Prolog
Aku berbaring.
Direrumputan hijau yang menggelap oleh malam, menatap langsung ke arah langit. Ke bintang - bintang yang bercahaya di angkasa malam.
Aku menghitung satu - satu, berharap dapat tau berapa banyaknya bintang yang bertaburan di langit malam.
Satu, dua, tiga, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin hanya ini yang dapat kulakukan setiap malam sembari menanti hari itu tiba. Melepas kebosanan, hingga bosan bahkan tak lagi dapat kurasa. Ya, aku menanti hari dimana aku akan pergi. Meninggalkan kota kelahiranku menuju kota lain untuk terlahir baru.
Cukup dengan menghitung bintang - bintang ini, mungkin waktu akan bisa berjalan lebih cepat.
###
Pertengahan tahun, aku memulai segalanya. Orangtuaku melepas kepergianku dengan ikhlas, berharap aku kembali membawa kabar gembira. Aku? Aku senang akhirnya dapat keluar dari kotaku, dapat menikmati kota lain yang dulu hanyalah angan belaka. Namun kini disinilah aku, di kota anganku dulu.
Dan waktu berputar dengan cepat, bahkan begitu cepat.
###
Comments
Aku mendengus kesal. Hendak marah namun logikaku masih terkendali. Dia, lelaki tinggi berkulit sawo matang yang sedari tadi memandangku dengan seringai ejekan, adalah sumber kekesalanku. Dia adalah masalah bagiku.
Entah sejak kapan dan mulai darimana, kami tiba tiba saja menjadi musuh satu sama lain. Dia yang senang dengan penderitaanku dan aku yang bahagia dengan membuatnya kesal adalah rival abadi yang belum berbaikan hingga sekarang. Bagi teman-teman sepermainan kami, kami sudah seperti anjing kucing atau kucing tikus yang tak bisa bersatu. Selalu bertengkar dan saling membenci.
Sperti skarang ini, dia menyindir presentasiku yang gagal total di kelas tadi pagi. Dan aku yang biasanya selalu mendapat respon positif dari dosen saat mempresentasikan sesuatu, naik pitam dan kesal sejadi - jadinya. Tapi aku tetap diam, aku takkan menanggapi orang bodoh ini.
Sedangkan teman-teman kami yang lain hanya tertawa melihat aku dan dia.
Ya, teman "kami". Untuk diketahui aku, dia, dan lima orang ini adalah teman sepermainan. Istilah gaulnya 'gang'.
Ada aku, prada, yang putih manis dan senang berkhayal.
Aji, orang yang serius banget dan paling pintar diantara kami bertujuh.
Candra, si wajah tampan pemilik suara merdu.
Martin, lelaki yang kusukai sejak awal semester 1.
Tomi, yang paling jago olahraga diantara kami semua.
Jimmy, yang paling kalem.
Dan si congek yang bernama asli Badu yang palung ahli bermain musik.
Kami adalah Seven icons! Bukan, bukan, kami adalah orang orang asing yang kebetulan bertemu di awal semester 1 dan merasa cocok yang kemudian lengket terus hingga menjelang akhir semester 1. Kami dekat satu sama laia, kecuali aku sama si congek.
###
Taukah kalian bahwa benci dapat menyulut api cinta? seperti filosofi "benci bilang cinta" yang seringkali terjadi di sinema - sinema televisi. Dan entah bagaimana, filosofi itu lahir bersamaku di awal tahun ini. Aku yang entah kenapa bisa dan bagaimana, jatuh cinta pada rival terbesarku, badu.
Aku tak bisa menyangkalnya, karena tiap kali aku tak melihat dia, aku merasa rindu dan tiap kali dia cuek terhadapku, aku mengharapkannya mengusiliku. Aku tak bisa menyangkalnya.
Dan kini, aku bingung harus bagaimana. Menyatakannya dan menanggung malu atau memendamnya dan merasa sakit.
###
"Hey, melamun lagi"
Aku menengadah dan tersenyum ketika tau itu Martin, lelaki yang pernah kusukai.
"Menyepi lagi? Emang ada masalah?" tanyanya
Aku menggeleng, "Gak, cuma sedang pengen sendiri aja"
Dia mengacak rambutku lalu duduk disebelahku, "Waktu dulu juga begini kan?"
"Maksudnya?"
"Pertama kali kita ketemu, kamu duduk disini. Menggalau gara gara ayahmu kecelakaan dan menyendiri. Trus aku datang, ngajak kenalan dan bertanya mengapa kamu sendirian. Tapi kamu malah bilang lagi pengen sendiri aja, persis kayak tadi"
Ya, kami pertama kali bertemu disini. Di belakang kampus, dimana sekarang kami berada. Saat itu aku benar-benar sedih dan kesepian mendengar ayahku yang kecelakaan. Aku menyendiri disini dan merenung. Tepat saat tangisku akan keluar, dia datang. Mengajakku berkenalan dan bertanya mengapa aku ada disini. Aku menjawab sekenanya namun dia terus bertanya. Hingga akhirnya di batas rasa dan asaku, aku menangis dan bercerita kepadanya. Dia tanpa segan memelukku dan menenangkanku. Mengatakan semuanya akan baik baik saja hingga aku merasa tenang. Lalu dia mengajakku makan dan kabar itu datang. ayahku meninggal. Dan semuanya berlalu bagai air yang mengalir di sepanjang badan sungai. Mengalir tiada henti tanpa berbalik ke belakang. Kini kami ada di situasi yang sama seperti dulu, hanya saja masalahku yang sekarang adalah perasaanku.
"Hey, melamun lagi." ucapannya menyadarkanku.
Aku tersenyum kecut.
"Kamu ada masalah kan? Jangan bohong"
Aku, seperti di masa lalu, mengangguk namun kini dengan cepat aku menjawab, "Tapi rahasia"
Ya, itu adalah rahasia. Aku tak ingin dia tau seperti halnya aku yang juga tak ingin tau.
Lalu dia tersenyum, "Berbagilah saat kah siap"
Dan rasa itu mengalir kembali, seperti enan bulan yang lalu. Senyumannya, kebaikannya, membuatku jatuh cinta lagi.
Hanya saja kali, cinta ini bukan hanya untuk dia saja.
#TBC#
Awal semester 1, Aku dan seorang lelaki bernama Martin
Langit mulai memerah, pertanda senja sudah menjamah. Aku, bersama dengan semilir angir yang menerpa, terduduk di rerumputan belakang kampus. Aku memandang langit dengan sendu, merasa cemas dengan apa yang barusan saja kudengar. Dia, lelaki dengan badan tegap berkulit coklat, lelaki pemurah dengan senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya, lelaki yang mengajariku berenang, mengalami peristiwa buruk. hal yang tak pernah kusangka akan menimpa sosok sebaik dia.
Bukankah sangat tidak adil ketika kau sudah menjadi hikmat bagi sekelilingmu, namun tetap saja derita kau kecap? Bukankah itu hal yang tidak sepantasnya kau dapat? Bukankah kau seharusnya damai?!
Tapi dia tidak damai, tidak, dia malah kesakitan. Aku tak dapat membayangkan ketika ibuku menjelaskan segalanya. Ketika ibuku bertutur bahwa lelaki hebat itu tertabrak truk dan kini koma dirumah sakit, aku sungguh tak dapat bayangkan. Namun hatiku dapat merasakannya. Sakit itu, perih itu, hatiku peka.
Dadaku seketika memanas, memikirkan segala hal tentang lelaki ini membuatku merasa panas. Bahkan kini pelupuk mataku menhangat, dan kutau ada titik air yang siap mengalir. Tidak, aku tak boleh menangis. Tidak boleh.
"Hey" Suara itu membuatku menoleh. Pemiliknya seorang lelaki dengan perawakan tampan yang meneduhkan. Ia duduk di sebelahku.
"Aku Martin" Tiba - tiba saja dia berucap. "Maba disini. Kamu maba juga kan? kelihatan dari seragammu. Nama kamu?"
Aku menatapnya ragu, "Dane Pratama, dipanggil Prada"
"Prada? The devil wears prada?" candanya
Aku tidak tertawa,"bukan prada yang itu"
"okey. btw, salam kenal ya." Dia tersenyum, indah.
Aku mengangguk lalu kembali menatap langit.
"Mengapa kesini?" tanyanya tiba-tiba
"Lagi pengen aja."
"oh ya? aku punya saudara perempuan. kalo lagi sedih biasanya dia menyendiri kayak kamu."
Aku meliriknya sebentar tanpa menanggapinya.
"Yah, sikapnya kayak kamu jg kalo lagi sedih dan punya masalah. Jutek gitu."
Aku tetap tak menanggapi, menganggapnya sebagai angin lalu yang bakal pergi juga nantinya.
"Sedang punya masalahkah?"
Aku menoleh, "Jangan kepo dan merasa tau. Aku bahkan baru saja mengenalmu dan sekarang kau bertingkah seolah tau siapa aku."
"Loh, bukannya kamu Prada? Aku tau siapa kamu. Anak baru gede yang sedang galau entah karena masalah apa, dan bertingkah melankolis seolah yang punya masalah cuma dia. Introvert, ga pengen curhatin masalahnya dan dipendam sendiri sampai menyalahkan pihak lain atas masalah yang menimpanya. Kamu prada dan aku baru saja mengenalmu, namun aku tau kamu sedang terbebani. Bukannya mau sok ikut campur tapi sekuat apapun orang, mereka tetap perlu punggung untuk bersandar dan jemari untuk digenggam. Aku, merasa kau membutuhkannya dan aku mau menjadi teman berbagimu meskipun cuma buat hari ini saja. Lepaskanlah, maka kau akan lega"
Aku tertegun namun tak bergeming, "lalu mengapa harus kepadamu? mengapa tidak ke oraang lain saja aku berbagi?"
"Lalu siapa orang lain itu, punyakah kau orang lain di kota ini untuk situasi seperti ini?"
Aku terdiam, lalu entah kenapa hangat itu mengalir. Jatuh dari pelupuk mataku dan mengairi garis wajahku. Aku tetap diam dan air mataku terus mengalir.
Kemudian dia memelukku, "Semuanya akan baik-baik saja"
Ulangnya terus hingga isakku berhenti.
###
Ada apa denganku? Aku baru saja bertemu dengan seorang asing dan kini kami sudah seperti berteman lama. Aku yang dulu sulit sekali berbagi cerita, tiba-tiba saja merasa nyaman ketika lelaki ini mendengarkanku mencurahkan segalanya.
"Mau pesan apa?" Tanyanya sembari menyodorkanku menu.
"Nasi goreng seafood saja"
Kemudian dia berbicara dengan pelayan lalu berpaling padaku.
"Bagaimana?Plong?"
Aku mengangguk kecil.
"Hahaha kau ini, cengengnga gak ketulungan." Dia tertawa.
Tawanya merdu. Dan aku tersenyum dengan malu.
"Kalo boleh tau, mengapa dipanggil prada? bukankah Dane bagus?"
"Nenekku senang menyingkat nama-nama cucunya. Setiap cucu pasti disingkat namanya sama nenek. kebetulan kalo namaku disingkat dari Dane ke Pratama, jadinya kan lucu. Makanya nenekku memutuskan menyingkat namaku dari nama akhir ke awal. Keluarga yang lain kebtulan juga suka dengan singkatan itu. Sekarang jadi nama panggilan akhirnya"
"Berarti kalo namaku di singkat, Martin Hoswary, Jadinya Maho."
Mendengarnya aku tertawa. Dan diapun ikutan tertawa. Hingga tiba tiba ponselku berdering.
Panggilan dari ibu.
"Ya bu?"
Dari seberang sana yang kudengar hanya isakan tanpa jawaban. Saat itu aku tau segalanya tidak baik baik saja. Namun aku sekaligus juga menyadari bahwa hatikupun sedang berbunga oleh Lelaki dihadapanku.
Aku seperti disodori Mawar berduri. Suka namun menduka.
#TBC#
Mohon penilaiannya :-)
@lulu_75 iya
Ayo dilanjut ceritanya.
Akhir tahun - Awal sebuah rasa
Di cafe ini, kembali kami berkumpul. Disebuah meja berbentuk persegi panjang dekat jendela kaca, aku dan mereka bersama bergelas kopi menanti penghujung tahun. Tak ada diantara kami yang kembali ke kampung halaman, semuanya tetap di kota ini, memutuskan untuk menahan diri.
Mereka bercanda dan sesekali aku ikut tertawa, namun selebihnya aku berkutat dengan laptopku. Mengetikkan berbagai macam kata, membentuk rangkaian yang berasal dari penjelajahan imajinasiku. Aku yang senang berkhayal ini memang menyukai dunia tulisan, entah itu fiksi maupun nonfiksi. Aku menyukainya, sebab ketika aku larut dalam bacaan dan tulisan, ruang hampa dalam diriku seolah olah buyar. Aku merasa hidup.
Dari sini aku juga beberapa kali melirik Martin, yang tertawa dan bahagia. Aku tersenyum, ikut merasakan desiran bahagianya.
"Hey congek" suara itu, mengusikku lagi.
Aku meliriknya. Tak merespon.
"Ngapain senyum senyum aja daritadi? Gila?"
"Bukan urusanmu" jawabku sarkas.
Dia melirikku kesal kemudian mengambil gitarnya yang sedari tadi menganggur.
"Dra, Nyanyi ya. Aku yang iringi" ucapnya.
Candra tersenyum saja. Lelaki ini mulai memetik gitarnya sembari melirikku saja.
"Project pop ya, jangan ganggu banci" ucapnya pada candra namun dia melihatku.
Aku tau ia akan mulai menertawaiku lagi, mengejekku dan membuatku kesal. Martin melirikku seolah menyuruhku untuk sabar saja. Ya, tentu. Aku akan sabar. Anggap saja dia tidak ada.
Gitar yang ia petik mulai mengalunkan nada dan Candra bersiap menunjukkan bakatnya. Ketika mereka mulai, ia terus saja memandangku remeh. Menyatakan bahwa lagu itu buatku. Aku takkan peduli meski hatiku kian memanas.
Sabar Da, sabar. Orang sabar cepat dapat pahala. Sabar.
Mereka berdua terus saja asik bernyanyi hingga kemudian di akhir lagu, tepat pada kaliamat jangan ganggu banci, ia menunjukku. Aku menatapnya diam, aku kesal namun aku tak perlu merespon.
Ia yang tau bahwa aku tak membalas, merasa kesal. Sedangkan martin menyunggingkan senyum semangat padaku. Yang lain, tepuk tangan. Mungkin karena dia belum puas, akhirnya dia menhampiriku dan melihat ke laptopku.
"Lo nulis apaan?"
"Bukan urusan lo", itu adalah kata 'lo' yang pertama kali itu juga kugunakan. Menandakan aku tidak menyukai kehadirannya.
"Cih belagu. Sini liat" Dia hendak mengambil laptopku, namun aku tak membiarkannya. Ia tambah kesal dan memaksa untuk mengambil laptopku, sedangkan aku bertahan agar ia tak berhasil.
Akhirnya trjadilah rebut merebut laptop antara aku dan dia. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya laptopku terlepas dari tanganku dan entah sengaja atau tidak dia juga melepas pegangannya. Tidak sampai sepersekian detik, laptopku sudah menghantam tanah. Laptop pemberian ayahku, rusak karenanya.
Aku di ambang batas kesabaranku akhirnya berdiri, menatapnya dalam rasa sakit, "Thanks. Untuk kali ini, aku hanya mau berterima kasih."
Lalu aku pergi meninggalkan cafe, sebelum linangan air mataku kelihatan oleh mereka. Aku terus berjalan, menyusuri jalanan yang sepi menuju kosan. Aku marah, aku kesal, aku.....aku yak bisa apa apa lagi.
Barang terakhir pemberian ayahku akhirnya lepas dari genggamanku. Tak dapat lagi kupertahankan, oleh karena lelaki itu.
Akhirnya setelah berjalan cukup jauh, aku berhenti dijalanan yang benar benar sepi. Terduduk di tepi jalan dan menangis. Menangisi semuanya. Kelemahanku, kesabaranku, dan dia, aku mengutuk segalanya.
Tiba tiba bahuku merasakan sentuhan, aku menoleh dan dia disana. Dia menatapku sendu lalu mengajakku berdiri. Aku tak berkata apa apa, hanya tertunduk. Ia kemudian merengkuhku dalam kehangatannya, dan aku hanya bisa menangis membasahi dadanya.
###
Martin akhirnya mengajakku kembali ke cafe, berkata bahwa Badu sungguh menyesal untuk malam ini. Aku hendak menolak, namun ketika dia meyakinkanku untuk kembali maka aku tak dapat lagi berkata tidak.
"Dia bodoh ya" Ucap Martin di perjalanan kami menuju cafe.
"Bukan hanya bodoh, tapi juga sembrono dan menyebalkan" Ucapku menimpali.
"Kalian ini susah akur memang ya. padahal dulu kalian berdua cukup dekat loh. Tapi kenapa tiba tiba bisa musuhan begini?"
" Entahlah. Dia yang mulai duluan. Mungkin karena dia kurang piknik" ucapku kesal.
Martin tertawa,"kurang piknik ya? kalo gitu kapan kapan kita piknik bertujuh."
"piknik sekalipun ga bakal ngubah dia yang emang kaya gitu. mending dia dimusnahin aja."
Martin tertawa lagi,"Mesti kamu yang musnahin"
Aku mengangguk, entah tanda iya atau tidak.
###
Saat kami tiba, dia tak ada disana. Kemana dia?
Candra segera menepuk nepuk pundakku, "sabar ya Da"
Aku hanya mengangguk. Aku kemudian duduk menghadap panggung, tempat penghibur biasanya berada. Namun yang aku lihat bukan penghibur yang biasanya, yang ada malah Badu bersama dengan gitarnya.
"selamat malam" ucapnya tiba tiba "malam ini saya ingin menyanyikan sebuah lagu. permintaan maaf saya kepada salah satu sahabat saya yang duduk diseberang sana dengan mata sembabnya" dia menunjukku.
kontan pengunjung cafe yang lain melihat kearahku. Aku menunduk malu dibuatnya.
"Saya ingin meminta maaf untuk kesalahan saya. Saya menyesalinya. mungkin luka batinmu takkan pulih tapi biarkanlah saya melantunkan melodi ini untuk menghiburmu yang sedang sedih"
Deg, sesuatu berdetak.
Dia mulai memetik gitarnya dan menyanyikan lagu Bryan Adams - Please forgive me. Aku terpaku. Melihatnya disana bernyanyi untukku dengan dia pula yang menatapku tulus, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Dia menjadi bukan lagi Badu yang sering membuatku kesal, dia bermetamorfosis menjadi lelaki dengan alunan merdunya. Lelaki yang berharap dimaafkan untuk kesalahannya padaku.
Ketika dia berhenti, tepuk tangan riuh terdengar. Aku entah kenapa terharu. Terharu untuk apa yang barusan ia perbuat.
Ia turun panggung lalu menghampiriku. Dia memberdirikanku lalu memelukku.
"Maaf. Maafkan aku" lirihnya.
Dan jantungku berdetak dengan cepat. Deg deg deg deg. Panas menguar diantara kami.
Aku merasakannya.
#TBC#
@abece lebih enak mention taruh diatas aja,biar gak ngescrol keatas #Reader cerewet
Bang @balaka
Mas @4ndh0
Ka @cute_inuyasha
Ka @d_cetya
@Wita
@Unprince
namanya lucu ya, Prada xD eya, biasain pake kapital di nama. Diksinya juga bagus ya. Oke, lanjut xD