BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Black Book (Story Of Love)

11618202122

Comments

  • makan tuh mak, makanye berkaca dulu
  • makan tuh mak, makanye berkaca dulu
  • Ceritanya keren.!!

    Mention aku ya min !
  • Lanjut!!!
  • “Dit…!” Aku memanggilnya dengan ragu.

    “Ya Tom?” Adit menoleh ke arahku. Ku akui, setelah mengetahui kalau dia bukan orang biasa, bahkan kalau diistilahkan, dia itu seorang cucu hartawan dan itu membuatku menjadi tidak nyaman. Tidak mungkin bagiku untuk terus bersahabat dengannya. Adit mengerutkan keningnya menatapku.

    “Napa lagi kau Tom? Ada masalah kah?” Adit memegang bahuku. Jujur, aku sedikit khawatir membuatnya kecewa.

    “Dit, sebaiknya persahabatan kita sampai disini saja!” Aku menghembuskan nafas lega setelah mengucapkan kalimat tersebut. Adit sesaat wajahnya berubah. Ada kegelapan di matanya.

    “Kenapa? Salahku apa, Tom?” Wajahnya memerah menahan marah. Suaranya terdengar bergetar. Aku memegang tangannya.

    “Kita berbeda, Dit! Kau anak orang kaya. Sedang aku, hanya bagaikan sampah di kampung ini. Aku tidak mau, kalau kau berteman dengan aku, kau tidak akan aman dan nyaman. Tadi kau sudah lihat dan dengar sendiri bagaimana reaksi orang kampung ini terhadap aku dan keluargaku! Aku tidak mau kalau kau berteman dengan aku, nantinya akan menimbulkan masalah. Belum lagi Kakek kau itu orang terpandang dan disegani. Aku tidak mau membuat kekacauan, Dit!”

    Adit kembali menatap wajahku lekat. Terlihat sekali kalau dia tidak suka dengan kata-kataku tadi.

    “Kau ini bongak atau bodoh sih?” Hardik Adit tiba-tiba. Dia mendorong tubuhku dengan kuat. Membuatku hampir terjatuh “ Aku ini laki-laki! Tidak ada kamusnya seorang laki-laki dilarang berteman dengan siapa saja! Tak ada sangkut pautnya kekayaan Kakekku dengan siapa aku bergaul!”

    Aku menundukkan kepala. Tidak menyangka Adit bakalan semarah itu. Dia mendengus dan membelakangiku. Dinginnya udara subuh masih membuatku kedinginan. Aku melipat tanganku. Berusaha meredam rasa dingin yang menyerang.

    “Dit…!”

    “APAAA???”

    Aku terkejut bukan alang kepalang mendengar teriakan Adit. Matanya masih memerah. Tapi, merahnya bukan karena marah, namun dia seperti berusaha menahan sesuatu yang akan mengalir di pelupuk matanya.

    “Sebegitu susahkah bagi kau untuk menjadikan aku sahabat, Tom? Aku tidak minta apa-apa sama kau selain persahabatan! Kalian semua sama saja! Tidak ada yang bisa mengerti aku! Sialan semuanya!” Adit mendorong tubuhku dan sesaat kemudian dia berlari menjauhiku. Aku hendak menyusulnya, namun kakiku terasa berat. Ingin ku teriak memanggil namanya, namun lidahku terasa kelu. Aku merasa sangat bersalah. Ku pandangi sosoknya yang semakin menjauh dariku.

    Dengan langkah gontai, aku mulai menyusuri jalan menuju ke Parak dimana sapiku berada. Aku harus mengambil sabit dan karung dulu untuk membawa rumput nantinya. Aku perlahan-lahan mencoba melupakan apa saja yang baru terjadi. Mungkin ini lebih baik, tidak punya teman dan tidak punya sahabat. Aku tidak mau kalau aku hanya akan menjadi masalah bagi orang lain.

    Jalan menuju ke Parakku masih dipenuhi oleh bebatuan cadas dan tanah liat. Kalau sudah hujan, jalan sering susah untuk dilewati. Aku harus membuka sandalku. Karena jika aku paksakan memakai sandal di jalan yang becek, seringkali sandalku tertinggal dan kalau aku tarik, talinya malah putus.

    Sekitar sepeminum teh, aku sampai di Parak. Aku perkirakan sekarang mungkin sudah pukul setengah tujuh. Nyamuk-nyamuk di sekitar kandang dengan semangat empat lima menyerangku. Mulai dari kaki, lengan, tangan bahkan dengan kurang ajarnya nyamuk-nyamuk hutan tersebut menggigit kupingku. Berdengung dan dengan reflek aku memukul telingaku sendiri.

    “Nyamuk sialan!” Rutukku sambil mengipas-ngipas telingaku yang jadinya panas. Dengan cepat aku membuka pintu kandang. Empat ekor sapi masih terlihat bergolek-golek manja dengan tubuh sudah belepotan kotoran dan kencing mereka. Bau pesing merebak di dalam kadang sempit tersebut. Aku menepuk pantat si Putih. Sapiku itu dengan cepat bangun dari tidurnya. Berdiri sambil mengibas-ngibaskan buntutnya yang panjang. Aku buka ikatan tali yang ada di batang bambu dekat lawak-lawak makannya. Ku giring Sapi besar tersebut keluar dari kandang. Dia terlihat semangat berada di luar kandang. Tali yang jadi gembalanya ku ikatkan di sebuah pancang kayu yang tertanam di tanah. Ukuran tali yang panjang membuatnya mudah melenggang lenggok ke sana ke mari. Mungkin nanti sepulangnya dari menyabit rumput aku akan menggiringnya ke sungai untuk memandikannya. Sudah dua hari si Putih tidak mandi. Tidak terlihat lagi ketampanannya.

    Setelah memastikan semuanya aman, aku segera meninggalkan Parak. Jarak dari Parak ke sawah yang akan aku tuju lumayan jauh. Aku tidak mau membuang masa. Targetku hari ini dua karung. Aku ingin membuat si Putih cepat gemuk. Karena aku sedang butuh uang. Dalam tiga bulan dia harus gemuk dan aku akan panen duit. Membayar hutang-hutang yang menggunung. Setelah ini semua selesai, aku akan keluar dari kampung ini. Aku akan merantau dan akan melanglang buana kemana aku suka.

    Tapi…

    Bagaimana dengan Bunda? Dengan Syaif?

    Aku kembali tercenung jika mengingat kedua orang yang sangat aku cintai itu. Mungkin aku harus berani meninggalkan mereka. Aku harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Walau aku harus meninggalkan mereka untuk jangka waktu yang aku tidak tahu pasti.

    Setelah memastikan Sapiku aman, aku segera mengambil dua buah karung dan sabit tajam yang terselip di dinding kandang. Matahari mulai tersembul lembut, hangat yang tidak berasa. Musim penghujan seperti saat ini membuat semua orang bermalas-malasan. Tak terkecuali Papa dan kedua abang kembarku. Itu bisa dilihat dari sedikitnya rumput yang jadi makanan sapi-sapi mereka. Tapi biarlah itu jadi urusan mereka sendiri, aku lagi tidak ingin memusingin mereka.. Perlahan-lahan aku meninggalkan kandang sapi tersebut. Berjalan menuruni perbukitan yang menghijau oleh pepohonan. Sepanjang jalan, pohon cengkeh begitu mendominasi. Bau bunganya yang harum membaut segar pernafasanku. Ada cengkeh yang sudah siap dipetik, ada juga cengkeh yang baru berbunga. Sepertinya buahnya tidak merata. Bahkan ada yang sudah matang buah cengkehnya. Aku petik beberapa yang sudah matang. Sekitar lima biji. Buah cengkeh pedas-pedas gimana gitu rasanya. Membuat nafas lapang dan mata pun jadi lebih terang dalam melihat. Aku tidak tahu kenapa memakan buah cengkeh membuat pandangan pun sedikit lebih tajam.

    Aku sampai di tepian sungai yang sedang mengalirkan air berwarna keruh. Sepertinya di hulu sana air hujan telah membuat air sungai meluap. Batu-batu besar yang biasanya menyembul besar sekarang hanya terlihat satu-satu. Itu pun untuk batu yang berukuran besar. Huaahh, pasti kalian ngantuk jika terus ku ceritakan keindahan alam ini. Tapi aku terkejut melihat seseorang yang berdiri di ujung sungai sana. Aku ingin memastikannya, karena sosok tersebut sepertinya sedang menunggu kedatanganku. Terlihat dari gayanya yang seperti menghadang. Dan debaran di dadaku bertambah cepat begitu mengetahui siapa orang tersebut.

    “Aku sudah menduga kau akan lewat jalan ini!” Dia tersenyum sinis. Tangannya masih terlipat di dada. Dagunya sedikit terangkat ke atas menunjukkan kepongahannya.

    “Ngapain kau disini!” Aku berhenti di depannya. Menatap wajahnya yang sudah beberapa hari ini menghantuiku.

    “Nunggu kau lah! Siapa lagi? Ayokkk… kau sudah janji mau ngajak aku nyabit rumput!” Dia meloncat dari batu yang di injaknya. Sekarang dia berdiri di sampingku sambil menyeringai lebar.

    “Keras kepala!” Aku memukul lengannya. Rasa sedih yang tadi menghunjam jantungku lumer seketika. Dia merangkul lenganku.

    “Aku tidak ingin kau berpikir macam-macam lagi, Tom! Sepertinya jiwaku sudah kau curi. Tak bisa sedetik pun aku tidak memikirkan kau! Tanggung jawablah kau tu!” Wajahku memerah mendengar ucapannya. Gombal sekali dia. Tapi, apa yang dia ucapkan ini, dia mengertikah? Hatiku harap-harap cemas. Dan aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Perasaan apa ini?

    “Kau melawak saja, Dit! Ayoklah, hari semakin tinggi!” aku menarik tangannya meninggalkan aderah sungai tersebut.

    ***

    “Gila, Tom! Jauh banget! Kakiku terasa pegal dan capek sekali!” Adit merebahkan badannya dihamparan padang rumput yang luas di kaki bukit. Aku juga membaringkan badanku disana. Benar, capek banget. Kenapa juga aku harus membawanya sejauh ini.

    “Makanya aku tidak mau mengajak kau, Dit! Aku sudah bilang kalau daerahnya sangat jauh! Yah salah kau sendiri kalau sampai sengsara seperti ini!”

    Adit memejamkan matanya berusaha mengatur nafasnya. “Aku suka, Tom! Kemanapun kau mengajakku! Asal dengan kau, tak masalah harus berjalan sejauh apapun!”

    Suaranya terdengar bergetar, “Kau sangat pandai membuat kata-kata, Dit! Tapi kalimat kau itu jangan kau tujukan kepadaku! Tak pantas aku menerimanya! Lagian, aku bukan perempuan yang bisa ku gombali! Hahaha!”

    “Kau tak suka mendengarnya, Tom?” Adit menolehkan kepalanya menatapku yang kini berbaring menatapnya. Mata kami saling beradu, dan dadaku berdebar kencang. Mata itu sangat tajam, menembus relung jiwaku. Sorot mata yang mengintimidasiku dengan kuatnya.

    “Aku… Cuma tidak terbiasa mendengar kalimat-kalimat seperti itu, Dit! Kau tahu, sejak bertemu dengan kau, aku merasa tidak tenang! Entah apa yang terjadi dengan perasaanku saat ini!” aku tahu, aku tidak pantas mengutarakan rasa aneh yang bercokol di dalam hati dan pikiranku. Tapi aku tipe orang yang tidak mau tersiksa dan bingung sendirian. Mungkin aku harus mendiskusikannya dengan Adit.

    Adit meraih tanganku. Membawa ke wajahnya. Ku rasakan pipinya yang mulus dan hangat.

    “Aku suka kau, Tom!” Adit mencium tanganku. Aku kembali bergetar untuk ke sekian kalinya. Perasaanku semakin tidak menentu. Darahku bergejolak dengan sangat derasnya. Jantungku berdegup dan aku melayang, ketika wajah Adit semakin dekat. Aku memejamkan mataku dengan jantung yang terus berdebar-debar. Aku serasa mau mati.

    Ku rasakan deru nafasnya di wajahku. Lalu sebuah kata dia bisikkan, “Jadilah sahabat terbaikku! Selamanya!” Ku buka mataku. Jarak kami cuma terpaut lima centi. Matanya menatapku dalam. Aku mendorong tubuhnya dengan pelan. Dia tersenyum. Entah kenapa, aku merasa sedikit kecewa dengan apa yang baru saja terjadi. Apa yang aku pikirkan? Aku merasa malu hati.

    “Tom?”

    “Ya?” aku sudah duduk di sampingnya. Dia memegang bahuku.

    “Kita sahabatan ya?” Adit menjulurkan kelingkingnya. Aku mengaitkan kelingkingku ke jari kelingkingnya. “Aku besok sudah harus balik ke Jambi!”

    Deggg

    Aku tersentak,

    “Kau… balik?” aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Adit mengangguk. Wajahnya terlihat sedih, “Tapi bukannya masih ada beberapa hari lagi kau disini, Dit?” aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku.

    “Aku…” Adit tidak melanjutkan kalimatnya. Dia mendekapku erat. Angin bukit yang berhembus lembut membuat hatiku tambah ngilu. Tanpa ku sadari, sebutir air mata membasahi mataku.

    The Dark Side http://ular-
    kasur.blogspot.com


  • edited April 2015
    update
  • yaaah Adit mau pergi.moga Tomi diajak.
  • bagus om mention plis :D
  • bagus om mention plis :D
  • edited April 2015
    crottt...
  • Yah... adit kok mau pergi sih?
    *siapin ember :'( :'( :'(
Sign In or Register to comment.