sebuah sentuhan di tengkukku membuat aku bergidik, ku dongakkan kepala dan mendapati Daniel berdiri di sana dengan wajah datarnya yang selalu membuat orang kagum padanya. Saat ia memperlihatkan wajah datarnya saja orang-orang akan memujanya apalagi ia tersenyum dengan bibir tipisnya dan gigi yang rata, aku yakin tak akan ada yang mampu menolaknya. Hanya saja kenapa harus aku yang ia sukai, kenapa bukan orang lain saja.
Jika di bandingkan dengan Nathan mungkin Daniel memang menang dalam urusan rupa tapi Nathan juga memiliki cara tersendiri untuk menjadi tampan. Kharisma seorang Nathan bukanlah tandingan Daniel di mataku karena saat melihat Nathan hatiku akan berlonjak bahagia tapi saat aku melihat Daniel aku hanya bisa menatap ia biasa. Tidak ada letupan-letupan aneh yang terjadi padaku saat aku dekat dengan Daniel dan tidak ada hasrat yang tak biasa juga. Kalau dengan Nathan seolah aku bukanlah diriku, aku akan senyum tanpa alasan, aku memiliki hasrat yang selalu aku tahan jika dengan Nathan.
Nathan seolah ganja buatku yang membuatku mencandu dengan segala cara yang ia berikan padaku. Aku selalu bahagia ada di dekatnya. Hanya dia cowok yang bisa menghilangkan akalku dan hanya dia cowok yang mampu membuat logikaku tak berjalan dengan baik.
Aku masih berenang dalam pikiranku walau sekarang Daniel masih tetap menatapku dengan tatapan datar tapi keinginan yang besar, entahlah keinginan apa itu.
“Rival!” Suara yang tak asing buatku menyadarkanku kalau aku dari tadi terus menatap Daniel yang walau nyatanya Nathanlah yang berenang di pikiranku.
Aku mengalihkan tatapanku dan mendapati dia sudah berdiri di belakang kedua temanku. Semua itu terjadi, letupan yang selalu aku sukai menggema seakan menghantam lubuk hatiku. Aku tersenyum kearahnya, senyum yang selalu tercipta karena kehadiranya.
“Sebaiknya aku pergi.” Dia salahpaham, Bolehkah aku meminta agar ia di berikan kekuatan untuk bisa membaca pikiran walau hanya pikiranku saja agar dia tahu kalau hanya dia yang ada di dalam hatiku agar dia tak perlu salahpaham atau curiga.
“Duduklah kita makan!” Dia menunduk seolah matanya tak sanggup menentang mataku. Aku mulai melihat sekeliling dan mendapati tatapan bingung dari kedua sahabatku dan tatapan aneh dari beberapa anak yang ada di kantin. Apa yang mereka pikirkan hingga memberikanku tatapan seperti itu.
“Duduklah Tan, jangan pergi dulu.” Kali ini Sandi yang bersuara. Dari kata yang di lontarkan Sandi seolah itu berarti berbeda seperti `Jangan pergi dulu biarkan ia menjelaskan` Itu yang ku tangkap dari perkataan sahabatku itu.
Nathan mematuhi kata-kata Sandi dan mulai duduk tapi tidak di dekatku, dia menaruh kursi di dekat Riki. Aku mulai tak nyaman dengan suasana ini.
Aku melihat Daniel sudah berlalu meninggalkanku, Aku hanya bisa menatap heran dengan diriku.
“Kamu kenapa Cal?” Tanya yang di lontarkan Riki semakin membuatku heran, apa yang terjadi denganku? aku merasa baik-baik saja.
“Aku kenapa memang?”
“Kamu natap cowok itu seolah menginginkannya. Dan kamu masih tanya kenapa? Kamu lihat donk gimana orang natap kalian yang saling pandang kayak tadi!”Riki terdengar geram. Apa aku memang menatapnya seperti itu? tapi setahuku tadi aku hanya sedang berkelana di pikiranku sendiri.
“Hanya mataku yang seperti itu tapi tidak dengan hati dan pikiranku!”
“Semua selalu berawal dari mata.” Kekasihku benar-benar menghakimiku. Aku menatapnya mencari kebenaran akan kata yang terlontar dari mulutnya dan ada ketakutan disana. Takut akan kehilangan diriku yang walaupun menurutku itu tak akan pernah terjadi.
“Tidak semuanya sayang.” Aku berucap masih dengan menatapnya, aku sudah tak peduli dengan kedua sahabatku yang hanya bisa geleng-geleng dan mendesah. Meyakinkan kekasihku jauh lebih penting.
“Terlalu menyakitkan melihatnya.” Nathan kembali bersuara.
Aku meraih tangannya dan membawanya pergi, dengan beberapa pasang mata yang kepo menatap kearah kami tapi aku tidak peduli dengan mereka.
***
Untuk sebuah permintaan yang di berikan, bolehkah aku meminta untuk tetap bersama pemuda yang sekarang merajai hatiku tanpa adanya gangguan dari perusak. Bolehkah aku memilikinya selamanya? Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyakitinya tapi aku juga manusia biasa yang akan selalu bisa membuat kesalahan bahkan berulang kali.
“Mata selalu bisa membohongimu, jadi bisakah kamu mempercayai hatimu kalau aku hanya akan menjadikanmu satu-satunya di hidupku. Satu-satunya pria yang akan menguasai hati dan pikiranku. Bisakah kamu mulai percaya padaku?” Aku mulai berbicara setelah kami ada di dalam mobil Nathan yang ada di parkiran sekolah.
“Aku percaya padamu, hanya saja aku tidak pernah bisa mempercayai diriku. Aku takut tak dapat memilikimu selamanya. Kamu bisa saja bosan padaku dan menacari penggantiku. Aku takut akan hal itu.” Aku mendekap tubuhnya dan membelai lembut wajahnya.
“Aku tidak akan pernah bosan padamu, menjadi temanmu selama belasan tahun saja aku tahan apalagi menjadi kekasihmu.” Nathan menatapku yang masih membelai wajahnya.
“Jangan terlalu dekat dengannya, aku selalu bermimpi buruk akhir-akhir ini. Aku tidak mau terjadi apa-apa sama kamu.” Suaranya lirih.
“Itu hanya mimpi. Apapun yang ada dalam mimpimu artikanlah baik karena akan baik pula artinya.”
“Akan ku coba. Hanya saja dengarkan aku untuk tidak terlalu bersama dengannya.”
“Ya sayang.”
“Aku menyukai panggilan itu.” Aku tersenyum mendengarnya.
“Akan ku katakan itu setiap bicara denganmu.”
“Aku punya tiket dari Juna, mau menemaniku karena tiketnya berpasangan.” Aku mengangguk
“Kenapa Juna memberikanmu tiket?”
“Katanya sih buat hadiah pertemanan.”
***
Aku tidak percaya dengan pengelihatanku. Semudah itukah cinta menyatukan dua orang. Mungkin memang agak aneh menurut orang lain kalau mereka baru bertemu satu minggu yang lalu dan sekarang malah berpegangan dengan mesranya di tempat ramai tanpa peduli dengan sekelilingnya. Aku hanya berdecak kagum
“Jadi kalian pacaran?” Tanya Nathan pada dua orang yang baru saja terkejut mendapati kami memergoki mereka di tempat perbelanjaan.
“Sepertinya iya.” Jawab Juna karena kekasihnya tak kunjung juga mengeluarkan suara. Aku tersenyum bahagia untuk mereka.
“Sejak kapan?” Tanyaku memajukan tubuhku kedepan mereka.
“Sejak pembicaraan kita di kelas saat kamu pindah ke bangku Santi.” Kali ini Sandi yang menjawab. Dan ia menatapku dengan langsung tatapan yang pertama ia berikan sejak kami bertemu beberapa menit yang lalu.
“Kenapa kalian tidak pernah cerita?”
“Kami hanya berpikir mungkin ini hanya ajang kami untuk coba-coba. Jadi kami ingin merahasiakannya terlebih dahulu sebelum hati kami siap untuk ketahap yang lebih serius.” Juna menjawab dengan senyumanya matanya yang sipit semakin terlihat kecil.
“Aku harap kalian bisa serius.” Nathan kembali bersuara dengan menggenggam tanganku yang aku taruh di bawah meja seolah memperkuat hubungan kami sendiri. Dua orang itu mengangguk.
“Aku turut bahagia dengan hubungan kalian.” Ucapku tulus.
“Makasih Cal!” Jawab Juna dan Sandi serempak.
Walau mereka bilang hanya coba-coba tapi aku yakin ada kesungguhan di sana terbukti dari bagaimana cara mereka salin pandang dan cara mereka saling menyentuh.
***