BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Latihan Dasar Cinta

1235710

Comments

  • Tandain mana yg flashback mana yg bukan donk.. Jadi gk bingung..
  • TigerGirlz wrote: »
    Tandain mana yg flashback mana yg bukan donk.. Jadi gk bingung..

    Masa ga ketara sih?
  • emil malu2 meong-- jadi envy sndr bacanya
  • @inutile mention donk kalo update
  • gw minta mention dong hehehe
  • Botak banget, berselimut jaket supaya bisa pegang tangan.
    Kangeun :3
    inutile wrote: »
    TigerGirlz wrote: »
    Tandain mana yg flashback mana yg bukan donk.. Jadi gk bingung..

    Masa ga ketara sih?

    Kemaren juga mengalami yang kaya begini. Tapi, pas baca lagi ada kata "dulu" kalau enggak "suatu waktu" atau "teringat".
  • Tambah seru nih
  • kurang ajar si @inutile , berani beraninya buat adegan romance kaya bgtu, kan sirik jadinya... aaaaaaaaaaarrggghhhhh..

    tolong dimention lg yaaa :D
  • priacupu wrote: »
    kurang ajar si @inutile , berani beraninya buat adegan romance kaya bgtu, kan sirik jadinya... aaaaaaaaaaarrggghhhhh..

    tolong dimention lg yaaa :D

    >:)
  • Bener, bener bener bikin envy..
  • Menarik banget TSnya.. lanjut~ semangat yah~ :)
  • Suka.
    Titip mention yah. .^^
  • bang @inutile‌ keren,, gaya penulisan yang dewasa dan lugas di When Holiday Greet jadi childish namun manis disini, thumbs up
  • wah ampe kelempar ke page 2. up up up dulu deh ya!
    ditunggu updatenya ya bang @inutile :D

  • edited August 2014
    Latihan#Lima:Kehadiran

    Suatu sore di pertengahan Desember. Beberapa minggu setelah kejadian canggung di bioskop waktu itu, aku masih belum menerima penjelasan apa pun. Tidak sedikitpun. Tapi entah kenapa rasanya aku tidak ingin untuk meminta hal itu pada Bima. Dalam pikiranku rasanya ada yang salah apabila aku menanyakannya.

    Aku galau. Yang terpikirkan olehku hanyalah Bima dan genggaman tangannya yang lembut yang masih kuingat bagaimana rasanya. Belajar jadi tidak konsentrasi, makan jadi tidak nafsu, dan bermain jadi tidak bergairah. Semua hanya karena sebuah genggaman tangan, dan aku ingin merasakannya lagi lebih dari apa pun.

    “Woy, Mil! Lu kenapa sih?” teriak Alvi marah-marah ketika aku gagal menangkap operan bola basket darinya. Lagi-lagi aku bengong sendiri. Badanku ada di lapangan basket yang kami mainkan setengah, tapi pikiranku melayang ke bioskop tanpa peduli film apa yang sedang diputar.

    “Eh, sorry sorry,” ujarku sambil berlari mengejar bola basket yang menggelinding melewati garis lapangan.

    Kami bermain 3-on-3, di tempat biasa dengan teman-teman SMP kami yang satu komplek denganku. Bila Alvi tadi melempar bola ke arahku dan aku tidak menangkapnya, artinya bola keluar oleh tim kami. Tapi entah kenapa ketika aku memungut bola, aku malah mengambil posisi untuk melempar bola ke dalam.

    Ptak! Dengan gemas Alvi menjitak kepalaku dan memandangku jengkel. Aku masih belum mengerti sampai beberapa detik kemudian aku tahu apa yang salah. Sial. Pikiran tentang Bima benar-benar merasukiku. IQ-ku seperti mendadak tengkurep dari yang sebelumnya jongkok. Eh.

    Toni, yang menjadi lawanku mengambil bola dariku dan pertandingan kembali di mulai. Skor saat ini 20-17 dengan kemenangan ada di timku. Entah sudah bertambah atau belum karena dari tadi aku memang tidak fokus bermain. Alvi terlalu jago, kalau pun dia main sendiri lawan tiga orang pun pasti dia menang.

    Sedikit demi sedikit aku mencoba menghilangkan Bima dari benakku. Untuk sementara saja, sampai pertandingan ini selesai. Daripada kena jitakan Alvi lagi. Dia mah gak nanggung-nanggung kalau jitak orang. Tapi baru sebentar saja aku fokus bermain, aku merasa seperti melihat Bima ada di pinggir lapangan. Dia mengenakan kemeja lengan panjang biru tua yang tidak dikancing dengan dalaman kaos putih polos. Bima mengangkat tangannya begitu melihatku sambil tersenyum.

    Itu benar-benar dia! Nyata. Dia seperti hantu, bisa muncul kapan saja tanpa di duga. Pernah suatu ketika aku sedang duduk sendiri di kantin menunggu Alvi yang sedang memesan makanan, tiba-tiba dia duduk di sampingku, tempat duduk yang seharusnya jadi milik Alvi. Kejadiannya sebelum momen canggung di bioskop kala itu.

    “Hai, Mil,” katanya santai. Sementara aku mendadak kikuk karena sang pujaan hati tiba-tiba berada sedekat ini denganku.

    “Ya, Kak,” balasku seadanya.

    “Udah mesen?”

    “Alvi lagi mesenin,” jawabku. Tapi tiba-tiba Bima memicingkan matanya seolah curiga. Memandangku menyelidik. “Kenapa?” tanyaku karena tidak nyaman dengan tatapan itu.

    “Kalian kayaknya akrab banget,” komentarnya.

    “Kan udah temenan sejak SMP. Udah lama, kak,” jawabku.

    “Tapi sampe mesenin makanan gitu, kayak orang pacaran aja,” cibirnya sambil terkekeh pelan. Aku tahu dia bercanda, tapi seperti ada makna tersembunyi di balik kalimatnya.

    “Ya salah dia sendiri pake acara kalah suit,” balasku sambil menengok mencari keberadaan Alvi. Aku sudah sangat kikuk sehingga butuh Alvi untuk mencairkan suasana ini. Biarpun aku tidak tahu nanti cunguk itu bakal duduk dimana karena kantin sedang penuh.

    “Suit?” tanya Bima. Aku hanya mengangguk polos. Kemudian dia tertawa sendiri, padahal aku merasa tidak ada yang aneh. “Kayak anak kecil aja,” ucapnya.

    “Hehe,” aku hanya terkekeh pelan karena tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Untuk memudarkan gejala kikuk yang ku alami setiap berada di dekat Bima, aku mengeluarkan ponselku untuk melakukan apa saja yang bisa kulakukan. Entah internetan, cek timeline twitter, atau apalah yang pasti dapat membuatku sibuk.

    “Mau suit gak?” kata Bima tiba-tiba, aku langsung menoleh padanya dengan tatapan bertanya. “Suit kayak yang lu ama Alvi lakuin,” imbuhnya.

    Beneran nih? pikirku dalam hati. Gak ada angin gak ada hujan kenapa tiba-tiba dia ngomong begitu?

    “Yang menang ngapain?” tanyaku. Terbersit di otak nakalku kalau yang menang nanti bisa cium yang kalah. Kyaa, menang kalah sama-sama untung bagiku itu mah. Haha.

    “Yang kalah dong yang diapa-apain,” ralatnya. Hmm iya deh, aku rela diapa-apain sama kak Bima. Lagi-lagi pikiran ngaco. Kalau aku ringan tangan seperti Alvi, pasti sudah kujitak kepalaku sendiri.

    “Eh iya deh. Kalau kalah diapain?” aku mengulang pertanyaanku.

    “Beliin minuman buat yang menang aja gimana? Lu kan udah pesen makanan soalnya,” katanya. Boleh juga, kebetulan aku dan Alvi memang belum pesan minuman, baru pesan ketoprak saja dan itu pun harus ngantri. Karena itu aku dan Alvi suit buat menentukan siapa yang nunggu ketopraknya dan siapa yang nyari tempat duduk.

    “Oke,” aku langsung setuju.

    Lalu kami berdua ancang-ancang untuk suit. Bima mulai menghitung. “Satu, dua, ti...ga!” Aku mengeluarkan jari telunjukku sementara Bima mengeluarkan kelingking. Yes! Aku menang! Aku berseru dalam hati. Aku senyum-senyum jahil memandang Bima. Jarang-jarang ada momen untuk mengerjai senior sendiri.

    “Yah kalah. Tapi berhubung gue senior lu, dan gue gak pernah salah, suitnya kita ulang ya,” ujarnya santai.

    “Hah? Curang nih bawa-bawa senioritas. Ini kan gak lagi acara OSIS,” aku mengelak dan Bima tertawa melihat reaksiku yang sepertinya terdengar seperti rengekan anak kecil.

    “Bercanda, Mil,” katanya masih tertawa geli. “Mau minum apa?” tanya Bima sambil beranjak dari tempat duduknya.

    “Es jeruk aja,” jawabku. “Dua yak, buat Alvi juga,” aku menambahkan.

    “Ciee perhatian banget sama Alvi,” ledeknya. Lah. Masa mesenin minum buat temen dibilang perhatian sih? Menurutku malah biasa saja. Kalau ingetin makan setiap pagi, siang, sore, bahkan malah, itu baru namanya perhatian.

    “Biasa aja sih,” cibirku dan dia tertawa lagi. Entah karena ekspresiku yang aneh atau karena dia sedang punya banyak stok tertawa sehingga dari tadi tawanya gak habis-habis kayak pilus. Membuat dia terlihat berbeda seratus delapan puluh derajat denganku yang kikuk dan merasa serba salah bila ada dia di dekatku.

    “EMIL!!!” pekik seseorang menyadarkanku dari lamunan tentang Bima. Itu suara Alvi, dan begitu aku memandang ke asal suara, sebuah bola oranye melesat tepat di hadapanku, mengarah padaku, tepat di muka. Bukk!!

    Kepalaku dalam sekejap terasa pening, seperti ada sesuatu yang berputar-putar dan berdesing di dalamnya. Kupastikan dalam beberapa detik aku akan roboh. Dan terjadilah.

    Entah berapa lama aku pingsan. Sebelum membuka mata, aku sayup-sayup mendengar suara orang-orang di sekitarku. Kepalaku terasa bersandar pada sesuatu seperti bantal. Lembut dan aromanya menenangkan, membuat aku tidak ingin beranjak. Perlahan kubuka mataku dan cahaya senja matahari memancar di sekitarku.

    “Mil, lu gak pa-pa kan?” suara itu, begitu merdu. Semuanya masih buram dalam pandanganku. Kutatap orang yang menumpu kepalaku. Secara dramatis wajahnya yang buram menjadi jelas dan semakin jelas. Pasti aku masih pingsan sekarang, dan aku bermimpi melihat Bima menyandarkan kepalaku di pahanya.

    Tapi ini bukan mimpi. Ini nyata dan membuatku bingung harus berharap apa, karena kalau ini mimpi aku akan berharap untuk tidak segera bangun. Kalau sekarang mau gimana? Masa iya aku menutup mataku lagi dan pura-pura pingsan supaya bisa tiduran di pahanya lebih lama?

    Melihat aku sudah sadar, Bima menegakkan posisi tubuhku sehingga terduduk di depannya. Ternyata yang lain mengelilingiku dan memandangiku cemas. “Udah gak pa-pa sekarang,” kataku seraya mengelus-elus keningku perlahan. Diposisi tepatnya bola operan dari Alvi mendarat.

    “Bengong mulu sih lu, Mil,” seloroh Alvi, aku langsung menatapnya kesal.

    “Udah tahu orang bengong, malah dioper bola,” balasku tidak senang.

    “Udah tahu lagi main basket, malah bengong,” timpalnya. Oke, dia menang. Aku sedang malas berdebat sekarang. Tapi pertengkaran kecil kami malah membuat Bima tertawa kecil yang langsung ditutupinya begitu aku melihat ke arahnya.

    “Udah yuk main lagi, Emil udah bangun tuh,” ujar Alvi, yang lain langsung beranjak dari posisi masing-masing dan berjalan ke tengah lapangan.

    Begitu juga Bima, dia berdiri di sampingku dan tiba-tiba mengulurkan tangannya. Aku bisa melihat dengan jelas otot biseps-nya karena dia mengenakan kaos putih tanpa lengan. Lho? Kemana kemejanya?

    “Ayo main,” katanya seperti menjawab tatapanku yang penuh pertanyaan.

    Aku menyambut uluran tangannya dan dia membantuku berdiri. Ah seandainya aku bisa lebih lama menggenggam tangan itu. Harusnya tadi pura-pura masih lemah dan jatuh jadi bisa dibantu berdiri berkali-kali. Haha.

    “Sejak kapan lu main, Kak?” tanyaku sambil berjalan pelan ke tengah lapangan. Yang lain sudah menunggu sementara aku berjalan lebih lambat dari biasanya karena belum pulih benar.

    “Sejak lu pingsan,” jawabnya singkat.

    Aku bingung dengan jawabannya itu. Kalau sejak aku pingsan dia main, berarti apa yang mereka lakukan padaku sampai aku bangun. Pasti ada potongan cerita yang hilang nih.

    “Lho bukannya sejak gue pingsan, kalian udah ngelilingin gue kayak tadi?”

    “Kata siapa?”

    “Emang gitu kan?”

    Bima tertawa sendiri. Aku tahu ini bukan kali pertama dia tertawa sendiri melihat ekspresiku. Entah apa yang salah dengan ekspresiku, kupikir biasa-biasa saja. Aku memang sedang bingung sekarang dengan apa yang terjadi. Tapi dia malah tertawa begitu. Huh, rasanya menyebalkan.

    “Hampir sih,” katanya setelah tawanya terhenti. Kami sudah hampir tiba di tengah lapangan. Alvi pasti jengkel karena aku jalannya seperti keong mau kawin. Pengibaratan yang pas untuk jalan yang super-duper lambat kayak sekarang. Tapi aku punya alibi meskipun bohongan.

    “Maksudnya?”

    “Gini, pas lu pingsan, gue masuk gantiin lu. Nah gak berapa lama, temen lu yang namanya Deni itu izin balik, otomatis kita kurang orang dong buat main 3-on-3,” Bima memberi jeda sebentar. Aku terus memperhatikannya menunggu kalimat selanjutnya.

    “Jadi?” karena tidak sabar aku langsung bersuara.

    “Jadi setelah Deni pulang, baru deh kita semua usaha buat bangunin lu, Mil,” katanya sambil tertawa jahil dan langsung berlari ke tengah lapangan meninggalkanku.

    Kurang ajar!! Aku memperhatikan dia dengan kesal. Di tengah lapangan, Alvi dan yang lainnya tersenyum masam dengan wajah tanpa dosa. Tega banget bangunin temen yang pingsan pas sudah butuh doang. Aku mencoba berlari untuk mengejar Bima. Ingin kupukul mereka satu-satu.

    Begitu di tengah lapangan, kami membagi tim lagi dan skor diulang dari nol. Aku kembali satu tim dengan Alvi sementara Bima ada di tim lawan. Permainan langsung dimulai dan aku selalu waspada kalau Alvi memegang bola. Takut dia iseng dan melemparkan bola keras seperti tadi ke arahku.

    Pikiranku beberapa kali teralihkan ketika Bima mendribel bola. Meskipun dia masih mengenakan bawahan celana jins yang tidak terlalu ketat, dia cukup lincah bergerak dan melewati Alvi yang menghalanginya. Suatu ketika, aku mendapat kesempatan untuk menghalanginya. Aku merentangkan kedua tanganku untuk menghalang-halanginya. Sempat ada pikiran untuk bercanda dan dengan sengaja memeluknya. Tapi kuurungkan karera aku sudah tahu reaksi Alvi. Jitakan keduanya hari ini bakal mendarat mulus di kepalaku. Hiks, Alvi jahat.

    Entah bagaimana caranya, bermain basket dengan Bima membuat aku melupakan kejadian di bioskop itu. Melupakan sementara genggaman tangannya yang lembut itu, melupakan situasi canggung selama lebih dari setengah film itu, dan melupakan kegalauan yang menimpaku setelah kejadian itu. Seolah aku sudah tidak butuh jawaban. Gerakan tubuhnya ketika memainkan bola oranye seperti membiusku dan membuatku berhalusinasi jauh.

    Permainan berakhir ketika negara api menyerang. Eh ngaco. Ketika azan magrib berkumandang, kami mengakhiri permainan. Tim Bima menang dan aku langsung mencibirnya karena di awal dia bilang tidak jago main basket. Bohong.

    “Lu sama Alvi berantem mulu sih, kompak lah kalau main,” begitulah kilahnya begitu aku nyinyirin.

    Minggu-minggu selanjutnya, Bima jadi rutin ikut main basket denganku dan Alvi di komplekku. Padahal kemarin itu, katanya dia tidak sengaja melihatku sedang bermain setelah mengantar Aya pulang dari rapat OSIS, dan memutuskan untuk menonton sebentar walaupun akhirnya malah ikutan main. Dan sekarang, biarpun tidak ada keperluan dengan Aya, dia datang dan ikut bermain meskipun rumahnya bisa dibilang tidak terlalu dekat.

    Kadang dia menjemputku di rumah dan kami berjalan kaki berdua menuju lapangan basket. Sementara Alvi biasanya langsung menuju lapangan tanpa mampir ke rumahku dengan motor matic-nya. Perlahan tapi pasti, aku jadi selalu ingin cepat-cepat Sabtu sore. Dan aku menjadi aktif untuk mengajak dan merayu teman-temanku supaya bisa rutin main basketnya. Padahal sebelumnya aku yang paling angot-angotan.

    Alasannya? Tentu Bima. Siapa lagi?

    Biasanya aku sudah siap begitu dia menjemputku. Aya sudah tidak perlu bertanya lagi apa yang akan dilakukan Bima bila Sabtu sore datang ke rumah. Sudah pasti ingin main basket denganku, bukan mengajaknya malam mingguan. Hehe.

    Bermain basket dengannya seperti menjadi obat untuk rasa galau di hatiku. Demam kikuk yang sering kualami bila ada didekatnya pun perlahan-lahan mulai hilang. Meskipun aku belum mendapatkan jawaban dari Bima, atas alasan apa dia menggenggam tanganku waktu itu, tapi menghabiskan waktu bersamanya membuatku merasa semua itu tidak penting lagi. Kehadirannya membuat segalanya indah. Aku malah takut kalau aku memaksa dia memberikan alasan, apa yang telah menjadi rutinitas kami tiba-tiba menghilang dan aku akan semakin galau nantinya.

    Kubiarkan semuanya menggantung. Sampai panah peri cinta melesat dan mengenai talinya hingga akhirnya cinta menembus kidung hati kami masing-masing.
    **

Sign In or Register to comment.