“Aku bersedia memberikanmu apa saja agar kau percaya padaku.”
“Benarkah?Kalau begitu—berikan kedua matamu.”
:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:
-NUN-
(The Lost Sonata)
:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:
TLS #1 © God
Story © Holicmerahputih
Rated : T
Warning : Yaoi, Boys Love, Typo(s)
Genre : Drama & Romance
Length : Chaptered.
Point of View : Author
Title: -NUN-
SINOPSIS:
Kenalkan, aku
Thomas. Thomas Dhirgantara.
Di dunia ini, hanya ada dua hal yang bisa ku lihat;
Gelap dan Hitam.
Aku tak tahu mengapa aku bisa tiba di tanah dingin Seoul yang tak pernah bisa kulihat keindahannya. Sampai suatu ketika, aku bertemu dengan gadis bisu itu. Namanya
Eliana. Dia adalah gadis yang pertama kali mengenalkan ku kembali pada dunia setelah tiga tahun aku kehilangannya. Dengan lembut sentuhannya, aku bisa merasakan kembali kehangatan yang kutemukan di kota beku itu. Namun saat aku telah menaruh kepercayaan padanya, dia mencampakkanku di hari aku akan menaruh cintaku di hatinya!
Aku tak pernah bisa lagi percaya pada
apapun sejak hari itu.Hingga satu tahun berikutnya, di musim dingin selanjutnya, aku bertemu dengan pria bersuara
bass yang kembali menghangatkanku dengan misterinya.Mendengarkan setiap kisah yang aku utarakan padanya, serta selalu ada saat aku membutuhkan kehangatan.
Edgar. Namanya Edgar. dia datang tepat satu tahun setelah kepergian Eliana. Dan nyatanya, dia seorang
gay yang menaruh rasa suka padaku.
Akan kah aku harus terus setia menunggu Eliana untuk kembali dalam penantian tak berujung? Atau aku harus melupakannya dan mulai merajut kisah terlarangku dengan seorang pria bernama Edgar?
~Jika cinta itu buta, lantas kenapa harus memilih?!~
Comments
Orang buta selalu lebih peka dalam merasakan suasana hati seseorang. Masalahnya, aku buta namun tetap tak bisa menyelami dasar hatimu! Apa yang sebenarnya ingin kau utarakan?! Kau membiusku dengan kemisteriusan mu. Sama kalanya seperti orang dari masa lalu yang pernah meracuniku dengan perhatian dan kelembutan yang ia berikan. Kalian tak sama, tapi kenapa aku tampak familiar?!
Jika aku menyamaimu dengan wanitaku dulu, apakah aku juga akan mencintaimu seperti yang kurasakan pada wanita itu? Meskipun… yah… kau seorang pria.
Tapi aku buta! Pria dan wanita sama saja dimataku! Itu tergantung bagaimana kalian berdua bisa merebut hatiku tanpa memanfaatkan kepercayaan dan keadaanku.
1. Jung’s Café in Winter
THOMAS
Sekeping salju putih kala itu tengah turun anggun dari langit gelap tanpa matahari kala itu. Salju itu perlahan jatuh pelan dan menyatu dengan milyaran temannya yang telah lebih dulu menyapa Insa-dong, jalan utama di kota Seoul saat itu. Jalanan yang saat ini sangat licin dan berwarna putih akibat salju yang turun di penghujung bulan Desember. Ya, ibukota Negara Korea Selatan itu tengah mengalami winter.
Para penduduk, yang kebanyakan orang sibuk (maklum, saat itu adalah hari Senin), berlalu lalang memakai palto tebal disertai dengan syal, topi kupluk dan pelindung telinga disertakan dengan sepatu boot dan sarung tangan. Agak lebay memang jika mengingat bahwa musim salju di Asia, dinginnya tidak seekstrem di Eropa. Meskipun begitu, yang namanya winter pakaian kebangsaannya ya seperti itu.
Ketika jalan utama kota Seoul Begitu padat dilalui para masyarakat pribumi yang begitu sibuk, disejumlah gedung justru menyajikan kehangatan dan kenyamanan bagi mereka yang ingin melewati musim dingin tanpa merasakan hembusan angin beku diluar sana. Seperti apartemen, resto, mall, dan pelayananan publik lainnya. Mereka telah menyediakan pemandian air hangat, heater , shoju (untuk penghangat), dan yang paling populer, teh gingseng.
Ngomong – ngomong soal teh gingseng, disudut jalan terdapat sebuah Jung’s Café, yang kalau di Indonesia mungkin seperti sebuah café pinggir jalan. Jung’s Café menyediakan minuman populer di Korea itu ketika winter tiba. Aroma relaksasi membuat siapa saja mungkin ingin berlama – lama menyesapi kenikmatan teh gingseng. Apalagi ditambah dengan suasana hangat dan elegan disertai dengan suara musik klasik membuat tubuh beku akibat musim dingin, menjadi kehangatan tersendiri. Meski Jung’s Café tidak terlalu besar dan lebih mirip seperti bar, namun suara berisik terdengar riuh rendah sehingga tidak mengganggu telinga yang mencintai ketenangan.
Namun, semua ketenangan itu tidak terlalu menarik bagi seorang pemuda berwajah Asia Tenggara yang duduk didekat sebuah kaca jendela Jung’s Cafe. Meski kursinya cukup lebar dan berhadap – hadapan, tapi dia hanya duduk sendiri. Tanpa siapapun dan tanpa ekspresi apapun. Tatapannya hanya tertuju pada satu arah, tapi pandangannya kosong! Tak memandang apapun. Ditangannya terdapat sebuah pensil lukis dan buku gambar. Siapapun yang melihat, pasti akan tahu kalau ia seorang pelukis.
Tapi tunggu dulu, buku gambarnya kosong! Sedari tadi ia hanya memegang dua benda itu tanpa menggerakannya. Bahkan beberepa senti dari ujung jari kirinya, didekat kaca jendela, ada secangkir teh gingseng yang asapnya masih mengepul. Sepertinya belum diminum sama sekali. Jika terlalu lama di biarkan, teh itu mungkin akan menjadi es.
Thomas.
Pemuda yang berasal dari Indonesia itu kini tengah duduk menikmati secangkir teh gingseng seperti hari – hari biasanya. Tiap pagi menjelang siang, pasti ia selalu berkunjung ke Jung’s Café untuk sekedar duduk – duduk sendirian. Berdiam diri tanpa teman. Dan selalu membawa alat – alat yang sama; buku gambar, pensil lukis, dan… tongkat?!
Selain alat yang selalu ia bawa itu sama saja, kebiasaan yang ia lakukan di Jung’s Café juga sama saja; hendak melukis, namun tak satupun siluet titik tampak di buku gambarnya yang kosong melompong. Begitulah yang ia lakukan sampai akhirnya ia pergi lagi. Dan besoknya, ia datang kembali dan melakukan kebiasaan yang sama lagi. Dan besoknya lagi. Dan besoknya lagi. Tak satupun halaman dibuku gambar itu ia lukis sesuatu.
Selalu ada penyesalan dalam dirinya ketika ia hanya duduk dan terdiam. Seharusnya tangannya bisa menggambar dan mahir membuat sesuatu yang nyata dalam penanya. Namun belakangan ini, imajinasinya hilang. Ia tak melihat apapun kecuali kegelapan. Ia tak melihat warna apapun kecuali hitam. Semuanya tampak kosong. Dunia sepertinya sudah hilang dari matanya sehingga ia tak bisa menyimpan memori apapun untuk dapat ia tuangkan dalam lukisan. Ia kehilangan imajinasi dan bakatnya setelah peristiwa yang membuat ia harus menutupkan mata tapi bukan mati.
Ya, Thomas buta!
Tak ada yang bisa dilihat kecuali gelap. Dan semua ini terjadi akibat peristiwa tiga tahun yang lalu. Peristiwan ketika ia masih tinggal di Indonesia. Ketika Thomas masih menginjak usia 17 tahun. Ketika ia berbakat menjadi seorang Da Vinci muda karena ketersohorannya dalam melukis lukisan semi – realist.
Kepiwaiannya dalam menuangkan imajinasi membuatnya mendapatkan galeri pribadi dan pameran tunggal diusianya yang masih belia. Siapa yang tak mengenal Thomas Dhirgantara, pelukis asal Indonesia yang karyanya telah mencapai luar negeri. Begitu banyak para pecinta seni yang berdecak kagum akan karya – karyanya. Ia telah disegani sejak dulu dan menjadi kebanggaan ibu dan almarhum ayahnya.
Namun peristiwa itu seketika membuatnya berubah.
Saat itu, ketika diantar oleh ayahnya untuk menemui jumpa pers di galeri pribadinya, sebuah truk menabrak mobil yang tengah dilajukan oleh Thomas dan sang ayah. Mobil mereka terpelanting hingga keluar jalan tol dan terjerembab di tengah jalanan kota Jakarta. Begitu mengerikan takdir yang diberikan Tuhan untuk Thomas. Sangat mengenaskan! Namun apadaya, peristiwa itu memang sudah digariskan Tuhan untuk mereka berdua.
Akibat kejadian itu, Thomas kehilangan segalanya. Ia kehilangan penglihatannya akibat serpihan kaca mobil yang menusuk membutakan matanya. Ia bahkan harus kehilangan ayahnya dalam kecelakaan itu. Otomatis ia kehilangan bakatnya dalam dunia seni visual. Terjebak dalam kegelapan tanpa bisa menuliskan warna lagi di kanvas yang biasa sehari – hari ia lakukan.
Menurutnya, melukis seperti sebuah diary. Ia bisa menggambar apapun untuk menuangkan apa yang ia rasakan kedalam sebuah kertas dan kanvas. Memanifestasikan rasa kedalam warna – warna yang tampak indah ataupun suram dalam matanya. Namun tanpa kedua bola matanya, apa yang bisa ia tuangkan kecuali gelap? Warna apa yang bisa ia manifestasikan selain hitam?
Tak ada.
Itulah yang saat ini dapat dilihat oleh Thomas. Tak ada yang lain selain dua hal itu.
Kini, ia pindah ke Seoul untuk bisa membuang sisa – sisa masa pahitnya selama tiga tahun terakhir selepas ia kehilangan pandangannya. Entah apa yang ada di Seoul, keindahannya bahkan tak dapat ia nikmati. Hanya suara gaduh yang ia bisa dengar. Namun ia tidak suka keramaian, berisik! Ia lebih suka sendiri. Hidupnya kini dihabiskan untuk dirinya sendiri. Meskipun di Seoul, ia tinggal bersama kakak perempuannya; Senja. Namun Thomas merasa sendirian. Senja hanyalah formalitas yang memungkinkan dia untuk mendapatkan `kandang` dan makanan dalam hidupnya.
Hhh… seperti seekor anjing saja. Hidup untuk makan tiga kali sehari seperti seekor binatang! Apa yang membuat manusia bisa memaknai hidup kecuali hal tersebut?
Thomas menghela nafas. Untuk kesekian kalinya, ia mengakhiri kebiasaan tanpa melukisnya dengan meremukkan lembaran buku gambar. Menuangkan segala emosi dan menjatuhkan setitik airmata. Hanya setitik! Ia tak boleh kelihatan lemah di mata orang – orang. Meski ia buta, ia tak boleh lemah. Meskipun kini hatinya tengah dirundung kesakitan.
Tangannya meraba – raba sebelah kanannya. Ia menggapai tongkat dan hendak pergi. Tanpa meminum secangkir teh gingseng yang tiap harinya ia pesan. Ia mengeluarkan tiga lembar kertas uang won Korea dan ia taruh diatas meja. Thomas tak mengharapkan uang kembalian karena yang ia tahu, ia hanya memberikan tiga kertas biasa. Seperti itulah kebiasaannya jika berkunjung ke Jung’s Café.
Ia memasukkan pensil dan buku gambarnya kedalam tas ransel dan berdiri perlahan dengan tongkatnya. Kemudian ia berjalan menuju pintu keluar dengan meraba – raba lantai dan mengetukkan – ngetukkan tongkatnya. Ia sudah hafal betul posisi meja – meja, kursi tempatnya biasa mangkal (karena kalau Senin pagi, kursi itu selalu kosong), serta pintu yang biasa ia lewati untuk masuk dan keluar. Ah, kebiasaan yang berulang. Ia tak bisa belajar sesuatu yang baru untuk sekarang ini. Setidaknya sampai ia menemukan seorang pendonor mata yang tepat.
-oOo-
EDGAR
Ketika Thomas keluar dari Jung’s Café dengan mengenakan palto cokelat terangnya, seseorang tengah memperhatikan gerak – gerik pemuda tropis tersebut. Memperhatikan lewat matanya yang tajam dan gelap. Memperhatikan setiap harinya saat Thomas datang dan pergi ke Jung’s Café. Ada rasa yang melankolis disana ketika ia memperhatikan wajah Thomas yang dingin tanpa senyum, serta matanya yang (sebenarnya) sangat indah bak mutiara yang disiram bias mentari. Sangat mempesona.
Tapi sayang, mutiara itu kini tengah cacat! Kilaunya tak menampakkan keindahan bagi pemiliknya. Yang ada hanya kebekuan. Seperti halnya musim salju di Seoul saat ini. Beku dan dingin.
Sang pengagum rahasia itu tak memalingkan pandangannya dari balik meja bar kasir. Meski Thomas telah pergi, namun tatapannya tak lepas dari pintu keluar tempat Thomas terakhir kali meninggalkan Jung’s Café. Beberapa detik ia terpaku dalam lamunannya.
“Hyung ~ yah!” Panggil seorang pegawai Korea yang berdiri disebelah pemuda Asia Tenggara yang melamunkan Thomas. “Jangan karena alasan pelanggan favoritmu datang, dan kau jadi melamun seperti keledai tuli!” Kata pegawai Korea yang berwajah aegyo itu.
Karyawan Indonesia itu tersenyum malu – malu. Lalu kemudian mengucapkan maaf kepada karyawan Korea yang selama ini menjadi partnernya bekerja. Karyawan Korea itu hanya menggelengkan kepala.
“Mianhae Tim – yah , sepertinya aku lagi – lagi begitu terpikat pesonanya.” Kata pemuda Indonesia itu.
Tim Hwang, petugas Korea berusia 21 tahun, yang selama ini menjadi pelayan kasir di Jung’s Café. Nama aslinya Hwang Young-Min namun lebih suka dipanggil dengan nama Tim karena ia pernah tinggal di Kanada. Wajahnya mirip seperti orang Korea kebanyakan; putih, sipit, dan rambut hitam kecokelatan. Sudah bekerja selama lima tahun menjadi pelayan kasir. Dan selama itu pula ia bekerja bersama karyawan mahasiswa dari Indonesia; Edgar Baskoro yang membuat Tim cukup kagum padanya.
Edgar sendiri baru dua tahun bekerja di Jung’s café untuk menambah biaya hidupnya selama ia menjadi mahasiswa management program magister di Seoul National University. Ia tak mungkin mengandalkan keuangan orang tuanya yang cuma seorang petani jagung di jawa Timur. Setidaknya, menjadi mahasiswa disalah satu universitas favorit di Seoul menjadi nilai tersendiri bagi Edgar dan keluarganya.
Melihat sikap pantang menyerah dari Edgar lah yang membuat Tim sangat kagum kepada pemuda Indonesia yang ~ menurutnya ~ sangat Heenim alias, cowok cantik tersebut. Bagaimana tidak, Edgar sendiri memiliki postur tubuh ramping tapi tidak kurus. Kulit mulus dan putih meski tidak seputih orang Korea kebanyakan. Wajah yang bersih dari jerawat serta hidungnya yang mungil. Ditambah lagi dengan bibirnya yang tipis dan merah. Dan yang membuat Edgar menjadi sesosok girly boy adalah matanya yang berbulu mata lentik, dan manik matanya yang cerah meski gelap.
Jika Edgar memakai cadar, mungkin saja akan banyak orang – orang melihatnya sebagai gadis bangsawan dari Pakistan.
Meski begitu, Edgar bukanlah pria yang menunjukkan sisi feminimnya. Meski imut, ia jarang memasang wajah cute nya yang kadang membuat orang – orang gemas padanya. Ditambah lagi, meski kulitnya halus, tapi Edgar adalah seorang pekerja keras dan tidak cengeng. Itu terbukti dari usahanya untuk bisa mengecam pendidikan di luar negeri.
“Kenapa tidak kau dekati saja, hyung?” tanya Tim. Edgar mengernyitkan dahinya sambil menatap Tim.
“Maksudmu, orang Indonesia itu?” tanya Edgar.
“Tentu saja aku membicarakan namja itu. Kau pikir aku membicarakan siapa?” Kata Tim yang kesal karena sifat Edgar yang kadang berpura – pura bodoh.
“Mustahil.” Gumam Edgar singkat.
“Apanya yang mustahil? Kalian sama – sama dari Indonesia. Lagipula, sepertinya namja itu buta. Kau bisa menarik simpati padanya.” Kata Tim.
“Tidak semudah itu, Tim ~ yah. Lagipula dia sepertinya straight.” Kata Edgar sambil menunduk membereskan gelas – gelas di bar kasir. Tim hanya terdiam. Ia merasakan ada jawaban lain yang harusnya diutarakan Edgar.
“Kau khawatir setelah dia tahu kau gay, maka dia akan menjauhi mu, kan?” Tanya Tim hati – hati. Edgar tak menjawab. Ia tak mau mengungkit masa lalunya yang pernah ia ceritakan kepada Tim. Perjalanan pahitnya sebagai seorang gay.
Ya, Edgar adalah seorang gay dan Tim mengetahuinya. Selama ini, Edgar mengamati Thomas karena mungkin, ia jatuh cinta kepada pemuda bermata berlian itu. Namun ia takut, kejadian seperti beberapa bulan yang lalu terulang kembali jika mungkin pria yang ia kagumi ~Thomas~ mengetahui sisi tergelapnya bahwa ia penyuka sesama jenis. Itupun jika ia punya keberanian untuk mendekati Thomas lebih jauh.
“Maaf, aku tak bermaksud untuk membuka lukamu, hyung.” Kata Tim sambil menggigit bibir bawahnya.
“Tak apa. Tak ada yang salah disini.” Kata Edgar sambil tersenyum untuk membuktikan bahwa ia tak apa – apa. Tapi itulah yang membuat Tim menjadi tak enak hati pada Edgar. Edgar tak pandai menipu karena mimik wajahnya akan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.
“Ngomong – ngomong bagaimana pendapatmu tentang orang tadi. Siapa, ya? Kau tahu namanya?” Tanya Edgar mengalihkan pembicaraan.
“Pemuda Indonesia favoritmu itu? Entahlah, aku tak tahu siapa namanya. Yang Ku tahu, dia cukup lumayan untuk ukuran orang tropis. Tak ada yang menarik sebenarnya, tapi itu yang jadi daya tariknya. Wajahnya sedap dipandang meski kurang tampan.” Gumam Tim sambil memainkan bola matanya keatas. Penilaian yang netral sekali.
“Kenapa memangnya? Akhir – akhir ini kau sering memperhatikan pelanggan kita yang satu itu?” Tanya Tim. Tim lalu tersenyum dan menggerak – gerakkan alisnya sambil melirik nakal. “Kau jatuh cinta padanya, kan?” Tanya Tim.
Muka Edgar memerah.
“Hei, siapa bilang aku jatuh cinta padanya?” Kata Edgar berkilah. “Lagipula aku hanya bertanya padamu tentang orang tadi!”
Tim cengengesan. Seperti sedang memegang kartu mati Edgar. Matanya yang sipit membentuk sabit terbalik hingga menimbulkan lesung di pipi kanannya. Sangat menawan. Tapi anehnya, meski Tim sangat mempesona, Edgar tak terlalu menyukainya. Maklumlah, Edgar masih menyukai barang lokal.
“Wajahmu seperti tomat dikala malu – malu. Lucu sekali.” Kata Tim sambil mengacak – acak rambut Edgar. Edgar merasa sebal dengan tingkah yang dilakukan Tim. Namun siapa yang tidak gemas dengan tingkah aegyo yang tidak sengaja dibuat Edgar? Sehingga Tim tak tahan untuk mencubit pipi Edgar. Edgar merungut kesal.
“Aku tidak jatuh cinta padanya!” tegas Edgar pada Tim sambil merapikan rambutnya dan mengelus – elus pipinya. “Aku hanya, begitu ingin mengenalnya lebih dekat.” Kata Edgar, mendadak jadi melankolis.
“Maksudmu?” Tanya Tim tak paham. Edgar terdiam dan mendesah pelan.
“Tidak kah kau lihat bola matanya? Dia begitu… menderita.” Gumam Edgar. Tatapan matanya beralih kearah pintu masuk Jung’s Café. Pintu itu kini sedang dilewati oleh seorang pria paruh baya berpakaian bonafit. Berkacamata dan agak botak. Tapi, Edgar tak mempedulikan siapa yang tengah masuk ataupun keluar. Pikirannya melayang – layang, membayangkan kembali wajah Thomas yang begitu sedih dalam kerasnya tatapan yang ia berikan.
“Tentu saja dia menderita. Dia kan buta.” Kata Tim.
“Tidak, bukan buta yang membuatnya sedih, menurutku.” Kata Edgar.
“Sok tahu kau hyung!” Kata Tim sambil menyikut bahu Edgar.
“Tidak, aku bisa merasakannya akhir – akhir ini. Saat ia membawa buku gambar dan pensil lukis itu, seolah ia kehilangan sesuatu namun tak pernah ia uraikan kepada orang lain. Ia menyimpan deritanya sendirian. Seperti itulah yang kutangkap dari sinar matanya.” Kata Edgar. Matanya masih terpaku pada pintu.
“Ah sudahlah hyung ~yah! Kau terlalu puitis untuk memikirkan orang lain.” Kata Tim sambil mengibas – kibaskan tangannya didepan mata Edgar. Edgar tak membalas. “Ngomong – ngomong, oppa mu datang!” kata Tim sambil menunjuk kearah pintu masuk. Edgar langsung tersedot ke dunia nyata. Mendapati seorang pemuda korea berambut klimis mirip Siwon Super Junior dan bentuk wajah mirip aktor tampan Jang Geun-Suk, namun yang ini versi pakaian kasual. Dan tidak memiliki lesung pipi seperti Siwon SuJu, ataupun Tim.
Sosok tinggi itu tersenyum ketika menghampiri meja kasir. Menatap ramah kearah Tim dan Edgar. Tim tersenyum menatap pemuda itu. Sementara Edgar, tersenyum ragu karena ia merasa tak enak dengan tatapan yang ditujukan oleh Jo In-Ho, pemuda itu!
“Annyeong haseyo ,hyung!” Sambut Tim ramah. “Mau pesan apa?”
In-Ho hanya tersenyum dengan sapaan Tim. Padahal ia sudah sering berkunjung ke Jung’s Café dan datang hanya untuk sekedar say hallo saja pada Tim dan Edgar. Dan kali ini pun tujuannya juga sama.
“Selamat pagi Tim ~ yah. dan…” In-Ho menatap kepada Edgar yang membuang muka. Ketahuan sekali sedang tidak mau menatap In-Ho lama – lama. “Prince aegyo.” Panggil In-Ho kepada Edgar. Edgar hanya melirik sekilas dan memberikan senyum simpul. Setelah itu ia diam kembali dan mengalihkan tatapannya.
“Mau pesan apa?” Tanya Tim untuk kedua kalinya.
“Ah, Ani ! Aku kesini tak mau makan apa – apa! Aku hanya ingin berjumpa dengan kalian.”Kata In-Ho sambil melirik kearah Edgar. Edgar tak acuh. Tim menyadari situasi dan mencoba untuk menjahili Edgar.
“Atau mau pesan Edgar ~hyung?” Tanya Tim jahil. Edgar mendongak dan menatap galak Tim sambil menginjak kakinya. Tim hanya cengengesan, sementara In-Ho hanya memberikan senyum simpul dan menundukkan wajahnya.
“Kampret!” Rutuk Edgar galak dengan menggunakan bahasa Indonesia.
“Hah?! Apa?” In-Ho yang tak mengerti maksud Edgar sontak bertanya maksud dari perkataan Edgar. Edgar terkesiap.
“Nnngg… bukan apa – apa! Hanya bahasa Indonesia yang tidak bermutu. Jangan dipedulikan.” Kata Edgar. Dan untuk pertamakalinya, Edgar akhirnya berbicara pada In-Ho hari itu.
In-Ho hanya menaikkan sebelah alisnya. Membuatnya tampak keren. Ia memberikan senyum tipis di bibirnya yang merah.
“Oooh. Araso .” Gumam In-Ho. Merasa kedatangan dirinya cukup `mengganggu` bagi Tim dan Edgar (Terutama Edgar). Akhirnya In-Ho mencari alasan untuk pergi dari sana. “Mmmm… mianhae. Sepertinya aku tak bisa berlama – lama. Aku harus pergi memeriksa rumah sakit. Lain kali kita bertemu ya.” Kata In-Ho dan ia pun langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
Tim melambaikan tangannya sambil tersenyum ramah. Sementara Edgar, lagi – lagi membuang mukanya ketika ia tahu In-Ho memperhatikannya sebelum melewati pintu keluar.
“Tim, aku membencimu dan jangan tanyakan kenapa!” Kata Edgar sok galak dengan memasang wajah juteknya. Ia menyilangkan tangannya didepan dada.
Tim hanya tertawa kecil ketika melihat teman Indonesianya merungut kesal.
“Kenapa memangnya? Bukankah dia tampan dan kaya?” Kata Tim menggoda.
“Kuakui dia tampan. Tapi aku tidak suka dengannya.” Kata Edgar.
“Tapi sepertinya dia suka padamu, koq.” Kata Tim. Edgar mengernyitkan dahi dan menatap aneh pada Tim.
“Kau tahu darimana dia menyukaiku? Memangnya In-Ho juga seorang gay?” Tanya Edgar kaget.
“Tidak. Aku hanya menebak – nebak saja.” Jawab Tim santai. Edgar mendengus kesal.
“Kamu terlalu sok tahu!” kata Edgar.
“Lho, aku melihat tatapan matanya sangat berbeda kepadamu. Seolah – olah dia datang kemari hanya untuk menemuimu. Lagipula… dia menjadi dekat denganmu setelah aku memberitahunya bahwa kau seorang gay.” Kata Tim sambil memasang wajah aegyo nya. Edgar memutar bola matanya.
“Ya, terimakasih sudah memberitahukan aibku.” Sekali lagi Edgar mendengus sebal.
“Lho, dia koq yang bertanya tentang dirimu,hyung.” Tegas Tim tak mau disalahkan. Dan akhirnya, Edgar hanya menghela nafas. Tak menghiraukan lagi apa yang dibilang oleh Tim. Ia lebih memilih diam.
“Jika suatu saat nanti dia menyatakan cintanya kepadamu, bagaimana,hyung?” Tanya Tim tiba – tiba.
Edgar tersedak ludahnya sendiri dan bahkan masih sempatnya menjitak kepala Tim. Tim mengelus – elus kepalanya yang kena jitak teman Indonesianya itu.
“Jangan ngarang kamu! Moga aja itu nggak terjadi. Tipeku itukan bukan orang – orang Korea. Lagipula kalau beneran terjadi, nggak akan aku terima!” Kata Edgar galak. Tim mengerucutkan bibirnya dengan perasaan dongkol Karena dimarahi oleh Edgar. Sangat lucu melihat mereka berdua.
Akhirnya mereka tak meneruskan percakapan karena beberapa pelanggan mulai berdatangan mendekati jam makan siang.
-oOo-
.
.
.
.
.
.
Kosakata:
1. Heater Pemanas Ruangan
2. Shoju Sejenis minuman Keras asli Korea
3. Hyung(Korea) Panggilan untuk laki – laki yang lebih tua.
4. Aegyo (Korea) Imut.
5. Mianhae/Mianhaeyo (Korea) Maafkan aku.
6. ....~yah Panggilan untuk orang yang lebih muda atau yang sudah sangat dekat. ex: Tim~yah, Edgar~yah.
7. Namja(Korea) Laki – laki.
8. Anyyeong Haseyo (Korea) Hallo (panggilan formal)
9. Ani/Aniyo (Korea) Tidak.
10. Araso (Korea) Baiklah.
“Besok jadi kan, Na?” Tanya Senja sambil memegang sebuah ponsel yang ia sematkan di telinganya.
“Aduh Senja, kenapa buru – buru banget sih? Aku kan besok ada peragaan busana. Bisa gak sih di undur beberapa hari aja.” Kata seseorang diseberang sana. Senja sedang berbicara dengan seorang wanita.
“Aduh, gak bisa, Na. soalnya aku udah bilang sama adik aku kalo misalnya kamu udah siap buat ketemuan sama dia. Kalo misalnya dibatalin, percuma aja dong aku udah janji – janjian sama adik aku.” Kata Senja sedikit kesal. Nadanya meninggi.
“Duh. Tapi gimana ya. Aku banyak banget kerjaan yang numpuk nih. Soalnya besok udah harus deadline.” Gumam wanita diseberang sana tampak menyesal.
“Bentar aja koq, Na! Kamu cuman ketemu dan bertegur sapa aja sama dia. Nggak lebih.” Tegas Senja. Suara diseberang sana terdiam. Tampak menimbang.
“Pliisss…” Senja tak meninggalkan kesempatan. Biasanya kalau sudah terdiam, itu tandanya sahabatnya sedang berfikir, dan kalau sedang berfikir, biasanya sahabatnya mudah dibujuk.
“Nnngg… ya udah deh.” Kata suara diseberang sana.
“Yesss…! makasih ya, Na. dijamin kamu nggak bakal nyesel deh sama adik aku.” Kata Senja semangat.
“Iya – iya. Tapi aku nggak bisa lama – lama ya.”
“Oke, Na. yang penting kalian udah pernah ketemuan dulu.” Kata Senja.
“Oke, yaudah. Besok jam tiga sore. Tempatnya dimana?”
“Jung’s Café. Itu tempat favorit adikku.”
“Oke nanti aku hubungi lagi. Sekarang aku mau kerja dulu,nih.” Suara diseberan sana hendak mematikan ponselnya.
“Eh! Tapi tunggu dulu, Na.” Sergah Senja cepat.
“Apa?”
“Adik aku itu… buta.” Senja tampak menggigit bibir bawahnya. Tampak was – was dengan jawaban yang akan diberikan lawan bicaranya. Beberapa detik terdiam. Senja tak sabaran menunggu.
“Oke, sampai jumpa besok.” Hanya itu jawaban yang diberikan. Tapi itu sudah cukup membuat hati Senja lega. Meskipun masih ada sesuatu yang mengganjal disana.
Senja mengklik ponselnya dan memutuskan percakapan. Ia melempar benda mungil itu ke atas sofa disebelahnya. Sementara ia menghempaskan tubuhnya untuk duduk didepan perapian.
Eliana. Wanita yang ia telepon tadi. Seorang model sekaligus perancang busana dari Indonesia yang menjual bakatnya di negeri Korea. Senja sendiri sudah mengenal Eliana lebih dari lima tahun karena keduanya pernah mengecam bangku kuliah bersama – sama di Oxford University meskipun mereka berbeda jurusan. Dalam pandangan Senja, Eliana lumayan cantik. Itu dikarenakan keturunan Spanyol dari ayahnya sehingga membuat gen Antonio Banderas mengalir di darahnya. Usianya kurang lebih sepantaran dengan Senja. Namun bisa dibilang, Eliana lumayan cocok jika disandingkan dengan Thomas.
Ahh… Thomas. Kali ini pikiran Senja dipenuhi oleh adik semata wayangnya itu. Entah sudah berapa kali nada prihatin keluar dari mulutnya ketika mengingat wajah Thomas. Di usianya yang masih belia, ia harus menanggung nasib yang mengenaskan, yakni kehilangan dua penglihatannya. Padahal, Thomas terlalu sempurna untuk menjadi buta. Thomas cukup tampan, pintar, dan baik. Belum lagi ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang di negerinya. Sangat kontras untuk gelar sebagai pangeran tampan padanya.
Namun sepertinya Tuhan tak ingin disamakan kesempurnaannya. Thomas dibuat buta sejak tiga tahun yang lalu. Membuatnya harus kehilangan bakatnya dalam bidang seni. Padahal, Thomas adalah seorang pelukis tersohor dan terkenal karena kepiawaiannya di usia semuda itu.
Dan sore tadi, Senja sengaja menelepon Eliana. Mungkin bagi yang tak tahu, akan berpikir bahwa Senja sedang jadi mak comblang antara Thomas dan Eliana. Tapi ini semua dilakukan Senja untuk kebaikan Thomas. Bayangkan saja, Thomas sebentar lagi akan menginjak usia 21 tahun. Sudah seharusnya ia mengenal yang namanya wanita dan cinta. Tidak lagi merutuki nasibnya yang tak bisa melihat. Meskipun Senja tak pernah melihat Thomas begitu menyesal dengan kebutaannya, namun Senja tahu, pancaran mata Thomas menyiratkan bahwa ia sangat menderita, menutup diri meski membutuhkan seorang teman. setiap hari Thomas hanya bertemankan kegelapan.
Teman – teman yang mendekatinya, yang Senja tahu, tidak benar – benar ingin menjadi sahabat Thomas. Tapi mereka meminta kekayaan Thomas. Apalagi setelah kebutaan Thomas, dirinya semakin sering diperalat oleh teman – temannya. Mungkin itulah yang membuat Thomas menyimpan lukanya sendirian. Yang membuatnya sangat trauma dan tidak lagi percaya kepada orang – orang yang murni peduli padanya.
Karena Thomas yang selalu menutup diri dan pendiam, akhirnya Senja (yang bekerja di KBRI untuk Korea) mengajak Thomas untuk tinggal bersamanya di Seoul. Entah untuk apa Senja mengajak adiknya kesana. Yang jelas, Thomas harus menjauh dari kehidupan pahitnya di Indonesia dan harus menemukan kehidupan baru disini.
Padahal, kalau dipikir pun sama saja. Seoul hanyalah sebuah bayangan gelap bagi Thomas. Tak tampak keindahannya. Namun entah mengapa, Senja selalu yakin bahwa Thomas akan menemukan kebahagiannya disini!
Dan sudah setahun lebih Thomas tinggal disini. Disebuah apartemen mewah yang cukup luas dan mungkin terlihat mahal. Itu karena Senja dan Thomas berasal dari keluarga Dhirgantara, keluarga yang memiliki produk ternama, tambang emas, serta saham – saham di perusahaan terkenal. Tak heran jika almarhum ayahnya dan ibunya adalah orang sibuk. Itu sebabnya hanya Senja dan Thomas yang tinggal di Seoul. Bersama dengan seorang pembantu pribadi keturunan pribumi, yang selama ini sudah dianggap sebagai ibu bagi mereka; Bibi Yuna.
Ngomong – ngomong soal Thomas, dimana dia? Bukankah seharusnya ia sudah pulang?
Suara handle pintu dibuka. Pertanda ada seseorang yang masuk. Senja tak perlu menebak – nebak siapa yang datang. Dari ketukan tongkatnya, ia tahu yang datang adalah Thomas.
Itu dia! Baru saja di bicarakan.
Senja bergegas menuju ke pintu depan. Ia membantu Thomas yang melepaskan palto dan syalnya. Thomas tak bergeming. Matanya terfokus pada satu arah namun tak benar – benar menatapnya.
“Tepat waktu.” Puji Senja sambil tersenyum. Ia segera menutup pintu karena tubuh tropisnya tak tahan dengan dinginnya musim es diluar. Meskipun pintu keluar mereka adalah sebuah koridor apartemen, namun ruangan koridor tidak dilengkapi heater, kan?
“Aku seperti biasa hanya ke Jung’s café saja.” Kata Thomas. Suaranya menge – bass. Khas sekali dengan suara berat laki –laki.
“Kenapa kau betah sekali kesana?” Tanya Senja basa – basi. Thomas tersenyum. Kemudian ia melangkah maju sambil meraba – raba lantai dengan tongkatnya.
“Setiap pagi, Café itu selalu mendendangkan lagu klasik kesukaanku-eonnie .” Kata Thomas riang. Kemudian ia menuju perapian dan meraba – raba tangan kanannya. Mencari – cari kursi untuk ia duduki. Setelah aman, ia menghempaskan tubuhnya disana. Beruntung Thomas sudah hafal betul tata letak apartemen kakaknya.
“Oh, iya? Kau punya lagu klasik kesukaan? Kupikir kau lebih menyukai lagu – lagu rock.” Kata Senja yang juga menghempaskan tubuhnya untuk duduk diatas kursi.
“Hahahaha.” Thomas tertawa renyah. Meski untuk kesekian kalinya, Senja mendapati tawa Thomas serasa berat untuk dikeluarkan. “Aku juga menyukai lagu klasik. Yah, meskipun akhir – akhir ini aku baru mengenali karya – karya yang diciptakan Beethoven.” Kata Thomas.
“Oh, jadi Beethoven.” Kata Senja mengangguk paham.
“Memangnya lagu apa?” Tanya Senja.
“Mmm…” Thomas tampak berpikir sejenak. Hingga beberapa saat kemudian, ia mengalah pada otaknya yang terkadang lupa terhadapa hal – hal sepele. “Ah… aku lupa judulnya apa. Yang kutahu, ada kata `Sonata` disana.” Kata Thomas.
Jujur, senja tak menyukai lagu – lagu klasik sebangsa Beethoven, ataupun Mozart. Ia lebih menyukai lagu – lagu bergenre Romantis masa kini. Sehingga apa yang dikatakan Thomas, ia tak terlalu paham kecuali hanya nama Beethoven yang ia tahu. Itupun hanya tokoh musiknya, tidak untuk karya – karyanya.
“Oke, jadi… Sonata?” Tanya Senja.
“Untuk saat ini, kita panggil saja judulnya begitu.” Kata Thomas sambil tersenyum. “Ngomong – ngomong, dimana ahjumma ?” Tanya Thomas. Thomas biasa memanggil bibi Yuna dengan sebutan ahjumma.
“Di dapur. Sedang memasak makan siang.” Kata Senja.
“Hmmm… baiklah. Sepertinya aku harus kembali ke kamar dulu untuk mengganti pakaian.” Kata Thomas. Ia kemudian berdiri dan meraih tongkatnya lagi. Dan sekali lagi, ia mencoba menghafal tata letak ruang tamu agar ia bisa berjalan dengan ‘selamat’ menuju kamarnya di lantai dua.
“Nnng… tunggu dulu Thomas.” Sergah Senja menghentikan langkah Thomas.
“Ya, ada apa i?” Tanya Thomas menoleh. Meski arah matanya tidak tepat menatap Senja.
“Besok kau ada waktu?” Tanya Senja.
“Untuk?” Tanya Thomas langsung. Senja mencari kata untuk bisa menjelaskannya.
“Mmmm… begini.” Senja terdengar menghela nafas sebelum memulai ceritanya.“Aku ingin mengenalkan teman ku padamu.” Begitulah kata Senja. Namun Thomas sudah mengerti banyak apa yang dimaksudkan oleh Senja.
Thomas tertawa kecil.
“Eonnie-yah, Aku nggak merasa kesepian.” Kata Thomas sambil ~memaksakan~ tersenyum.
“Maksudmu?” Tanya Senja.
“Aku sudah tahu apa yang akan dilakukan eonnie nantinya. eonnie mau jadi mak comblang?” Tanya Thomas yang lebih mengarah pada cibiran halus.
“Nnngg… maksudku bukan begitu. Aku hanya ingin, kau bahagia disini.” Hanya itu yang dapat dijelaskan Senja. Terlalu to the point. Tapi mau bagaimana lagi, Thomas sudah mengetahui apa maksud dari kakaknya. Sehingga sekali lagi Thomas tertawa pahit.
“Aku sudah cukup bahagia disini, eonnie. Aku sudah jauh dari orang – orang yang menguciliku karena aku buta. Atau orang – orang yang hanya bersimpati kepadaku ketika mereka tahu bahwa aku adalah putra Dhirgantara.” Kata Thomas sedikit lebih tegas. Kali ini tanpa tawa yang meremehkan.
Senja terdiam. Ia dapat melihat bahwa adiknya sebenarnya kesepian. Sangat jelas sekali dari caranya merespon.
“Yang kumaksudkan adalah bukan ketika kau bahagia saat sendirian. Tapi ketika aku melihat kamu bahagia saat kau mempunyai teman. Atau jika mau, aku ingin melihat kau bahagia ketika kau memiliki seorang kekasih.” Kata Senja menjelaskan. Thomas sedikit terusik namun tak menunjukkan respon yang berarti.
“Thomas, aku hanya ingin membahagiakanmu selama kau berada disini karena kau tanggung jawabku. Lihatlah tempat ini, Seoul, bukankah sangat cantik tapi kau…mmm… tak bisa melihatnya?!” Kata Senja hati – hati. “Aku hanya ingin kau memiliki seseorang yang bisa mengenalkanmu akan indahnya warna dunia yang dulu pernah kau lihat. Aku atau pun mama, tidak akan terus menerus memahami perasaanmu. Karena kau sudah dewasa dan kau perlu mencari pelengkap hidupmu, Thomas.”
Thomas menghela nafas.
“Aku tahu maksud tujuanmu eonnie, Kau menyuruhku untuk mencari pendamping hidup, kan? Girlfriend?” Thomas langsung dapat menebak.
“Jika pun kau tak bisa melihat, aku ingin ada yang sudi menjadi matamu nantinya.” Kata Senja sedikit melankolis. Sedikit membantah namun tak banyak mengelak dari tebakan Thomas. Kata –kata terakhir Senja disimpan Thomas dalam memori otaknya.
“Tapi, jika kau tak ingin menemuinya. Tak mengapa, aku bisa membatalkan janjinya.” Kata Senja akhirnya. Yang terdengar seperti gertakan.
“Jam berapa aku harus menemuinya?” Tanya Thomas. Senja tersenyum menang mendengar ucapa adiknya. Dalam hati ia bergumam senang. Namun, jangan sampai nada suaranya terdengar bersemangat setelah ia berargumentasi melawan asumsi Thomas tadi.
“Jam 3 sore.” Jawab Senja cepat.
“Dari pagi aku seperti biasa berada di Jung’s Café. Kau yakin tak apa jika nantinya aku pulang telat?” Tanya Thomas.
“Tak mengapa. Lagipula pertemuannya memang di Jung’s Café.” Kata Senja. Thomas terdiam. Dan kemudian tersenyum sinis.
“Hhh… ternyata kau memang telah merancanakannya dari awal.” Kata Thomas. Ia pun kembali melangkahkan kaki menuju lantai dua. Senja tak tahan untuk menyunggingkan senyum menang.
-oOo-
Pagi itu, Edgar berlari menyusuri jalan licin di Insa-dong. Jalanan yang beku membuat Edgar nyaris terjerembab jatuh. Meski dingin, itu tak menyusutkan langkahnya untuk bersegera mungkin sampai di tempat kerjanya.
Ya, pagi itu tidak seperti biasanya Edgar datang terlambat tiga puluh menit. Berkali – kali ia merutuk kesal menggunakan bahasa Indonesia yang tidak patut digunakan. Membuat sebagian orang yang lewat didekatnya menoleh bingung karena tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh Edgar. Edgar tak acuh, pikirannya terfokus pada kecepatan untuk segera sampai di Jung’s Café.
Sesampainya di Jung’s Café, Edgar langsung melambai pada Tim. Suara musik klasik Moonlight Sonata yang biasa diputar setiap pagi, membuat suara teriakan Edgar tenggelam. Untunglah Tim melihat kehadiran Edgar. Tim membalas sambil berbisik `cepatlah! Bantu aku!`. Edgar mengangguk mengerti. Tampak sekali Tim kewalahan menghadapi para pengunjung yang pagi itu sudah ramai didepan meja pemesanan.
Edgar segera berlari memutari area pengunjung dan masuk lewat pintu karyawan untuk bergegas berganti baju. Syukurlah, hari itu Tuan Jung tidak masuk. Jadi ia tak harus menerima omelan dari boss nya. Meski begitu, berkali – kali ia menerima teguran dari karyawan lain. Seperti para waitress dan kepala koki yang menegurnya halus. Edgar hanya cengengesan meski dengan raut wajah yang seolah mengatakan `maafkan aku`.
Edgar memasang nametag di dada sebelah kirinya. Kemudian ia keluar menuju meja pemesanan dan ikut bergabung bersama Tim.
“Kau terlambat.” Kata Tim singkat disela – sela kesibukannya.
“Aku sudah tahu. Maaf, kebiasaan bangsaku. Hehehe.” Kata Edgar tertawa getir. Seolah menertawakan kebiasaan bangsa Indonesia yang suka datang ngaret.
“Baiklah, bantu aku di Counter 1.” Kata Tim sambil menunjuk meja pelayanan yang sudah penuh dengan antrian. Tanpa basa – basi, Edgar langsung menganggukkan kepala. Ia kemudian melakukan pelayanan yang biasa ia lakukan.
Setelah beberapa menit menghadapi para pelanggan yang tidak sabaran menunggu pesanan, akhirnya tepat pukul satu meja kasir atau meja pemesanan telah sepi dari makhluk – makhluk yang kelaparan. Edgar menghela nafas sementara Tim sampai menyeka keringatnya. Akhirnya mereka bisa menghirup ‘udara bebas’ lagi. Para pelanggan sudah duduk dengan tenang di meja makan.
“Hhh… syukurlah selesai juga.” Kata Edgar.
“Kamu enak datang dari jam Sembilan. Aku datang dari jam delapan dan langsung melayani mereka.” Kata Tim. Edgar cengengesan.
“Maaf Tim ~ yah,sepertinya kemarin aku terlalu lelah hingga tak sadar alarm ku telah berbunyi.” Kata Edgar beralasan. Tim memutar bola matanya.
“Ngomong – ngomong dia aneh sekali, ya? Tumben sekali dia duduk disana hingga jam satu. Padahal biasanya jam sepuluh dia telah pergi.” Kata Tim. Edgar mengernyit tak mengerti.
“Siapa?” Tanya Edgar.
“Pelanggan favoritmu.” Kata Tim sambil menunjuk kearah Thomas yang sekarang ~seperti biasa~ sedang duduk sendirian.
Edgar berdebar. Entah mengapa setiap menyadari kehadirannya, jantungnya seolah terpompa lebih cepat. Untuk sesaat, Edgar merasa malu.
“Dan anehnya, dia kali ini lebih rapih.” Kata Tim. Edgar mengatur nafasnya kembali. Jangan sampai Tim tahu bahwa ia sedang berdebar melihat kehadiran Thomas. Bisa – bisa Tim memanfaatkan kejadian ini dengan menjahili nya lagi. Seperti saat ia bersama In-Ho kemarin.
“Mungkin dia sedang ingin nge-date.” Gumam Edgar datar. Tatapannya menunduk. Sebuah kesimpulan yang membuatnya terasa sesak padahal ia sendiri yang mengatakannya.
“Ah, tidak mungkin hyung. Sudah lima jam dia duduk disana. Jikapun dia sedang janjian nge – date, tidak mungkin pacarnya dengan tega membiarkan namja yang buta itu menunggu lama. Sadis sekali!” Komentar Tim. Edgar tersenyum lega meski tidak diketahui oleh Tim.
Edgar tak membalas lagi percakapannya dengan Tim. Ia hanya sibuk mengisi buku keterangan pembelian dan membersihkan meja. Sesekali tatapannya mencuri pandang kearah Thomas.
“Kenapa tidak kau dekati saja. Ini kan kesempatan bagus.” Kata Tim tiba – tiba.
“Apa? Kau gila!” Edgar terkejut.
“Hey, bukankah kau selalu mengagumi sosok namja itu? Lagipula hari ini Mr. Jung tidak masuk. Kau bisa leluasa mengobrol dengannya.” Kata Tim.
“Tidak, ah!” Tolak Edgar cepat.
“Lho? Kenapa?” Tanya Tim.
“Dia sangat terlihat straight. Kalau ternyata di sangat `jijik` ketika mengetahui ada cowok yang mendekati posisinya dan mengajaknya berkenalan, bagaimana?” Kata Edgar.
“Haha, kau terlalu takut dengan prasangkamu. Lagipula siapa tahu dia hanya menganggapmu sebagai teman.” Kata Tim. Edgar memutar bola matanya. Alasan yang sebenarnya nyaris masuk akal meski ditolak mentah – mentah oleh Edgar.
“Atau begini saja. Kau berpura – pura menjadi yeoja .” Kata Tim.
“Hah? Ternyata kau lebih dari gila!” Kata Edgar tak sudi pada rencana yang dibuat Tim.
“Heeyy! Dengar dulu! Aku tahu kau sangat ingin mengenalnya lebih dekat. Jadi berhubung dia buta, kenapa tidak memanfaatkan situasinya saja?” Kata Tim. Edgar sedikit tertarik. Meski tidak menunjukkan ekspresi yang sesuai dengan pikirannya.
“Kalau ketahuan bagaimana?” Tanya Edgar.
“Mustahil.” Kata Tim. Ia lalu menggenggam tangan Edgar dan mengelusnya. Kemudian menatap wajah Edgar yang tak bergeming menatap tingkah Tim. Tim tersenyum jahil.
“Kamu sangat cantik ~hyung yah. Tanganmu sangat halus, mirip seperti wanita – wanita Korea. Belum lagi, wajahmu yang sangat cantik dan imut. Aku saja sampai jatuh cinta padamu.” Kata Tim sambil tersenyum mesum dan mengedipkan sebelah matanya. Edgar menarik tangannya dan bergidik ngeri.
“Dasar yadong !” Rutuk Edgar.
“Hehe… tapi aku bersungguh – sungguh dengan mengatakan kau seperti wanita. Jadi tidak akan membuat namja buta itu curiga jika dia memegang – megang tanganmu ataupun wajahmu.” Kata Tim.
“Enak saja. Aku ini laki – laki tulen, tahu!” Kata Edgar tak mau dibilang seperti wanita. Meskipun begitu, banyak sekali orang – orang yang salah menduga dan menganggapnya sebagai wanita berdada rata.
“Hehehe. Aku kan hanya menilaimu secara fisik, hyung.” Kata Tim sambil tersenyum. Yang sekali lagi menimbulkan lesung pipi nya.
“Bagaimana dengan rambutku? Rambutku kan pendek seperti pria kebanyakan.” Tanya Edgar.
“Aaahh… itu masalah sepele. Banyak wanita Korea yang berambut pendek. Bahkan melebihi pria.” Kata Tim.
“Lalu, bagaimana dengan suaraku? Kalau aku ngobrol sama dia, bukankah sudah ketahuan kalau aku ini seorang cowok tulen?” Kata Edgar tak mau kalah. Dengan suara yang sengaja dibesar – besarkan dan diberat – beratkan.
“Ne ! Oh iya. Benar.” Kata Tim. Edgar tersenyum. Mungkin kali ini Tim tak punya rencana gila nya lagi. Tim tampak berpikir. Bola matanya menatap ke atas seolah mencari lampu ide.
“Ah! aku tahu!” Kata Tim sambil menjentikkan jarinya. Edgar menaikkan sebelah alisnya. “Jangan berbicara padanya!” Kata Tim. Edgar masih tak mengerti.
“Maksudmu?”
“Berpura – puralah menjadi gadis bisu!”
“Hah! Ternyata aku salah, kau sudah kelewatan gila. Bahkan lebih gila dari kata gila!” Kata Edgar merutuk sekali lagi.
“Hey, aku kan hanya memberikan rencana yang bagus untukmu. Jika tak mau juga tak apa.” Kata Tim kesal. “Lagipula kau banyak bertanya. Seolah kau mau mendengarkan saranku untuk bisa dekati namja itu.”
Sontak wajah Edgar memerah. Ia memalingkah wajahnya. Ketahuan sekali bahwa ia baru saja di skakmat oleh ucapan terakhir Tim. Tengsin deh!
Edgar tak menjawab. Ia kembali menundukkan kepalanya.
“Hei, ngomong – ngomong menurutmu, apakah yeoja itu cantik?” Lagi – lagi Tim bertanya secara tiba – tiba. Edgar menoleh kearah yang ditunjuk Tim. Seorang wanita berambut pendek. Mungil dan lucu. Mirip Tae-Yeon SNSD. Tapi cantiknya mirip Yoon-A SNSD. Memakai baju satin berwarna putih dan jepit rambut kuning.
“Lumayan.” Gumam Edgar datar.
“Oh, ayolah. Dia itu sangat cantik.” Kata Tim sambil mengedipkan sebelah matanya. Edgar bergidik.
“Memangnya kenapa kalau dia ku bilang cantik? Kau ingin memacarinya?” Kata Edgar meremehkan.
Tim tersenyum penuh arti dan melirik nakal ke arah Edgar. Ia kemudian menatap lagi wanita Korea yang tampak bingung memasuki Jung’s Café itu. Dengan pede, Tim melambaikan tangan pada sang perempuan. Edgar mengernyitkan dahi. Bingung.
Sedetik kemudian, wanita itu menoleh dan tersenyum ketika mendapati keberadaan Tim. Kemudian ia membalas lambaian Tim dan tersenyum hangat dan berjelan mendekat.
“Siapa dia?” Tanya Edgar tak mengenalinya.
“So Hee-Sun” Jawab Tim.
“Aku tidak tanya siapa namanya? Tapi apa hubungannya kau dengan dia?” Tanya Edgar agak keras.
“Dia pacarku.”
“Hah?! Jangan becanda kau!” Kata Edgar tak percaya.
“Kenapa? Kau cemburu?” Tanya Tim dengan mengedip nakal. Sekali lagi Edgar meringis ngeri.
“Memangnya kamu bisa punya pacar?” Tanya Edgar polos.
“Meremehkan!” Kata Tim singkat dan menyikut lengan Edgar.
“Annyeong oppa .” Wanita itu telah berdiri didepan Tim dan Edgar dan memberikan salam. Tim tersenyum sok manis didepan wanita yang bernama So Hee-Sun itu.
“Hai chagiya .” Kata Tim. So Hee-Sun tersenyum manja. “Chagiya, kenalkan ini temanku Edgar hyung.” Kata Tim sambil menunjuk ke arah Edgar. Edgar tampak tersenyum ragu dan terkesan dipaksakan. Ia tak yakin kalau yeoja dihadapannya adalah pacarnya Tim. “Dan Edgar, kenalkan noona cantik ini, So Hee-Sun.” Kata Tim.
“Hai. Aku So Hee-Sun.” Kata Hee-Sun sambil tersenyum ramah dan menunjukkan eyesmilenya. Sekali lagi Edgar hanya tersenyum ragu.
Tim mendekat ke sisi Edgar dan berbisik padanya. “Sudahlah, kau pergi sana.” Kata Tim.
“Hah?! Kau mengusirku?” Kata Edgar tak percaya.
“Aku sedang ingin berdua – duaan dengan pacarku.” Kata Tim.
“Kau tidak takut kena marah Tuan Jung?”
“Dia sedang tidak masuk hari ini. Sudahlah, lebih baik biarkanlah kami berdua – duaan terlebih dahulu! Jika kau mau, kau temani saja namja buta idaman mu itu.” Kata Tim berbisik. Edgar merungut kesal. Namun sepertinya ia juga tak ingin mengganggu Tim.
“Hei, tunggu dulu. Kau Edgar yang sering diceritakan Tim oppa, kan?” Tanya Hee-Sun tiba – tiba.
“Nngg…?” Edgar bingung dan menoleh kearah Tim.
“Ya. Dia orang Indonesia sekaligus partnerku yang pernah aku ceritakan.” Kata Tim sambil merangkul Edgar dan menepuk – nepuk pundaknya.
“Waa… pantas sekali. Kupikir kau seorang pria. Ternyata kau sangat cantik.” Kata Hee-Sun. Edgar memutar bola mata. Satu lagi untuk daftar orang – orang yang menganggapnya wanita.
“Nnngg… chagi, dia memang namja.” Kata Tim cepat sambil menggaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Omo ! Benarkah?!” Tanya Hee-Sun tak percaya. Sejurus kemudian, kedua tangannya terjulur kedepan, menyeberangi meja kasir dan mendarat tepat di… dada Edgar! Edgar ceming untuk beberapa saat.
“Astaga! Ternyata memang tidak ada!” Kata Hee-Sun sambil meraba – raba dada Edgar. Edgar kaget ketika tahu maksud dari Hee-Sun dan segera menepis tangan wanita itu. Aneh sekali, dia mencari payudara Edgar -_-
“Hee-Sun, sopanlah sedikit!” Tim tampak menegur tingkah pacarnya.
“Hehe, maaf. Aku hanya penasaran saja.” Kata Hee-Sun sambil cengengesan.
“Aku pergi dulu. Bye.” Kata Edgar dan berbalik tanpa basa – basi karena sudah ilfeel dengan tingkah kedua pasangan itu. Tim dan Hee-Sun tersenyum dan akhirnya mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Edgar akhirnya berjalan menuju ruang ganti. Untuk sesaat, langkahnya terhenti ketika ia sampai didepan pintu. Sekali lagi matanya melirik kearah Thomas. Ia masih disana! Dengan tatapan dan posisi yang sama. Tidak berubah.
Edgar menatap ke sekelilingnya. Hari ini, meski sempat ramai tapi tidak terlalu sibuk. Para pelayan pun hanya duduk – duduk di meja waitress atau didekat bar dan meja kasir. Tim pun sempat – sempatnya berpacaran. Mungkin karena hari ini Tuan Jung tidak masuk jadi para pegawai bisa bekerja lebih santai. Meskipun ada kepala koki yang galaknya minta ampun. Tapi kan dia berada di dapur! Bukan untuk memerika keadaan pelayanan kasir.
Edgar tersenyum simpul. Mata tajamnya kembali menatap Thomas.
-oOo-
Hari itu, Thomas mengenakan jas panjang khusus winter yang berwarna merah hati. Dengan dipadukan syal tinggi yang mengapit longgar lehernya. Kali ini ia tampil lebih rapih. Dengan dandanan rambut yang di sisir spiky. Sendainya Thomas dapat melihat, pasti ia berpendapat bahwa dirinya memang dilahirkan dengan wajah yang rupawan. Dan ia juga memiliki seorang pengagum rahasia yang selama ini sering menatapnya. Tapi sayang, semua hanyalah kata – kata dalam telinganya. Ia bahkan sudah lupa bagaimana bentuk wajahnya. Atau bagaimana perkembangan tubuhnya selama tiga tahun terakhir ini.
Thomas menghela nafas. Sedikit asap keluar dari helaan nya karena musim dingin yang mencapai puncaknya. Hari ini, ia datang dari jam delapan pagi. Memesan teh gingseng yang sekarang hanya tinggal cangkir kosong. Padahal sebelum – sebelumnya, teh gingseng yang dipesannya tak pernah dihabiskan. Lagu Moonlight Sonata nya Beethoven pun yang selalu menjadi alasannya untuk datang tiap hari telah berganti dengan lagu Beethoven yang lain.
Hari ini pun Thomas tak membawa buku gambar dan pensil seperti yang sudah – sudah. Sekarang, ia hanya menunggu. Menunggu seseorang untuk datang. Ia tak bosan duduk ditempat yang sama padahal sudah empat jam menunggu. Namun bagi Thomas semua sama saja. Menunggu atau tidak, berjalan atau duduk, satu jam atau dua belas jam, semua tak ada bedanya. Thomas tetap terpaku dalam gelap. Tak pernah beranjak darinya. Jadi untuk apa menggerutu dalam penantian? Toh semuanya tidak akan membosankan ataupun menyenangkan.
Thomas menghela nafas lagi. Untuk yang kedua kalinya ia merasakan mejanya sedikit bergetar. Suara bangku dihadapannya sedikit berderit. Meski buta, Thomas bisa menajamkan sisa kelima panca indranya. Termasuk telinga yang bisa menangkap suara sekecil apapun. Bukankah ketika satu panca indra mati yang lain menjadi lebih peka?
“Siapa kau?” Tanya Thomas. Jawaban yang ditangkapnya hanya helaan nafas yang berat. Seolah Nampak sekali orang didepannya tengah menatapnya dalam.
“Kau, Eliana?” Tanya Thomas lagi. Tak ada jawaban. Bahkan untuk lima menit kedepan tak ada suara. Tapi Thomas yakin ada orang yang duduk berhadap – hadapan dengannya.
“Apa… kau bisu?” Tanya Thomas. Hanya suara geraman halus yang keluar. Tapi itu telah membuat Thomas percaya bahwa seseorang dihadapannya memang benar – benar bisu. Thomas tersenyum getir. Pahit dan dipaksakan.
“Dunia memang sempit. Kita memiliki hal yang sama dalam kekurangan.” Gumam Thomas. Ia menghela nafas. “Namaku Thomas. Thomas Dhirgantara. Kau pasti sudah mengetahuinya dari kakakku, Senja.” Kata Thomas mengenalkan diri. Didepannya, tanpa diketahui oleh Thomas orang itu menatap kesedihan yang berada di wajah Thomas. Matanya menafsirkan kesakitan yang teramat dalam.
Untuk sesaat, Thomas merasakan sesuatu yang lembut menangkap tangan kirinya. Lembut dan menggenggam. Ada sedikit setruman yang mengirimkan sinyal – sinyal nyaman di sekujur tubuh Thomas ketika sebuah jemari menggenggam tanganya lembut.
Thomas balas menggenggam. Bahkan tangan kanannya ikut memegang tangan yang lembut itu. Kedua tangannya mencoba mengenali sosok wanita yang bisu itu. Ia mengusap punggung tangannya, kemudian naik keatas lengannya. Begitu lembut.
“Kau tahu. Kami orang buta biasa mengenali seseorang dari bentuk tubuhnya. Biasanya jika tangannya besar dan kekar serta bersuara parau, bisa jadi dia adalah seorang namja yang tampan. Namun jika tangannya kecil, lembut, serta bersuara merdu, mungkin saja dia adalah yeoja yang cantik.” Kata Thomas.
“Untuk kasusmu, aku tak bisa mengenalimu dari suaramu. Jadi dari pergelangan tanganmu, kau mungkin adalah wanita yang lembut.” Kata Thomas berasumsi.
“Bolehkah aku mengenali wajahmu?” Tanya Thomas. Orang didepannya tampak ragu. Dan itu yang dirasakan Thomas.Thomas tersenyum.
“Jangan khawatir, aku tidak akan macam – macam. Aku hanya ingin ‘melihat’ wajahmu.” Kata Thomas. Untuk sesaat, Thomas merasakan orang tersebut memajukan tubuhnya. Thomas tersenyum kembali.
Tangannya meraba – meraba udara. Hingga ia menemukan sesuatu yang lembut disana. Sebuah rambut.
“Rambutmu lurus dan… pendek.” Thomas mengernyitkah dahi. “Kau ternyata lebih menyukai gaya rambut pendek. Aku jadi teringat dengan Soo-Young SNSD.” Kata Thomas. Tangannya kemudian meraba kebawah. Mengarah kepada pelipis, dahi dan alis. Lalu kemudian menuju ke pangkal hidung, bulu mata, pipi, bibir, rahang, telinga, dan dagu. Thomas menahan senyum.
“Wajahmu pasti sangat menawan. Hidungmu mungil, bulu matamu lentik, serta… kulit wajahmu begitu halus dan hangat.” Kata Thomas.
Tangan Thomas kemudian menuju bahu dan lengan atas. “Bahumu terlalu lebar untuk ukuran seorang wanita. Yang kutahu, kau saat ini sedang mengenakan baju berlengan pendek. Simple sekali untuk ukuran yeoja cantik sepertimu.” Thomas memuji. Meski terkesan datar.
Tangan Thomas mulai turun kebawah. Melewati bahu dan terus merayap kebawah. Seketika, orang tersebut dengan cepat langsung menahan lajunya. Seolah menahan tangan Thomas untuk terus menelusuri bagian dadanya.
“Mmm… maaf – maaf. Aku lupa. Baik, aku tidak akan menyentuh bagian yang itu.” Kata Thomas tersenyum malu – malu. Thomas menarik tangannya dan melipatnya diatas meja. Tepat didepan dadanya.
“Kau wanita yang mungil. Aku suka dengan tekstur wajahmu yang begitu lembut.” Kata Thomas. Hanya suara helaan nafas sebagai jawabannya. “Tapi kurasa, akan cukup repot saja jika ternyata hanya kau yang bisa melihatku, sementara aku hanya bisa berisik sendirian.” Kata Thomas.
“Menurutmu, bagaimana cara kita berkenalan? Bahkan untuk berbicara `hai` saja kita tak mampu. Kau punya saran untuk bisa bicara dengan orang buta sepertiku, Eliana?” Tanya Thomas. Untuk beberapa saat hening. Tampak sekali orang didepan Thomas sedang memikirkan jawabannya.
Untuk beberapa saat kemudian, jemari yang lembut itu sekali lagi menyentuh tangan Thomas. Kedua tangannya menggenggam kedua tangan Thomas. Perlahan tapi pasti, genggaman tangan Eliana membimbing tangan Thomas untuk menyentuh sesuatu; wajah Eliana.
Orang yang dipanggil Eliana itu terasa seperti sedang menggelengkan kepala. Lalu sejurus kemudian, kepalanya mengangguk. Thomas dapat merasakan gerakan kepalanya lewat sentuhan telapak tangannya.
Thomas tersenyum.
“Aku mengerti. Ketika kau menggeleng, itu artinya kau menjawab `tidak`. Jika mengangguk, kau menjawab `ya`. Dan selama kita mengobrol, aku harus selalu memegangi wajahmu, kan?” Kata Thomas paham. Orang tersebut mengangguk. Thomas tersenyum.
“Baiklah, ayo kita lakukan.”
-oOo-
`Jadi… Namanya Thomas!` Teriak Edgar dalam hati.
Edgar tampak sumringah, deg – degan dan semua tampak campur aduk. Selama ini ia mengagumi sosok indah bermata berlian itu dan baru kali ini ia mengetahui namanya. Dan baru kali ini pula ia duduk semeja berhadap – hadapan dengan wajah rupawan yang selama ini mengikat matanya. Edgar menatapnya tajam sekaligus tak percaya. Ia dapat leluasa menilik wajah Thomas yang ternyata memang sangat tampan jika dilihat dari dekat. Dengan rambut yang disisir rapih mirip seperti Lee Sungmin dalam MV Mr.Simple nya Super Junior. Dengan mata tajam yang secara tak sengaja menatap Edgar langsung yang duduk didepannya.
Dan untuk pertamakalinya, Edgar mencoba nekad menggenggam jemari tangan pemuda tampan tersebut. Ia menyentuh lembut punggung tangan Thomas yang sedikit lebih gelap darinya. Thomas terdiam, bibirnya sekilas tertarik menandakan seperti ada sesuatu yang membuat bulu romanya berdiri.
Tanpa diduga Edgar, Thomas balas menggenggam tangannya. Bahkan tangan kanannya ikut memegang tangan Edgar yang lembut itu. Kedua tangan Thomas mencoba mengenali sosok wanita yang bisu ~Dalam karangan Edgar~. Ia mengusap punggung tangan Edgar, kemudian naik keatas lengannya. Begitu lembut. Edgar tampak merasakan sensasi kehangatan yang langka. Begitu hangat ketika jemari tangan Thomas melewati remangnya bulu kuduk Edgar. Edgar tak ingin berpaling lagi.
“Kau tahu. Kami orang buta biasa mengenali seseorang dari bentuk tubuhnya. Biasanya jika tangannya besar dan kekar serta bersuara parau, bisa jadi dia adalah seorang namja yang tampan. Namun jika tangannya kecil, lembut, serta bersuara merdu, mungkin saja dia adalah yeoja yang cantik.” Kata Thomas. Edgar menelan ludah. Ia seperti sedang berada di ruang eksekusi ketika Thomas mengatakan hal tersebut. Apakah Thomas akan mengenali bahwa wanita bisu yang di yakininya, ternyata adalah seorang cowok gay penipu?
“Untuk kasusmu, aku tak bisa mengenalimu dari suaramu. Jadi dari pergelangan tanganmu, kau adalah wanita yang lembut.” Kata Thomas berasumsi. Edgar semakin salah tingkah. Di satu sisi ia ingin agar Thomas berhenti `mengenali` dirinya. Namun semua itu kalah dengan keinginan Edgar untuk berlama – lama di sentuh oleh pangeran tampannya.
“Bolehkah aku mengenali wajahmu?” Tanya Thomas. Edgar semakin tampak meragu. Dan itu yang dirasakan Thomas.Thomas tersenyum.
“Jangan khawatir, aku tidak akan macam – macam. Aku hanya ingin ‘melihat’ wajahmu.” Kata Thomas. Edgar terdiam sesaat, tak tahu harus berbuat apa. Karena tak ingin membuat Thomas curiga, akhirnya Edgar lebih memilih memasrahkan diri untuk Thomas dapat menyentuh wajahnya.
Edgar memajukan wajahnya mendekati pergelangan tangan Thomas. Thomas tersenyum.
Tangannya meraba – meraba udara. Hingga ia menemukan sesuatu yang lembut disana. Sebuah rambut.
“Rambutmu lurus dan… pendek.” Thomas mengernyitkah dahi. “Kau ternyata lebih menyukai gaya rambut pendek. Aku jadi teringat dengan Soo-Young SNSD.” Kata Thomas. Edgar tersenyum. Benar apa yang dikatakan Tim. Jika ia menyamar sebagai wanita bisu, tidak akan terbongkar walau hanya dengan sebuah gaya rambut.
Tangannya kemudian meraba kebawah. Mengarah kepada pelipis, dahi dan alis. Lalu kemudian menuju ke pangkal hidung, bulu mata, pipi, bibir, rahang, telinga, dan dagu. Edgar menahan nafas ketika tangan legam itu menyentuh lembut wajahnya.Thomas menahan senyum.
“Wajahmu pasti sangat menawan. Hidungmu mungil, bulu matamu lentik, serta… kulit wajahmu begitu halus dan hangat.” Kata Thomas. Edgar tersenyum tertahan.
Tangan Thomas kemudian menuju bahu dan lengan atas. “Bahumu terlalu lebar untuk ukuran seorang wanita. Yang kutahu, kau saat ini sedang mengenakan baju berlengan pendek. Simple sekali untuk ukuran wanita cantik sepertimu.” Thomas memuji. Edgar mewanti – wanti apakah Thomas akan langsung mengenalinya dari setelan pakaian dan bahu lebarnya?
Tangan Thomas mulai turun kebawah. Melewati bahu dan terus merayap kebawah. Seketika, Edgar tersadar dan menyadari akan apa yang akan dilakukan oleh Thomas. Beberapa detik sebelum ketahuan, dengan cepat Edgar langsung menahan lajunya. Seolah menahan tangan Thomas untuk terus menelusuri bagian dadanya.
“Mmm… maaf – maaf. Aku lupa. Baik, aku tidak akan menyentuh bagian yang itu.” Kata Thomas tersenyum malu – malu. Thomas menarik tangannya dan melipatnya diatas meja. Tepat didepan dadanya.
Fiuh… Edgar menghela nafas. Nyaris saja ketahuan bahwa ia tidak memiliki buah dada. Ternyata orang buta bisa khilaf juga -_-
“Kau wanita yang mungil. Aku suka dengan tekstur wajahmu yang begitu lembut.” Kata Thomas. Edgar hanya menghela nafas sebagai jawabannya. “Tapi kurasa, akan cukup repot saja jika ternyata hanya kau yang bisa melihatku, sementara aku hanya bisa berisik sendirian.” Kata Thomas.
“Menurutmu, bagaimana cara kita berkenalan? Bahkan untuk berbicara `hai` saja kita tak mampu. Kau punya saran untuk bisa bicara dengan orang buta sepertiku, Eliana?” Tanya Thomas. Untuk beberapa saat hening. Edgar berpikir tak yakin dengan jawaban yang akan dibuatnya. Bagaimana caranya untuk berinteraksi? Ternyata kebohongan ini merepotkan!
Untuk beberapa saat Edgar akhirnya menemukan sebuah jawaban. Jemari yang lembut itu sekali lagi menyentuh tangan Thomas. Kedua tangannya, menggenggam kedua tangan Thomas. Perlahan tapi pasti genggaman tangan Edgar membimbing tangan Thomas untuk menyentuh sesuatu; wajahnya.
Edgar kemudian menggelengkan kepala. Lalu sejurus kemudian, kepalanya mengangguk. Thomas dapat merasakan gerakan kepalanya lewat sentuhan telapak tangannya.
Thomas tersenyum.
“Aku mengerti. Ketika kau menggeleng, itu artinya kau menjawab `tidak`. Jika mengangguk, kau menjawab `ya`. Dan selama kita mengobrol, aku harus selalu memegangi wajahmu, kan?” Kata Thomas paham. Edgar mengangguk dan tersenyum.
Thomas tersenyum.
“Baiklah, ayo kita lakukan.”
“Menurutmu aku tampan?” Tanya Thomas dengan menyunggingkan sebuah senyuman. Edgar tertawa. Terasa bahunya terguncang di telapak tangan Thomas. Thomas mengulumkan senyumnya.
“Haha. Kau tertawa dengan pertanyaanku, ya?” kata Thomas. Edgar merasa lucu dengan tingkah Thomas yang ternyata narsis.
Untuk sesaat Edgar mengangguk. Cepat.
“Jadi aku tampan?” tanya Thomas memastikan. Edgar mengangguk sekali lagi. Thomas tersenyum.
“Jadi, ceritakan tentang keluargamu. Kau punya orang tua?” Tanya Thomas. Edgar mengangguk.
“Kau juga punya saudara?” Tanya Thomas lagi. Edgar mengangguk kembali.
“Keren! Kau tahu, aku punya seorang saudari. Dan dulu pun aku punya orang tua yang lengkap.” Gumam Thomas. Edgar mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Ya. Dulu aku tak buta, Eliana. Dulu aku bisa melihat semua warna dan keindahan dunia. Tapi sebuah kecelakaan merenggut segalanya dariku. Ya, segalanya! Kecelakaan itu mengambil mataku dan juga… ayahku…” Gumam Thomas. Edgar terdiam. Ternyata itu yang membuat Thomas begitu kesepian. Yang membuat Thomas begitu sedih dalam setiap harinya. Matanya hilang tepat saat kematian ayahnya! Bahkan, Thomas tak pernah melihat wajah ayahnya untuk terakhir kalinya. Sangat tragis.
“Dan semenjak saat itu, aku tak pernah melihat keindahan lagi.” Thomas terdengar parau. Nanar. “Dunia telah hilang dari pandanganku sedangkan mataku hanya melihat satu hal; gelap. Tanpa ada warna, tanpa ada wajah, tanpa bisa berimajinasi. Semuanya terasa sendirian. Aku seperti berada di dalam ruangan kosong dan tersudut dan aku…”
“Ssstt…” Edgar mendesis dan menempelkan jarinya di bibir Thomas. Tak ingin melanjutkan untuk mendengar cerita sedihnya lagi.
Thomas terdiam. Untuk sesaat mengembalikan perasaannya dari kesedihan hati mengenang masa lalu. Begitu pilu dan menyakitkan. Sesaat ia berhasil menguasai hatinya, sebuah sabit menghiasi bibirnya.
“Kau benar. Tidak pantas menceritakan sebuah cerita sedih saat awal pertemuan.” Kata Thomas memaksakan sebuah senyum.
“Ngomong – ngomong, namamu Eliana, kan? Sudah berapa lama mengenal kakakku? Kudengar kau tahu tentangku dari Senja, kan?” Tanya Thomas mengalihkan pembicaraan. Edgar melongo, tak tahu harus berkata apa. Ia tak tahu apapun tentang Eliana yang dari tadi disebut – sebut namanya oleh Thomas. Siapa itu Eliana? Apa yang harusnya dilakukan Eliana dan Thomas hari ini? Dan… siapa pula itu Senja?
“Oh iya. Aku lupa kau hanya bisa menjawa ‘ya’ dan ‘tidak’.” Kata Thomas.
Fiuh… nyaris saja Edgar mengarang kebohongan lagi.
-oOo-
Di sebuah apartemen di Apgujeong, Senja tampak gelisah semenjak sore tadi. Pikirannya harap – harap cemas ketika ia mendapati telepon dari Eliana beberapa menit yang lalu. Ia berkali – kali meremas – remas kedua telapak tangannya seolah sedang menyesali perbuatannya.
Sore tadi, Senja mendapat telepon dari Eliana yang mengatakan bahwa ia tak bisa menemui Thomas hari ini dikarenakan alasan deadline yang terlalu padat. Entah apa yang sedang dirasakan Senja saat itu, marah dan kecewa pada sahabatnya, atau begitu khawatir dengan keadaan Thomas yang mungkin saja masih duduk manis menunggui kedatangan Eliana?! Dan pernyataan kedua lah yang menjadi acuan pkiran gusarnya.
Ia tahu pasti, Thomas adalah seorang pria yang polos dan setia. Thomas mungkin akan rela menunggu seminggu jika orang yang dikasihinya tak kunjung tiba. Tapi bagaimanapun, Thomas adalah pria yang polos karena bagaimanapun ia disakiti, ia akan selalu tersenyum. Polos dan tegar!
“Waeyo agassi? Kau tampak gelisah sekali.” Tanya seorang bangsa pribumi Korea yang sudah cukup berumur. Seorang wanita. Bibi Yuna
“Ani ahjumma. Aku hanya khawatir sampai sekarang Thomas ~ ssi tak kunjung pulang. Aku khawatir dia kenapa – kenapa. Sudah hampir pukul empat.” Jawab Senja.
“Sudah di telepon?”
“Nee… Tapi tidak aktif. Sepertinya handphone Thomas tertinggal di kamarnya.” Kata Senja.
“Kalau begitu tunggulah beberapa saat lagi. Thomas anak yang pemberani, dia tidak akan apa – apa diluar sana.” Bibi Yuna memberikan alasan yang positif. Namun wajah kekhawatiran masih menggantung di air muka Senja meski ia memaksakan sebuah senyum mengiyakan.
“Jika kau masih tak yakin, lebih baik kau jemput saja dia.” Bibi Yuna memberikan solusi lain sebelum ia kembali ke dapur. Kemudian ia tersenyum dan membalikkan badannya.
Senja berpikir untuk beberapa saat.
‘Kenapa tidak terpikir dari tadi!’ Benaknya.
Seketika itu juga Senja langsung mengambil palto dan bersiap untuk pergi keluar dan mencari Thomas. Ia baru saja mengikat tali palto dan mencari sepatu winter ketika sebuah handle pintu terbuka perlahan.
Senja menoleh harap – harap cemas. Sebuah suara ketukan tongkat berhasil membawakan kelegaan dalam hatinya.
“Thomas! Akhirnya kau pulang juga!” Senja langsung menghampiri Thomas. Ia segera membantu Thomas melepas paltonya dan menaruh sepatu winter milik Thomas. Tak sengaja tangan Thomas menyentuh lengan palto Senja.
“Kau mau kemana?” Tanya Thomas.
“Ng?”
“Kau memakai palto, kan?” Thomas bertanya lagi. Senja mengerti pertanyaan Thomas.
“Menjemputmu.” Kata Senja. “Kau membuatku khawatir karena tidak biasanya kau pulang telat.”
“Menjemputku? Untuk apa? Bukankah kau sudah mengizinkanku untuk pulang telat hari ini?” Tanya Thomas heran.
“Iyasih… tapi… Eliana…”
“Aku sudah menemuinya.” Thomas memotong ucapan Senja.
“Hah?” Senja tak mengerti.
“Iya, Eliana. Sahabatmu yang kau puji dan kau bilang cantik itu. Aku sudah berjumpa dengannya.” Kata Thomas lagi dengan nadanya yang santai.
“Benarkah?” Kali ini Senja tampak tolol dengan mimik dari pertanyaan tersebut.
“Ya begitulah, kami berjumpa di Jung’s Café, tempat yang kau rencanakan.” Kata Thomas sambil berlalu. Meraba – raba lantai dengan tongkatnya. Senja semakin tak mengerti. Tadi sore ia menerima telepon dari Eliana soal ketidak hadirannya, namun Thomas mengatakan bahwa ia bertemu dengan wanita itu.
“Apa kau sungguh – sungguh berjumpa dengannya?” Tanya Senja untuk memastikan. Thomas menghentikan langkahnya.
“Lho, bukankah kau yang memintaku untuk menemuinya?” Thomas balas bertanya. Senja terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Siapa orang yang menemui Thomas?
“Seperti apa dia?” Tanya Senja.
Thomas terdiam. Mimik wajahnya seolah mengenang dan… baru kali ini ada kehangatan di wajah Thomas meski hanya sedikit.
“Dia supel, dan baik. Setidaknya itu menurutku. Dan… dia menerima kekuranganku…” Kata Thomas sambil tersenyum. Senja sedikit tertegun menatap senyum Thomas. Begitu ringan. Seolah ia baru mendapat cahaya baru dalam gelapnya.
Senja ingin mengatakan yang sejujurnya, tapi melihat senyum Thomas, ia tak tega menghapusnya. Lebih baik ia diamkan saja untuk sementara waktu. Lagipula mungkin saja orang yang ditemui Thomas memang benar – benar Eliana.
“Seminggu lagi kami akan bertemu. Ditempat yang sama.” Kata Thomas. Kali ini ia berniat sekali ingin menemui teman barunya. Ia kemudian memutar badannya dan kembali berjalan menuju kamarnya.
Namun sebelum itu langkahnya terhenti.
“Eonnie…” Panggil Thomas sambil menoleh kebelakang bermaksud ingin menoleh kearah Senja meski arahnya salah.
“Ya?” Jawab Senja.
“Mengapa tak bilang jika Eliana adalah gadis bisu?”
-oOo-
.
.
.
.
.
.
Kosakata:
1. Eonnie/unnie (Korea) Panggilan untuk kakan perempuan.
2. Ahjumma (Korea) Bibi.
3. Yeoja (Korea) Perempuan.
4. Yadong (Korea) Mesum.
5. Ne (Korea) Iya.
6. Oppa Panggilan wanita kepada pria yang lebih tua. Beda dengan laki – laki yang memanggil sesamanya dengan hyung. Oppa bisa berarti ‘kakak laki – laki'.
5. Chagiya/Chagi (Korea) Panggilan: Sayang.
6. Omo! (Korea). OMG: Oh My God.
7. Ssi... Panggilan formal untuk orang yang tidak terlalu dekat atau sedang tidak ada ketika dibicarakan. ex: Thomas ssi, Edgar ssi
syudah....
kalo ga ada yg salah, ga perlu di kritik dong. masih menikmati bagian perkenalan tokoh jd blom ada masukan. hehehe.
lanjut ^^
Harusnya td ga usah baca sinopsisnya, huh.. i hate spoiler..
sayangnya korean style, pribadi kurang suka ama crita yg pake istilah2 korea :-<
btw, seperti kebanyakan pemakaian different pov dg dialog sama, agak sia2 melakukan pengulangan adegan, meski narasi berbeda.
seharusnya bs disampaikan dg cara lain, karna akan membosankan kalo part2 selanjutnya tetap selalu mengulang adegan.
td aja baca dialognya di skip skip..
dan itu mengurangi kenikmatan membaca.
Ok lah.. keep writing
Cc. @totalfreak )
wkwkwkwk
ikut komen dkit.
anak ff ya? ketauan jelas udah. haha
idem sama ayank @yuzz. kurang suka ada istilah koreanya, agak ganggu, kagok, dan gk enak dicampur ke bhasa indo. gk spt bhs inggris yg udah familiar.
aku pernah bkin crita dgn latar korea kyk gni. gk ada satu pun istilah korea yg kupake kecuali buat nama dan tempat. tp utk anak ff udah biasa kali ya? di bf sih emang blm ada (1 atau 2 mgkn).
Juga tentang sinopsis.. agak kurang suka ama cerita yg ujungnya terbaca didepan... Tapi kayaknya ceritanya menarik.. Jadi lanjutkan ;;)
Oh ya tentang pakaian wajib musim dingin.... O o o o alamak menurutku itu tidaklah lebay.. Berada disuhu dibawah 5°c belsalju itu sesuatu bgt, apalgi bg kita orang tropis jd kalo mau ttp sehat pakailah pelindung diri