BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Latihan Dasar Cinta

2456710

Comments

  • Puchive wrote: »
    Cerita ini sepertinya bakal menarik.
    Terus seneng gaya bahasanya, gak bikin kagok pas baca. Rapih pula.

    *bookmark*

    Happy reading!! :)

    octavfelix wrote: »
    hore.. @inutile is back.. :D
    mau lah msk mention listnya..

    Waduh ketinggalan hehe.. Next masuk list mention deh ya. :Dv

  • Kyaaaa lucu nich pedekate nya
  • kurang panjang, ayuk ke mak erot manjangin
  • Ahahaha.. Lucu bgt.. Si tukang jatohin pulpen :v
  • nitip mention

    jd inget plantikan osis pas SMP tp incer peserta juga... wakaka...
  • Lucu nih kyaknya, aya gak curiga nh lihat gelagatnya emil pas kenalan sm bima..
  • Kok bisa tiba2 jadian... Wah masih ada episode jadian nih... Ditunggu
  • Seru seru......
  • mention dong jg
  • Hmmm...like this, terkesan alami... thanks for mention gan :)
  • Latihan#Tiga: Alasan

    Alvi bisa dibilang adalah sahabatku sejak SMP, dan dia merupakan teman SMP-ku yang tidak sekomplek karena jarak rumahnya dengan rumahku cukup jauh. Hanya satu hal yang bisa kuceritakan tentang dia, Alvi adalah teman yang baik. Paket lengkap seorang sahabat yang membuatku nyaman jalan dengannya kendati hanya berduaan. Tidak jarang kami sering diledekin pasangan homo oleh teman-teman lainnya waktu SMP. Tapi kami cuek bebek karena nyatanya bukan seperti itu.

    Aku nyaman dengannya, tapi sama sekali tidak tertarik. Bukan karena penampilannya kurang oke, Alvi cukup bergaya sesuai dengan style anak-anak seumuran kami yang sering muncul di televisi. Aku tidak tertarik bukan karena penampilannya, tapi karena sifatnya yang membuatku menempatkannya dalam kategori teman dan ada tembok penghalang besar yang tidak mungkin dirubuhkan dimana dibalik tembok itu ada kata ‘tertarik’.

    “Mil, sini!” panggil Alvi membuatku menemukannya. Setelah berlari dari pintu gerbang karena aku tiba tepat pukul setengah tujuh dan tiba di lapangan dengan barisan puluhan peserta dengan pakaian olahraga SMA kami, aku langsung mencari keberadaan cunguk satu itu. Aku pun berlari mendekatinya. Dia mundur sedikit untuk memberikanku celah untuk baris di depannya. Tepat waktu, acara langsung dimulai begitu aku masuk barisan. Selamat selamat.

    “Ngapa lu telat?” bisiknya dari belakangku.

    “Gara-gara lu telpon semalem,” kataku menuduh tanpa menengok ke belakang. Tiba-tiba kepalaku di dorong dari belakang, siapa lagi kalo bukan Alvi. Kalau saja tidak dalam acara begini, pasti sudah kubalas dia.

    “Gue nelpon lu cuma bentar nyet!” cibirnya. Aku hanya tersenyum kecil.

    Apel pun dimulai bersamaan dengan bel tanda masuk sekolah. Ya, hari Jumat ini sekolahku sebenarnya masih masuk seperti biasa. Tapi bagi para peserta dan panitia acara LDKO, mendapatkan dispensasi tidak masuk kelas namun dianggap masuk sekolah. Salah satu keuntungan ikut organisasi, bisa sering-sering dispensasi karena kegiatan organisasi. Meskipun pada dasarnya kami tidak boleh terlalu memprioritaskan ekstrakurikuler dibanding intrakurikuler.

    Sepertinya sudah menjadi hobiku ketika berada dalam barisan seperti ini, mataku jelalatan mencari keberadaan seseorang. Bima. Bukan hanya ketika baris atau duduk melingkar di lapangan, bahkan ketika materi tentang organisasi yang diadakan di ruangan kelas pun aku kerap mencari keberadaannya. Tentu saja. Dia alasanku ikut dalam OSIS ini, kalau dia tidak ada, apa lagi yang membuatku semangat berada disini? Meskipun sebenarnya tanpa Alvi, aku juga tidak mungkin berdiri disini sekarang.

    “Lu ikut OSIS?” tanyaku dulu ketika Alvi sedang mengisi formulir pendaftaran OSIS di ruang kelas. Kami memang sekelas, bahkan duduk sebangku. Maka bagi mereka teman SMP yang sekarang satu SMA, mereka masih bisa meledek kami dengan ledekan pasangan homo. Tapi tetap saja, kami tidak memperdulikannya. Lagipula Alvi seratus persen normal. Aku yakin itu.

    “Iya. Biar bisa ngeliat kakak lu terus, Mil,” ujarnya sambil nyengir bodoh kepadaku. Itu salah satu alasanku yakin kalau Alvi itu normal, dia suka sama Aya, kakak temannya sendiri.

    “Dih masa alasan ikut organisasi gara-gara kakak gue? Kagak berkah lu,” ledekku sambil duduk di sampingnya. Kulihat beberapa kolom sudah terisi dengan biodatanya.

    “Ya daripada harus main ke rumah lu tiap hari buat ketemu sama dia? Males banget gue, jauh rumah lu. Pelosok!” katanya dengan enteng. Omongannya seperti tidak ada saringannya, langsung keluar saja melalui mulut begitu kata-kata tersebut melintas di otaknya.

    “Ya kan sekalian ngapelin gue,” kataku sambil tertawa keras.

    “Bosen gue Mil ngeliat muka lu mulu. Gak makin ganteng dari dulu,” balasnya cepat. Kami sering ledek-ledekan seperti ini akibat ledekan teman-teman kami waktu SMP tentang hubungan kami. Daripada mempermasalahkan omongan orang, lebih baik menjadikannya bahan candaan yang membuat hidup lebih menyenangkan bukan?

    “Lu sih makin jelek,” balasku sambil menatapnya jahil.

    “Ah kan salah tulis gue,” keluhnya. Dia memperhatikan tulisannya yang salah di salah satu kolom. Aku memajukan wajahku untuk mengintip tulisan apa yang salah. Kolom hobi tertulis sebuah tulisan yang ingin membuatku tertawa dibuatnya.

    ‘Membaca aya.’

    Aku menertawakan Alvi atas kebodohannya itu. Dia menatapku melas yang membuatku semakin terpingkal-pingkal. “Hobi lu membaca aya, Vi? Aya apa? Aya kursi?” selorohku, sungguh aku benar-benar tidak bisa berhenti tertawa apalagi melihat wajah Alvi yang seperti itu.

    “Udah?” tanyanya dingin.

    Tawaku mulai mereda. Dia menatapku jengkel. “Aya... kursi?” dan aku tertawa lagi sampai akhirnya dia mendaratkan jitakan andalannya di kepalaku. Sakit.

    “Udah ye ketawanya, gak baik lho ngetawain abang ipar,” ujarnya sambil menatapku gemas. Kuelus-elus bagian kepalaku yang menjadi korban jitakannya dan mencibir.

    “Pret. Gak ridho gue punya abang ipar kayak lu!”

    Kemudian Alvi tanpa kuduga meremas kertas formulir itu dan menaruhnya di kolong meja. Aku menatapnya bingung. Yang salah kan hanya satu kata doang, kenapa harus membuang semuanya?

    “Lu harus temenin gue ke sekretariat buat minta formulir lagi, Mil!” katanya memerintah. Huh seenaknya saja. Setelah menjitak kepala orang, sekarang minta pertolongan.

    “Ogah. Kepala gue masih sakit,” tolakku mentah-mentah sambil membuang muka darinya. “Lagipula itu kan bisa di tipe-x, kenapa harus lu remukin gitu?”

    Alvi nyengir lebar bin bodoh. Dia pasti punya alasan, tapi dia tahu alasannya tidak masuk akal dan rada nyeleneh sehingga dia menampakkan cengiran macam itu. “Gue takut dari baliknya masih bisa kebaca kalau gue nulis nama kakak lu, Mil. Makanya mending diulang aja semuanya,” tuturnya. Tuh kan. Aneh. Mana ada orang yang rajin-rajin menerawang bagian belakang kertas hanya untuk melihat kata apa yang ditipe-x.

    “Please, Mil. Sekarang yuk, keburu waktu istirahat abis nih,” pintanya memelas. Aku menatapnya sebentar lalu kembali membuang muka. Bodo amat. Tangan kananku masih mengelus-elus kepalaku.

    “Gue gak bakal jadi abang ipar lu deh,” ujarnya asal. Aku mendelik padanya, dan dia nyengir seperti tadi.

    “Beneran?” tanyaku pura-pura berharap.

    “Iye udah ayo ah!” Dengan cepat dia berdiri dan menarik tanganku untuk mengikutinya. Dia buru-buru karena waktu istirahat sebentar lagi habis dan tidak ada waktu untuk becandaan kami yang sangat tidak penting seperti tadi.

    Aku pun berjalan mengikutinya ke sekretariat OSIS. Setahuku sekretariat ada di lantai dasar, sementara kelas kami ada di lantai dua. Lumayan juga sih buang waktu istirahat buat naik turun tangga satu kali. Kalau kelas kami ada di lantai tiga, dengan mentah akan langsung kutolak permintaan Alvi.

    Setelah turun tangga kami berbelok ke kanan dan langsung terlihat plang bertuliskan Sekretariat OSIS. Aku memilih untuk menunggu di luar sementara Alvi masuk ke ruangan yang ukurannya kira-kira 5x10 meter ini. Memanjang ke belakang. Di dalam ada beberapa senior, tapi karena tidak ada dia, aku lebih baik menunggu di luar saja. Haha.

    Sambil menunggu, aku melihat kegiatan siswa lainnya, ada yang sedang bermain futsal di lapangan futsal sekaligus lapangan upacara sekaligus lapangan voli sekaligus lapangan basket dan sekaligus-sekaligus lainnya. Pokoknya ini lapangan multi-talent banget deh!

    “Mil, ngapain disini?” tanya seseorang dari arah berlawanan dari arah aku memandang sekarang. Dengan cepat aku menengok ke kiri karena aku kenal suara itu. Masih tidak pernah lupa suara itu sejak pertama kali mendengarnya. Bima, my idol.

    “Eh. Ini kak, nemenin Alvi ambil formulir kader OSIS,” kataku sambil cengengesan tidak jelas. Duh, kenapa jadi salah tingkah gini sih?

    “Ooh,” lalu dia tersenyum setelah berkata demikian. “Kamu gak tertarik?”

    Tertarik sama kak Bima sih iya, tapi tertarik untuk ikut OSIS? Gak deh. Itu lah yang kupikirkan dalam hati. Lagi grogi gini, masih saja berpikiran ngaco.

    “Gak ah. Males. Repot juga,” kataku beralasan.

    “Aya aja ikut OSIS,” ujarnya. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sepertinya dia ingin aku untuk ikut organisasi ini. Seolah-olah pertanyaannya tentang tertarik atau tidak barusan bukanlah pertanyaan basa-basi yang menguap begitu saja, melainkan ada efek berantai ke arah kalimat-kalimat lainnya yang mengharapkan keikutsertaanku.

    “Lain Emil lain Aya, kak,” cetusku dan dia tertawa kecil.

    “Kakak masuk dulu kalau gitu ya. Kalau tertarik bilang Aya aja, nanti biar dia yang bawain formulirnya,” ujarnya sambil tersenyum lagi padaku. Aku hanya mengangguk-angguk saja membalasnya.

    Dia pun masuk ruang sekretariat dan sedetik kemudian Alvi keluar dengan selembar kertas formulir di tangannya.

    “Lama banget?” tanyaku mengintrogasi Alvi.

    “Ada Aya di dalem soalnya, Mil,” jawabnya.

    “Masa sih?” aku langsung maju sedikit untuk mengintip apa benar Aya ada di dalam. Meskipun aku sudah kenal Alvi cukup lama, masih saja aku bisa dikadali olehnya. Beruntung aku menyadarinya sebelum benar-benar mengintip ke dalam ruangan. Kalau tidak, entah bagaimana wajahku nampaknya begitu ngintip dan mencari orang yang sudah pasti tidak ada disana.

    Aku menatap Alvi dengan geram sementara dia menatapku dengan senyuman jahil penuh kemenangan. Sialan! “Kena deh!” serunya dan langsung berlari meninggalkanku. Kampret! Aku menghardik dalam hati. Kalau kuucapkan, bisa-bisa mendarat di ruang BP.

    Aku berlari mengejar Alvi. Dia baru saja belok kiri untuk menaiki tangga. Kuikuti terus.

    “Vi, tunggu! Kita ke kantin dulu,” kataku di dasar tangga, kulihat dia berhenti di belokan tangga, baru setengah anak tangga sebelum sampai di lantai dua. Wajahnya menatapku seolah bertanya ada apa di kantin. “Sini,” titahku dan dia kembali menuruni anak tangga.

    “Ngapain ke kantiin?” dia bertanya begitu sudah ada di ketinggian yang sama denganku.

    Sebelum dia sadar, dengan cepat kulesakkan tangan kananku dan menjitak kepalanya kira-kira sekeras jitakannya tadi. “Aduh!” elunya. Lalu kuambil kertas formulir pendaftaran dari tangan kanannya.

    “Ayo temenin gue, fotocopy ini,” kataku santai sambil berbalik badan karena kantin ada di lantai dasar.

    “Lah? Kenapa gak minta aja? Masih banyak tadi gue liat,” Alvi mempercepat langkahnya sehingga bisa berjalan tepat di sampingku. Tangan kirinya masih memegangi kepalanya. Haha, pembalasan dendam terbayarkan!

    Aku nyengir bodoh seperti dia untuk menjawabnya. Tapi tentu cengiran Alvi lebih meyakinkan kalau dia benar-benar punya alasan yang bodoh. “Tadi gue udah ditawarin tapi gue tolak. Malu gue kalau harus balik kesana buat minta formulirnya, hehe.”

    “Ya nitip sama Aya aja,” ujarnya lagi, sepertinya tidak ikhlas menemaniku ke kantin dimana ada tukang fotocopy.

    “Udah ikut aja. Siapa tahu lu bisa jadi calon abang ipar gue lagi,” kataku sambil tertawa sendiri.
    “Iye dah. Kalau bisa, berarti gue udah jadi calon mantan calon abang ipar lu, Mil,” dan kini gantian dia tertawa oleh candaannya yang tidak jelas. Terserah lu aja deh, Vi.

    Aku menatap formulir di tanganku sambil terus berjalan. Aku memang bisa meminta Aya untuk membawakan formulir ini, tapi aku malas mendengar ocehannya sebelum aku mendapatkan formulir ini darinya. Lebih baik aku usaha sendiri saja daripada harus dengan celotehannya.

    Kalau bukan karena Alvi memaksa saat itu, pasti aku tidak akan bertemu dengan dia di depan sekretariat OSIS dan mengobrol sebentar dengannya.

    Tiba-tiba saja dia muncul di depan barisan, tapi masih di belakang kepala sekolah yang sedang memberikan sambutan dan wejangan-wejangannya untuk peserta dan panitia. Dia sedang memutar lensa kameranya dan mengarah padaku. Ternyata benar dugaanku, dia menjadi seksi dokumentasi dalam acara ini.

    Dia memutar lensa kamera beberapa kali untuk mencari fokus yang tepat. Sepertinya. Wajahnya yang rupawan itu kini tertutup oleh kamera DLSR besar karena dia mengintip melalui lubang kamera. Kemudian jari telunjuknya menekan tombol shutter beberapa kali, lalu mengarahkan kamera ke arah lain dan kembali menekan shutter. Gayanya tengil, sok seperti fotografer profesional, padahal pasti settingannya auto semua. Haha.

    **

  • ah, selalu keren.
Sign In or Register to comment.