BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Story: Biru dan Merah

11011121416

Comments

  • makin sediiiiiiihhhhh :((
    @JNong emang masternya heartbreaker story =((
  • kepedihan henry membuatku menangis,,,
  • this is really good.. :')
  • this is really good.. :')
  • akankan sebuah ciuman dari cinta sejati bisa membangunkan Henry?
  • apa yang terjadi dengan Henry ... padahal Cliff sudah mulai merasakan suka ...
  • apa yang terjadi dengan Henry ... padahal Cliff sudah mulai merasakan suka ...
  • henry jd pangeran tidur. apa yg akan membangunkannya ciuman dari cliff?
  • henry mati????? :-O
  • edited April 2015
    kembali mengundang @3ll0 @balaka @harya_kei @cute_inuyasha @steveanggara @zakrie @jacksmile @lulu_75


    ---

    PART 4

    Cliff tampak amat sangat kacau ketika Bree bertemu dengannya di apartemen pemuda itu. Namun bukan itu yang menjadi tujuannya saat ini. “Kemas barangmu dan ikut aku.” ucap Bree melangkahkan kakinya masuk. Mengabaikan seruan protes Cliff padanya.

    “Henry membutuhkanmu.”

    “Henry?” tubuhnya bergerak spontan, menarik tangan Breed an sekelebat bayangan terlihat di hadapannya. Hutan, sinar rembulan, malam, dan tatapan mata yang buas. Ia tersentak kaget dan bayangan itu menghilang ketika Bree melepaskan tangannya dengan kasar. Cliff menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Apa yang terjadi padanya?”

    Bree mendelik, tatapannya menusuk. Ia dipenuhi kemurkaan, namun ia lebih sadar diri untuk bersikap lebih tenang. “Kamu berkata seperti itu seolah peduli padanya.” Ucapnya sarkastik. Ia mendecih, meludahkan kemuakannya. Ia kembali melangkah melewati Cliff dan berjalan keluar dari apartemen setelah berkata “Kutunggu di mobil.”

    Cliff termangu di pintu. Ia tidak perlu menuruti Bree, kan? Lagipula apa artinya Henry baginya? Tidak ada, bukan? Tapi kenapa ia merasa sangat gusar. Cliff menyentuh jantungnya yang berdebar tak wajar. Merasa dejavu dengan perasaan yang dirasakannya. Ini bukan cinta, sadarnya. Tapi kekhawatiran.

    Bree memacu mobilnya dengan kecepatan yang melebihi batas wajar. Ia jauh dari kata tenang sejak meninggalkan Henry yang tak sadarkan diri. Secara terpaksa ia mengikuti permintaan Javelin untuk membawa Cliff pada Henry. Awalnya Bree ragu, tidak yakin jika Cliff akan mengikutinya. Namun ia beruntung, Cliff kini duduk di kursi penumpang di sebelahnya.

    Terkadang, Cliff merasakan perasaan aneh. Ia seperti pernah merasakannya, hanya sepersekian detik dan perasaan itu menghilang tak berbekas. Dan terkadang pula ia seperti terjebak dalam sebuah ilusi yang membawanya pada perasaan itu. Hanya sepersekian detik ilusi buram itu bergerak cepat dan menghilang. Seperti saat ini, ia hanya duduk dengan tidak tenang di mobil Bree. Mempertanyakan keputusan yang telah dipilihnya untuk bertemu Henry. Dan ketika ia melongok ke luar jendela, ia melihat tulip merah, surai tembaga, ciuman, senyuman dan langkah kuda yang menjauh disertai suara Henry yang berkata lirih “segeralah kembali.”

    Sebuah tamparan menyambut Cliff pertama kali di rumah Henry. Wanita ayu yang mirip Henry itu menatapnya murka dengan maniknya yang kelam dan basah oleh air mata. Cliff tak berkata apapun ketika wanita itu meraih kemejanya, menangis di hadapannya. “Kau membuatnya menderita. Ia mencintaimu dan kau—“

    Pria bertubuh tegap itu meraih tubuh istrinya, membisikkan ketenangan. Sejujurnya, ia lebih marah dari siapapun begitu si pemilik surai emas muncul di hadapannya. Bahkan terbersit pemikiran untuk membunuh pemuda itu, menembakkan timah panas ke kepalanya. Namun ia tidak bisa membuat Henry bersedih meski pemuda itu kini terbaring tak berdaya. Ia kepala rumah tangga, dan harus bersikap lebih tenang dari siapapun meski amarahnya sudah mencapai batas.

    Bree membawa Cliff ke dalam rumah. Pemuda itu mengikutinya dari belakang. Dan sekali lagi ilusi itu muncul di sana, di hadapan Cliff. Sebuah rumah yang megah, wanita bersurai coklat yang penuh misteri yang tengah mencium kening seorang pria tua. Ia mendengar teriakan yang samar, pria ringkih yang menangis, darah, dan sosok mimpi buruk.

    Cliff berhenti di depan sebuah pintu putih yang tertutup. Kamar Henry, duganya. Bree membukanya lebar, mengedikkan bahu sebagai isyarat baginya untuk masuk. Ia melangkah masuk dengan langkah yang berat. Udara dalam ruangan terasa lebih berat, membuat tenggorokannya kering. Ia melihat Henry yang terbaring di tempat tidur dengan selimut yang menutupi hingga perutnya. Wajah pemuda itu tak sesegar seperti terakhir yang ia lihat. Wajahnya pucat, bahkan bibirnya yang dulu merah kini putih.

    Keringat menetes di pelipisnya. Ini apa? Lagi-lagi ia merasakan dejavu.

    Ketika langkahnya semakin dekat, ia melihat sebuah taman belakang yang menghilang dalam satu kedipan. Dan ketika ia telah berdiri di sisi Henry, napasnya tiba-tiba terasa sesak dan tubuhnya terasa basah oleh keringat. Ia melihat malam, rembulan, mendengar suara jeritan seorang pria, tangisan seorang wanita. Ia melihat sebuah pedang tertancap di dada Henry, tepat di jantungnya. Dan perut Cliff terasa amat ngilu. Ada perasaan terluka yang tiba-tiba merasukinya.

    “Henry?” lagi, ilusi itu kembali menghilang.

    Cliff duduk di sisi tempat tidur, menyentuh tangan Henry yang dingin. Ada sebuah cincin perak polos tersemat di jari manisnya. Seperti sebuah cincin—

    “Kami bertunangan.” Bree melangkah masuk, menunjukkan jari manisnya yang juga tersemat cincin yang sama. Pria yang kini mengikat rambutnya itu berlutut di sisi tempat tidur, mengelus kening Henry dengan sayang. Tatapan teduhnya tak lepas dari wajah pucat itu, meski tersirat kesedihan yang dalam di sana.

    “Dia yang memutuskannya. Tapi aku tahu dia tak menginginkannya. Hingga akhirnya dia seperti ini.” Bree menoleh pada Cliff yang menunduk menatap jemari Henry. “Kamu seharusnya tahu bahwa kamu beruntung, Cliff.” Bree melepaskan cincin perak itu dari jemarinya dan meletakkannya di sebelah tangan Henry. Ia berdiri dan beranjak pergi setelah berkata “Jangan sia-siakan kesempatan yang kuberikan.”

    Awalnya ia ragu, namun Cliff mengambil cincin itu. Ia menatapnya dan merasa bingung pada dirinya sendiri. Apa yang telah dilakukannya hingga sejauh ini? Apa pula yang akan dilakukannya pada cincin ini? Ia tidak mengerti, sungguh. Kepalanya terasa amat pusing. Ia bisa saja pergi, bersikap tidak peduli, lagipula Henry bukan siapa-siapanya kan? Tapi bayangan pedang yang yang menancap itu membuat dadanya kembali ngilu, dan cincin itu berakhir di jari manisnya.

    Cliff meraih tangan Henry yang terasa amat dingin. Menautkan jemari mereka. Lagi-lagi, sekelebat bayangan itu terlihat di hadapannya. Henry dalam pelukannya, pedang yang menancap di dadanya, Henry yang tersenyum, tubuh yang berwarna kelam bagai arang dan menjadi asap, ia yang meraung, memeluk dirinya sendiri.

    Cliff tidak mengerti ketika dadanya tiba-tiba terasa nyeri. Ada perasaan terluka, kepedihan dan kehilangan yang menyesakkan di sana. Ia mendengar suara yang samar memanggil namanya.

    “Cliff…”

    “Ya, my dear?”

    “Kau mencintaiku?”


    Anehnya, air matanya mengalir untuk alasan yang sulit ia pahami. Ia menunduk mendekatkan wajahnya pada Henry. Ia mengecup kening, puncak hidung dan bibir Henry yang dingin bagai es yang beku. Ia menarik napas dan berbisik “Aku selalu mencintaimu, sampai kapanpun.”

    Cliff tersentak, terkejut ketika telah mengatakannya. Kenapa ia mengatakannya? Untuk apa?

    ***

    Henry merasa tenang, ringan tanpa beban. Matanya terpejam, namun mampu merasakan perasaan nyaman yang teramat sangat. Bagaikan tidur berbantal bulu angsa yang empuk. Tubuhnya terselimuti oleh kain yang tebal, hangat dan nyaman. Mulutnya menghelakan kelegaan.

    Terkadang ketika ia membayangkan tengah berada di ladang bunga, semerbak lavender, mawar dan melati yang saling berganti tercium di hidungnya. Ia bahkan bisa merasakan hangatnya matahari musim panas dan hembusan angin hangat yang membelai wajahnya.

    Segala keinginannya terwujud pada semua inderanya.

    Ia merasakan kedamaian.

    Namun tangan kanannya tiba-tiba terasa dingin. Di telapaknya, di antara jemarinya, ia bisa merasakan rasa dingin yang menusuk bagai duri. Hingga ketika terasa hangat dan panas, ia menjerit kuat. Kedamaiannya menghilang dalam sekejap mata.

    Henry gelisah, dan matanya yang tertutup bergerak liar. Tubuhnya menghentak, namun tak mampu bergerak. Suara dentingan besi mengingatkannya pada suara rantai. Yang membuatnya sadar, seluruh tubuhnya terikat oleh rantai besi. Ranjang yang empuk dan padang bunga kini berganti menjadi kegelapan yang pekat.

    Ia bergumam dan menggeram dengan rahang yang mengatup rapat ketika rantai ditubuhnya bergerak. Ia ingin membuka mata, tapi kelopaknya tak mampu terbuka. Dan rantai melilitnya semakin erat.

    Dalam pikirannya terlitas bayangan yang terkadang buram, samar, dan muncul hanya sekejap. Terkadang ia melihat siluet keemasan, setelan resmi dan suara musik yang samar. Sedetik kemudian ia melihat sepasang lautan, setangkai bunga merah dan malam yang gelap. Kemudian berganti menjadi rembulan yang perak, genggaman tangan, dan suara pemuda yang mampu menghentak debaran nadinya.

    Bayangan itu terus berganti, bergerak dalam kecepatan yang sulit tertangkap oleh pandangan namun membuat kepala Henry seolah akan meledak. Ia berteriak, dan dari kelopaknya yang terpejam rapat cairan hitam kental mengalir di kedua pipinya.

    Hingga bayangan itu berhenti di suatu malam. Napasnya meliar. Ia bisa merasakan kepedihan, kelegaan dan rasa sesal. Debaran di dadanya bergerak semakin lambat, ketika ia mendengar suara tangis yang pilu.

    “Henry?” seseorang memanggil namanya.

    “Maafkan aku, Henry.”

    “Ini salahmu!”
    Ia menggeleng gelisah. Henry tidak mengerti, namun ada sesuatu dari kalimat itu yang ingin ia tolak.

    “Ya, my dear?”

    “Kau mencintaiku?”
    Henry merasakan napasnya tercekat, dan jantungnya berhenti berdetak.

    “Aku selalu mencintaimu, sampai kapanpun.” Ketika suara itu terdengar, ia kembali menghembuskan napas dan jantungnya kembali berdetak normal. Air mata hitam berhenti mengalir dari matanya.

    Bayangan di kepalanya pecah menjadi serpihan bersama dengan rantai yang mengikatnya. Tubuhnya yang polos terjatuh dan tenggelam ke dalam lautan berwarna merah dan berbau anyir. Kedua tangannya terangkat, berusaha menggapai. Ia tenggelam semakin dalam, sebelum tangan kanannya tergenggam erat.

    Seseorang menariknya keluar.
    ***

    Cliff tertidur. Ia terbangun ketika cahaya jingga menyelinap di antara kelopaknya. Ia mengerjap dan bangkit. Sedikit menguap dan meregangkan badannya yang lelah, menyadari bahwa ia tidur terduduk di sisi tempat tidur Henry. Ia menoleh dan tersentak ketika menyadari Henry kini tak lagi terbaring. Pemuda itu sudah duduk dengan wajah yang tak menghadap padanya, menghadap pada jendela yang membiaskan mentari senja.

    Untuk sedetik pemuda bermata lautan itu tak bergeming, sebelum akhirnya ia berdiri dan berlari ke pintu kamar. Berteriak memanggil Bree, Smith dan Javelin. Mengabari pada mereka bahwa Henry kini telah sadar. Ia tersenyum lega begitu mendengar seruan bahagia dari bawah. Ia berbalik menghampiri Henry, dan langkahnya terhenti saat Henry menatapnya.

    Clifford Scarlet terpana.

    Ia mendengar lantunan musik, suasana euforia, bayangan aula yang megah, pemuda dan pemudi dengan setelan dan gaun yang menawan, sebuah pesta dansa. Dan sepasang manik merah yang menatapnya di antara kerumunan, yang membuat jantungnya menggila. Dan dalam sekedip bayangan itu menghilang. Namun Henry yang tengah duduk di tempat tidur itu, masih menatapnya dengan kedua maniknya yang merah bagai darah.

    Bree, Smith dan Javelin muncul di ambang pintu sedetik kemudian. Sedetik berikutnya Smith sudah memeluk Henry, putra semata wayangnya, dengan amat erat hingga pemuda itu merasa sesak. Javelin terisak di sisi tempat tidur, dan Bree di sisi lainnya mengelus surai tembaga Henry sembari bergumam “Syukurlah.”

    Cliff menghela, lalu mendekat dengan ragu. Setelah perlakuannya pada Henry selama ini, ia ragu pemuda itu akan menerima keberadaannya. Ia akan menerima jika pemuda itu membentaknya, mencacinya dan mengusirnya. Tapi yang perlukan sekarang hanya sedikit pengampunan dari pemuda itu. Ia hanya perlu meminta maaf, tidak peduli jika Henry tak memaafkannya.

    Jadi ketika Javelin dan Bree telah memeluk Henry, melepas kelegaan dan kerinduan mereka, Cliff yang telah berlutut di sisi tempat tidur Henry meraih tangan kanan pemuda itu. Menggenggamnya erat, menatap sungguh-sungguh manik merah pemuda itu yang membuatnya kembali merasa dejavu. Ia menelan ludah gugup dan berkata dengan tulus “Henry, aku minta maaf.”

    Henry terdiam cukup lama, menatapnya dengan kening yang mengernyit. “Maaf, tapi…” pemuda itu menarik tangannya dari genggaman Cliff, dan kalimat berikutnya yang terlontar dari mulut Henry membuat perut Cliff seolah dihantam dengan keras.

    “… Anda siapa?”

    END
  • Sekali lagi, terima kasih kepada semua yang sudah membaca, memberi komentar, kritik dan saran.
    terima kasih pula kepada yang namanya rela saya mention sepanjang waktu. haha
    semoga kisah terakhir ini menghibur.
  • lah akhirnya henry yang ga inget
  • lah akhirnya henry yang ga inget
  • yah... saling ngk bahagia dong
  • yahhh kenapa akhirnya malah henry yg gak inget,,, ada lanjutannya kan??? ada kan? ada donk?
Sign In or Register to comment.