BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Kamu dan Secangkir Kopi

edited November 2014 in BoyzStories
Cuma cerita standar. Not even worth to read.



KAMU DAN SECANGKIR KOPI


‘Sebuah Kisah Fiksi Bersandar pada Kenyataan Imajinasi’


Dia terdiam di situ. Ditemani secangkir kopi, ya hanya kopi, dia tidak pernah memesan yang lain bila berada di sana, di meja itu. Dia termenung. Namun pikirannya berlari jauh melewati cakrawala pandangnya. Berkelana liar diiringi sayup lirih melodi yang begitu dikenalnya.
“Ah, lagu ini....” bisiknya dalam hati.
Sorot mata itu seakan tak peduli dengan riuhnya dunia, lembutnya tiupan angin, ataupun muramnya sang malam. Kosong. Jiwanya hanyut dalam pikiran. Terlena akan kenangan senyum dan tawa.
Lho...apa ini. Tangannya terpercik air. Seketika dia memandang ke langit malam yang suram menyandera terangnya bulan. Lho.. sudah mulai gerimis kah? Tetesan air hujan? Entahlah...


***

Malam itu TransJakarta Busway yang terkenal penuh sesak sedang lengang-lengangnya. Tidak lengang-lengang amat juga sih tapi cukup mendingan daripada biasanya. Ah yah....mungkin agak keterlaluan juga bagi warga Jakarta main-main keliling kota selarut ini. Tapi tidak cukup larut baginya. Suntuk, lelah, penat selepas berpeluh kerja membuat malam yang larut seakan sebuah oasis bagi tensi hari itu. Pulang, makan, tidur, oh terasa membosankan bila tiap malam seperti ini. Bonus perut buncit pula.

Tengah menikmati kemuraman lamunan akan perulangan pola hidup yang membosankan, umpatan spontan terlontar dalam hati. Bukan karena menyadari muramnya rutinitas, tapi karena secara kurang ajarnya kaki yang sudah lelah itu masih harus menerima bonus sensara terhimpit berat orang lain.

“Ups ...sorry!” ternyata si empunya kaki yang jadi objek umpatan segera sadar.
Berhubung setengah kesal, sebuah senyum dirasanya sudah cukup menyatakan It’s Okay.
Mereka berdiri di sana. Mengikuti arus jalanan yang kadang ramai kadang lengang. Tanpa kata.

Pertunjukan lampu kota yang seakan berlari menghujam dari balik jendela menjadi sebuah hiburan dari monotonnya perjalanan. Namun di jendela itulah terselip bayangan. Dibangkitkan dengan bertemunya dua pasang sorot mata pada satu titik. Sangat dekat. Membuyarkan persepsi akan rutinitas. Menghadirkan pengharapan akan setitik perubahan. Mungkin. Setidaknya untuk hari itu.
Dia pun menatapnya. Datar....diantara raut tegang dan senyum. Bertatap mata.
“Gue Dio.” dia mempertaruhkan sesuatu yang besar dengan mengulurkan tangannya.
“Gue Rama.”
Dan pertaruhan pun dimenangkan pada hari itu. Oh hangatnya Januari yang dingin.



Siang terbunuh malam. Dan malam pun tak kuasa memudar terganti oleh eksistensi siang yang membalas dendam. Demikianlah takdir untuk sang waktu. Sejalan dengan takdir yang terus berlalu, teriring rasa kasih yang semakin dalam. Apalah kuasa manusia menolak kasih sayang? Hantamlah dia sekuat-kuatnya kalau tak juga semakin lemah sendi ini dibuatnya. Dio dan Rama menjalin kasih yang tak sengaja tumbuh liar dalam rasa mereka. Terlarang, namun nyata adanya. Takdir? Ah hentikan retorika itu.
Sudah beberapa malam terbunuh sejak dinginnya Januari yang terasa hangat. Sudah tak terhitung lantunan ‘Good Morning Love’ milik Arlan terlirih oleh Dio, membangunkan Jiwa Rama beriring sebuah kecupan pagi hari. Tak terkira sudah hari-hari penuh kisah yang terlalui.

Terbalut akan semua kenangan, sepasang kasih itu tengah menatap malam. Meresapi satu sama lain dalam dekapan. Membelah kegelapan dengan terangnya rasa. Mencoba saling mengenal tiap inci kesempurnaan tubuh ini. Namun Dio terpaku pada punggung Rama. Bagian dari kesempurnaan Rama yang menyimpan sebuah cerita. Rahasia akan suatu kisah. Bagian yang membekas, yang tersisa dari sebuah perih di masa lalu.

Tergurat jelas di sana. Bekas luka jahit sepanjang tiga puluh sentimeter. Dio memandang di antara iba dan takjub. Sinar lampu remang sedikit menerangkan malam. Membuatnya kian menampakkan luka itu dengan sejelas-jelasnya. Senyata-nyatanya. Rama pernah disentuh oleh malaikat, pikir Dio.
Bagaimana tidak. Dekap erat Dio tak cukup membuang gelisahnya. Makin lembut Dio membelainya, makin bertambah takut dan ragu dalam dirinya. Ketakutan atas berulangnya perih masa lalu.

“Kecelakaannya udah lama kok. Ga usah khawatir. Udah enggak pernah kambuh lagi sakitnya.” lirih Rama menenangkan.
Namun seindah apapun kata terucap, sesejuk apapun rasa didekap, bayang itu terlalu nakal, merayap membunuh ketenangan dengan perlahan.
“Deket Kampung Melayu. Tengah malam…waktu itu udah ngantuk. Aku enggak nyadar kalau tabrakan. Tiba-tiba aja udah di rumah sakit.” Cerita Rama tentang hari itu. Hari di mana kata nyaris menjadi keterbiasaan. Hari dimana batas menjadi jelas. Garis antara hidup dan mati. Menjadikan trauma yang tak punya akhir. Menjadikan kehancuran sekaligus awal dari sesuatu yang baru bagi Rama. Kecelakaan yang, sekali lagi, nyaris menyudahi cerita.
“Tapi udah lama kok. Udah gak papa.” Rama tersenyum. Senyum yang berbalas makin eratnya Dio mendekap. Dekapan yang menjadi akhir hiasan malam itu. Melegakan…..walau menyimpan bayang takut.

Senyum dan tawa mengiringi sebuah kisah. Kasih itu makin dalam tertanam, mengakar, tak tergapai oleh kemungkinan-kemungkinan kotor yang semu. Perasaan yang tersebut cinta itu begitu murni. Tak terbendung, tak terikat. Terus tumbuh seiring waktu yang berlalu.
“Dimana-mana tuh orang pacaran nontonnya film romantis. Ini malah nonton film monyet.” gerutu Dio begitu keluar dari ruang bioskop. Rama berjalan di sampingnya cengar cengir.
Mereka berdua berjalan menyusuri trotoar di depan Djakarta XXI. Sabang menjadi tempat favorit bagi mereka beberapa bulan terakhir ini. Setidaknya mereka berdua berpikir di situlah tempat yang memungkinkan bagi sepasang hati yang ‘sama’- kalian tahu sendiri lah apa maksudnya-. Tempat untuk sekedar berjalan berdua menikmati sesuatu yang berharga mahal bernama ekspresi.

“Lho….Dawn of the Planet of the Apes kan bagus filmnya. Udah ya…Koba jalan-jalan yuk sini sama Rama.” balas Rama sambil mengusap kepala Dio.
Dio berhenti dan terdiam sejenak. Memelototi Rama yang berdiri di depannya.

Taburan bintang menyelimuti kilauan lampu kota sepanjang jalan menjadi sajian yang pas bagi perasaan mereka malam itu. Sebuah representasi dari ekspresi yang selama ini terpenjara oleh persepsi. Bukan tentang menonton bersama, bukan pula tentang berjalan berdua layaknya bocah sekolah menengah tengah kasmaran. Bukan tentang itu. Tapi lebih kepada terbebasnya belenggu rasa kasih sayang yang mereka rasakan. Sebuah simbol representasi bahwa perasaan ini tidak terbendung waktu, tidak terpenjara oleh situasi, tidak tersandera oleh tempat. Sebuah representasi rasa kasih sayang yang sejatinya bisa diekspresikan dimana saja, kapan saja, dalam situasi apapun. Hanya karena ironi persepsi, ekspresi semacam ini berharga mahal.

Rama terdiam. Dia berhenti berjalan. Dio memandangnya dengan penuh tanda tanya.
“Kenapa kok berhenti?” tanya Dio.
Rama cuma tersenyum dan mengulurkan tangannya. “ Berani gak?”
Dio tahu apa yang dimaksud oleh pasangannya itu. Dia berjalan mendekati Rama. “Sekarang? Di sini?”
Rama mengangguk.
Berjalan sambil bergandengan tangan adalah suatu hal dimaklumi bagi sepasang kekasih. Namun tidak untuk kekasih semacam ini. Ohhh seandainya saja dunia ini terlahir berbeda. Seandainya saja mereka bukanlah tersangka dalam pengadilan ini. Seandainya saja mereka bisa memilih, mereka ingin menjadi bagian dari kewajaran umum itu. Menjadi bagian dalam keteraturan norma sebagaimana mestinya. Namun pemakluman itupun menjadi suatu hal yang mewah bagi mereka. Kasih sayang itu menjadi sebuah tabu, sebuah ironi, sebuah anomali, deviasi bagi cakrawala umum. Pembangkang dari segala dogma.
Dio berdiri di depan Rama dengan ragu. Perlahan tangannya terayun menangkap uluran tangan Rama. Ia menggenggamnya.
Mereka berjalan dalam diam. Genggaman tangan itu sudah menceritakan banyak hal. Simbol dari sebuah dialog tanpa ambigu, tanpa salah paham, jelas dan gamblang. Itulah ekspresi, itulah imaji, itulah deskripsi paling rinci dari ungkapan hati. Menciptakan senyum bagi Dio dan Rama. Tidak hanya di wajah, namun juga di hati dan akar kehidupan mereka.
“Aku mungkin gak bisa janji ngasih yang terbaik buat kamu.” terucap kata dari bibir Dio terlenakan oleh ramainya dialog mereka dalam diam. “Tapi aku janji, aku akan ngelakuin yang terbaik yang bisa aku lakukan ke kamu.”
Sebuah peluk menjadi akhir yang indah untuk malam itu.

Seperti halnya keceriaan yang pernah dirasakan tiap pasangan di muka bumi, rasa pedih kadang hadir, menyelinap di antara suka cita itu. Terkadang karena remeh temeh tak bermakna. Namun kadang karena badai yang tak terkira. Siklus itu adalah sebuah kelaziman dalam tiap representasi kasih sayang. Kekuatan niscaya menjadi trofi bagi mereka yang bertahan. Sebaliknya, kata akhir menjadi cukup masuk akal untuk mereka yang terberai. Begitu pula dengan Dio dan Rama. Ada kalanya tiba masa saat kasih itu membutuhkan pembuktian lebih dari sekedar kata.
“Gak ada cerita kalau udah selesai hubungan kalian masih ketemuan sampai segitunya! Aku gak bisa terima!” teriak Rama.
“Nathan itu Temen. Kamu ga paham? Kami itu sudah enggak ada apa-apa lagi!” balas Dio juga sambil berteriak.
“Ngapain ngajak ketemu sampai segitunya!” Rama masih berteriak.
“Heh! Kamu nggak usah ngatur-ngatur aku ya. Emang kalau udah putus gak boleh ketemu gitu? Urusan kerjaan ini. Kerjaan. Dia pindah kerja, nawarin produk, bisa kubawa juga ke kantorku. Terus kenapa? Gak boleh?” Dio tidak kalah emosinya sambil menunjuk-nunjuk muka Rama.
Masih tidak terima Rama memilih mengemasi tasnya, beranjak keluar dari kamar Dio menuju pintu keluar. Tanpa sepatah kata membiarkan Dio masih berteriak dengan emosinya, dia mengenakan sepatunya sambil bersiap keluar.
“Apa! Kamu kayak gini diajak ngomong malah cabut? Kayak gini sifat kamu!” Dio masih dipenuhi emosi.
“Berengsek lo!” umpat sadam sambil membuka pintu ruangan dan langsung pergi meninggalkan Dio dengan tensi tingginya.
Terdiam penuh amarah, Dio Cuma bisa memandangi pintu keluar. Terhenyak dengan situasi yang tiba-tiba berubah. Membiarkan kondisi ruangan berantakan sisa amarah seharian. Terprovokasi oleh penyesalan akan sebuah prinsip. “Mengapa aku harus terkekang oleh seorang anak kuliahan!!!”

Orang bilang surga itu bukan tentang mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi surga itu tentang mendapatkan kedamaian karena merasa kita sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Well…tidak ada yang tahu pasti mana yang benar. Tapi satu hal, prinsip itu masuk akal juga. Seburuk apapun situasi yang dihadapi oleh Dio, dia selalu tersenyum ketika Rama memeluknya, mengatakan dia tidak sendiri, meyakinkan bahwa Rama selalu ada di belakangnya tidak hanya untuk mensupport, namun memberikan nafas dan detak kehidupan bagi Dio. Rama adalah alasan bagi Dio untuk bergerak.
Sebaliknya, seorang Rama yang kecil, lemah, dan rapuh membutuhkan penyangga, perekat, pilar kokoh yang membuatnya tampak megah bersinar. Ibarat bangunan, Rama adalah sebuah kubah yang megah dan menawan, memberikan pesona dengan berdiri kokoh ditopang pilar dan rangka bernama Dio. Kubah itu tak akan mampu memberikan keindahannya tanpa pilar-pilar yang menjaganya. Tak berbentuk. Tak bermakna. Namun sebaliknya pilar-pilar itupun tak ubahnya sebuah bangunan usang tanpa kubah megah itu. Tak bernilai, tak berharga.
Ironisnya, situasi tak bermakna itupun terjadi. Rama kehilangan bentuk tanpa Dio di sisinya. Dio kehilangan nilai tanpa Rama di pelukannya. Mereka hilang arah. Kehilangan esensi tujuan karena lupa akan prinsip mereka. Pengertian dan harapan.
Terlalu lama tak tentu arah tak ada enak-enaknya. Sudah berhari-hari tak ada penghias mimpi. Sudah lama pahit manis tak berasa. Tawa gila hampir menjadi biasa. Mau sampai berapa lama Dio mengecap rasa ini?
Dio membuka teleponnya. Tak tahan tanpa arah ia coba mencari jawaban.
“Maaf….” lirihnya pelan berbalas isak tangis di ujung sana. Tak banyak bicara, tak banyak alasan.
Mereka menemukan kembali bentuknya melalui kesederhanaan kata. Belum saatnya akhir menjadi masuk akal bagi mereka.

***

“Mas, pesen kopi hitam ya.” Dio mengambil tempat di meja yang sama di kafe itu. Meja yang sama setiap kali mereka berada di sana.
“Kamu kopi melulu. Gak item apa tuh lambung?” celoteh Rama yang duduk di hadapan Dio. “Lagian kan banyak tuh minuman lainnya. Gak bosen apa?”
“Lho…cowok itu kalau ke kafe ya minum kopi lah.” Jawab Dio santai, sekenanya.
“Mas aku Ice Chocolate ya.” Pesan Rama ke waiter.
Sabtu pagi itu cerah. Secerah perasaan mereka yang akhirnya kembali bersama setelah beberapa lamanya terberai oleh ego dan distorsi. Namun jangan tanyakan itu kepada mereka. Adalah keniscayaan otak mereka menafikan kesedihan itu jauh-jauh dari radar ingatan mereka.
“Serius, emang apa enaknya minum kopi terus? Pahit kan.” sepertinya ini jadi bahan penasaran Rama pagi itu.
Dio mengernyitkan dahinya. “Apa ya? Kopi itu unik. Aslinya pahit. Tapi kalau dikasih gula dikit dia jadi enak. Dan rasanya bisa membekas lama walaupun kopinya udah habis diminum dari tadi. Jadi kayak simbol. Yang pahit-pahit cuma perlu dapat perlakuan spesial sedikit aja bisa berubah jadi manis dan long lasting.”
“Ah enakan coklat kemana mana” jawab Rama tak antusias.
Dio cuma tersenyum. “Eh gimana kuliah kamu?”
Pembicaraan pun berkutat dengan kabar masing-masing. Sekedar menjadi bahan untuk membantu otak lebih kuat lagi membuang jauh-jauh kepedihan yang sudah-sudah. Toh mereka menikmati kebersamaan itu. Menikmati ritual Sabtu Minggu mereka seperti biasa. Mengawali hari di tempat yang sama, kafe yang sama, meja yang sama, dan minuman yang sama. Berteman dengan sayup iringan ‘Good Morning Love’ dari Arlan yang senantiasa mengawali hari mereka.
“Ah lagu ini…” pikir Dio.

***

“Iya Tante. Dimana? RSCM? Iya….dia gimana? Iya…saya langsung ke sana!” nada panik terdengar jelas saat Dio berbicara. Telepon itu yang ia takutkan. Separuh raganya lemas kendati langkahnya makin cepat berlari meninggalkan tumpukan berkas yang menjadi tugasnya.
“Tuhan….kumohon….” bisiknya lirih diantara derap langkahnya. Terbayang jelas guratan luka Rama di pikirannya.
Sudah beberapa hari ini hantu itu membayang. Rama makin sering mimisan. Makin sering lagi dia bolos kuliah. Cuma tergeletak lemas di rumahnya. Walau senyumnya terkuai lebar tiap kali Dio menemui, tak tertutup rasa sakit itu oleh senyumnya. Pesonanya terseret bayang kesakitan. Kemegahan sang kubah pudar perlahan meski tak mengurangi keindahannya. Namun semua itu cukup membuat hati Dio hancur. Bangunan itu tak lagi kokoh. Miring menunggu menunggu jatuh dihantam rasa takut.
Rasa takut bertransformasi menjadi bayang realita. Gelisah itu makin nyata diperbudak oleh kenyataan didepan mata. Kabar tak diharap menyapa. Mimpi pun menjadi mewah dan mahal.

Dio berkeringat. Tapi ia tak merasakannya. Tertutup semua dengan pinta semu dalam hatinya. Berharap semua baik-baik saja. Dio berdiri di depan pintu itu. Ditemani seorang wanita paruh baya yang tak kalah kalutnya. Bagaimana tidak. Berjuang sendiri tanpa suami sudah cukup berat. Tak terbayang bila harus lebih menyendiri lagi tanpa malaikat kecilnya yang kini terpisahkan oleh sebuah garis. Batas antara eksistensi dan kehilangan.
“Sudah berjam-jam di UGD. Belum ada kabar. Rama mengeluh sakit di punggungnya. Gak bisa gerakin kaki dan tangannya.” suara itu bergetar. Pertanda selimut hitam tak hanya milik Dio semata. Wanita itu pun sama rapuhnya.
Hanya peluk yang meredakan. Tak banyak mengubah apapun memang….tapi itu cukup.


Hari-hari dijalani Dio tanpa fokus. Tanpa arah. Tanpa nyala api. Dio bergerak lebih cepat, lebih keras, namun tak beresensi. Tidurnya lebih larut. Bangun lebih pagi. Seluruh yang bernama materi telah dialirkan. Telah diuangkan. Telah dihabiskan. Tak ada yang akan mencukupi kecuali mukjizat. Dio membabi buta meluruh tubuhnya. Menghancurkan jiwanya. Membunuh lelahnya. Mematikan rasanya. Menutup bayang materi yang perlahan terkuak. Demi Rama. Demi kubahnya.
Pengorbanan? Omong kosong dengan pengorbanan. Ini bukan tentang itu. Dio tak terlalu muluk-muluk dengan pengorbanan. Dia hanya ingin kubahnya kembali. Dia hanya ingin apinya menyala. Sekali lagi. Untuk selamanya. Dia tak mau sendiri. Mendadak ia menginginkan keteraturan yang membosankan seperti dulu. Setidaknya itu lebih baik daripada kesendirian dan penyesalan yang tak berakhir.
“Hi sayang.” mata sayu itu bertemu dengan raga mungil penuh perih. Nyaris tak kuasa Dio bertahan dari tetes air mata.
Berbalas senyum. Menenangkan. Namun lemah. “Hi juga sayang.”
Dio duduk di sana. Di samping Rama yang tergolek lemas tak berdaya, tak bisa bergerak. “Udah enakan?”
Masih tersenyum Rama mengangguk. Memainkan kebohongan lazim.
Mereka berbincang. Berselimut muramnya kenyataan. Namun hitamnya langit kehidupan itu terusik sebuah cahaya. Cahaya kasih sayang yang tak sekalipun pudar. Alih-alih terbenam, cahaya itu makin terang, perlahan namun pasti memberikan kehangatan di antara dingin dan gelapnya realita. Cukup melegakan bagi mereka.


Sabtu pagi di kafe itu secerah biasanya. Dio di sana sendiri, di meja yang sama, tempat yang sama, minuman yang masih sama, menunggu kabar yang telah tiba. Cerahnya pagi berkawan dengan senyum lebar Dio yang tengah berseri menatap ke rekening tabungannya. Mukjizat itu ada. Nyata. Malaikat itu telah datang dalam bentuknya yang penuh misteri. Seorang kawan lama mengulurkan tangan, menutup ruang materi yang tak mampu ditanggung Dio seorang diri. Harapan itu di depan mata. Kekasihnya akan segera kembali. Segera setelah operasi tulang belakangnya berjalan lancar dan segala biaya telah di tangan, tak ada lagi pintu di antara mereka. Sayang Dio tidak bisa mendampingi Rama saat kekasihnya itu harus kembali berjuang di antara batas hidup dan mati. Proses operasi tengah berjalan pagi itu saat Dio harus mencari penutup ruang materi pembiayaannya. Namun toh apalagi yang mesti diragukan. Semua sudah di tangan sekarang.

Telepon Dio berbunyi.
“Ya Tante?............”
Secepat itu cerah terbit, tak ada yang menyangka terlalu cepat ia terbenam. Suram bermanja menggelayut pada takdir pagi itu. Angin berhenti berhembus. Burung diam tertunduk. Langit mendadak tertutup awan muram. Semua berduka. Mencoba memikul sebagian pilu seorang manusia yang sadar tak ada satupun di dunia yang akan sanggup lagi menyangganya. Rama telah tiada.


***

Kisah telah lama berlalu. Dio sendiri menjalani siang yang tak henti berkelahi dengan malam. Rutinitas itu kembali layaknya Januari yang hangat tak pernah terjadi. Hilang sudah semua esensi namun hari tetap berganti. Lelah sebenarnya jiwa ini bila api telah mati. Tak ada makna. Tak ada arti. Apalah gunanya hari bila hanya tangis yang mengisi. Apa guna tawa dan senyum manis bila pahit yang beresensi.
Disanalah Dio kembali berada. Meja yang sama, tempat yang sama. Ditemani secangkir kopi, pikirannya melayang mencoba meresapi kembali rasa manis masa lalu itu. Ah benar-benar seperti secangkir kopi. Hanya perlu menambahkan sedikit gula, pahit itupun berselimut manis, meninggalkan rasa yang begitu membekas.

Tangannya sedikit berair. Dia memandang ke langit. Lho.. enggak hujan kok. Diapun tersenyum. Menyadari bukan gerimis yang menetes. Ah bodoh bila mengira malam akan menangisi kisahnya. Bukan malam milik Sang Maha Kuasa yang bersedih, namun hanya sekedar mata yang tak cukup kuasa menahan rasa. Mata pun menitikkan airnya.
Senyum Dio pertanda perjalanan liar pikirannya telah mencapai akhir. Membuyarkan lamunan yang pahit namun manis itu. Sorot matanya pun kembali menyala tak lagi kosong. Terlihat jelas jiwanya telah kembali. Sesuatu dalam dirinya yang redup dan belakangan ini semakin redup hampir mati itupun tersulut kembali. Semangatnya.
“Mas, boleh pesen minum lagi?” panggilnya ke waiter kafe.
“Kopi hitam satu lagi mas?”. Sudah hafal itu waiter dengan pesanan favoritnya.
“Enggak. Kayaknya Hot Orange Cocholatenya enak. Boleh nyobain itu?” jawabnya membuat si waiter tertegun sejenak namun kemudian tersenyum
“Hot Orange Chocholate satu. Ada lagi?”

“Aku aja kuat. Masak kamu enggak? Kamu tuh yah beresin itu kamar kamu. Kalau aku udah gak ada entar siapa yang beresin kamar kamu. Jangan kebanyakan kopi juga. Kamu perlu cobain dong rasa lainnya. Kopinya juga gak marah kok kalau sekali-sekali kamu pesen minuman lainnya. Bangun pagi ya. Maaf aku ga sempet lagi telponin kamu pagi-pagi. Tapi jangan dibiasain telat ngantor melulu dong. Kamu kerja baik-baik ya. Maafin aku selalu nyusahin kamu. Tapi aku seneng deh kamu selalu ada buat aku. Kamu pernah bilang kalau kamu ga pernah bisa janji untuk ngasih yang terbaik buat aku, tapi kamu janji ngelakuin yang terbaik yang bisa kamu lakukan. Dan kamu tahu? Kamu adalah hal terbaik yang ada di hidupku. Aku selalu berdoa buat kamu.”
Senyum Rama membayang dalam layar laptop Dio. Pesan terakhir. Kenangan terakhir tentang sebuah kasih dan kisah. Berpijak dan hidup selamanya melebihi keterbatasan realita.


TAMAT


-SenyawaDiorama- 1/11/14
«134

Comments

Sign In or Register to comment.