BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Black Book (Story Of Love)

1121315171822

Comments

  • @ularuskasurius hwaaaaaaaaaaaaaaa kadihn tomiiiiiiiiiiiiiiiii.. smga dia dapat kebahagiaan. amin, cetarr... klo lnjut keep mention ya????????????
  • Mensen aku donx
  • Blm update to
  • Uda Ular kemana?
  • uda, ini kapan di update?
  • edited April 2015
    @doniperdana as u wis
    ***

    “Hei kalian! Bangun! Subuh sudah hampir masuk!” Lapat-lapat aku mendengar suara seseorang dan sebuah tangan yang menggoyang-goyangkan badanku. Aku merasakan Adit masih memelukku dari belakang. Perlahan-lahan aku bangun. Ku pandangi si pemilik suara, sontak aku kaget dan dengan cepat aku bangun dari tidurku.

    “Oh Pak Malin, maaf kami ketiduran disini!” Aku menggoyang-goyangkan tubuh Adit.

    “Apa sih, Tom? Masih ngantuk nih!” Hihhh, ini anak. Pak Malin Malelo menatap kami sambil tersenyum. Dia mengucek-ucek kepala Adit.

    “Nak, ayo pindah ke dekat dinding sebelah kiri. Dekat sana saja tidurnya. Sebentar lagi shalat Subuh akan diselenggarakan!” ujarnya lembut.

    “Huhhh, berisik banget sih! Dosa tau’ bangunin orang yang sedang tidur!” Adit bangkit dari tidurnya dan melotot ke arah Pak Malin. Aku jadi tidak enak sama Pak Malin yang sesaat wajahnya berubah begitu mendengar kata-kata Adit. Namun kemudian dia berdiri meninggalkan kami. Tidak lama setelah itu, adzan subuh berkumandang. Rasa kantuk yang tadi menyerang langsung lenyap.

    “Huhhh, suaranya ga’ bagus! Mending aku saja deh yang Adzan!” Tiba-tiba Adit kembali meracau membuatku kembali melotot ke arahnya. Geram melihatnya yang sedikit tidak sopan menurutku.

    “Adit, kau apa-apaan sih? Tak ada hormat kau sama orang tua!” Bisikku sambil menyikut lengannya.

    “Yee, emang kenyataannya begitu! Mau diapakan lagi!”Balasnya sambil mengangkat tangannya ke atas membentuk gerakan menggeliat. Terdengar bunyi ototnya yang bergemeletukan.

    “Emang kau bisa Adzan?” tanyaku sangsi dan memandang sedikit sinis ke arahnya.

    “Tidak bisa aku! hahaha!”

    “Kau banyak gaya! Suka berlagak!” Ku pukul lengannya. Kesal sekali aku melihatnya.

    “Hahaha!” Dia tertawa terbahak-bahak tanpa merasa berdosa sedikitpun. “Huaahhh! Aku masih ngantuk! Tidur lagi yuk!” Adit berdiri dan menarik tanganku.

    “Heiii, ini udah mau shalat subuh! Shalat aja dulu, nanti disambung lagi tidurnya!” Usulku hanya didengar bagai angin lalu oleh Adit. Namun anehnya, aku terus saja mengikuti kemana kakinya melangkah. Aku kembali diingatkan oleh suara hatiku. Yang baik diambil, yang buruk dibuang. Dengan cepat aku menyentakkan tanganku. Adit menatapku tidak suka.

    “Aku mau shalat! Terserah kau mau tidur!” Tanpa mempedulikannya lagi aku segera keluar dari Surau menuju tempat wudhu yang telah disediakan. Namun sebelumnya aku buang air kecil dulu. Udara dingin membuat pipisku lancar keluarnya.

    “Burung kau kecil kali!” tiba-tiba aku dikagetkan oleh Adit yang tiba-tiba telah berdiri di sampingku. Aku paling malu kalau sudah membicarakan hal-hal seperti ini. Dengan cepat aku cuci kepala kemaluanku dan dengan segera menyembunyikannya kembali ke dalam celanaku.

    “Katanya kau tidak akan shalat?” Tanyaku mengalihkan perhatiannya. Karena dia dengan sengaja memandangi bawah perutku. Membuatku sedikit risih.

    “Siapa bilang? Kau suka mengada-ngada!” jawabnya sambil mulai membuang air pipisnya. Dadaku berdebar. Aku tidak mau melihat. Bentuknya juga sama dengan punyaku. Kenapa aku mesti berdebar? Namun mataku tidak sesuai dengan pikiranku. Malah melotot ke arah yang tidak seharusnya untuk aku lihat. Namun dengan cepat aku menguasai diri. Setelah istighfar berkali-kali. Otakku mulai bermasalah sepertinya. Kenapa juga barusan aku membandingkannya dengan punya Bang Nanda. Aku telah membiarkan setan mengendalikan hatiku.

    Aku menyegerakan mengambil wudhu. Ku lihat satu-satu para penghuni kampung sudah mulai mendatangi Surau kecil ini. Rata-rata orang tua yang sudah mendekati liang lahat.

    “Eh, tungguin donk!” Teriak Adit ketika aku melangkah meninggalkannya. Aku berdiri mematung dan memandang wajah tampannya. Wajahnya sudah basah dan terlihat segar. Walau matanya masih sedikit bengkak eperti kurang tidur. Beberapa orang bapak-bapak mulai mendekati tempat berwudhu. Dan mereka mulai buang air kecil berjamaah. Tiba-tiba saja perutku jadi mulas. Ada perasaan sedikit jijik melihat para orang tua tersebut membuka celananya. Ternyata kemaluan lelaki kalau sudah tua benar-benar seperti terung rebus. Mengerunyut.

    “Ayok! Aku sudah selesai!” Adit menarik tanganku menuju Surau.

    Tidak lama kemudian kami sudah tenggelam dalam syahdunya ayat-ayat suci yang dilantunkan oleh Pak Malin Malelo. Aku merasa Adit shalatnya tidak khusuk. Dia dengan sengaja menginjak-injak kelingking kakiku. Dan tanganku pun dia genggam ketika kami sujud. Membuatku juga tidak konsentrasi. Berdosa besar ini budak mengganggu orang shalat. Habis shalat harus aku tegur. Kalau tidak bakalan jadi kebiasaan.

    Selesai shalat, kami melanjutkan doa bersama. Aku larut dalam doa yang kuhaturkan dengan segenap jiwaku kepada Sang Khalik.

    Tuhan, biarkan aku menjadi sahabatnya. Baik di dalam suka dan di dalam duka. Amin.

    Selesai berdoa ku lirik Adit yang memandangiku.

    “Kau terlihat tampan di saat berdo’a!” Bisiknya lembut. Matanya memandangku dengan syahdu. Adit, perlu ya memujiku di saat seperti ini? Aneh sekali anak ini. Tapi, hatiku terasa berbunga. Hiii.

    “Jadi kita pergi menyabit rumput?”

    “Kau tak usah ikut, Dit!” Ujarku tegas sambil membuang muka. Lama-lama bersamanya bisa senewen aku dibuatnya. Ada sesuatu yang salah dengan syaraf di otakku. Yang tidak aku mengerti.

    “Loh, kenapa? Kau sudah janji semalam mau ngajak aku!” Katanya ketus. Aku suka sekali melihatnya merungut gitu. Alisnya seolah-olah menyatu kiri dan kanan, membuat matanya tambah tajam, sempurna.

    “Yeee, mana pula aku ngajak kau! Lagian, aku pergi tuh tempatnya jauh! Kau tak bakalan kuat jalan jauh subuh-subuh begini. Dingin lagi. Keluar peluh hijau kau nanti, Dit! Tak usahlah kau ikut ya?”

    Adit kembali menatapku dengan mata memohonnya. Membuatku tersenyum geli.

    “Apa kau tidak mau menghabiskan banyak waktu denganku, Tom? Waktuku cuma tinggal lima hari lagi! Ntar kau nyesal lho!” Dia memamerkan senyum manisnya. Kalau dilihat dari wajahnya, tidak ada tampang nakal dan bandelnya. Bahkan kalau dia diam, terlihat begitu menggemaskan. Heiii Tom, kau sudah gila, batinku kembali menampar pikiranku.

    “Ya sudah! Tapi nanti kau jangan mewek dan mengeluh. Karena aku mau nyari rumput dua karung!” Ujarku sambil menatap kembali matanya. Tak bosan-bosan aku memandang mata Adit yang dinaungi alis tebal itu.

    “Nah gitu donk! Seorang lelaki itu harus menepati janji!” Dia memukul lenganku. Yang membuatku kembali mengaduh. Karena lenganku sepertinya ada masalah setelah dicengkeram sekuat tenaga oleh Papa.

    “Kenapa, Dit? Aku mukulnya terlalu keras ya?” Adit memandangku cemas. Aku masih meringis.

    “Ga’, sepertinya lenganku sakit karena cengkram….!” Aku langsung terdiam. Tidak melanjutkan ucapanku. Keceplosan. Adit memandangku dengan tatapan menyelidiknya. Tanpa bicara dia mengangkat lengan bajuku. Dan benar saja. Warna biru lebam terpapar jelas di lenganku. Adit kembali menatapku seolah meminta penjelasan. Namun, aku hanya bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain.

    “Ayok, kalo kamu mau ikut! Sebelum keburu siang!” Aku melangkah keluar dulu dari Surau.

    “Tapi, apa tidak sebaiknya kita sarapan dulu?” Adit menarik tanganku ketika kami sudah sampai di jalan besar. Subuh begini biasanya ada satu warung yang menjual ketupat gulai. Tapi aku sedikit cemas kesana. Belanja di kampung tidak lagi begitu mengenakkan. Ada saja yang akan membuatku malu. Kemiskinan dan hutang sudah menjadi imej jelek di mata pemilik warung untuk keluargaku.

    “Ga’ ada duit akunya, Dit!”

    “Udah, biar aku yang bayar. Kau tinggal makan saja! Selama dengan aku, kau tak usah banyak pikiran! Oke teman?” Adit kembali memperlihatkan kemilau senyumnya. Aku tidak akan menolak ajakannya ini, secara aku juga lapar nih.

    Kami masuk ke dalam warung tersebut. Terlihat Mak Linci, sang pemilik kedai menyambut kami dengan tatapan dinginnya. Aku merasa tidak enak. Firasatku mengatakan bakalan ada terjadi sesuatu disini.

    “Subuh-subuh sudah datang ngutang!” Celutuknya antara terdengar dan tidak. Aku yang merasa ditembak, seketika menciut. Aku berdiri di belakang Adit. Adit yang tidak peka, mengambil tempat duduk.

    “Ayok Tom, duduk sini! Ngapain kau berdiri bengong disana?” Ujarnya sambil melambaikan tangan. Aku melangkah dengan ragu.

    “Ketupatnya dua piring, Mak! Pakai kerupuk sanjai!” teriak Adit dengan semangat. Namun seketika wajahnya memerah mendengar ucapan Mak Linci.

    “Kau ada duit tidak? Kalau ngutang aku tak bisa ngasih kau subuh-subuh begini?” Walau dia menjawab begitu tapi matanya menatap tajam ke arahku. Aku jadi semakin gerah. Ingin saja rasanya keluar dari warungnya ini.

    “Astaghfirullah! Macam mana pula Mamak nih jualan! Mak hidangkan saja! Tak usah banyak cakap! Jangankan dua piring, kedai Mak ini sanggup aku membelinya!” Adit kembali berlagak. Aku tidak tahu dia dapat keberanian dari mana bisa berkata seperti itu.

    “Halah, banyak lagak kau! Dengan apa mesti kau beli? Daun?”

    Adit berdiri dari duduknya. Aku semakin tidak enak. Sepertinya Mak Linci sudah salah berurusan dengan siapa.

    “Amak ndak tau siapa awak?” Adit berkacak pinggang di depan Mak Linci.

    “Mana pula aku tau kau siapa! Tapi biasanya yang jadi kawan si Tomi paling-paling anak kampung seberang yang sama saja melaratnya dengan dia!” Mak Linci mencibirkan bibirnya.

    Mendengar itu Adit semakin menggertakkan rahangnya. Dia menatapku tajam, lalu mengedipkan matanya. Aku hanya heran. Apa arti kedipannya barusan?

    “Amak tau Bapak Herman? Toke beras terkaya di kampung ini?”

    Mak Linci menatap Adit sesaat. Dan mengangguk.

    “Bagus kalau Amak tau. Aku ini cucunya! Jadi kalau Amak ndak mau aku persulit, mending cepat sajikan apa yang aku minta!” Adit menghempaskan pantatnya kembali ke kursi kayu. Dan mengedipkan kembali matanya kepadaku. Aku jadi sedikit takut dan segan sama Adit pas tau dia cucu orang terpandang di kampungku ini. Sementara itu Mak Linci yang tadinya sok, berubah menjadi anjing penjilat. Tidak tanggung-tanggung, dua piring ketupat penuh dan tumpah ruah di atas piring.

    “Onde mande, kenapa tidak dibilang dari tadi?” Ujarnya dengan suara dilemah lembutkan, “Berarti anaknya si Rona, yang di Jambi?”

    “Iya Mak! Aku sedang libur sekolah! Jadi kapan lagi aku bisa tahu dengan kampung halamanku sendiri!”

    “Ohh begitu, ya udah! Makanlah sepuasnya! Tapi Mak heran, kenapa pula anak mau bergaul dengan si Tomi ini?” Dia kembali menyerengkan matanya. Ketupat yang aku makan terasa nyangkut di kerongkongan.

    “Loh, kenapa emangnya Mak? Tomi baik anaknya!” Ujar Adit membelaku.

    “Aishhh, bukan masalah baik atau tidaknya. Dia dan keluarganya itu kan terkenal suka ngutang! Aduh, belum lagi dia dan saudara-saudaranya itu suka berantem dan membuat keributan! Pokoknya, mending jauhi saja dari pada jadi benalu!”

    Ucapannya yang seperti racun itu terasa membakar hatiku. Tapi entah kenapa, aku seolah-olah membairkan semua itu terjadi. Karena memang tidak ada yang perlu aku sangkal. Memang kenyataannya seperti itu. Lagian aku hanya ingin tahu reaksi Adit seperti apa setelah dia mendengar tentang aku dari orang lain.

    “Aku boleh nanya sama Mak tidak?” Adit berhenti menyendok ketupat yang hendak dia masukkan ke mulutnya. Dan menatap Mak Linci yang sekarang duduk di depannya.

    “Apa tu?”

    “Mak pernah berutang ke Pak Herman?”

    “Ada!” Jawabnya pendek. Wajahnya langsung berubah keruh.

    “Banyak atau sedikit?” Adit semakin menajamkan matanya.

    “Banyak!” jawab Mak Linci lagi dengan suara tercekat.

    “Sudah lama?”

    “Sudah!”

    “Kenapa Mak belum lunasi juga?”

    “Belum ada uang!” Jawab Mak Linci dengan suara bergetar.

    “Kalau sekarang saya paksa Mak untuk membayarnya, apa Mak bisa memenuhinya?” Adit membuatku kagum. Sepertinya dia sangat suka melihat orang terintimidasi. Aku sudah menyelesaikan makanku. Walau tidak habis, karena selera makanku sedikit berkurang.

    “Aduhhh, jangan nakkk! Mak belum ada uang!”

    “Jadi tolong berhenti membicarakan kesusahan orang lain. Diri sendiri saja tidak terurus, ngapain harus repot memikirkan nasib orang lain! Mak tau, saya bisa saja membuat kedai Mak ini tutup untuk selamanya!” Adit menggertakkan rahangnya. Aku tidak menduga dia bakalan semarah itu.

    “Ap..apa… maksudmu?” Mak Linci tergagau. Tidak menduga kalau percakapannya dengan Adit akan membuatnya kalang kabut begini. Wajah tuanya yang sudah pucat tambah pucat karena takut.

    Sementara itu Adit mengambil sesuatu dari dalam piring ketupat di depannya. Aku bergidik, seekor kecoak terlihat menggantung di tangan Adit. Wajah Mak Linci semakin pucat.

    “Onde nak, tolong…tolong jangan disebar luaskan ke orang-orang kampung, Onde mande, mati den!” Mak Linci terlihat seperti mau menangis. Aku jadi iba dan kasihan melihatnya. Tapi ada kecoak di dalam gulainya, itu sungguh cukup menjijikkan. Perutku jadi mual.

    “Makanya Mak, Mak itu sudah tua. Jadi tolong pikirkanlah segala sesuatu yang membawa manfaat untuk Mak! Ini ga’, malah mulut dipenuhi racun begitu! Ya sudahlah, berapa semuanya nih?” Adit mengambil dompet di celananya. Widiii, aku melihat lipatan-lipatan merah di dalam dompetnya. Ternyata Adit bukan anak orang sembarangan. Aku semakin kikuk dan segan. Mungkin tidak seharusnya aku bergaul dengannya. Aku harus mengubur impianku untuk menjadi sahabatnya. Wajah Pak Herman membayang di mataku. Dia termasuk salah satu toke beras yang cukup disegani dan agak susah kalau sudah berurusan dengannya.

    “Tidak usah bayar, Nak! Mak minta maaf! Mak minta maaf ya?” Walau dia berkata begitu, namun ada kerlingan kemarahan dari Mak Linci begitu dia menatapku. Aku menghembuskan nafas, mengurangi sesak di dadaku.

    “Ya sudah! Kami pergi dulu! Besok ini kalau masak itu hati-hati!”

    “Iya Nak!” Jawab Mak Linci sambil menundukkan kepalanya.

    “Ayok Tom, kita pergi! Lama-lama disini bisa mencret kita nanti! Gulai kok ada kecoaknya! Menjijikkan!” Umpat Adit tanpa perasaan.

    Aku mengikuti langkahnya dengan diam. Menatap punggungnya yang kini berada di depanku.

    Adit, sosoknya begitu menakutkan dan mengejutkanku secara tibat-tiba. Jalan pikiran yang tidak seharusnya dipikirkan oleh seorang remaja yang duduk di kelas 3 SMP. Mungkin Adit ini sejenis manusia jenius, yang sering melakukan sesuatu di batas kemampuannya sebagai anak remaja. Matang sebelum waktunya. Apa benar begitu? Entahlah, sepertinya aku mikirnya yang ketuaan.
  • edited April 2015
    ;
  • Adit kereeen.


    Tomi bakal ikut Adit ke Jambi?
  • Adit . Keren
  • yeaaayyy.. update juga ceritanya. adit te o pe
  • hahaha mampus lo, hidup adit. tp sayang tinggal 5 hari lagi dia balik ke Jambi. Tomi bakal kesepian lagi deh.
  • Duh lama kali uda updetannya, adit keren
  • loh @hyujin, kamu nunggu2 cerita ini??? astaga!

    maaf ya teman, kirain ini cerita ga bagus makanya dilambat2kan updatenya. hihihi
Sign In or Register to comment.