It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
btw thx sarannya.
tapi dengan begini aku jadi tau, kalau sekarang gak bisa posting panjang seperti waktu aku posting Y.O. Part 1
wahhh!!! iya kah!?! *ngiler bayangin durennya*
Btw baru tau ada yg bahasa indo nya. Tadi udh terlanjur baca yg awal, alhasil bingung sama percakapannya haha. Jadi di skip2 deh yg ga paham sambil baca monolognya aja siapa tau ngerti
aku nunggu kebahagiaan wahid...akza tendang aja dah, menyebalkan dianya...
Di Medan mah tiap hr pasti ada durian, tiap bulan agustus bener2 meledaknya durian disini @tamagokill, mau apa aja ada. Dr yg manis, pahit sampe yg kumisan & muscle jg ada
kirimkan aku satu truk yang manis, kumisan tipis gpp deh
#peyukpeyuk
Kenapa nasibmu kayak gitu nak,,,tak adakah kebahagiaan buatmu,,,bikinin jodoh buat wahid donk tam,,,kasian kan kalo menderita terus.
#peyukpeyuk
Kenapa nasibmu kayak gitu nak,,,tak adakah kebahagiaan buatmu,,,bikinin jodoh buat wahid donk tam,,,kasian kan kalo menderita terus.
#peyukpeyuk
Kenapa nasibmu kayak gitu nak,,,tak adakah kebahagiaan buatmu,,,bikinin jodoh buat wahid donk tam,,,kasian kan kalo menderita terus.
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Ternyata benar dugaan Kak Tiki, kalau nomor Matthew yang dia berikan saat interview dulu sudah tidak aktif lagi. Rupanya dia sengaja mengganti nomornya, tapi lupa untuk memberitahu Kak Tiki. Pantas saja semalam Kak Tiki wanti-wanti padaku agar aku menunggu Matthew pagi hari di depan Warung.
"Maaf sekali lagi Hid. Kalau aku kemarin ngasih tau Bang Tiki, pasti kamu enggak kerepotan begini" Matthew berujar sambil berulang kali membungkukkan badannya padaku.
"Iya... Gak papa kok. Ya udah. Sekarang selamat menikmati liburan dadakannya ya. Aku mau lanjut ngasih tau Lingga dan Subi" kataku sambil pamitan.
Karena aku terlihat mengantuk, Irvin yang menyetir motor. Untung saja ada dia. Dan lagi, aku juga tidak tau alamat sekolah Lingga dan Subi. Irvin yang lebih hapal jalan.
"Wahid kenapa Vin? Sakit?" Matthew bertanya sambil mengendarai motornya disebelah motor yang aku tumpangi bersama Irvin. Mungkin dia satu arah dengan kami.
Dan wajar saja kalau Matthew bertanya heran seperti itu. Karena aku duduk di belakang Irvin sambil memeluknya erat, dan meletakkan daguku di pundaknya. Belum lagi, mataku yang berulang kali terpejam saat angin menerpa wajahku. Helm yang kugunakan kebetulan sekali tidak terpasang kacanya. Ini helm lama milikku yang sudah lama tidak ku pakai.
"Enggak... Aku ngantuk Mat... Semalem aku habis pindahan. Kurang tidur aja kok" jawabku.
"Kosanku enggak jauh dari sini. Kalian mampir aja dulu. Lagian shift Lingga dan Subi kan masih lama"
Aku celingukan setelah mendengar ajakan Matthew. Kami sekarang baru saja memasuki jalan Imam Bonjol, setelah sebelumnya kami melewati jalan Nakula.
"Ayok Vin! Kasian tuh si Wahid" ajak Matthew memaksa.
"Awakmu pernah ke rumahnya Matthew, Vin?" tanyaku pada Irvin. Dia tidak menjawab, tapi menggeleng cepat. Sekarang motor yang kami kendarai, sedang melaju membuntuti motor Matthew.
Dari jalan Imam Bonjol, kami lantas belok ke Jalan Gunung Soputan. Hanya berjarak beberapa meter dari lampu merah pertigaan Imam Bonjol dengan Gunung Soputan, kami belok lagi dan masuk ke dalam Jalan Kebak Sari.
Sampai disini, aku beralih memegangi pundak Irvin saja. Karena jalan disini sudah memasuki kawasan perumahan, aku tidak mau kami jadi pusat perhatian karena aku memeluk Irvin dari belakang.
Sekarang kami sudah melaju di jalan Kerta Pura. Sampai di persimpangan jalan yang memiliki pohon beringin besar, Irvin ikut berhenti di belakang motor Matthew.
"Sorry... Rumahku bukan disini. Aku cuma mau nukar helm di kos teman. Kalian tunggu sebentar disini ya" ujar Matthew meminta kami untuk menunggu di depan sebuah toko yang letaknya berseberangan dengan pohon beringin besar.
Kami sudah menunggu Matthew selama sepuluh menit. Tapi karena aku sedang mengantuk seperti ini, rasanya waktu berjalan begitu lambat.
"Yok Vin. Kosanku udah deket kok" Matthew berujar dan memberikan isyarat agar Irvin mengikutinya lagi.
Sekitar lima menit kemudian kami bertiga sampai juga di kosan Matthew. Suasana di kosan Matthew terlihat lumayan asri. Dengan adanya tiga pohon besar di halaman yang kami pakai untuk memarkir motor. Karena kamar Matthew terletak paling ujung, kami bisa memarkir motor tepat di depan terasnya.
"Kosanmu bagus Mat..." kataku jujur.
"Kamu tidur aja dulu Hid. Nanti mau di bangunin jam berapa?" Matthew langsung meraih pergelangan tanganku, dan menyuruhku duduk di atas kasur berukuran King-nya. Sebenarnya, kalau saja Matthew memakai kasur yang sedikit lebih kecil, pasti kamarnya ini terlihat luas. Tapi ya sudahlah. Lagi pula, kalau ukurannya kecil, Irvin pasti tidak bisa ikutan tidur di sampingku.
Kulepas jaketku dan Matthew meraihnya lalu menggantungnya di belakang pintu. Ia lalu mengambil dompet di saku jaketku, dan meletakkannya di samping bantal. Dimana aku meletakkan handphone-ku.
"Nanti kalau alarm-ku bunyi, tapi aku masih tidur, tolong bangunin aku ya" pintaku. "Vin... Awakmu gak laper?"
"Kalian belum makan? Mau aku beliin makan?" Matthew langsung cepat tanggap saat mendengar pertanyaanku pada Irvin.
"Gak usahlah. Nanti aku beli sendiri"
"Ojo ngeyel tha lah Ndeng!" aku berseru. "Nih Mat... Tolong beliin buat aku sekalian deh. Tapi mungkin aku makan setelah bangun tidur aja" ku ulurkan selembar uang pada Matthew.
"Aku beliin aja. Masukin lagi duitmu" tolaknya. "Lagian jarang ada temenku main kemari. Vin, kalo haus ambil sendiri ya. Sorry kulkasnya kosong. Ambil di dispenser aja. Kalo mau ngopi, ada kopi instan tuh di dalem kulkas"
"Yoi bro. Matur suwun" Irvin menyahut.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku terbangun lebih awal dari alarm yang ku setel. Aku terbangun karena merasa agak aneh pada posisi tidurku. Rupanya aku tidur di apit Matthew dan Irvin.
Posisiku sekarang sedang memeluk Irvin yang tidur bertelanjang dada. Sementara Matthew tidur dalam posisi sedang memelukku dari belakang. Bahkan aku menjadikan lengannya terselip di leherku. Mungkin karena ukuran bantal yang besar dan sangat empuk, aku sampai tidak sadar.
Aku sempat terkejut saat Irvin menggeliat dan berubah posisi memunggungiku. Selang beberapa detik kemudian, gantian Matthew yang menggeliat. Sementara Irvin terlepas dari tangan kiriku yang melingkar di atas dada gempalnya, sekarang malah Matthew yang memelukku semakin erat. Tangan kirinya bahkan menyusup ke dalam kaosku. Memeluk perutku semakin erat.
Sayup-sayup aku mendengar ia menyebut nama seseorang dalam tidurnya. Haduh! Ini si Matthew pasti sedang mengigau! Siang-siang ngimpi jorok pelukan sama ceweknya.
Tanganku terulur meraih lengan Irvin. Tapi dia tak kunjung bangun juga. Akhirnya tanganku meraba bagian dadanya dan mencubit putingnya.
Dan...
Berhasil!!
Irvin terbangun sambil mengusap puting kirinya yang tadi kupelintir dan kucubit. Saat ia menoleh kearahku, reaksi pertama yang dia berikan malah terkikik geli melihatku.
"Hih!! Gak nulungi malah ngguyu!" (Hih! Enggak nolongin malah ngetawain!) desisku mencoba meraih tubuhnya, tapi karena kondisiku yang tidak memungkinkan, Irvin berhasil menghindar. Dia bangkit dan mengambil handphone milik Matthew.
Bisa ditebak kan, apa yang Irvin lakukan? Iya! Dia jadi tukang foto dadakan!!
"Viin....!"
"Iya... Iya..." Irvin akhirnya membantuku meloloskan diriku dari cengkeraman pelukan Matthew. Ia menggantikanku dengan sebuah guling besar.
"Suwun Vin... (Makasih Vin...) Kalau enggak ada kamu, entah bagaimana nasibku" kulingkarkan tanganku di pinggang Irvin. Dia masih terkekeh. Sementara tangannya membelai rambutku. Posisi kami saat ini yaitu aku yang duduk di kasur, sambil memeluk Irvin yang berdiri menghadap kearahku. Kubenamkan wajahku diperut berpetak enam milik Irvin.
"Maem sek Hid..." (Makan dulu Hid...) ujarnya. Aku mendongak menatapnya. Ia mencubit gemas pipiku. "Gelem tak dhulang tha?" (Mau kusuapin?)
Aku hanya menggeleng pelan. Irvin menggeliat geli karena daguku menekan dan menggesek perutnya.
Sambil makan, Irvin bercerita, kalau aku langsung nyenyak tertidur saat Matthew berangkat ke warung bersamanya. Sekembalinya mereka membeli nasi campur yang dibungkus, Irvin dan Matthew makan terlebih dahulu. Lalu karena Irvin bilang dia tidak tega membangunkanku, dia mengajak Matthew ke sekolah Lingga dan Subi. Memberitahu mereka kalau kami semua libur mendadak hari ini.
Irvin dan Matthew sampai di sekolah Lingga saat jam istirahat. Jadi mereka tidak menemukan banyak kesulitan saat meminta tolong pada salah satu murid yang mereka temui di depan pagar.
"Untung aja murid yang aku mintain tolong itu temen sekelas Lingga. Jadi yo gak atene suwi-suwi nang kono (Jadi ya gak bakalan lama-lama disana)" Irvin berujar.
"Trus ya opo karo Subi? (Lalu bagaimana dengan Subi?)" tanyaku.
"Aku dan Mamat terpaksa menghadap ke ruang kepala sekolahnya. Ternyata si Subi itu lumayan tenar di sekolahnya" jawab Irvin menjelaskan.
"Maksudmu?"
"Dia bekas ketua sosis..."
"OSIS, Vin! Dhuduk Sosis! (OSIS, Vin! Bukan Sosis!)" aku memotong untuk meralat ucapannya.
"He-he-he... Yo itu! OSIS! Trus Kepala Sekolah Subi muji dia karena dia sudah mulai belajar mandiri. Tapi ya gitu... Aku agak risih kalo udah dengerin ceramah orang tua macam Kepala Sekolah si Subi. Maunya lima menit, malah jadi hampir satu jam" Irvin cengengesan menanggapiku. "Enak seghone? (Enak nasinya?)"
"Seghone yo podho ae rumangsaku, Vin. Tapi lawuhe lumayanlah. Luwe maneh ki kethok'e, nek tak dhelok tekan gelagatmu" (Nasinya ya sama aja menurutku, Vin. Tapi lauknya lumayanlah. Laper lagi nih kayaknya, kalo aku liat dari gelagatmu)
"Ora owk... Tapi ndelok awakmu mangan, kethok ane wenak tenan ngunu" (Enggak kok... Tapi ngeliat kamu makan, kayaknya enak banget begitu)
"Nih! A!" aku menyuruhnya membuka mulutnya lebar. Lalu menyuapinya. Irvin tersenyum sambil mengunyah. Tangannya terulur meraih kepalaku yang sedang menunduk. Ia membelainya lagi. Karena aku sedang makan dilantai. Bungkusan nasi yang kubuka lebar diatas lantai. Sementara Irvin duduk dihadapanku. Dengan posisi nasi bungkus yang memisahkan kami, begitu.
"Awakmu ki kuru, tapi manganmu akeh yo Hid?" (Kamu itu kurus, tapi makanmu banyak ya Hid?) Irvin kini beranjak pindah ke belakangku. Tangannya melingkar di perutku. "Weteng kadhut!" (Perut karung!)
"Sakjane yo wes wareg Vin. Tapi gak oleh mbuak panganan" (Sebenarnya udah kenyang Vin. Tapi gak boleh buang makanan)
"Yo ojo mbok pekso tho Hid. Kene ben tak entekne!" (Ya jangan dipaksa dong Hid. Sini biar aku habisin!)
Irvin menggeser posisi dudukku. Tangannya langsung merampas sendok ditanganku. Tapi ia langsung mengembalikannya padaku sambil nyengir saat melihat ekspresi wajahku. Aku memelototinya.
"Lain kali gak boleh gitu!" ujarku tegas. Mencoba tegas. Tapi tetap saja ditanggapi cengiran Irvin.
Pada akhirnya aku memang tidak sanggup lagi menghabiskan makanku. Biar Irvin yang menggantikanku. Dia memintaku agar menyuapinya.
Sambil menyuapi Irvin, ingatanku kembali pada kejadian Subuh tadi. Saat aku usai melakukan Shalat Subuh, tanpa sadar aku kembali menangis. Bukan menangis saat memanjatkan doa. Aku terlalu malu untuk melakukan curhat seperti yang biasa kulakukan dulu, saat masih mengharapkan Kak Tiki dari kejauhan. Tapi aku tak pernah berdoa jelek. Sebaliknya aku selalu mendoakan segala kebaikan padanya. Agar dia selalu bahagia, dan tidak merasakan sesak di dalam dada seperti yang kurasakan.
Sepertinya semua doaku di kabulkan.
Disaat dia selalu bahagia, aku kembali merasa sesak. Kali ini hingga terasa menghimpit tubuhku.
Dan karena aku tak mau Irvin mendengar suara tangisanku, aku segera beranjak keluar kamar. Belum juga aku sampai ke pintu, Irvin yang tidur memunggungiku mendadak membalikkan badannya. Dan ia meraih pergelangan tanganku. Menghentikan langkahku. Membuatku kaget bukan main.
Apalagi saat Irvin mendadak meminta maaf padaku. Dan ia menceritakan semuanya padaku.
Saat ia mendengar perbincanganku dengan Kak Zulfikar. Dia tau semua! Mengenai perasaanku yang bertepuk sebelah tangan pada Kak Tiki. Mengenai hubunganku dengan Bli Akhza.
Yang lebih mengejutkan, adalah mengenai hubungan Bli Akhza dengan wanita yang tinggal di sebelah kamar kosnya. Sejak dia pindah ke kosan itu, Irvin tak sengaja mengetahuinya. Karena berawal saat dia tak sengaja melihat Bli Akhza yang bersetubuh dengan wanita itu dari celah plafon di kamarnya.
Irvin bilang dia sudah lumayan hapal dengan wajah Bli Akhza. Terlebih saat ia mengecek motor beserta plat nomornya. Untuk hal ini, dia melakukan beberapa penyelidikan sendiri yang berujung pada alasan robeknya ban sepedanya itu.
Ternyata Irvin pernah ribut dengan Bli Akhza! Mereka tidak beradu fisik. Tapi Bli Akhza yang menjadi penyebab rusaknya sepeda Irvin. Dari sini aku tau, kalau sepeda Irvin sudah tak layak pakai karena rusak parah. Makanya, Matthew beberapa kali mengantar jemputnya.
Saat aku bertanya pada Irvin, apakah Matthew mengetahui hubunganku dengan Bli Akhza, Irvin bilang ia tak tau mengenai hal itu. Bisa saja ia tidak tau. Tapi dari Matthew, Irvin tau kalau aku adalah gay.
Dari mana Matthew bisa tau? Apakah karena Matthew juga gay? Pertanyaan itu langsung ku tanyakan pada Irvin. Tapi ia jawab bukan seperti itu.
Pada Irvin, Matthew mengaku, kalau dia sebenarnya biseks. Dan dari Irvin aku tau kalau Matthew itu menyambi sebagai GoGo Dancer di sebuah club malam. Tapi ia hanya melayani private party dan hanya melayani klien perempuan. Matthew bekerja di Warung pun karena dia sempat mengira kalau Kak Tiki adalah Kak Taka. Kalau melihat isi kosan Matthew, pasti tidak akan ada yang percaya kalau seorang pekerja sambilan di sebuah Warung Makan, bisa memiliki banyak barang bagus yang pastinya melebihi bayaran bulanannya.
Matthew bilang, pada Irvin, kalau dia sebenarnya nge-fans dengan Kak Taka. Dan itu berawal dari tidak sengajanya ia melihat wajah Kak Taka di sebuah majalah asing. Juga pernah beberapa kali melihatnya di sebuah channel TV kabel yang khusus menayangkan perkembangan dunia fashion. Setelah mengecek di YouTube pun, Matthew menemukan Kak Taka di beberapa event bergengsi di luar negeri sana. Dia pun ikut mem-follow akun Twitter dan Instagram Kak Taka.
Walaupun Matthew senang bisa bertemu langsung dengan idolanya itu, pada akhirnya dia tidak bisa berbuat apa-apa saat mengetahui hubungan asmara antara Kak Taka dengan Kak Zulfikar.
Siapapun pasti bisa melihat kemesraan keduanya. Apalagi kalau Warung sedang sepi. Kak Taka tanpa sungkan mencium pipi Kak Zulfikar, memeluk Kak Zulfikar saat ia sedang sibuk melakukan sesuatu di kasir. Dan lain sebagainya. Tapi memang sih, Kak Taka tidak pernah menunjukan kemesraannya di hadapan Lingga dan Subi.
Dan mengenai sikap mesra yang Irvin lakukan seperti sekarang, aku tidak berani berasumsi kalau dia memiliki rasa padaku. Tidak ada satupun ucapannya yang mengarah kesana. Yang jelas, Irvin bilang ia membuka dirinya padaku. Karena dia tidak tega melihatku menangis sampai pagi seperti tadi. Makanya, dia ikut ketiduran di sampingku. Irvin bilang dia biasa begadang. Tak heran ia bisa menemaniku sampai pagi.
Dan pagi tadi, sebelum aku berangkat ke Warung. Aku menceritakan semuanya pada Ibu. Mengenai hubunganku dengan Bli Akhza. Malah aku yang dibuat kaget, karena Ibu sudah curiga sejak dulu. Aku sampai bersimpuh meminta maaf pada Ibu karena aku sudah menjadi anak yang penuh nista. Sekaligus takjub dengan kesabarannya menghadapiku. Aku beruntung memiliki Ibu setegar Ibu.
"Kalau suatu hari nanti kamu mengeluh, Ibu minta kamu berhenti saja! Menikahlah dengan perempuan! Jadilah seorang kepala keluarga yang baik seperti Bapakmu, Le. Cintamu itu semu. Ingat, hidup di dunia ini cuma sebentar" begitu pesan Ibu.
"Ibu titip anak manja Ibu ini ya Nak Irvin. Kalau ada apa-apa dengan Wahid, jangan sungkan lapor ke Ibu" itu pesan Ibu pada Irvin. Sementara Irvin cuma bisa memandangiku penuh tanda tanya.
Tapi Ibu tidak mengiyakan permintaanku agar tidak memarahi Bli Akhza. Entah apa yang akan Ibu lakukan pada Bli Akhza. Karena tadi aku sempat melihat Ibu menghampiri kamar Bli Akhza setelah aku berpamitan bersama Irvin.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Sekarang kami bertiga sedang berada di rumah Kak Taka. Tadi dia meneleponku menanyakan nomor telepon Matthew. Dan pada akhirnya kami bertiga diminta untuk datang kemari.
Sekarang masih pukul 12 siang. Zain masih di sekolah. Hanya ada Kak Taka dan Bli Syaka saja disini saat kami masuk ke dalam. Aku sudah beberapa kali datang kemari. Makanya Kak Taka memintaku untuk mengantar Matthew, sekalian mampir.
Dari Bli Syaka aku tau, kalau Bang Zaki juga ikut ke Jakarta. Tadinya Kak Taka juga mau ikut, tapi dia sedang ada pekerjaan. Dan ternyata pekerjaan yang di bilang Kak Taka ternyata ada kaitannya dengan dimintanya Matthew datang kemari.
Aku dan Irvin sekarang menemani Bli Syaka yang sedang main game. Aku, seperti biasa, lebih suka menjadi penonton. Melihat betapa kocaknya Bli Syaka yang berteriak-teriak histeris bermain bersama dengan Irvin. Bahkan Lingga dan Subi pun masih kalah heboh dibandingkan dengan Bli Syaka yang biasanya terlihat kalem.
Matthew? Dia sedang berbicara empat mata dengan Kak Taka di belakang. Di dekat kolam renang tepatnya. Dari sini aku bisa melihat mereka. Tapi tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, karena ada pintu kaca yang jadi penghalang. Aku bukan tipikal orang yang kepo, tapi melihat raut wajah Matthew, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya gembira.
"Elu gak usah bawa banyak baju. Pokoknya cukup buat enam kali ganti. Kita disana cuma tiga hari aja"
Kali ini aku bisa mendengar ucapan Kak Taka. Karena mereka sedang berbicara sambil berjalan kemari.
"Yeaaaa GOOOOLLLL!!!"
Aku sampai terlonjak saking kagetnya saat mendengar Bli Syaka yang berteriak sambil loncat-loncat senang.
"Iyuhhh... Baru juga satu gol Bli" Irvin berujar dengan sombongnya. Aku bisa melihat skor mereka sekarang lima lawan satu.
"Yo ora popo tho Vin!" Bli Syaka berucap menirukan medhoknya Irvin. Aku cuma bisa terkekeh dan menggelengkan kepalaku.
"Oke Bli. Jadi besok Mamat bisa bantuin gue. Trus siapa yang gantiin dia di Warung?" Kak Taka duduk dan merangkul pundak Bli Syaka.
"Ada apa Mat?" tanyaku pada Matthew. Dia duduk disebelahku.
"Dia besok nemenin Tiki ke Jayapura" Bli Syaka menyahut.
"Ke Raja Ampat" Matthew menimpali.
"Wiihh... Asik tuh!" Aku dan Irvin berseru bersamaan.
"Nanti gue bawain oleh-oleh khas Papua" Kak Taka ikutan nimbrung.
"Apa? Koteka lagi? Gak mau!" Bli Syaka menyahut.
"Lagi? Berarti Bli pernah dikasih koteka?" tanya Irvin serius.
"Kamu mau? Tuh ada nganggur di lemari pakaianku"
Aku tertawa mendengar ucapan Bli Syaka barusan. Dia menawarkan Koteka pemberian Kak Taka pada Irvin, dengan ekspresi serius.
"Lah! Jangan dong. Buat Irvin nanti gue beliin yang baru aja. Lagian gue ngasih ke Bli dulu itu kan biar dipake sama Bang Julian. Hohohohoho!!"
"Bocah semprul!"
"Julian itu siapa?" Irvin berbisik di telingaku. Sementara aku yang ditanya, malah tersenyum dan tidak memberikan jawaban. "Ditakoni. Gak njawab, malah mesam mesem!" (Ditanya. Gak jawab, malah senyam senyum!)
Aku kaget waktu Kak Taka pindah duduk disebelahku. Tangannya menarik kepalaku agar mendekat ke dekat bibirnya. Kalau Kak Tiki yang melakukan ini, aku pasti sudah pingsan.
"Gue liat elu deket banget ama Irvin. Kalian jadian?" tanya Kak Taka lirih.
Aku? Dan Irvin? Jadian? Bahkan memikirkannya pun, tak pernah.
Aku menggeleng cepat. "Enggak Kak... Kenapa emangnya?"
"Gak kenapa-kenapa... Cuma, gue ngerasa ada yang beda aja ama body language kalian" lanjutnya dengan nada dan ekspresi penuh selidik. "Sex buddy?" bisiknya lagi. Pertanyaan terakhir itu membuat jantungku rasanya berhenti berdegup. "Dia gak cakep-cakep amat. Tapi bodinya, hmmmm... Boleh juga kan?"
Aku tau, sebenarnya Kak Taka sedang menggodaku. Tapi mendengar langsung pertanyaan Kak Taka itu, membuatku semakin tak karuan saja. Aku salah tingkah dibuatnya.
Dering handphone milikku menyelamatkanku dari situasi yang aneh ini. "Ibuku telepon Kak... Permisi sebentar" ujarku sambil beranjak menuju pintu depan. Aku sempat mendengar Kak Taka mendecakkan lidahnya. Mungkin dia merasa terganggu karena dia sedang asik menggodaku.
Jujur saja, meskipun dia bukan Kak Tiki, tapi tetap saja secara fisik ia sangat menyerupai Kak Tiki. Meski kadang aku risih, tapi aku tetap suka digoda olehnya. Hanya saja, sekarang ini sedang tidak ada Kak Tiki, jadi tidak akan ada yang menyelamatkanku dari cengkeraman godaan Kak Taka. Makanya, beruntung sekali Ibu meneleponku disaat seperti tadi.
"Iya Bu? Ada apa?" tanyaku.
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menghelanya dengan keras ketika mendengar ucapan Ibu diseberang sana.
"Kak, Bli, Mat, Vin... Aku pamit pulang dulu ya..." kataku terburu-buru. Kuraih helm yang kuletakan di bawah meja di ruang tamu. "Nanti kamu nyusul aja ke rumah ya Vin... Minta tolong di antar Matthew aja"
"Oke..." semuanya menjawab bersamaan.
"Hati-hati di jalan Hid!" Irvin mengimbuhkan. Aku mengangguk dan mengacungkan jempolku padanya.
Aku tak mempedulikan tatapan mata Kak Taka. Sepertinya dia masih berpikir aku ada apa-apa dengan Irvin. Tapi harus aku akui, dengan Irvin aku bisa merasa nyaman. Dilain pihak, sebenarnya aku masih ke GR-an dengan tingkah Subi waktu aku ketiduran di rumahnya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku memarkir motorku di depan pagar rumah Ibu. Kemudian berjalan kearah rumah kos di seberang. Ke kamar yang sekarang dipakai Bli Akhza.
Aku langsung masuk ke kamar karena pintunya terbuka. Ada Bli Akhza dan Ibu di dalam. Mereka duduk berhadapan di lantai. Aku bergabung dan mengambil posisi duduk di antara mereka.
Selama beberapa menit kami masih terdiam. Bli Akhza sesekali hanya melirikku. Tapi tetap tidak berkata apapun. Begitu juga Ibu. Matanya sesekali menatapku. Sesekali menatap Bli Akhza. Tapi tak ada kalimat yang keluar.
Aku menghela nafas. Kesal. "Kalau diem doang begini, mending Wahid ke kamar aja"
Bli Akhza meraih pergelangan tanganku. Dan memberi isyarat agar aku tidak beranjak pergi dengan matanya.
"Bli mau minta maaf..." ujarnya setelah mengatur nafas. Tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku. "Bli gak bohong kalau Bli sayang banget ke Wahid. Ucapan Bli benar-benar jujur. Tapi Bli juga gak bisa bohong, kalau Bli juga masih sayang sama cewek Bli. Yang waktu itu Wahid adalah mantan cewek Bli... Sejak empat bulan lalu... kami... balikan..."
"Dan...?" Ibu menyahut dengan pertanyaan yang digantung.
"Dan... Lebih baik Akhza memilih Wahid dari pada cewek Akhza, Bu..."
"Alasannya?"
"Gak bisa. Sejak awal hubungan kita memang lebih baik begini Bli. Biar bagaimana pun juga, kita Kakak beradik" aku mendahului dan memotong saat aku melihat Bli Akhza akan menjawab pertanyaanku. "Wahid juga salah... Selama ini Wahid juga enggak jujur... Wahid memang sayang sama Bli... Tapi sayang sebagai adik ke Kakaknya. Dan selama ini... Wahid... Wahid menjadikan Bli Akhza sebagai pelarian aja... Wahid yang harusnya minta maaf..."
"Bli tau... Walaupun Bli gak tau kamu lari dari siapa. Itu..."
"Cukup Bli!" kutepis tangan Bli Akhza. "Sebenarnya Wahid emang gak cinta-cinta amat ke Bli! Tapi sekali penipu, seterusnya Bli akan seperti itu! Disini bukan cuma Wahid yang udah jadi korban ke egoisan Bli!"
Aku tidak peduli lagi meskipun di hadapan kami sekarang ada Ibu kami, tapi melihat sikap Bli Akhza, sungguh membuatku jengkel. Tanpa pamit aku segera meninggalkan mereka.
Saat melihat sepeda motor yang masih terparkir di luar, aku segera membuka pagar, dan mendorong sepeda motorku masuk ke dalam halaman rumah. Ku parkir di dekat teras, lalu aku berjalan menelusuri lorong di samping rumah utama menuju kamarku.
Kesal sekali rasanya!
Belum pernah aku sejengkel ini dengan seseorang. Biasanya aku merasa kalau aku yang keras kepala. Ternyata Bli Akhza lebih keras kepala di bandingkan denganku. Terlebih ada Ibu disana! Apa dia tidak memikirkan perasaan Ibu?
Bli Akhza benar-benar egois! Dia cuma memikirkan dirinya sendiri!
^Kak... Lagi apa? Sibuk gak?^
Kukirim pesan singkat itu kepada Kak Zulfikar. Saat ini aku butuh bertukar pikiran dan meminta pendapat. Sayangnya Irvin tidak ada handphone. Kalau ada, pasti sudah kuminta dia untuk datang kemari. Mau kembali ke rumah Kak Taka, tapi malas sekali rasanya.
Bukannya aku tidak mau. Tapi aku tidak mau melihat tatapan penuh selidik Kak Taka. Aku tau, Kak Taka tidak bermaksud buruk padaku. Aku cuma takut kalau Irvin digoda Kak Taka. Digoda dalam artian di ledek. Yang sudah kenal dekat dengan Kak Taka pasti tau, kalau dia hobi sekali membulli. Dan yang sering di bully itu... aku.
^Mungkin Kak Zulfikar memang sedang sibuk ya? Kalau sudah tidak sibuk, tolong hubungi Wahid ya Kak. Wahid mau curhat^ kukirimkan pesan lagi pada Kak Zulfikar. Karena setelah sepuluh menit menunggu, tak ada respon sama sekali.
Ya ampun! Sepuluh menit?! Ini pertama kalinya aku merasa sepuluh menit terasa sangat lama!
Akhirnya aku putuskan menuju dapur saja. Aku ingin membuat sesuatu di dapur. Apa saja yang bisa kuminum.
Baru saja aku memasuki pintu rumah Ibu yang mengarah ke dapur, aku berpapasan dengan Ibu.
"Baru mau Ibu panggil" ujar Beliau sambil tersenyum lega saat melihatku. "Itu di ruang tamu ada temenmu. Tapi kok masih anak sekolah begitu ya?"
"Namanya?" tanyaku penasaran.
"Subi kalau ndak salah. Sudah sana. Kamu temui dia. Ibu mau buatkan minum dulu" Ibu menepuk bahuku.
"Lalu Bli Akhza gimana Bu?"
Ibu hanya menghela nafas mendengar pertanyaanku. "Dia bilang butuh waktu untuk berpikir. Hahhh.... Ibu ndak habis pikir... Sebenarnya Ibu senang kalian bisa dekat. Tapi Ibu ndak pernah sekalipun membayangkan tentang kedekatan kalian yang melampaui batas. Kalau kalian bukan anak-anak Ibu, pasti sekarang kalian sudah... Ah! Ibu ndak berani bayangin!" Ibu berlalu pergi sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.
Lantas aku pun menemui Subi di ruang tamu. Tapi aku langsung mengajaknya ke belakang. Biar lebih santai ngobrol di halaman belakang. Tepatnya di teras kamarku.
Aku sempat heran saat melihatnya pulang sekolah jam segini. Sekarang kan masih jam satu siang. Seingatku, Subi pernah bilang dia pulang sekolah jam dua. Lalu menjemput Lingga dirumahnya, sekalian berganti pakaian disana.
Aku kembali berpapasan dengan Ibu. Kuambil nampan dari tangan Ibu. "Makasih Bu..." ujarku. Setelah mengecup pipi Ibu, aku berlalu kearah halaman belakang. Subi mengikutiku setelah tersenyum ramah pada Ibu.
"Ada apa Bi? Tumben main kemari"
"Mumpung libur kerja. Mas enggak lagi sibuk kan?"
Aku tersenyum kearahnya, dan menggeleng pelan. Kuletakan nampan disebelah Subi. Dia sudah duduk manis di teras kamarku. Sementara aku mengambil selang dan menyalakan keran air. Hari ini langit lumayan berawan. Tapi suhunya sangat panas. Aku kasihan melihat tanaman milik Ibu yang terlihat layu. Jadi kusirami saja. Kalau menunggu sore, aku takut malah jadi kelupaan.
"Mas tinggal bertiga aja disini?" tanya Subi sambil menggigit keripik pisang yang ada di dalam toples. Tadi memang ada dua buah gelas, satu buah teko plastik berukuran sedang berisi es sirup dan beberapa toples berisi camilan. Makanya aku langsung mengambil dari tangan Ibu. Takutnya nanti terjatuh, bisa repot.
"Iya. Tapi Bli Akhza tinggal di rumah kos di seberang" jawabku.
"Mmm... Bukannya dulu itu... Mas juga tinggal di seberang ya?"
Aku nyengir. Rupanya Subi masih ingat. "Iya. Tapi semalam aku pindah ke kamar ini. Kasian kalau Ibu tinggal sendirian. Paling enggak, jaraknya lebih dekat dari pada di seberang" jawabku sedikit berbohong. Tidak mungkin aku mengatakan situasi yang sesungguhnya pada Subi.
Saat menoleh kearah Subi, aku melihatnya melepas kancing kemeja seragam yang ia pakai. Dia tidak memakai kaus dalam. Jadi aku bisa melihat dada dan perutnya yang langsing tapi berbentuk. Beda halnya dengan badanku. Memang aku tidak terlalu kurus. Tidak gemuk juga. Tapi tidak terbentuk seperti Subi.
Dan... Ughh!! Tubuh langsing dan padatnya itu pernah memelukku. Membuatku jadi teringat kejadian malam Minggu kemarin.
"Mas... Aku bisa bicara empat mata?"
"Bukannya sekarang kita sedang bicara empat mata? Disini cuma ada kita berdua kan?" aku menyahut.
Subi lantas menggaruk-garuk kepalanya. Matanya juga menatap kesegala arah. Wajahnya terlihat cemas.
Melihat hal itu, aku mematikan keran air. Menggulung dan merapikan selang di bawah keran. Kemudian, setelah mengelap tanganku yang basah di celanaku, aku mengajak Subi agar ikut masuk ke dalam kamar. Subi mengangguk dan membawa masuk nampan beserta semua isinya.
"Mau ngomong apa?" tanyaku. Kami sekarang duduk berseberangan.
Aku duduk bersandar lemari pakaian. Sementara Subi duduk bersandar dinding dekat dengan pintu. Matanya masih menatap awas ke sekitar kami. Seolah tak percaya kalau kami memang sedang berdua saja saat ini.
Setelah ia yakin, Subi menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan.
Jujur saja, sebenarnya aku geregetan. Kalau saja yang Subi hadapi sekarang adalah Kak Taka, mungkin satu toples sudah melayang kearahnya.
"Mas Wahid... Mas bener suka cowok kan? Maksudku... Mas Wahid... Gay kan?"
Reaksi yang pertama kali kutunjukan padanya adalah mengangkat kedua alis. Kemudian mengerutkannya.
"Kalau iya, kenapa? Kalau enggak, kenapa?" Aku malah balas melontarkan pertanyaan pada Subi.
"Kalo enggak... Ya udah. Tapi kalau iya..." Subi menggantung kalimatnya. Ia beranjak mendekatiku dengan cara merangkak menghampiriku. "Kalau iya... Kita jadian yuk!"
Meskipun Subi tersenyum usai berucap, tapi aku bisa melihat keringat sebesar biji jagung mengucur deras dari dahinya. Dan saat kuamati lagi, aku baru sadar kalau badannya berkeringat.
Dan parahnya lagi, aku tidak bisa berucap apapun mendengar kalimat Subi barusan!
"Nga-ngaco kamu Bi...!"
"Aku serius Mas!" ucapnya mantap.
Dan sekarang, giliran aku yang mendadak merasa gerah. Bisa kurasakan keringat mulai menetes dari dahiku. Belum termasuk keringat di badanku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•