Cinta ini cinta monyet? Masa iya sih? Hanya karena kita masih remaja, masih bau kencur, mereka serta merta menganggap cinta ini cinta yg akan hilang dengan sendirinya. Tapi kalau cintanya tidak kunjung sampai bagaimana?
Ini cerita tentang Emil yang sejak awal masuk SMA sudah kepincut pada satu orang. Ya, hanya satu, dan masalahnya orang itu adalah seniornya sendiri. Dia berusaha untuk dekat dengan idolanya tanpa ada kecurigaan sedikitpun dari orang lain. Hal yang sulit, apalagi di SMA yang cenderung masih terikat aturan-aturan remaja.
Bisakah dia melakukannya? Apalagi di balik sebuah pertemuan, selalu ada perpisahan yang sudah mengintip seperti sedang mencari kesempatan untuk muncul.
**
Writer's Note: Ini adalah cerita kedua gue setelah When Holiday Greets yang udah kelar sejak bulan April 2014 kemarin. Mungkin update-nya gak bakal secepat waktu bikin WHG dulu, tapi semoga bisa selesai sampai tuntas.
Comments
Dering ponselku membuatku berlari kecil dari kamar mandi menuju meja belajar. Seharian ini aku merasa bahwa setiap notifikasi yang muncul di ponselku adalah penting. Baik SMS, whatsapp, atau BBM, semuanya penting. Tapi kali ini yang membuatku berlari adalah dering tanda panggilan masuk. Tentunya lebih penting karena aku tidak bisa menunda untuk mengangkatnya.
“Halo!” sapaku begitu ponsel mendarat di telingaku.
“Lu abis lari malem?” tanya suara seseorang di seberang. Alvi.
“Ketara banget apa?” aku bertanya balik.
“Desahan lu gak nahan, Mil,” balasnya lalu tawanya meledak entah darimana dia menelponku sekarang.
“Heh malah ketawa. Ada apaan lu nelpon gue?” tanyaku seolah mendesaknya. Ya iyalah, ini udah malam. Sudah lewat jam 10 dan sudah waktunya aku untuk tidur. Meskipun aku harus melakukan beberapa hal dulu sebelum bisa tidur di malam jumat ini.
“Kamu kok belum tidur?” nada bicara Alvi sok lembut, tapi malah membuatku dongkol karena omongannya bakalan gak penting gini.
“Heh cunguk! Serius nih gue. Udah malem nih, ngantuk gue! Ada apaan?!” tanyaku gemas.
Alvi malah ketawa lagi. Kalau saja dia ada di hadapanku sekarang, sudah pasti akan kujitak kepalanya keras-keras karena masih saja iseng ganggu orang malam-malam begini. Apalagi besok ada acara besar yang akan aku jalani. Eh Alvi juga ikut sih.
“Lu udah packing?” tanyanya kemudian setelah tawanya reda. Kudiamkan saja juga berhenti sendiri ketawanya. Telepon lama pun yang habis pulsa dia, bukan pulsaku.
“Belum,” ujarku singkat. Berbohong dengan niatan mau balas dendam. Hehe.
“Lah?” dia kaget. “Udah malem gini belum packing? Besok kan berangkat pagi-pagi banget, Mil!”
“Emang besok ada apaan?” tanyaku sok polos.
“Ah udah kebaca trik lu, Mil. Gak mungkin orang kayak lu belum packing, yang ada juga seharian tadi sepulang sekolah lu udah ribet kayak nenek-nenek,” katanya. Sial. Mission failed! Tapi emang akunya sendiri sih yang tidak bisa berbohong. Biarpun ucapannya bohong, Alvi seperti bisa membaca pikiranku hanya dari nada bicara yang kukeluarkan.
“Iye dah. Terus lu nelpon ngapain? Cuma mau nanya itu doang?” tanyaku lagi. Benar-benar gak penting nih omongan kami berdua dari tadi.
“Iya. Haha. Malem, Mil!”
“Alvi!!!” erangku setengah berteriak, tapi sepertinya sambungan sudah terlebih dulu diputus sebelum suaraku sampai di speaker ponselnya Alvi. Kuletakkan ponselku di tempatnya semula dan duduk di tepi kasurnya dengan perasaan kesal.
Aku kesal bukan karena Alvi. Malah biarpun aku gemas karena keisengannya yang sering tidak terduga seperti ini, aku sedikit terhibur tadi. Ada hal lain yang membuatku kesal malam ini. Membuatku belum tidur dan belum ingin tidur. Aku menghela nafas panjang, siapa tahu bisa meredam rasa kesal ini. Huft.
Kulirik ranselku yang sejak jam tujuh malam tadi sudah berisi baju-baju dan perlengkapan acaraku untuk besok. Sebenarnya aku sudah selesai packing dari jam setengah delapan. Tapi karena perasaan aneh yang ada di hati ini, berkali-kali aku mengganti isian ransel demi membunuh waktu yang semu.
Dia masih belum menghubungiku. Setidaknya SMS, hal yang bisa dikirim paling gampang, apalagi kalau sedang tidak ada koneksi internet. Nihil. Tidak ada apa pun seperti orang itu hilang ditelan bumi. Melihat tidak adanya kabar dari dia membuatku semakin kesal. Seharusnya dia memberi kabar, atau sekedar mengucapkan selamat malam dan memberi semangat untuk acara besok yang tentunya akan sangat melelahkan.
Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS. Disingkat menjadi LDKO, adalah acara tahunan yang diselenggarakan oleh OSIS di SMA-ku untuk penyaringan dan pelatihan kader OSIS yang berada di kelas 1. Aku dan Alvi adalah dua dari sekian puluh siswa lainnya dari berbagai kelas yang akan mengikuti acara besok sebagai peserta.
Ah, mungkin saja dia sedang sibuk mempersiapkan acara. Aku tidak tahu apa jabatannya dalam acara LDKO ini, tapi sebagian otakku yang masih berpikir positif mengatakan demikian. Biarpun dia hanya seksi dokumentasi, mungkin saja dia sedang foto-foto teman-temannya malam ini.
Akhirnya, daripada berpikiran yang tidak-tidak tentang dia, aku memutuskan untuk merapikan baju-bajuku yang masuk kategori ‘tidak jadi dibawa’ dan memasukkan mereka ke dalam lemari. Setelah itu kulihat lagi daftar perlengkapan yang harus dibawa sebagai peserta karena aku tidak akan sempat melakukannya besok pagi.
Tok tok! Pintu kamarku berbunyi, ada yang mengetuk dari luar. Kulihat jam digital di meja belajarku, sudah jam 11 malam. Aku tidak seharusnya belum tidur jam segini. Aku memutuskan untuk tidak membukakan pintunya, supaya dianggap sudah tidur.
Tok tok! Bunyi diketuk lagi. Kubiarkan saja. Lagipula sepertinya pintunya terkunci karena sejak aku mandi tadi aku sama sekali belum keluar kamar. Kuteruskan pekerjaanku merapikan barang-barang perlengkapan dalam ransel yang sudah kepenuhan. Sepertinya aku butuh ransel yang lebih besar agar tidak sesak seperti ini.
“Emil,” bisik seseorang, dari arah pintu kamar. Sial. Ternyata pintunya tidak terkunci karena daun pintu perlahan bergerak membuat cahaya kamarku menyinari ruangan tengah yang gelap. “Mil, gue masuk yak,” katanya, dan sepertinya itu adalah sebuah informasi, bukan permintaan izin karena dalam sepersekian detik dia sudah memasuki kamarku.
“Ada apaan?” tanyaku padanya. Aya, kakak perempuanku satu-satu. Dia berdiri di depan daun pintu kamarku dan melihatku.
“Lu belum selesai packingnya? Dari tadi?” dia seolah tidak percaya dengan apa yang sedang kulakukan. Ah, aku memang suka aneh begini kalau sedang ada pikiran. Apalagi terpaut masalah hati.
Kubalas Aya dengan cengiran andalanku. Dia hanya geleng-geleng kepala sambil berjalan mendekatiku.
“Ada apaan ke kamar gue malem-malem?” tanyaku lagi. Pekerjaanku sudah selesai, semua perlengkapan yang wajib dan sunnah untuk dibawa sudah kuceklis. Tidak ada yang kurang sama sekali dan sudah kucek sampai dua kali.
“Cuma mau ngasih tahu ke lu, Mil. Malem ini sih gue masih kakak lu, tapi dua malam ke depan, gue bukan kakak lu ya,” ujarnya dengan semburat senyuman penuh arti dan rencana yang sudah kubaca kemana arahnya.
“Ya Tuhan, akhirnya tiba juga saat-saat seperti ini,” kataku pura-pura berdoa dan mengusap wajahku dengan kedua tangan.
“Sialan!” tuturnya sambil menonjok tanganku pelan. Aku nyengir lagi padanya.
“Lu kesini cuma mau ngomong itu doang?” tanyaku. Entah kenapa sepertinya malam ini aku dihampiri oleh orang-orang yang tidak jelas dan terasa lebih mengganggu. Meskipun sebenarnya membuatku terhibur dan perhatianku teralihkan.
“Iya. For you information aja, besok gue gak bakal ngasih perlakuan istimewa hanya karena lu adik gue,” katanya terdengar seperti sebuah ancaman yang gagal. Aya tidak berbakat sebagai seorang pengancam, apalagi penindas. Aku masih belum bisa membayangkan wajahnya berekspresi sok galak sebagai panitia di hadapan para peserta, di hadapanku. Bisa-bisa aku tertawa dibuatnya.
“Ya udah. Sana balik ke kamar lu. Gue mau tidur,” ujarku sembari meletakkan ranselku di sebelah kasur.
“Besok lu gak bisa nyuruh-nyuruh gue begitu lho ya,” katanya lagi. Huh dasar. Sok banget mentang-mentang jadi panitia.
“Iyee,” jawabku malas. “Kalau keluar, pintunya ditutup lagi ya,” imbuhku sambil berjalan cuek menuju kamar mandi yang memang berada di dalam kamarku.
“Oke!” serunya mantap.
Sikapnya sedikit aneh malam ini. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Mungkin dia hanya senang karena dapat kesempatan untuk mengerjaiku tanpa aku bisa mengadu pada orang tua kami. Kesempatan dimana dia bisa memamerkan pada teman-temannya tentang kekuasaannya padaku, adiknya. Ah biarlah, lagipula hanya tiga hari dua malam. Sekali-sekali membuat dia senang tidak apalah. Biarpun dia mau pura-pura tidak menganggapku adik, aku masih punya orang lain di kepanitiaan yang aku yakin akan menjagaku selama di tempat acara.
Seketika aku terdiam. Apa dia benar-benar akan melakukannya atau hanya sekedar kata-kata. Ah menyebalkan. Pikiranku tentangnya seperti kotak yang dihubungkan dengan kotak-kotak lainnya dengan kabel. Apa pun yang awalnya kupikirkan dalam otakku, selalu berakhir pada kotak tentangnya.
Setelah selesai dari urusanku di kamar mandi, kulihat pintu kamarku sudah ditutup rapat. Sudah tidak ada siapa-siapa, berarti Aya sudah kembali ke kamarnya.
Kulihat lagi ponselku yang berada di meja belajar. Aku duduk di hadapannya dan menyalakan ponsel dengan harapan ada notifikasi dari dia. Sayangnya, hal itu hanya sekedar harapanku semata. Tidak ada apa-apa. Sepi.
Perlukah aku telepon dia? Ah tidak, dia bilang biar dia saja yang menghubungiku. Lagipula ada satu hal yang ingin aku test darinya. Janji. Apakah dia bisa menepatinya atau tidak. Aku ingin mengetesnya sebelum serangkaian acara yang merupakan test kepemimpinan yang akan diberikannya dan teman-temannya termasuk Aya padaku dan peserta lainnya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur. Beberapa kali, sebelum aku benar-benar pulas, aku kembali membuka mata karena ada notifikasi masuk di ponselku. Tapi tidak ada satu pun darinya. Kuatur ponselku dalam mode silent sehingga tidak akan ada lagi bunyi dari ponselku. Aku benar-benar harus tidur malam ini. Meskipun harus dipaksakan. Meskipun dalam keadaan menggantung. Aku harus tidur demi acara besok.
**
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
@dafaZartin
@rizky_27
@boybrownis
@tialawliet
@priacupu
@Gabriel_Valiant
@foursquare
@animan
cuman komentar aja : menurutku cinta monyet memang ada.. dimana cinta itu cuma suka-suka aja.. :v
Terus seneng gaya bahasanya, gak bikin kagok pas baca. Rapih pula.
*bookmark*
mau lah msk mention listnya..
Ada satu alasan kenapa aku mau repot-repot ikut serta dalam kegiatan OSIS sementara saat SMP aku anti untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler. Aku lebih suka menghabiskan waktuku sendirian di kamar sambil main komputer atau video game daripada bermain di luar. Tapi bukan berarti aku tidak punya teman di komplek. Aku kenal beberapa, ya hanya beberapa yang sebagian besar dari mereka satu sekolah denganku saat SMP.
Alasan itu adalah dia.
Sejak hari pertama masuk ke jenjang menengah atas dengan mengenakan pakaian putih biru khas SMP, aku langsung tertarik padanya. Kagum begitu melihat dia di antara beberapa senior lainnya sedang mengatur barisan para peserta MOS yang akan mengikuti upacara pembukaan. Dan sesaat tertawa karena bercanda dengan temannya.
Setelah upacara selesai, mataku tidak henti-hentinya melirik ke segala arah untuk melihat wajahnya sekali lagi. Tapi sayang, aku tidak kunjung menemukannya sampai kami mulai acara selanjutnya.
Dia yang tingginya ideal, agak kurus tapi tidak kerempeng, dan wajah khas akang Sunda dengan hidung mancung dan bibir merah tipis yang menggoda. Dia seperti sudah menghipnotisku biarpun aku baru melihatnya beberapa detik saja.
“Mil, lu nyari siapa sih?” tanya Alvi yang duduk di sampingku. Sepertinya dia menyadari bahwa aku sedang mencari seseorang padahal aku sudah berusaha supaya tidak terlihat mencurigakan. Sekarang sedang acara semacam pengenalan sekolah yang diadakan di dalam gedung aula dengan pembicaranya beberapa staff tinggi sekolah.
“Eh? Anu... gue nyari kakak gue,” kataku berbohong.
“Kakak lu peserta MOS juga?” wajah Alvi tampak kaget dan tidak percaya. Tentu saja jawabannya tidak.
“Gak lah. Kakak gue jadi panitia, dia kelas dua,” jawabku berbisik, supaya Alvi juga menurunkan suaranya.
“Ohh. Kakak lu yang mana, Mil?” tanya dia penasaran.
“Kan masih gue cari,” bisikku gemas.
“Oh iye. Hehe,” cengengesnya lalu kembali memperhatikan arahan salah satu wakil kepala sekolah yang sedang berbicara di depan.
Aku clingak-clinguk lagi mencari dia di bagian depan aula. Ada beberapa kakak panitia di depan sana tapi sepertinya orang yang kucari tidak ada disana. Mungkin dia ada di belakang. Pasti di belakang deretan kursi yang diduduki para peserta MOS ini ada kakak panitia yang sedang mengawasi. Tapi tadi aku sudah menengok ke belakang berkali-kali dengan cara pura-pura pulpenku jatuh ke lantai, aku sama sekali tidak melihatnya padahal aku duduk di pinggir.
Dicoba sekali lagi mungkin tidak ada salahnya. Dengan wajah tetap memperhatikan ke depan, tangan kananku perlahan menggerakkan pulpen di atas pahaku. Pelan-pelan dan akhirnya jatuh tepat di sampingku, di jalan kecil yang tercipta karena sela antara bangkuku dengan sebelah kananku.
Aku bergerak sedikit ke kanan dan membungkuk untuk mengambil pulpenku. Tanganku bergerak untuk meraihnya sementara kepalaku menoleh ke kanan, arah belakang ruangan untuk mencari sosoknya. Tapi apa yang kulihat benar-benar membuatku kaget.
Pandanganku ke deretan kakak panitia di belakang ruangan terhalang oleh kaki seseorang yang mengenakan celana abu-abu panjang. Senior! Aku terpaku sebentar sementara tanganku masih berusaha meraih pulpen yang tidak kunjung kudapatkan. Aku menoleh ke lantai tempat dimana seharusnya pulpen itu berada. Pulpennya hilang! Kemudian dengan gugup aku berusaha kembali duduk biasa dan melihat siapa senior itu.
“Sekali lagi kamu jatohin pulpen ini, pulpennya akan saya sita dan kamu akan dapat hukuman dari panitia,” katanya dengan tegas.
Aku sungguh tidak percaya dengan siapa yang ada di hadapanku saat ini. Dia. Tuhan, benar-benar dia. Berdiri hanya beberapa puluh centi dari tempatku duduk dan menatapku dengan wajah masam. Huh, aku ingin melihat dia tertawa seperti saat upacara tadi. Manis sekali.
“Ngerti?” tanya dia sedikit membentak. Aku ibarat kembali jatuh ke bumi setelah rasanya melayang karena dapat melihat dia sedekat ini.
“I...iya kak,” kataku terbata-bata. Dia pun memberikan pulpennya kepadaku lalu beranjak pergi, kembali ke belakang ruangan.
Tunggu! Setahuku setiap siswa di SMA ini, nama mereka ada di seragam masing-masing. Di sebelah kanan. Aku tahu karena aku sering melihat seragamnya Aya. Sembari memutar badanku untuk kembali menghadap ke depan, dengan kesal aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak memperhatikan bagian dada kanannya untuk tahu siapa namanya. Aku pun kesal sendiri jadinya.
Sampai pulang sekolah, aku masih menyalahkan diriku sendiri. Karena semenjak dia menyerahkan pulpenku tadi, dia kembali menghilang entah kemana. Padahal aku melihat beberapa kakak panitia berkali-kali. Termasuk kakakku sendiri. Tapi entah dimana Aya berada sekarang.
Mama sudah datang menjemput kami berdua. Aku sudah menunggu di dalam mobil selama lima belas menit sementara mama sedang membeli ketoprak yang ada di depan sekolah untuk makan siang karena dia tidak sempat masak katanya.
Aku menoleh lagi ke arah pagar. Duh, Aya lama banget sih! Gerutu kesal. Sudah kesal karena menyia-nyiakan kesempatan untuk tahu nama kakak senior itu, sekarang tambah kesal karena harus menunggu Aya muncul.
Itu dia. Aya akhirnya muncul dari pintu gerbang bersama seorang cowok. Astaga! Cowok itu, dia bersama Aya. Kulihat Aya menunjuk ke arah mobil dan mereka berdua berjalan bersisian ke mobil, ke arahku. Artinya aku akan melihat dia dari dekat sekali lagi hari ini. Semoga benar-benar terjadi.
Aku mencoba mengatur nafas dan mempersiapkan diri untuk fokus mencari tahu siapa nama senior yang berhasil mencuri perhatianku hari ini dengan melihat tanda pengenal di dada kanan seragamnya. Begitu Aya sudah dekat dengan mobil, aku yang duduk di samping kursi supir membuka jendela dan bersungut menatapnya.
“Lama banget sih,” omelku padanya. Sekarang sudah diluar lingkungan sekolah, artinya dia bukan seniorku lagi. Jadi tidak masalah kalau aku mengajaknya berantem layaknya adik-kakak.
“Yee gue kan ada yang harus diurusin dulu kali. Lagipula tadi nyokap gue telpon katanya masih beli ketoprak pak Juned tuh,” katanya sambil melewe padaku. Oh, jadi nama ketopraknya adalah ketoprak pak Juned. Emil! Bukan nama tukang ketoprak yang harus lu tahu, tapi nama senior itu! Hatiku seperti memarahiku karena pikiranku begitu mudah teralihkan.
Aku melihat ke sebelah Aya. Lho kemana dia? Harusnya dia ada di samping Aya seperti di gerbang sekolah tadi. Ah hilang lagi! Aku mendengus kesal. “Udah buruan masuk,” kataku pada Aya.
“Nanti dulu ah,” balasnya sambil main hape di samping mobil sambil senderan di bawah pohon. Terserah deh. Aku tidak mau peduli juga. Aku sudah cukup kesal hari ini hanya karena satu orang cowok seniorku.
Aku kembali menghadap depan lagi dan menyenderkan badanku ke kursi mobil. Tanganku bersedekap di atas perut dan kutekan keras-keras untuk melampiaskan rasa di hati ini. Rasa kesal karena aku sepertinya tidak akan mengetahui nama cowok itu hari ini. Aku juga tidak mungkin menanyakan langsung pada Aya, karena aku tidak akan bisa memberikan penjelasan logis untuk alasannya sementara saudariku satu-satunya itu adalah tipikal orang yang sangat kritis.
“Sorry lama, abangnya gak punya kembalian tadi,” suara itu terdengar dari samping mobil. Suara yang persis seperti saat dia mengambilkan pulpenku di aula tadi. Aku masih ingat betul suaranya meskipun baru dengar sekali karena suaranya terus berulang-ulang di kepalaku sepanjang sisa acara MOS hari ini.
Dengan cepat aku langsung melongok keluar jendela dan melihat dia menyerahkan sebungkus batagor pada Aya. Keduanya menyadari bahwa aku mengeluarkan kepala dan menatapku heran. Tidak perlu ada kata-kata sekarang, langsung saja melihat ke dada kanannya!
Polos. Hitam. Tidak!! Kapan dia memakai jaket hitam itu? Aku geram sendiri jadinya. Seingatku saat keluar dari gerbang sekolah tadi dia masih memakai seragam. Kemungkinan terbesarnya, dia mengenakan jaket itu saat beli batagor tadi.
“Eh, tukang jatohin pulpen,” ujarnya begitu melihatku.
Apa? Seenaknya saja memberi julukan pada orang yang belum kenal. Aku menatapnya heran, kemudian dia malah tertawa begitu melihat ekspresiku.
“Apaan? Tukang jatohin pulpen?” tanya Aya pada cowok itu dengan wajah bingung. Tentu dia tidak mengerti apa maksudnya. Sementara aku sangat mengerti. Jelas.
“Iya, pas pengarahan tadi, dia gue lihat dia jatuhin pulpen terus. Lima atau enam kali gitu,” katanya layaknya sedang mengadukanku pada Aya. Waduh, ternyata dia sampai ngitungin gitu. Pantesan tiba-tiba dia ada di sampingku. Pasti gelagatku mau jatuhin pulpen sudah sangat ketara terlihat olehnya.
Aya mendelik padaku dan menatapku dengan penuh tanya lalu kembali menatap cowok itu. “Dia adik gue, Bim,” kata Aya mengenalkanku.
Bim? Di otakku langsung terlintas beberapa nama dengan suku kata ‘bim’ yang ada. Dari yang paling keren seperti Bimo sampai rada aneh seperti Bimbim. Suara klakson mobil kali, Mil! Lalu beberapa nama lainnya bermunculan dan berputar-putar tapi aku belum bisa menentukan nama mana yang paling besar kemungkinannya untuk jadi nama cowok itu.
“Gue Bima,” tiba-tiba dia maju dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Temennya Aya,” imbuhnya.
Bima. Hmm. Bima apa ya kira-kira? Mungkin bisa kupikirkan lain kali. Sekarang yang harus kulakukan adalah mengeluarkan tanganku dan menjabat tangannya sebagai tanda perkenalan kami.
“Kamil, tapi biasa dipanggil Emil sih, kak,” kataku sambil menjabat tangannya. Kuusahakan untuk menjabatnya selama yang kubisa, tapi supaya tidak muncul pertanyaan aneh, terutama dari Aya, kulepas jabatan tangannya.
“Gak usah panggil kak kalau di luar sekolah. Lagian paling kita cuma beda setahun kan?” ujarnya sambil tersenyum padaku. Akhirnya aku bisa melihat senyuman itu lagi. Dia benar-benar terlihat manis dengan senyuman itu. Dan terlebih lagi, saat ini dia tersenyum untukku, meskipun tanpa ada rasa atau alasan terselubung.
“Oke,” balasku sambil nyengir, padahal niatnya cuma senyum aja. Huft.
Hilang sudah semuanya. Rasa kesalku pada diri sendiri, dan gemas karena dia mengenakan jaket sehingga aku tidak bisa melihat siapa namanya. Semuanya seperti terbayar sehingga membuat hatiku lega. Membuat bibir ini ingin selalu tersenyum. Aku sudah tahu namanya. Aku kembali bersandar ke kursiku dan melihat ke depan dimana mama sudah berjalan menghampiri mobil.
Tidak lama, sebelum mama sampai di mobil, Bima berpamitan pada Aya dan juga padaku. Lalu Aya naik mobil dan mama juga naik mobil. Oke, sudah lengkap. Saatnya berangkat untuk pulang. Sebelum mobil melaju, aku pura-pura maju sedikit supaya bisa melihat kaca spion kiri mobil. Aku pun melihat dia berjalan dengan arah berlawanan dengan kami dari kaca spion. Aku tersenyum lagi.
Sekarang pun aku masih tersenyum ketika mengingat waktu itu. Waktu perkenalan kami berdua yang terjadi sekitar delapan bulan lalu. Tidak terasa sudah selama itu, padahal rasanya baru kemarin dia menyerahkan pulpenku yang sengaja kujatuhkan.
Aku mengingatnya lagi bukan tanpa sebab. Saat bangun pagi tadi, aku menemukan SMS dari dia. Kulihat SMS itu masuk ke ponselku jam dua pagi. Isinya membuatku melihat kilas balik tentang cerita kami berdua.
‘Ingatkah kamu kita berkenalan? Kalau saja tidak ada pintu mobil, mungkin kita bisa berpelukan’
Oh Bima, kamu memang selalu puitis. Aku memeluk-meluk ponselku beberapa saat dengan wajah girang sebelum membalas SMS-nya. Aku membaca tulisannya berkali-kali sampai jam digital di meja belajarku membuatku tergesa-gesa untuk bersiap-siap. Atau aku akan terlambat untuk acara.
Sekarang aku, mama, dan Aya sedang dalam perjalanan menuju sekolah dengan mobil. Mama lebih mengebut karena memang kami semua terlambat bangun. Seluruh peserta harus sudah tiba di sekolah jam setengah 7 pagi, sementara sekarang sudah jam 6.20 . Semoga saja aku belum terlambat. Karena kalau terlambat, bisa kena masalah. Sedangkan Aya tidak akan bermasalah, malah bisa-bisa dia yang membuatku terkena masalah karena keisengannya pada adik kesayangannya ini.
‘Masih di jalan?’ Bima mengirimiku SMS lagi. Dengan cepat kukirim balasannya.
‘Iya. Pada kesiangan semua tadi.’
Tidak lama setelah kukirim SMS-ku barusan, ponselku bergetar lagi tanda ada SMS masuk.
‘Ohh. Kirain telat karena pulpennya ketinggalan. ’
Kalau orangnya ada di depanku, pasti akan langsung kujitak kepalanya. Masih aja ledekan pulpen. Huh.
**