It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
moga entar ada kejelasannya
@bianagustine @zeva_21
Part 7
Segalanya sudah berakhir.
Kata itu menggema lagi, sesekali membawa kabur kesadaranku. Acara makan malamnya sudah selesai dan aku sudah tak lagi di dalam villa. Untuk kesekian kalinya aku duduk di pantai yang pekat, ditemani deburan ombak dan bintang di angkasa.
Mereka masih di dalam, mengobrol hal-hal yang tidak menarik minatku. Dan pembicaraan mengenai band ditutup dan resmi ditolak. Made bersikeras tak ingin gabung, meski Irina tetap memaksa.
Aku jadi ingat lagi dengan memori baheulaku. Saat aku memutuskan untuk mengubah segalanya, menyangka bahwa itulah yang terbaik. Kendati akupun mengerti bahwa aku tersesat dalam pilihan yang telah kuputuskan.
Semuanya berubah kala itu. Tak ada lagi Prada & Made, tinggal Prada saja yang tak pergi. Made memutuskan untuk jadi insinyur dengan syarat segera keluar dari kampung kami, tempat kami tumbuh besar bersama. Meninggalkanku dalam rasa,yang tak jua menua.
Namun tak ada yang perlu disesali. Yang terjadi biarlah terjadi, toh aku bukan pemilik mesin waktu yang bisa mengubah kenangan masa lalu. Waktu tetap berjalan, begitu pula seharusnya aku.
Kupeluk lututku hingga menyentuh dadaku, membiarkan semuanya mengalir dalam asa yang mengendap dan perlahan menguap.
Sesosok bayang tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku tak peduli dan hanya memandang ke lautan sana.
“Sudah kularang untuk memperlihatkan diri, namun kau malah ada disini.”
Mendengarnya kontan aku menoleh, melihat siapa yang berkata barusan.
“Made?” Nama itu, setelah sekian lama terucap lagi olehku.
“Mengapa kau bisa disini?” tanyanya tanpa basa basi.
Alisku bertaut, pertanyaan bodoh macam apa ini?
“Maksudnya?”
“Mengapa kau ada disini? Ditempat ini dan pada waktu sekarang ini?”
“Kau menanyakan hal yang seharusnya kutanyakan padamu.”
Ia malah terkikik.
“Lucu ya? Aku lari, berusaha menjauh darimu namun malah tiba di tempat dimana kau berada. Apa dunia memang sesempit ini ya?”
Aku tak menggubrisnya dan hanya diam.
“Kapan kalian pulang dari sini?” tanyanya.
“Buat apa kamu...loe tau?”
Ia terkikik lagi.
“Manusia memang dinamis. Berubah seiring waktu.”
“Sebenarnya arah pembicaraan loe ini kemana hah?” tanyaku sarkas.
“Ke muara kita. Muara dimana segalanya selesai.”
“Bukannya semua udah selesai?”
“Pura-pura selesai iya. Benar-benar selesainya yang belum.”
“Maksud loe apa sih? Kalo mau ngenang masa lalu, gue juga bisa sendiri. Ga perlu dibantu!”
“Aku ga ingin mengenang Da. Aku ingin menyelesaikannya.”
“Apa yang mau diselesaikan?”
“Rasa Da.”
Aku tertegun namun berusaha untuk tak melembut.
“Aku udah ga ada rasa lagi.” Hatiku meragu.
“Kalo begitu aku yang harus diselesaikan.” Lanjutnya lagi. “Rasaku yang perlu diberi ending.”
Aku tak menjawab.
“Sudah terlalu lama. Sudah terlalu lama aku melarikan diri hingga tersadar bahwa aku bukan menyelesaikannya. Aku malah mengabaikannya, namun ia tinggal. Masih menetap disini.” Ia menunjuk dadanya.
“Aku tahan sejak malam yang lalu untuk tak menggubrismu. Mengabaikanmu saja. Barangkali rasa itu bisa lenyap. Tapi malam ini, pertahananku runtuh karena menatap matamu lagi.”
Aku sadar betul arus pembicaraannya ini. Namun aku tak ingin dia tau aku tau. Lebih baik diam saja, agar tak ada lagi yang terulang diantara kami. Meski rasaku juga masih ada, aku sadar ia adalah masa lalu. Dan masa lalu ada tidak untuk direka ulang, ada hanya untuk dikenang kala rindu.
“Aku masih mencintaimu Da.” Kalimat sakral itu terucap olehnya, seperti di masa yang silam. “Aku ga bisa bohongi perasaanku meski hingga sekarang kecewa itu masih membekas. Karena itu...”
“Aku akan pergi.” Potongku segera.”Aku akan meninggalkan pantai ini. Aku ingin kamu menyelesaikannya, karena itu aku takkan berada disini lagi. Aku paham.”
Ia menatapku sendu,”Makasih mau mengerti.”
Aku segera berdiri,”Ga usah khawatir. Kamu akan segera bermuara.”
Lalu aku berbalik pergi,meninggalkan masa laluku dengan genangan air di pelupuk mata.
“Seriusan loe mau balik sekarang? Libur blom usai loh.” Tanya Tommy heran.
Aku mengangguk mantap,”Gue udah mutusin buat pulang Tom. Ada hal yang harus gue lakuin.”
“Gimana nih guys? Prada udah kebelet balik.” Tommy bertanya ke lima anak lainnya.
Badu unjuk tangan,”Gue ikutan deh. Ga enak biarin dia pulang sendiri.”
“Serius Du?” Kali ini Candra yang bertanya,”Kalo gitu gue balik juga deh.”
“Loh semuanya kok mau balik gini?” Tanya Aji.
“Udah ga apa-apa Du. Aku bisa pulang sendiri kok.” Ucapku.
“Ga. Aku ikhlas kok.”
Martin menatapku heran,”Urusan apa sih sebenarnya? Bukannya kita ga punya tugas dari kampus Da?”
“Urusan pribadi Tin.” Bohongku.
“Tapi aku ga bisa nemenin pulang Da.” Ucap Martin,”Aku sedang ada yang perlu diurusi juga disini. Maaf ya.
Aku hanya tersenyum, tau benar maksud Martin.
“Gue tinggal. Tanggung liburnya.” Celetuk Jimmy.
“Kalo gitu yang balik Prada, Badu, sama Candra. Besok ya jadinya?”
Aku hanya mengangguk, yakin inilah yang terbaik.
Di pantai ini, aku merasakan segala rasa. Bimbang antara masa lalu dan masa kini yang mengalir di jalur yang sama.
Di pantai ini, aku mendapatkan kembali memori itu. Masa dimana ada aku dan dirinya, bersama memadu kasih.
Di pantai ini pula, aku menambatkan rasaku. Kepada lelaki bersenar yang dulunya musuh terbesarku. Rasa itu kusadari betul, meski berkali pula kucoba sangkal.
Dan di pantai ini, lagu itu mengalun manis dimainkan angin, beriku asa di dalam kubangan rasa.
Aku kini akan pergi, dan meninggalkan dirinya yang dulu adalah separuh aku.
Bus yang kami naiki berangkat pagi-pagi sekali, menembus kabut yang belum menipis menuju kota peraduanku. Tomi dan yang lainnya, kecuali Made, mengantar kami hari ini. Mengucap Bye dan perjalanan kami pun dimulai.
Aku duduk disebelah pria yang jangkung dan berkulit cokelat terbakar sinar mentari. Ia terlelap sejak aku naik tadi dan belum terbangun hingga sekarang. Badu dan Candra duduk di seberangku, kembali angkat melodi yang merdu namun sekaligus menusukku.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam memandang keluar hingga kemudian lelaki disebelahku terjaga dari alam mimpinya. Ia mengajakku mengobrol hingga aku bosan dibuatnya.
Belum sejam, tiba-tiba ponselku berdering. Martin memanggil.
“Ya?” angkatku.
“Made ngilang Da. Coba cek dia ada di dalam bus atau enggak?”
“Hilang gimana?”
“Ya hilang. Semua barangnya ga ada. Coba kamu cek dia ada disitu atau gak? Siapa tau dia ikut tanpa bilang-bilang.”
Sontak aku segera beranjak dari kursiku dan mengecek semua penumpang bus. Aku memulainya dari belakang sambil memperhatikan tiap orang.
“Ada gak?”
“Tunggu. Lagi ngecek.”
Aku terus mengecek hingga kusampai di kursi terdepan, menemukannya yang sedang terjaga menatap keluar jendela.
“Dia ada disini.” Jawabku akhirnya.
“Oh syukurlah. Tuh anak gak bilang bilang kalo mau ikutan balik. Udah ya kalo gitu.”
Sambungan terputus, ia menoleh ke arahku.
“Kok loe disini?” tanyaku.
“Emang gak bisa?”
“Bukan itu. Kan gue yang seharusnya pergi, loe tinggal buat nyelesain rasa loe.”
Ia tersenyum,”Gak Da. Kamu ga tau cara main rasa ini.”
“Maksud kamu?”
“Rasa ini, tidak diselesaikan oleh hanya aku seorang. Harus ada kamu, pemicunya.”
“Hah? Aku ga ngerti De.”
Ia menatapku lembut,”Intinya, aku perlu kamu untuk menyelesaikannya. Jadi aku harus pergi bareng kamu.”
“Mengapa harus ada aku?”
“Kamu lupa ya?”
Alisku bertaut heran.
Ia tersenyum lagi.
“Karena aku mencintaimu.”
Ruang berhenti bergerak, degup itu semakin kencang.
#TBC#
apa Prada akan menyambut lg cinta Made???
krn keliatannya hati Prada sdh mulai tertambat pd Badu...