BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Story: Biru dan Merah

11011131516

Comments

  • keren bikin lanjutannya dunk di kehidupan yang kedua, endingnya ga terduga
  • waaw. top bgt. aku juga sangat merindukanmu tees. hehehe.
    ending yg wawawiwaw
  • waaw. top bgt. aku juga sangat merindukanmu tees. hehehe.
    ending yg wawawiwaw
  • Cerita ini saya tulis semalam.
    Maaf karena saya menyeret anda sekalian:
    @3ll0 @balaka @harya_kei @Tsu_no_YanYan



    ----



    Biru dan Merah: Kesempatan Kedua

    PART 1

    Clifford Scarlet merasa hidupnya akan berantakan. Bagaimana tidak? Pemuda mungil yang entah datang dari mana, tiba-tiba saja memeluknya. Ia nyaris menjadi bahan gossip tetangga apartemennya ketika melihat sosok Mrs. Traford, janda tua di sebelah apartemennya melintas di depannya dengan pandangan menyelidik. Buru-buru ia menarik pemuda yang masih memeluknya itu ke dalam apertemen.

    “Kau gila?” serunya begitu ia telah mendorong pemuda itu menjauh darinya. Niatnya sih ingin menghajar pemuda itu, tapi entah kenapa ia urung mengangkat tangannya. Anggap saja sebagai keberuntungan karena ia merasa lelah.

    “Aku tidak gila. Aku merindukanmu”

    Positif. Pemuda itu gila. Cliff meraih kenop pintu dan membukanya lebar. “Dengar, nak—“ menghiraukan seruan ‘aku bukan anak-anak’ dari pemuda itu “—keluar dari apartemenku sekarang.”

    “Kau tidak merindukanku?” sepasang manik hitam itu menatapnya dengan pandangan yang aneh. Dan senyuman itu membuat Cliff bergidik ngeri.

    “’Aku bilang keluar!”

    “Tapi aku calon penghuni apartemenmu.”

    “Aku bilang—What!?

    “Aku calon penghuni apartemenmu.”

    Oke, Cliff yakin seratus persen, hidupnya akan berantakan.

    Henry bersenandung, menata barangnya di kamar baru yang akan ditempatinya selama ia kuliah. Ia senang, amat sangat senang. Mungkin ia harus berterima kasih pada Bree karena mempertemukannya dengan pemuda separuh hatinya yang mengisi ingatannya sepanjang 18 tahun hidupnya. Ia melirik ke pintu, menggigit bibirnya akibat euforia yang mendadak muncul. Dan senandungnya semakin keras.

    Lain halnya dengan Cliff yang kini terduduk tanpa daya di sofa. Menyandarkan punggung dan kepalanya. Ia memijit pelipisnya ketika pusing melanda. Demi apa, ia akan seapartemen dengan bocah gila yang dengan berani memeluknya dan berkata ‘aku merindukanmu’ di awal pertemuan. Untuk kesekian kalinya ia dilema. Memilih antara mengusir pemuda itu atau hidup seatap hingga kuliahnya berakhir.

    Cliff bisa saja mengusirnya, mencari penghuni lainnya. Namun ia akan butuh waktu yang lama untuk menemukannya. Ia bahkan butuh waktu nyaris setengah tahun hingga seseorang membaca pamfletnya dan bersedia menyewa satu kamar kosong di apartemennya. Tapi ia tidak menyangka bocah gila itu yang akan menjadi teman sekamarnya. Lagipula, ia sudah mendapat uang muka yang dengan tololnya telah ia habiskan lebih dari separuhnya.

    Ia mengerang begitu mendengar senandungan tak bermakna dari pintu terbuka di sebelah kamarnya. Ia menghampiri dan berdiri bersandar pada pintu dengan tangan bersedekap. Melihat betapa semangatnya bocah itu menata bajunya di lemari. “Hei.”

    Henry menoleh dengan mata yang berbinar dan senyum yang lebar. Sejujurnya, Henry memiliki senyum yang manis, andai saja bocah itu tidak gila. “Ya, Cliff?” Henry mendekat dengan langkah yang lebar membuat Cliff mengambil langkah mundur. Takut bocah itu akan memeluknya lagi. Namun Henry berhenti tepat selangkah di hadapannya, dan mata hitam yang berkilau itu menatapnya dengan pandangan yang aneh.

    Kening Cliff mengernyit. “Bagaimana kamu tahu namaku?”

    Henry tertawa pelan, anehnya terdengar gurih di telinga Cliff. “Aku sudah mengenalmu sejak lama.”

    “Apa kita pernah bertemu?”

    “Tidak. Tidak dikehidupan ini. Namun akhirnya sekali lagi kita bertemu. Aku amat senang.” Henry meraih tangannya, menggenggam erat dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Tubuh Cliff mengejang dan bulu kuduknya berdiri. Ini mengerikan, bocah ini sudah gila, ia menerima penghuni gila, pikirnya.

    Dengan kuat ia menghentakkan tangannya dan berbalik pergi ke kamarnya di sebelah. Ia harus menjaga jarak dari bocah itu.

    Henry menatap kedua tangannya, menyatukannya dan menyentuh dadanya yang kini berdebar liar. Ia nyaris menjerit bahagia. Meski sosoknya kini berbeda, namun ia masih bisa mengingat besarnya tangan itu, tekstur dan rasa hangat saat menyentuhnya. Ia masih bisa mengingatnya. Dan kembali merasakannya membuatnya ingin menangis.

    Meski kini Cliff tak mengingatnya, Henry yakin suatu saat ia bisa membuat pemuda itu kembali padanya.
  • waaah ada kelanjuatannya.

    Ayo Henry raih hati Cliff lagi.

    Eh ya mata Henry hitam ya sekarang?
  • wah asik, lanjutanya, ayo henry semangat dapetin cliff
  • ahirnya dilanjut ... Cilff tidak mengenal Henry ... sepertinya akan terbalik dulu Cliff yang mengejar Henry, sekarang Henry ... dimention ya @JNong ...
  • ahirnya dilanjut ... Cilff tidak mengenal Henry ... sepertinya akan terbalik dulu Cliff yang mengejar Henry, sekarang Henry ... dimention ya @JNong ...
  • @3ll0 @balaka @harya_kei @Tsu_no_YanYan @lulu_75
    maaf, karena alurnya saya percepat. Takutnya saya gak bisa update sering karena kesibukan.

    ---

    PART 2

    Cliff tengah duduk di sofa, menonton TV menikmati acara siang. Tapi ia nyaris jantungan begitu pria gondrong itu tiba-tiba masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam, lalu masuk ke dalam kamar Henry. Ia bisa mendengar suara makian dari dalam. Ingin mengintip, namun tak berani. Tiba-tiba saja pintu kamar Henry terbuka dan suara Henry yang keras terdengar, memaki tanpa henti. Pria gondrong itu berjalan di belakangnya, mengekori dan terus berkata “maaf”.

    “…aku heran kenapa Dad mempercayaimu.”

    “Maaf, beb.”

    Apa ini? Pertengkaran pasangan gay? Wait! Gay!? G.A.Y!? Oh, Tuhan. Dia menerima teman seapartemen gay.

    Henry duduk di sebelahnya dengan bersedekap. Mendengus kesal beberapa kali, mengacuhkan permintaan maaf pria gondrong itu. Ketika Henry melirik padanya, Cliff tahu itu sebagai isyarat bahaya untuk segera menyingkir. Ia baru saja ingin mengangkat pantatnya, namun Henry lebih dulu menarik tangannya, merangkulnya erat.

    “Bree, lihat! Ini Cliff.” Henry berseru ceria. Kemarahannya menguap entah kemana, tanpa bekas.

    Cliff menelan ludah begitu tatapan tajam mengarah padanya. Pria gondrong yang dipanggil Bree itu menatapnya bagai elang. Cliff segera menyingkirkan tangan Henry darinya, namun Henry memeluk tangannya lebih erat. Sial, ia yakin pria gondrong itu akan mencincangnya.

    “Jadi seperti ini rupa Cliff?” Bree menyentuh dagu, menelitinya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu tersenyum miring. Lebih terlihat tengah meremehkannya.

    Hah?

    Henry mengangguk dengan semangat. Memeluknya lebih erat. “Aku tidak menyangka kami akhirnya bertemu kembali. Aku senang sekali. Kurasa aku harus berterima kasih padamu.”

    Bree tersenyum hingga kedua matanya nyaris tertutup. “Kalau begitu makan malam?”

    “Tentu. Cliff juga harus ikut.”

    Cliff bisa melihat senyum Bree menghilang. Meliriknya dengan tajam, berharap tatapannya mampu membunuh Cliff. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Sial. “Aku gak bisa ikut.” Tolak Cliff, menyingkirkan tangan Henry. Pemuda itu menatapnya sayu. “Banyak tugas kampus yang harus kukerjakan.” Lalu ia beranjak dan pergi ke kamarnya.

    Cliff merutuki diri. Sial, ternyata dia menerima gay di apartemennya. Dia tidak bisa mengusir bocah itu begitu saja, karena ia tidak mungkin dan tak mau mengembalikan uang yang telah ia terima. Kecuali— ia harus membuat bocah itu pergi dengan keinginannya sendiri.

    Melihat Henry yang tiba-tiba tak bersemangat, Bree segera duduk di sebelah pemuda itu dan merangkulnya. “Kita bisa makan berdua saja tanpa Cliff. Oke?” yang dibalas dengan anggukan lemah oleh Henry.

    ***


    Sialnya, membuat Henry pergi adalah hal yang sulit. Dan faktanya, pemuda itu tak pernah berhenti mendekatinya. Pemuda itu akan selalu bercerita banyak hal tentang dirinya, kisah ribuan tahun silamnya, dan hubungan mereka, setiap kali mereka berdua bersama di apartemen. Dan telinga Cliff rasanya seperti terbakar karena merasa lelah.

    Henry tahu banyak hal tentang dirinya. Pemuda itu tahu Cliff lebih suka sarapan ditemani susu putih yang hangat. Cliff amat suka tulip merah dan Henry selalu mengganti tulip merah segar di meja setiap paginya. Henry tak pernah memasak sayur hingga matang karena Cliff lebih senang sayur setengah matang, dan tidak bisa dipungkiri masakan Henry benar-benar nikmat. Henry selalu menyediakan bir karena ia tahu Cliff selalu menikmati sekaleng bir setiap malam saat menikmati acara TV. Dan hal-hal lainnya yang membuat Cliff merasa ngeri.

    Dan Cliff sadar ia tidak bisa mengusir henry dengan mudahnya. Karena anehnya, pemuda itu selalu memiliki celah untuk mendekatinya.

    Jadi ia menggunakan cara yang sedikit lebih kasar. Cliff mengundang Vee, wanita yang ia temui di klub, ke apartemennya. Mereka akan duduk bersama di sofa, menertawai acara di TV sambil menikmati sekaleng bir. Mereka tanpa malu akan berpelukan dan berciuman. Dan Cliff tidak melewatkan bagaimana wajah kesal Henry, yang membuatnya merasa menang.

    Namun Henry tak pernah menyerah, dan Cliff menjadi semakin jengah.

    Atau lebih kasar lagi? Tentu saja. Malam itu keduanya pulang larut dalam keadaan mabuk berat. Cliff menghiraukan Henry yang berusaha membantunya. Mendorong pemuda itu menjauh darinya. Cliff membawa Vee ke dalam kamar dan mereka bercinta semalaman di sana. Jika itu sudah terjadi, maka Henry akan membawa selimutnya keluar dari kamar. Ia akan duduk di depan pintu apartemen dan tertidur hingga terbangun pukul empat pagi. Ia hanya ingin menjaga ingatan indahnya bersama Cliff agar tidak dirusak oleh suara-suara yang bisa membuat kepalanya pecah.

    Pagi harinya Cliff dan Vee akan terbangun dalam keadaan hangover parah setiap kali mereka telah melakukannya. Henry akan selalu mengobati Cliff, tidak peduli seberapa terlukanya ia. Setiap kali kuiahnya berakhir, ia akan selalu kembali ke apartemen untuk mengecek keadaan Cliff. Dan setiap kali ia tiba di apartemen, ia menemukan Cliff dan Vee sudah saling berangkulan mesra, bersiap untuk berangkat melakukan hal-hal yang selalu mereka lakukan.

    Namun kali ini kesabarannya semakin menipis dan Henry tidak bisa membiarkan Cliff pergi begitu saja meninggalkannya dengan merangkul wanita lain di hadapannya. Berkencan entah di klub mana, mabuk-mabukkan, dan kembali melakukan hal seperti semalam yang membuat kepalanya serasa mau pecah. Jadi sebelum pemuda itu melewati pintu apartemen, Henry segera meraih tangan Cliff dan menariknya ke dapur.

    “Apa kau tidak pernah ingat?”

    Cliff memutar mata, jengah dengan pertanyaan yang selalu Henry lontarkan padanya. Tidak peduli dengan cerita yang diutarakan Henry padanya dulu, ia bahkan yakin pemuda bersurai tembaga itu hanya membual.

    “Dengar—“

    Henry menciumnya. Cliff terdorong hingga membentur meja makan. Ia bisa merasakan cengkeraman Henry di kedua lengan kemejanya. Pemuda itu menjilati bibirnya, menggigitnya. Cliff tidak mengerti, namun anehnya ia menikmatinya. Ia meraih wajah Henry dan membalas ciumannya lebih dalam. Pergulatan lidah dan pertukaran saliva.

    Hingga ciuman itu berhenti ketika keduanya butuh pasokan udara. Henry menarik diri dan terengah. Matanya berbinar dan bibir yang memerah menggoda menggariskan senyum bahagia. Ia mengingatnya, hatinya berteriak.

    “Kau puas?” ucap Cliff.

    Mata Henry mengerjap. “Apa?”

    “Dengar ya, aku bukan Cliff yang kamu ingat. Aku bukan Cliff yang mencintaimu. Apa sebegitu putus asanya kah kamu hingga menciumku?”

    “Tapi—“ ia mengeratkan cengkeramannya di lengan kemeja Cliff.

    “Jujur saja aku lelah dengan sikapmu yang aneh itu.” Ucapan Cliff bagaikan palu yang menghantam perutnya dengan keras. Cliff melepaskan tangan Henry dari bajunya.

    Tangan Henry terjatuh tak berdaya di kedua sisi tubuh, bersama dengan harapan dan kebahagiaannya yang menguap.

    “Hei, ada apa?” wajah Vee muncul diambang pintu dapur. Cliff menoleh, tersenyum padanya wanita pirang itu dan berkata. “Tak apa, dear.”

    Cliff menunduk dan berbisik. “But thanks. Tadi itu lumayan.” Ia menepuk bahu Henry lalu melangkah menghampiri Vee, meraih pinggang gadis itu dan berlalu pergi.

    Henry terpaku oleh kenyataan. Ia merasakan kakinya begitu tak berdaya. Ia menghampiri meja makan, menahan beban tubuhnya yang terasa jauh lebih berat kali ini. Ia menghembuskan napasnya yang tanpa ia sadari telah ia tahan sejak tadi. Napasnya terengah dan perutnya terasa mual. Ia nyaris tumbang jika kedua tangannya tak menyangga di meja.

    Bahkan kehangatan pelukan itu masih ia bisa rasakan. Henry mencengkeram dadanya yang tiba-tiba terasa ngilu. Seperti ini kah yang Cliff rasakan ketika ia menganggap pemuda itu tidak ada? Sakit. Amat sakit. “Cliff, maaf.” Bisiknya pilu.

    Bayangan wajah Cliff yang memohon padanya, meminta maaf padanya dan memeluknya erat, dari ingatan ribuan tahunnya melintas di depan mata. Ingatan-ingatan seperti inilah yang menjadi penguatnya. Namun sayang kali ini ingatan itu tak begitu kuat untuk menahan air matanya yang sudah menitik, karena sekali lagi, meski di kehidupan yang berbeda, Cliff kembali melanggar janjinya.

    “Cliff, maaf.” Ia mengucapkan kata yang sama di sela isakannya, lagi dan lagi.

    ***


    Dua hari kemudian adalah hari terburuk yang pernah Henry dan Cliff rasakan. Bree yang resah karena Henry tak kunjung mengangkat teleponnya atau meneleponnya, langsung menghampiri apartemen Henry. Ia masuk ke kamar Henry dan terkejut melihat pemuda itu nampak kacau. Oke, tidak sepenuhnya. Tapi mata sembab dan lengkap dengan garis hitam itu membuatnya murka. Henry tidak pernah menangis, dan hanya satu alasan kenapa Henry seperti itu.

    Clifford Scarlet.

    Cliff saat itu tengah berada di dapur, mencari makanan di lemari pendingin. Tiba-tiba tubuhnya di tarik dan wajahnya dipukul dengan keras hingga tubuhnya terdorong membentur kursi dan meja makan. Ia menatap marah pada Bree yang juga menatapnya dengan pandangan yang sama. Dan keduanya berakhir dengan bergulat dan saling tukar tinju di dapur.

    Dapur menjadi sangat berantakan. Kursi dan meja sudah terguling. Dan keduanya masih bergulat di lantai, berusaha menyarangkan satu tinju di wajah. Beruntung Henry segera memisahkan keduanya meski susah payah. Bree dan Cliff tampak sama kacaunya. Pakaian yang robek, bibir yang sobek, rambut yang berantakan, namun parahnya hidung Cliff berdarah.

    “Pasangan sialan,” umpat Cliff. Menghiraukan geraman dan bentakan Bree padanya. Ia mengelap darah di hidung dan bibirnya. “Tiba-tiba memukulku. Dasar gila.”

    “Kamu tidak apa-apa?” Henry hanya berusaha membantu Cliff. Namun pemuda itu mendorongnya kasar, membuat Bree menjadi murka. Nyaris pergulatan itu terjadi sekali lagi andai Henry tak menghentikannya.

    “Kamu ini tidak pernah menyerah ya?” decih Cliff. Matanya yang tajam menatap Henry. “Dua hari yang lalu kamu sudah menciumku. Kali ini apa lagi? Berharap aku tidur denganmu, eh?”

    Bree hendak menerjang, namun Henry menahan lengannya amat erat. Lagi-lagi kenyataannya menghantamnya kuat. Henry menarik napas, menghampiri Cliff hingga jarak mereka hanya selangkah kaki. Henry tak mendongak untuk menatap mata Cliff, pandangannya lurus ke depan. Tiba-tiba Henry membuka atasan membuat Cliff dan Bree terkejut. Ia menjatuhkan atasannya ke lantai. “Jika itu bisa membuatmu ingat, akan kulakukan.”

    Henry baru saja akan menurunkan celananya, namun Bree segera menarik tangannya, mengambil baju Henry dan menyeret pemuda itu kembali ke kamar. Meninggalkan Cliff yang termangu. Bree membanting pintu kamar dengan kasar, mendorong Henry dan mendudukkan pemuda itu di sisi tempat tidur. Ia mendecih, menatap Henry yang kini hanya menatap kosong. Ia memasangkan atasan Henry dan duduk di sebelah pemuda itu.

    "Kupikir ia akan ingat. Tapi—" Henry mendengus geli.

    “Henry..." Bree meraih tangan Henry, menggenggamnya erat.

    “Sepertinya ini tanda untukku berhenti.” desah pemuda tembaga itu.

    Bree meraih bahu Henry, menyandarkan kepala pemuda itu di bahunya dan merangkulnya erat. Ia bisa merasakan bahunya yang basah. Henry menangis, terisak pelan. Air matanya mengalir lebih deras, mengalirkan seluruh rasa sakit dan kesedihan yang selama ini ia tahan. “Bree—ia—tak akan pernah ingat.”

    Pemuda gondrong itu mengelus bahu Henry, berusaha mengirimkan ketenangan padanya, meski mustahil. “Ini—menyakitkan, Bree.” bisik Henry pilu di antara tangisan.

    Dan seharian itu Bree menemani Henry yang tak henti menangis, memeluknya erat. Meski pemuda itu tertidur akibat rasa lelah, air matanya tak berhenti menitik.

    Ia dulu percaya bahwa ingatannya akan menuntunnya pada kebahagiaannya bersama Cliff. Namun kini, akankah ia akan tetap percaya?
  • Bree dan Henry tidak berubah ... sepertinya sekarang Bree suka Henry ya ...
  • Bree dan Henry tidak berubah ... sepertinya sekarang Bree suka Henry ya ...
  • Ayoo semangat Henry, buat Cliff jatuh cinta kepadamu (lagi)
  • penasaran liat cerita Biru dan Merah banyak yg komen n posisinya di atas lg, eh gak nyangka ceritanya lanjut,,,
    thanks @JNong :D
    duh sedih bacanya,,, :((
    jd kebalik sekarang si Henry yg ngejar2 si Cliff
    Love your story @JNong yg semangat ya nulisnya,,, :x :-*
  • suka banget sama cerita mu @JNong maaf selama ini cuma jd pembaca bayangan :)
  • @3ll0 @balaka @harya_kei @cute_inuyasha @steveanggara @zakrie @jacksmile @lulu_75
    maaf, sekali lagi alurnya saya percepat. dan maaf untuk yang saya mention. jika tidak berkenan silahkan layangkan di komentar.




    PART 3

    Hari itu, di hari yang sama dengan perkelahian Bree dan Cliff, Henry memutuskan untuk pergi. Ia sudah mengepak seluruh pakaiannya. Bree sudah menunggunya di lantai bawah, karena Henry menyuruhnya. Ia keluar dari kamar, bertepatan dengan Cliff yang juga keluar dari kamar. Keduanya saling menatap cukup lama, sebelum Cliff melempar pandang.

    Henry menghampiri. Ia meraih tangan Cliff menggenggamnya erat dan menautkan jemari mereka. Ia hanya ingin merasakan kehangatan yang sama seperti yang pernah Cliff berikan padanya dulu. Beruntung Cliff tidak melakukan penolakan, meski rasa enggan tersirat di wajahnya. Namun hanya sekian detik sebelum Cliff menarik tangannya, membuat Henry tersenyum maklum.

    Ia menatap wajah Cliff, menyapu wajah pemuda itu, mengingat setiap inchi wajah yang dulu tak pernah lepas dari pandangannya. Beberapa plester yang tertempel di wajah membuat Henry iba. Pasti sakit, pikirnya. Ia ingin menyentuhnya wajahnya, namun Cliff mengalihkan wajah. Dan Henry tahu, bahwa untuk kesekian kalinya ia ditolak. Ia bisa merasakan nyeri yang sangat di dada. Cliff dalam ingatannya tak pernah menolaknya, namun ia sadar bahwa ingatan dan kenyataan berjalan berbeda.

    Henry menarik napas dalam. Ia menatap manik biru yang enggan menatapnya. “Bolehkah aku bertanya untuk yang terakhir kali?”

    Cliff tak menjawab.

    “Apa kamu mengingatku?”

    Namun diamnya Cliff dan sikap penolakan pemuda itu menjadi jawaban yang jelas untuknya. Henry tersenyum miris. Napasnya menghela. “Terima kasih sudah mewujudkan sosok Clifford Scarlet.” Seperih apapun luka yang ia dapat, ia tak mampu membenci sosok Cliff yang terlanjur ia cinta dalam ribuan tahun. Ia berbalik, menyeret kopernya pergi. Bersamaan dengan pintu apartemen yang tertutup ia sudah memantapkan diri untuk tidak kembali.

    ***


    “Kamu yakin?”

    Henry mengangguk mantap. “Dad pernah bilang kalau ia lebih setuju jika itu kamu.”

    Bree menatap Henry cukup lama, menatap manik hitam yang telah kehilangan cahaya kehidupan. Napasnya menghela dan senyum tipis terukir di wajahnya. Ia mengelus surai tembaga pemuda itu dan dengan tenang ia berkata “Baiklah, jika itu keinginanmu.”

    Henry kini tinggal di apartemen Bree. Semenjak kejadian itu ia telah memutuskan untuk menyimpan ingatan Cliff. Meski tidak bisa melupakannya, meski ingatan itu sering berkelebat tanpa terduga di setiap kegiatannya, ia akan mencoba untuk bertahan. Dan berakhir dengan keputusan untuk mengikat dirinya pada Bree sebagai jalan terakhir untuk menutup ingatannya tentang Cliff.

    Meski ia telah menyibukkan diri dengan perkuliahan dan memutuskan untuk bersama Bree, bayangan Cliff dan ingatan masa lalu dari ribuan tahunnya terasa begitu menyiksa. Jika dulu ia menganggap ingatan ini adalah sebuah hadiah, sebuah anugrah, namun kali ini ia tahu bahwa ingatan yang tertanam di kepalanya adalah sebuah kutukan. Penderitaan yang menyakitkan.

    Keduanya memutuskan kembali ke kota asal begitu semester berakhir. Henry disambut dengan kebahagiaan oleh Smith begitu memberitahukan rencana yang telah ia bicarakan bersama Bree. Smith memang sejak dulu setuju jika Bree yang menjaga Henry. Sementara ibunya, Javelin, hanya tersenyum tipis. Wanita berwajah ayu itu tidak menolak dan tidak pula mengiyakan. Ia hanya memeluk erat putra tunggalnya, meresapi kesedihan yang terpancar jelas di matanya.

    Dan hari itu, cincin pertunangan telah tersemat di jemarinya.

    ***


    Kosong.

    Cliff tak pernah merasa sekosong ini sebelumnya. Apartemennya menjadi lebih lengang, tak berisik seperti biasanya. Ia akan terbangun di pagi hari, seperi hari sebelumnya. Ia akan duduk didapur menunggu rotinya terpanggang. Namun kali ini tak ada susu putih hangat yang mendampingi. Tak ada suara berisik, celotehan pemuda bersurai tembaga di hadapannya.

    Harusnya ia senang, kan?

    Vee yang telah terbangun mengikuti jejak Cliff. Ia akan memeluk pemuda itu dari belakang dan mencium pelipisnya. Namun anehnya Cliff tak membalasnya seperti biasa, tak memberikannya ciuman pagi di bibir. Pemuda itu hanya mengunyah rotinya dengan lambat, amat lambat. Sebelum akhirnya ia berkata dengan tegas “Keluar dari apartemenku!”

    Vee tersentak kaget. Ia mundur, menatap tak percaya pada Cliff, sebelum akhirnya ia paham. Ia hanya bagian dari lingkaran permainan Cliff untuk menjauhkan Henry dari hidup pemuda itu. Dan begitu pemuda itu telah pergi, Cliff membuangnya. “Bajingan,” desisnya yang dihiraukan Cliff. Vee berbalik, mengambil jaketnya dan pergi dengan apartemen yang dibanting kasar.

    Cliff mendengus dan membanting roti panggangnya di piring.

    Jika dulu tulip merah dalam vas kaca di meja itu selalu segar, kini warna merahnya telah berganti menjadi lebih gelap. Layu tak terawat, hingga kelopaknya gugur satu persatu. Cliff meraih vas itu dan melemparnya ke dinding hingga pecah dan kelopaknya berhamburan di lantai yang kini basah. Ia mengusah rambutnya, menghembuskan napas frustasi. Ada apa dengan dirinya? Ia sungguh tidak mengerti.

    Dan ketika malam datang, Cliff akan minum berkaleng-kaleng bir di depan TV yang gelap. Berusaha menyingkirkan tatapan Henry dari kepalanya, dan suara Henry dari telinganya yang tak henti bertanya “Apa kamu mengingatku?”

    Ia tidak menyukai pemuda itu, tidak mencintainya seperti yang Henry katakan mengenai Cliff dari masa ribuan tahun silamnya. Tidak, ia hanya— meski begitu sulit untuk diakui, Henry berhasil menghantuinya. Mempengaruhi pikirannya dengan membayangkan sosok pemuda itu dengan segala tingkah dan pendekatannya.

    Cliff tidak menyukainya, namun ia merindukan sosok Henry berada di apartemennya.

    ***


    “Kita bertemu lagi, Henry.” Sosok bersurai putih perak itu berlutut di depan Henry yang kini duduk menekuk lutut, menyembunyikan wajah di antara lututnya. Sosok itu tersenyum, mengelus rambut Henry dengan lembut.

    “Menyakitkan, Henry?” suara tumpang tindih itu kembali terdengar.

    Henry tak menjawab. Ia memeluk lututnya semakin erat. Sosok itu mendekat, memeluk Henry hingga aroma musim seminya tercium di indra penciuman Henry. Ingatannya mengenai Cliff yang mencintainya tiba-tiba menyeruak, membasahi netranya. Dan ingatan Cliff yang menolaknya menghancurkan hatinya dengan mudah. Ia terisak, menangisi dirinya, nasibnya yang menyedihkan.

    “Dia bukan Cliff.” Suara Henry teredam. Ia mengangkat wajahnya yang telah basah oleh air mata, menatap pilu pada sosok pucat di hadapannya. “Sosoknya memang sama, tapi dia bukan Cliff.”

    “Cliff berjanji mencintaiku, dia… dia akan selalu mencintaiku.” Isakannya terdengar lebih keras dan pilu. Kedua tangannya kini mengusap wajahnya dan menjambak kasar rambutnya akibat frustasi yang telah menumpuk. “Tapi dia— Dia bukan Cliff.”

    Sosok itu kembali memeluknya, mengirimkan aroma musim panas yang menenangkan hingga isakan Henry mereda. Namun air mata pemuda itu tak berhenti mengalir. “Henry, apa yang kamu inginkan?”

    Henry menarik napas, mengusap air mata. “Aku ingin siksaan ini berakhir. Buatlah hatiku berganti mencintai orang lain. Hapus ingatan ini dariku.”

    Sosok itu meraih wajah Henry, dengan mata pucatnya menatap mata Henry yang penuh luka. “Maafkan aku, Henry. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu untuk mengubah perasaanmu karena semuanya tak akan berakhir baik. Dan aku tidak bisa menarik permintaan yang telah kuberikan.” Ucapan sosok pucat itu memupuskan harapan Henry. “Tapi ada satu yang bisa kulakukan?”

    Henry mengangkat wajah. “Apa? Apa itu?”

    “Tapi dengan konsekuensi yang amat berat. Apa kau akan menerimanya?”

    “Katakan! Jika itu bisa membuat penderitaan ini berakhir, akan kulakukan.”

    Sosok itu mendekatkan wajahnya pada Henry dan berbisik. Henry tersentak kaget, sebelum akhirnya ia mengangguk pasrah. Jika ini bisa menghilangkan rasa sakit bagai mencabik seluruh tubuhnya ini menghilang, akan ia lakukan. Dan sosok itu tersenyum penuh misteri.

    ***


    Pagi itu Bree terbangun lebih awal. Ia mengecup kening Henry yang tidur di sebelahnya, seperti yang biasa ia lakukan dan pemuda itu akan terbangun. Tapi tidak pagi ini. Ia berusaha membangunkan Henry, namun usahanya tak membuahkan hasil. Ia yakin sesuatu tengah terjadi pada Henry. Ia tidak yakin sepenuhnya, namun sosok Henry yang tiba-tiba pucat membuatnya takut. Namun anehnya, jantung Henry berdetak dengan normal.

    Smith dan Javelin tiba dengan tergesa dikamar putra tunggalnya begitu mendengar seruan Bree. Wanita ayu itu berteriak histeris begitu melihat sosok putranya pucat.

    ”Berikan aku jiwamu.”

    Henry tidak mati, tapi ia mengalami tidur yang panjang.
Sign In or Register to comment.