It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Edmas? Edgar - Thomas??? -_-
Iyaaah...
tapi kebayang gimna reaksi kakak thomas klo tau edgar ada lagi.
Mas TS ada salah penggunaan nama. yg dibagian kincir angin. yg seharusnya Thomas jadi Edgar.
Tapi gpp, yg penting alurnya keren. #KecupBuatTSnya
“Aah… aku lelah hyung!” Gerutut Edgar sambil menghempaskan kepalanya ke meja. Tepat di depan sebuah laptop dan modul – modul tugas milik Dong-Joon.
Benar sekali! Malam ini ia harus membayar hutangnya karena telah meminjam mobil Dong-Joon untuk mengantar Thomas jalan – jalan. dan disinilah ia berada, di dalam flat besar milik Tim dan berdua saja dengan Dong-Joon. Dimana Tim? Dia sedang mengisi acara siarannya semenjak pukul tiga tadi. Dinda? Sepertinya sedang ke supermarket, membeli beberapa makanan untuk makan malam.
Dan bagaimana Dong-Joon bisa mengetahui flat Tim? Mudah, Edgar memberikan alamat tempat tinggalnya tepat saat mobil miliki Dong-Joon dipinjam.
Dan entah mengapa, ia merasa menyesal telah menjanjikan itu pada Dong-Joon.
“Hei, paboo ! Kau sudah berjanji, kau tahu itu! Sekarang cepat selesaikan.” Kata Dong-Joon yang sedang menulis sesuatu di paper nya. Ia memukul kecil kepala Edgar yang kini sedang terbaring diatas meja. Edgar mulai malas untuk mengerjakan tugas. Ia mengerucutkan bibirnya dan memejamkan sedikit matanya yang sayu.
“Filosofi bukan bidang ku hyung!” Kata Edgar merajuk.
“Salah siapa?! Itu bukan urusanku?! Lagipula masih untung kau hanya kusuruh untuk mengetik modul.” Kata Dong-Joon masa bodoh. Edgar mem pout kan bibirnya.
“Bagaimana aku bisa bertahan mengetik seribu lembar dalam waktu satu malam… aahhhkk?!” Edgar masih merengek.
“Tenang saja, ini masih malam minggu, kok. Jika tak bisa diselesaikan malam ini juga, besok juga tak apa.” Kata Dong-Joon mencoba menghibur Edgar dengan ekspresi datar nan serius karena tengah asyik menulis di paper.
“Tunggu dulu…” Edgar tersadar sesuatu. Ia mengangkat kepalanya. “Ini… hari Sabtu?” Tanya Edgar serius.
“Hmmm…” Jawab Dong-Joon tanpa mengalihkan pandangannya dari paper.
“Aigoo! Aku lupa! Aku lupa! Aku dalam masalah!” teriak Edgar langsung berlari ke dalam kamar. Dong-Joon cukup bingung dengan perubahan tingkah temannya itu. Wajahnya menjadi agak pucat seperti orang tenggelam. Mungkin kini Edgar tengah kesurupan hantu Sadako. Entahlah.
Belum juga pertanyaan dalam pikiran Dong-Joon terjawab, Edgar langsung kembali ke ruang tengah dengan membawa sebuah radio mini.
“Jam 17:30! Hanya terlambat tiga puluh menit. Dia tidak akan membunuh ku!” Racau Edgar sambil mencolokkan kabel daya radio ke stop contact. Ia langsung memutar – mutar tunning radio ketika benda kecil itu memantulkan sebuah suara dari speaker nya. “KBS… KBS… KBS… Ayolah! Mana saluran itu!” Kata Edgar memutar tunning dengan tidak sabar.
Dong-Joon menaikkan alisnya. Cukup bingung dengan tingkah freak yang dibuat Edgar.
“Nah! Ini dia!” Kata Edgar sambil menepuk kedua tangannya sekali karena menemukan saluran radio yang ia cari. Sebuah suara pria yang tentunya berbahasa Korea terdengar tengah berbicara di sana. “Kalau aku tidak mendengarnya, Tim pasti akan sangat kecewa.” Kata Edgar seolah menjelaskan kepada Dong-Joon yang masih menaikkan sebelah alisnya karena bingung. Edgar cengengesan dan menghempas kembali bokongnya untuk duduk. Tak peduli dengan wajah bingung Dong-Joon yang masih melipat kerut dahinya.
“Siarannya Tim Hwang?” Tanya Dong-Joon singkat. Edgar tercekat.
“Kau…Kau juga tahu tentang acara yang di bawakan oleh Tim?!” Kata Edgar tak percaya.
“Tentu. Seluruh Seoul membicarakannya.” Kata Dong-Joon santai.
“Omo! Sampai sehebat itu kah acaranya?” Kata Edgar membelalakkan matanya.
“Ah, aniyo.Hanya saja, nal ui chueog mulai terkenal karena ada sesi pembacaan e-mail yang di kirim oleh beberapa orang yang mau membagi ceritanya.” Terang Dong-Joon. “Dan pengirim e-mail yang paling banyak di tanyakan oleh penggemar adalah e-mail dari seseorang berinisial T. D. Minggu lalu dia menceritakan tentang kisah pertemuannya dengan seorang pemuda luar negeri yang menyelamatkannya di Cheongdam-dong. Aku masih ingat bagaimana ia menceritakan 'betapa bodoh nya pria yang ia temui itu. Sepertinya pria itu mencoba untuk tampak keren di awal pertemuannya'.” Kata Dong-Joong sambil tersenyum. Edgar tak menyangka jika Dong-Joong adalah pendengar setia Tim.
“Ah! Hanya cerita biasa. Apa menariknya mendengarkan curahan hati seseorang?!” Rutuk Edgar.
“Kau ini! Setidaknya tulisan pertamanya membuat ia langsung mempunyai banyak fans dibanding asumsi mu yang tak masuk akal mengenai lukisan Monalisa.” Sindir Dong-Joon. Edgar hanya nyengir kuda.
“Ah, anyyeong… seperti yang sudah aku janjikan tadi, kali ini kita akan membacakan beberapa cerita yang sudah masuk melalui e-mail kami.”
“Itu suara Tim!” Kata Edgar kepada Dong-Joon. Dong-Joon hanya tersenyum. Tentu saja dia tahu, bodoh!
“Oh… kita kedatangan e-mail lagi dari T.D sajangnim. Sepertinya ini lanjutan e-mail minggu lalu. Jika kalian ingat, ia pernah menulis tentang seorang pria misterius yang rela berlama – lama menahan lapar hanya untuk membantunya dan mengantarnya pulang, dan juga...”
Sontak mata Edgar membulat. Begitu juga dengan Dong-Joon yang kini mendekatkan tubuhnya ke arah radio. Mereka antusias.
Ini kisah T.D lagi!
“Oke ini dia…
Entah harus ku mulai ini dari mana. Tapi kurasa memang benar bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Aku bertemu dengan pria itu lagi. Pria yang kupikir tidak akan pernah muncul lagi setelah pertemuan pertama kami. Aku keluar dari toko bunga saat itu ketika ia memanggil namaku.
Nyaris aku melupakannya. Sentuhan itu membuatku mengingat masa lalu ku. Namun suara bass itu membuatku tersadar bahwa yang lalu memang telah berlalu.
Pria itu dengan segenap keyakinannya mengajakku ke sebuah taman bermain terbesar di Seoul. Kau tahu? Aku belum pernah ke Lotte World selama tiga tahun aku tinggal di Korea. Menaiki segala wahana yang mengocok perut dan membuat jantung nyaris copot. Kau tahu lah wahana apa saja?!
Asal kau tahu, aku bukanlah orang yang mudah percaya kepada seseorang karena trauma ku pada masa lalu. Namun pria itu meyakinkan ku bahwa aku harus terus melangkah ke depan. ‘lupakan masa lalu, biarkan aku yang menggantikannya’, masih terngiang jelas kata – kata yang seolah menyuruhku untuk percaya itu…”
Deg!
Edgar mengernyitkan dahi. Entah mengapa ia pernah mendengar kata – kata itu. Lotte World? Apa tempat yang mirip seperti Disneyland itu? Dimana dua hari yang lalu ia datangi bersama Thomas?!
Tunggu…
Thomas!
“… hari kami berakhir dalam sebuah bianglala. Saat aku memberikan sebuah gelang lonceng yang indah suaranya. Lonceng yang kudapati dari hadiah permainan di Lotte World. Aku memberikan padanya, karena kurasa gelang itu akan sangat cocok dengannya. Saat lonceng itu berbunyi, aku tahu di ada dimana lewat gemerincingnya. Setidaknya kini aku merasa, ada orang lain yang mau menemaniku di tempat gelap itu. Meskipun akhirnya… mungkin… dia harus pergi lagi seperti yang sudah – sudah.
Aku membaringkan kepalaku di pangkuannya. Seharian bersamanya telah membuatku merasa lelah. Lelah yang sangat menyenangkan. Aku tak tahan untuk satu menit saja memejamkan mataku dan membawa hari itu ke dalam mimpi indah. Saat itu masih ku dengar racauan nya mengenai lukisan Monalisa.
Bayangkan saja, dia menyamaiku dengan lukisan tua itu?!
Awal nya ia berpikir, Monalisa itu mirip dengan ku karena dia buta. Namun detik berikutnya, ia mengatakan padaku bahwa ada sebuah perbedaa disana. Monalisa tak memandang siapapun. Namun ia melihat mataku kini tengah memandang seseorang…
Mungkinkah aku tengah memandang dirinya?”
Edgar tercengang. Ia menoleh pada gelang lonceng yang masih terikat di tangan kirinya. Perlahan ia menggerakannya.
Triiinnggg… Triiiinnnggg…
“Jadi… orang itu… kau?” Dong-Joon membelalakkan mata. Edgar tersadar bahwa ia tak sendiri di ruangan itu. Ia langsung menoleh dan mendapati Dong-Joon tengah menatapnya. Hanya padanya! Bahkan tanpa berkedip pula. Menanti sebuah jawaban.
“Nnnng… apa maksudmu?” Tanya Edgar berpura – pura bodoh. Ia juga sadar sepenuhnya setelah mendengar cerita tadi. Orang yang dimaksud dalam cerita adalah dirinya.
T. D.! Thomas Dhirgantara! Seharusnya itu menjadi sederhana untuk di tebak secara cepat!
“Jangan berpura – pura bodoh, Ed! Lukisan Monalisa itu! Hanya kau di dunia ini yang punya asumsi bahwa Monalisa itu buta!” Kata Dong-Joong skakmat. Edgar membuang muka. Tak berani menatap Dong-Joon. “Hari dimana kau meminjam mobilku adalah hari dimana kau menemui pria itu, kan?” Tanya Dong-Joon. Edgar terdiam.
“… ah… sayang sekali. Ku harap T.D. sajangnim akan bercerita lebih banyak mengenai dirinya dan pria yang ia temui. Dan berdo’a saja semoga ia mengirimkan e-mail lanjutan karena sepertinya ini akan jadi cerita bersambung. Dan untuk kalian, ku persembahkan sebuah lagu dari milik Grup ‘BigBang – Haru haru’.”
Lalu suara Tae-Yang dan kawan – kawan melantun dari speaker radio. Mendendangkan sebuah nyanyian yang sedang tenar saat itu; Haru – Haru.
Namun pikiran Dong-Joon dan Edgar tidak terfokus kesana. Mereka masih membicarakan perihal pria misterius yang memngirimkan e-mail ke radio. Membiarkan Bigbang bernyanyi tanpa ada yang mendengarkan di flat sederhana milik Tim itu.
“Ah… tak kusangka kau menjalin hubungan dengan sesama pria.” Kata Dong-Joon mengedipkan sebelah matanya dan mengacak – acak rambut Edgar. Edgar menggerutu mencoba menyingkirkan tangan besar Dong-Joon. Dong-Joon hanya tertawa menahan gemas melihat ekspresi Edgar.
“A… aku tidak… tidak…”
“Ah! sudahlah, Ed. Aku tak memusingkan masalah orientasi seksualmu. Tenang saja. Selama kau tidak menyukaiku, aku merasa aman, koq!” Kata Dong-Joon jahil. Edgar menimpuk kepala Dong-Joon dengan sebuah karet penghapus. Dong-Joon cengengesan. “Bukan masalahku jika kau gay.”
Deg…
Tiba – tiba saja pikiran – pikiran itu melayang! Seolah mereka datang dari masa lalu dan timbul ke dalam sebuah memori. Ia tak pernah merasa pernah berada dalam kenangan itu namun kenangan itu terasa nyata! Surat – surat itu! Kecupan itu! Suasana itu! Mereka tiba – tiba saja timbul tenggelam dalam pikiran Edgar!
Perasaan itu…
“Argh!” Edgar memegang kepalanya. Tiba – tiba saja ia merasa pening. Seolah ada yang tengah memaksa masuk kedalam otaknya. Ia mengerang kesakitan. Suara Dong-Joon yang berteriak – teriak khawatir tak terdengar seolah kalah dengan suara desingan panjang yang memekakkan telinganya. Edgar jatuh tersungkur lemah. Hanya wajah Dong-Joon yang tampak khawatir di dalam tatapan berkunangnya.
Ed… gar…
Dong-Joon mengguncang tubuhnya pelan. Tapi Edgar tak bergeming. Tatapannya kosong.
Ed…!
Suara Dong-Joon mulai timbul tenggelam.
“Edgar!!” Tiiinng… Seperti audio yang baru terhubung, Edgar kembali bisa mendengar suara kepanikan Dong-Joon.
“Akh!” Edgar menghempaskan dadanya seolah membuat jantungnya kembali berdegup normal setelah sepersekian detik adrenalin nya terpacu. “Uhuk… uhuk!” Edgar terbatuk dan langsung mendudukkan kembali posisinya.
Dong-Joon segera mengambil segelas air mineral dan meminumkannya pada Edgar. Edgar menerima gelas itu dengan kepayahan yang lemah. Air mineral yang melalui kerongkongannya kini mampu melegakan debar jantungnya yang terpacu. Untuk sesaat ia bisa bernafas lega.
“Kau… kenapa, Ed?” Tanya Dong-Joon dengan wajah yang masih khawatir. Ia mengusap – usap punggung Edgar secara lembut. Mencoba menenangkan Edgar. Sebelum Edgar menjawab, Dong-Joon kembali ke dalam kamar dan membawa sehelai handuk. Serta merta ia mengelap keringat Edgar yang mengucur deras. Keringat dingin.
“Ed?” Tanya Dong-Joon lagi menuntut kejelasan. Edgar menghela nafas.
“Hyung… sebenarnya… apa yang sudah… ku lupakan?” Tanya Edgar dengan kepala yang masih terasa pening. Dong-Joon menaikkan sebelah alisnya. Tak mengerti.
“Mwo?” Tanya Dong-Joon.
“Apa… dulu aku juga seorang… gay?” Tanya Edgar tiba – tiba. Dong-Joon berpikir sebentar kemudian mengedikkan bahu.
“Aku tidak tahu.” Ucapnya singkat.
Edgar menerawang sebentar. Memori itu entah mengapa tiba – tiba saja muncul ketika Dong-Joon menyebut dirinya gay. Namun dalam ingatan itu, bukan Dong-Joon yang muncul. Ada beberapa orang yang turut serta dalam memorinya. Ia seperti melihat wajah Tim, seorang wanita yang mata nya sangat familiar, serta… In-Ho!
Sudah lama ia tak bertemu dengan dokter muda itu…
“Re… reglet…” Gumam Edgar dengan mimik bingung. Namun Dong-Joon tampak lebih bingung dengan racauan Edgar. “Stylus?” lanjut Edgar.
“A… apa yang kau katakan?” Tanya Dong-Joon tak paham. Namun Edgar segera mengambil ponsel nya dan mengirimkan sebuah SMS pada Tim tanpa menjawab kebingungan Dong-Joon.
From: Edgar Hyung.
Message: Dimana kau taruh barang – barang dari flat lama ku?
Send to: Hwang Young-Min
Tak sampai beberapa detik menunggu pesan karena Tim sudah langsung membalasnya. Edgar buru – buru membuka pesan singkatnya.
From: Hwang Young-Min
Message: Kutaruh di gudang dekat dapur. Dalam kardus yang ada namanu!
Send to: Edgar Hyung.
Edgar langsung berjalan menuju gudang yang memang terletak di dekat dapur. Dong-Joon yang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi hanya mengikuti temannya itu dari belakang. Ia sedikit membaca SMS dari Tim yang diterima Edgar tadi. Setidaknya kini ia merasa bahwa Edgar tengah mencari sesuatu.
Edgar menggeser pintu gudang dan disanalah ia menemukan segala macam tumpukan barang memenuhi pandangannya. Agak sedikit gelap karena ternyata gudang ini tak memiliki lampu. Namun itu bukan hal yang patut dipermasalahkan karena Edgar langsung menemukan tiga kotak kardus yang bertuliskan namanya.
Ia segera membuka satu persatu kotak berukuran besar itu. Mencari – cari sebuah benda yang ia temukan di dalam otaknya. Entah mengapa ia merasa bahwa benda itu tengah memanggil nya. Memanggilnya dari masa lalu.
Ia mengacak – acak isi kotaknya. Masih belum juga menemukan apa yang ia cari. Hanya menemukan buku, pakaian, bingkai, alat tulis, buku dan buku lagi… ternyata ia cukup kutu buku juga!
Dan…
Barang itu berhasil ia temukan. Bentuknya mirip seperti abacus namun yang ini seperti lempengan besi dengan lubang kotak - kotak disana.
“Reglet?!” Gumam Dong-Joon tepat di belakang Edgar. rupanya Dong-Joon juga ikut ke dalam gudang. Edgar menoleh sesaat kepada Dong-Joon dan matanya kembali fokus pada papan reglet.
“Punyamu?” Tanya Dong-Joon.
“Aku tidak tahu.” Jawab Edgar.
“Tapi itu ada didalam kardus yang bertuliskan namamu.” Kata Dong-Joon sambil menunjuk kardus yang ia maksud. Edgar terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia bahkan tak sadar ada ingatan tentang reglet ini di dalam pikiran yang memaksa masuk.
“Apa kau bisa mengajarkan ku cara menggunakannya?” Tanya Edgar pada Dong-Joon.
“Tentu. Asal kau juga punya paku stylus nya.” Ujar Dong-Joon yakin sambil memamerkan senyumnya yang ramah.
Edgar kembali mencari – cari benda yang di sebut paku stylus itu. Tangannya meraba – raba dasar kardus beberapa menit. Kemudian, ia kembali mengangkat tangannya yang telah memegang sesuatu.
Sebuah benda kecil berwarna perak seperti paku namun dengan ujung yang agak tumpul.
“Apa ini yang disebut stylus?” Tanya Edgar kembali sambil menyorongkan benda itu ke depan wajah Dong-Joon.
Dong-Joon tersenyum dan mengangguk.
-oOo-
“Baik – baik mister Kim, aku akan ke sana sebentar lagi… apa?... oh tidak, dia baik – baik saja… ah… aniyo! Tak ada yang perlu di khawatirkan. Disini baik – baik saja… ya ya, minggu depan aku akan memecat anak baru itu, tenang saja…”
Suara itu adalah milik percakapan mister Jung dengan seseorang di seberang telepon. Mister Jung memang orang yang sibuk karena harus memimpin tujuh cabang Jung’s Café di penjuru Seoul. Sehingga tak heran kalau orang tersebut selalu terlihat berkutat dengan telepon seluler di genggamannya.
Namun tentu saja terkadang kesibukannya itu bisa dibilang tidak tahu tempat. Pasalnya, saat ini dihadapannya tengah duduk pemuda manis yang sedang mem pout kan bibirnya karena kesal telah di abaikan. Ya, saat ini Edgar sedang duduk di seberang meja dengan surat lamaran kerja yang ada di atas meja. Tanpa di sentuh oleh sang manager sekaligus pemilik Jung’s Café itu.
Edgar mendesah pelan. Dalam hati ia menggerutu.
“Baik – baik… akan kuhubungi kau tiga menit lagi… sebentar…” Mister Jung tampak menurunkan telepon genggamnya dari telinga. Kemudian ia menatap kepada pemuda manis yang sedang terduduk lesu dan menunduk. “Kau…” Tunjuk mister Kim kepada Edgar. Edgar langsung mengangkat mukanya.
'Akhirnya keberadaanku disadari juga!'
“Kau, boleh langsung bekerja hari ini. Sekarang lekas ganti pakaianmu dan segera kerjakan tugasmu.” Titah mister Jung tanpa bisa di tolak. Edgar melongo.
'Cuma begitu?!'
“Tapi… mmm… mister, bisakah aku mulai besok saja?! Karena hari ini aku harus menemui seseorang.” Kata Edgar terbata. Seketika mister Jung menatap galak pada Edgar.
“Kau mau kupecat, huh?!” Tanya mister Jung galak. Edgar bergidik.
“Nnngg… ti… tidak mister Jung. Aku hanya…”
“Kalau begitu cepat ganti pakaianmu sana! Aku sedang sibuk!” Kata mister Jung tanpa bisa dibantah. Mister Jung tak mempedulikan pemuda manis didepannya. Kini ia tengah disibukkan menekan – nekan tombil di seluler nya dan menempelkan nya pada daun telinga. Kembali ia berbicara dengan seseorang di seberang sama.
“Huh… dasar sok sibuk!” Cibir Edgar sambil menggunakan bahasa Indonesia.
“Apa kau bilang?!” mister Jung menyadari apa yang dibicarakan Edgar dan ia kembali menatap pemuda manis itu dengan tatapan meyipit. Seolah mencurigai Edgar yang sedang tergagap.
“Nnng… maksudku… ghamsahamnida…” Kata Edgar membungkukkan badannya dan tersenyum canggung. Sebelum mister Jung berubah pikiran lagi, ia buru – buru beranjak dan pergi dari ruang kantor mister Jung.
-oOo-
“Benarkah kita di Korea? Lalu apa bahasa Korea nya untuk memanggil kakak perempuan?” Tanya Thomas.
“Biasanya mereka dipanggil‘eonnie’.” Kata Senja mengajarkan.
“Eonnie…” Ulang Thomas.
“Tapi berhubung kau adalah adik laki – laki, maka kau harus memanggilku ‘noona’.” Kembali Senja mengajarkan. Kali ini Thomas tampak berpikir keras.
“Tapi aku lebih suka dengan panggilan ‘eonnie’. Itu tidak terlalu formal terdengar. Lagipula aku merasa asyik ketika lidahku menyebut kata ‘eonnie’.” Kata Thomas. Senja menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak, Thom. ‘eonnie’ adalah panggilan untuk adik perempuan ke kakak perempuan. Sementara ‘noona’ adalah panggilan adik laki – laki ke kakak perempuan. Jadi kau harus nya memanggilku ‘noona'.” Kata Senja lagi. Thomas lagi – lagi berpikir. Wajahnya tampak menyiratkan ketidak setujuan pada apa yang di katakan Senja.
“Ah… tetap saja aku lebih suka memanggilmu ‘eonnie’. Bisa kah kita memakai ‘eonnie’ saja? Lagipula kita kan orang Indonesia. Jadi tidak usah terpatri dengan kebiasaan orang – orang Korea dalam memakai nama panggilan.” Kata Thomas seolah tidak bisa di tolak lagi.
Senja hanya tersenyum dan mengusap – usap pelan rambut Thomas.
“Terserah kau saja.” Gumamnya akhirnya.
Senja menghela nafas. Entah mengapa ia kembali teringat dengan perbincangan kecil antara dirinya dengan Thomas ketika baru pertamakali sampai di Korea dulu. Thomas sepertinya tidak pernah suka jika harus mengikuti adat istiadat yang telah di tetapkan di negeri asing. Ia lebih senang berjalan sesuai keinginannya. Semuanya tampak sama saja di matanya.
'Tentu saja! Apa yang kau harapkan?!'
“Eonnie… eonnie…” Panggil Thomas yang kini tengah duduk di samping kursi kemudi. Senja tersadar kembali dari lamunannya. Ia seharusnya sadar bahwa ia tak seharusnya melamun dalam keadaan mengendarai mobil. Namun ingatan itu serasa kembali terkenang dan ingin dilihat.
“Ya…” Jawab Senja seolah mengatakan 'ini aku! Aku sudah kembali dari dunia fatamorgana'.
“Kau melamun di saat sedang menyetir, ya?” Tanya Thomas menyadari apa yang tengah terjadi. Senja tergagap.
“Nnnng… mian…” Ujar Senja singkat.
“Apa yang terjadi denganmu? Tidak biasanya kau seperti ini. Apa kau sedang ada masalah?” Tanya Thomas mencoba peduli. Senja menggeleng.
“Tidak. Tidak ada masalah.” Kata Senja berkilah. Thomas terdiam sejenak.
“Kau… yakin…?” Tanya Thomas lagi.
“Ya.” Ujar Senja singkat.
“Baiklah jika kau tak ingin bercerita.” Gumam Thomas. Senja menghela nafas. Seharusnya ia tahu bahwa kini adiknya lebih peka terhadap suasana dan keadaan.
‘Jika kau tahu apa yang kusembunyikan darimu, masih kah kau seperhatian ini padaku?’ Batin Senja. Kali ini pikirannya mengenang pada sesosok pemuda bernama Edgar. tepat satu tahun yang lalu.
Mobil itu kini melintasi jalan di Insa-dong. Jalanan yang di pagi dingin itu di sesaki oleh para penikmat kedai kopi untuk sarapan. Mobil Senja berhenti di salah satu bahu jalan.
“Kita sudah sampai.” Kata Senja pada adiknya. Thomas meraba – raba sabuk pengaman dan mencari – cari tombol untuk melepaskannya. Kemudian tangannya meraba – raba handel pintu dan segera menekan penguncinya. Ia mengeluarkan tongkat… tongkat?!...ya, tongkat untuk meraba – raba jalan.
“Tak ku kira kau masih mau berkunjung kesini.” Kata Senja terdengar menyindir. Thomas hanya tersenyum datar.
“Ini lah waktu pagi ku.” Ujar Thomas pelan. Senja tersenyum pelan. “Kau yakin bisa sendiri?” Tanya Senja.
“Ya, aku tak apa – apa. Lagipula aku membawa tongkat.”Kata Thomas sambil mengangkat tongkatnya. Senja tersenyum.
“ Aku lupa kapan kau memutuskan untuk tidak menggunakan tongkat.” Kata Senja. Ia mengingat kembali ketika beberapa minggu setelah adiknya memutuskan untuk pindah dan tidak tinggal bersamanya lagi. Saat itu pula adiknya tak tampak menggunakan tongkat penuntunnya.
Thomas tersenyum. “Bukankah seharusnya kau bilang ‘kau kini menggunakan tongkat lagi. Kenapa?’.” Ujar Thomas dan membuat Senja mengulumkan senyum.
“Tadinya aku ingin mengatakan hal demikian. Namun kuyakin kau takkan mau menjawab pertanyaanku.” Jawab Senja.
Thomas tersenyum dan sedikit menghela nafas. “Maaf. Belum saatnya aku memberitahumu.” Jawab Thomas singkat. Hanya kata itu namun Senja tak menuntut lebih.
‘Ada sesuatu yang merubah jalan pikirannya saat ini.’ Batin Senja.
“Baiklah. Jika ingin ku jemput, kau tinggal meneleponku. Oke?” Kata Senja mengalihkan. Ia kemudian menyalakan mobil.
“Araso.” Kata Thomas sambil berbalik menghadap bangunan yang menjadi tempat tujuannya ketika Senja telah menginjak pedal gas dan pergi.
Langkahnya berjalan pelan sambil mengetuk – ngetukkan tongkatnya memasuki Jung’s Café.
-oOo-
Disinilah ia duduk.
Di tempat dimana pertemuan itu terjadi sekaligus perpisahan yang pernah dialaminya di musim dingin tahun lalu. Ia tahu bagi sebagian orang pasti enggan untuk datang ke tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan seolah membuatnya malu pada diri sendiri.
Tapi itu semua berbeda untuk Thomas.
Bagaimanapun sakitnya hati yang ia alami serta rasa malu yang ia tanggung, entah mengapa ia masih tetap menunggu orang itu. Atau… mimpi itu. Ya, se benci apapun Thomas pada masa lalunya, tak ada salahnya kan untuk tetap bermimpi indah meski tak berharap untuk menjadi kenyataan?
Itulah hidupnya, di dalam mimpi. Tanpa pernah terbangun. Tanpa pernah mencicipi warna – warna indah yang dulu pernah terjadi sekilas namun tak selamanya?!
Huh… ironi…
Thomas menjangkau ranselnya. Kembali ia mengeluarkan peralatan gambar yang selama tiga tahun selalu ia bawa di setiap paginya di Jung’s Café. Lalu kemmbali ia hanya menghayalkan ia sedang melukis sesuatu yang indah meski tanpa menggerakan pena nya. Biarlah hanya melukis dalam pikiran terdalam, setidaknya ia telah menganggap buku gambarnya telah penuh dengan coretan.
Pada kenyataannya… itu hanya sebuah lembaran kosong tanpa garis.
‘Akankah ia datang?! Akan kah kami bertemu lagi?!’ Batin Thomas.
Nyaris! Thomas nyaris menyerah dalam sebuah penantian. Kesetiannya selalu terkikis oleh sakit hati akibat sang kekasih hati tak juga pulang. Bukannya munafik, tapi orang itu, hanya orang itu! Yang bisa memberikannya sejuta warna dalam ruang gelapnya.
Namun kenapa ia pergi meninggalkan sejuta pertanyaan di hati Thomas? Tentang perasaan yang tidak terjawab?! Juga tentang sebuah wajah yang tidak pernah dilihat! Kini hari – hari Thomas hanya di isi dengan sebuah penantian di dalam ruang gelap. Melewati empat musim hingga kembali ke musim dingin.
Jika ia berhenti menanti, maka sudah sejak lama ia mati!
“Tolong tunjukkan wajahmu. Kumohon! Aku selalu menantikanmu disini dengan kesetiaan yang nyaris habis! Kumohon jangan gantung perasaanku.” Gumam Thomas pada masa penantiannya beberapa bulan silam setelah kepergian Eliana. Ia selalu menggumamkan kalimat itu setahun terakhir belakangan ini. Seolah ia memang menantikan seseorang yang tak pasti kapan pulangnya.
Namun kini Thomas telah memutuskan untuk tak lagi mengingat gadis itu. Ia bahkan bersumpah untuk membiarkan dirinya tetap buta untuk selamanya hanya untuk tak mau melihat wajah orang yang telah mencampakkannya begitu saja. Hanya untuk tak melihat wajah wanita itu, ia kini bahkan rela untuk menjadi buta selamanya!
Trriiinnggg…
Thomas mengernyitkan dahi. Saat dirinya tengah tenggelam dalam kenangan pahitnya, ia seperti mendengar suara indah nan familiar. Suara lonceng kaca yang sangat dekat di telinganya. Bahkan Moonlight Sonata yang selalu di mainkan di Jung’s Café pun baru kali tidak digubris oleh Thomas yang menajamkan telinganya mendengar sebuah dentingan indah yang ditangkap telinganya.
Triiinnggg…
“Maaf… mau pesan apa?” Tanya seorang pelayan. Namun suaranya tampak familiar.
“Thomas!” Benar. Thomas memang kenal dengan pelayan itu.
“Edgar?” Tanya Thomas tak yakin. Ia merasa pelayan itu langsung duduk di bangku hadapan Thomas.
“Ya ini aku!” Kata Edgar. terdengar sekali ia tampak senang. Thomas hanya tersenyum. “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Edgar sumringah.
“Aku setiap pagi memang selalu disini.” Kata Thomas. “Kau sendiri?”
“Aku? Aku bekerja disini.” Jawab Edgar. Thomas membelalak.
“Benarkah? Sejak kapan?”
“Sejak tadi pagi sih. Aku baru masuk hari ini.” Kata Edgar sambil cengengesan. “Keetulan sekali, ya.” Entah mengapa Thomas mendengar Edgar menjadi sedikit… gugup.
“Ya.” Jawab Thomas. “Kau mau menemaniku sebentar disini?”
Edgar menengok ke arah pantri. Disana sepertinya tidak terlalu ramai. Café ini juga bisa dibilang tengah lengang. Mungkin karena sudah memasuki jam sibuk dan jam sarapan sudah lewat satu jam yang lalu. Manager nya pun dari tadi pagi hanya menelepon. Sepertinya ia akan aman jika hanya duduk sebentar. “Baiklah. Tak masalah.” Jawab Edgar.
“Tapi, aku harus meminta pesanan dulu padamu. Kau mau pesan apa, tuan?” Canda Edgar membuat Thomas tertawa kecil.
“Teh Gingseng saja. Dua.” Jawab Thomas.
“Lalu?”
“Sudah.”
“Sudah?”
“Iya.”
“Hanya… itu saja?”
“Hmmm…”
“Kau tidak memesan makanannya?” Tanya Edgar. cukup tak percaya dengan pesanan Thomas.
“Tak perlu. Aku sudah sering hanya memesan itu saja di sini.” Jawab Thomas. Edgar mengernyitkan dahi.
“Nanti perutmu kembung. Belum sarapan, kan?” Tanya Edgar menunjukkan ekspresi khawatir.
“Tidak masalah. Aku sudah terbiasa.” Kata Thomas santai.
“Ku traktir kau red velvet. Mau?” Tawar Edgar.
“Apa?”
“Red velvet.”
“Aniyo! Maksudku… kenapa kau mentraktir ku?”
“Kita kan teman.” Kata Edgar sambil tersenyum. Thomas terdiam.
“Te… teman?”
“Ya. Teman.” Jawab Edgar enteng. Tak peduli dengan wajah bingung Thomas.
“Jika teman, bukan kah seharusnya kau yang memintaku untuk… mentraktirmu?” Tanya Thomas. Teringat dengan beberapa teman nya yang mencoba memanfaatkan kebutaan dan kekayaannya.
Edgar tertawa. “Kau ini seperti anak bangsawan saja!’” Gurau Edgar. Tapi gurauannya benar! “Jika berteman, untuk apa memikirkan materi.” Kata Edgar. Thomas tak bisa berkata lagi.
“Ya sudah. Aku akan kembali dalam waktu kurang dari lima menit. Jangan rindu padaku.” Canda Edgar sambil beranjak dan sempat menepuk pelan bahu Thomas. Thomas memberikan senyum simpul.
Benar saja. Belum sampai lima menit Edgar telah kembali dengan nampan berisi dua teh gingseng dan dua red velvet yang terasa manis. Sarapan yang sangat lezat. “Ini.” Kata Edgar sambil meletakkan makanan – makanan itu di dekat Thomas. “Sebelah kiri adalah teh Gingseng, sebelah kanan adalah semangkuk red velvet.” Kata Edgar sambil duduk. Thomas tersenyum. Ia meletakkan peralatan gambarnya di atas kursi di sebelahnya membuat Edgar melirik buku gambar itu.
“Itu buku gambarmu?” Tanya Edgar. Thomas mengangguk. “Boleh kupinjam?”
“Untuk apa?” Tanya Thomas.
“Aku ingin menggambar sesuatu.” Kata Edgar. Thomas hanya menurut dan memberikan buku gambar itu pada Edgar.
Seperti dugaan Edgar, buku gambar itu ternyata kosong tanpa garis. Sama seperti kanvas yang berada di ruang tengah flat rumah Edgar. Apakah Thomas selalu melukis dalam khayalannya?
Edgar meraih pensil. Ia mencoba menorehkan sebuah garis disana. Sambil sesekali menatap Thomas.
“Kau makanlah dulu. Aku akan menggambar sesuatu untukmu.” Kata Edgar sambil tersenyum. Thomas hanya mengangguk. Ia mengambil sendok plastik dan memotong red velvet untuk kemudian di suapkan pada mulutnya.
-oOo-
“Selesai!”
Kata Edgar senang sambil menyerahkan buku gambar itu pada Thomas tepat beberapa menit setelah semangkuk kecil red velvet Thomas habis. Thomas menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum simpul.
“Apa yang kau gambar?” Tanya Thomas.
“Nnnnggg… wajahmu.” Sahut Edgar malu – malu. Thomas tersenyum sambil menerima buku gambar yang di kembalikan Edgar. Thomas meraba kertas itu. Tangannya merasakan kasar goresan pensil yang tertera disana. Ia tak bisa melihat, tapi setidaknya ia cukup membayangkannya. “Maaf. Aku tidak terlalu mahir menggambar.” Kata Edgar menunduk.
“Kenapa kau menggambarku?” Tanya Thomas.
“Entahlah. Aku hanya menggambar apa yang ada di otakku.” Kata Edgar.
“Oh. Jadi sekarang di otakmu ada diriku.” Kata Thomas jahil. Namun itu sukses membuat Edgar kalang kabut. Edgar salah tingkah.
“Nnnnngg… maaf, aku tak bermaksud… mmm… maaf…” Edgar gugup. Thomas tertawa mendengarnya.
“Hey. Rileks, Ed. Aku hanya becanda. Kau gugup? Seperti orang yang menyatakan cinta saja.” Kata Thomas sambil tertawa. Edgar tersenyum garing.
“Kau sukses membuatku salah tingkah.” Jawab Edgar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Namun untuk sesaat pertanyaan itu muncul seketika setelah Thomas mengatakan hal itu pada Edgar.
“Hey, ngomong – ngomong soal cinta, kau pernah jatuh cinta, Thom?” Tanya Edgar perlahan. Tiba – tiba saja air muka Thomas berubah. Seolah – olah ia kaget dengan pertanyaan yang di ajukan oleh Edgar. Edgar dapat melihat perubahan ekspresi itu. Ekspresi yang seolah – olah ia tak ingin membahasnya.
“Ya. Sekali dalam hidup.” Kata Thomas singkat. Edgar berdebar. Entah mengapa ia merasa seperti… cemburu.
Thomas menceritakan segalanya pada Edgar. meski tidak semuanya karena ada beberapa bagian yang ingin disimpan sendiri oleh Thomas. Thomas menceritakan tentang awal pertemuan mereka, kencan pertama mereka, surat – surat cinta yang dikirimkan, serta perpisahan itu. Dengan seorang wanita bisu bernama… Eliana.
Kini Edgar sudah tahu pasti siapa Eliana yang tidak sengaja disebutkan Thomas di depan toko bunga waktu itu. Rupanya Eliana adalah bagian dari masa lalu Thomas!
“Kenapa gadis itu mencampakkan orang baik sepertimu?” Tanya Edgar. Thomas hanya tersenyum kecut.
“Aku pun tak tahu. Saat itu mungkin dia sedang terburu – buru hingga lupa menjawab perasaanku. Hingga hari ini, dia tak pernah terdengar lagi.” Kata Thomas. Edgar tertunduk dalam. Ia merasa simpatik pada Thomas.
“Jadi tiap hari kau duduk disini, untuk menunggunya?” Tanya Edgar. Thomas tersenyum.
“Tidak.” Jawab Thomas. “Aku hanya ingin meneruskan mimpi panjang ku. Ku tahu dia takkan pernah datang lagi meski aku sudah berharap. Maka biarkan saja aku berharap yang indah – indah tanpa pernah menjadikannya nyata.” Kata Thomas. Cadas. Saat dimana kau pernah di kecewakan oleh sebuah kenyataan, maka biarkan saja tubuhmu terbaring dan tenggelam dalam mimpi indah yang tiada pernah usai.
Terdengar seperti sebuah keputus asaan.
“Kenapa kau tanyakan ini padaku, Ed?” Tanya Thomas merubah wajah mendungnya menjadi sebuah senyuman palsu. “ Apa kau sedang jatuh cinta?”
Seketika Edgar tergagap. Apakah begitu mudah di tebak hingga orang yang tak melihat pun bisa menyadarinya?
“A… aku… mmm… i… itu… a… anu…” Edgar tergagap. Sontak Thomas tertawa.
“Astaga! Kau benar – benar tengah jatuh cinta?!” Kata Thomas langsung menyimpulkan.
“Sepertinya… begitu…” Kata Edgar memerah. Untunglah Thomas buta. Ia akan sangat malu jika wajahnya berubah menjadi warna tomat dan Thomas melihat itu.
“Omo! Kapan kau bertemu dengannya?” Tanya Thomas.
“Dia orang baru dalam hidupku. Tapi telah memberikan ku kesempurnaan dalam kekurangannya.” Kata Edgar sambil menatap lekat ke mata Thomas. Mata yang sangat indah. Kata – kata yang ditujukannya tadi adalah apa yang sepertinya di rasakannya pada Thomas.
“Siapa wanita yang beruntung itu?” Tanya Thomas penasaran.
‘Wa… wanita?!’ Edgar jadi kikuk. Thomas ternyata tak sepeka yang tadi ia bayangkan.
“Apa kau… kau tidak cemburu?!” Edgar merasa bodoh telah menanyakan itu. Edgar payah!
“Cemburu?!” Tanya Thomas sambil tersenyum ramah. “Mana mungkin aku cemburu. Kita ini kan sesama laki – laki.” Jawab Thomas tenang.
Seketika dunia Edgar seperti hancur berantakan.
“Oh… tidak ya…?” Tak sengaja Edgar menggumamkan kata – kata itu. Benar – benar bodoh.
“Tentu saja tidak. Kau ini kenapa, sih?!” Kata Thomas tertawa sambil mencubit kecil lengan Edgar yang berada di atas meja. Edgar meringis. Ia merutuki kebodohannya mengatakan hal demikian.
Apakah ia masih mengharapkan seorang straight seperti Thomas?!
“Eh… ngomong – ngomong tentang jalan – jalan kita ke Lotte World…” Edgar langsung teringat sesuatu. Setidaknya untuk mengalihkan perasaannya dari patah hati meski tidak membuatnya kecewa. Thomas mengangkat kedua alisnya. “Apa kau mengirimkan cerita kita ke radio sabtu kemarin?”
DEG!
Thomas tiba – tiba salah tingkah dan jadi malu sendiri.
“Kau… kau sudah mendengarnya.” Kata Thomas dengan wajah memerah.
“Begitulah.” Jawab Edgar.
“Mmm… jika kau tak ingin aku mengirimkan cerita tentang kita berdua, aku bisa... untuk tidak mengirimkannya lagi.” Kata Thomas.
“Eh! Bukan itu maksudku…” Edgar langsung kaget begitu mendapati respon salah paham dari Thomas. “Aku malah ingin kau selalu menuliskan cerita itu karena ya… ternyata banyak yang menunggu ceritamu di radio itu.” Jelas Edgar. Thomas mengangkat wajah. “Tapi… kenapa kau menggambarkanku sebagai ‘orang bodoh yang ingin terlihat keren di depanmu’?!”
Thomas nyengir kuda. “Itu sebenarnya pujian untukmu.” Jawab Thomas. Edgar memutar bola mata dan mengacak – acak rambut Thomas. Membuat pemuda maskulin itu semakin cengengesan. “Jadi, tak apa aku mengirimkan kisah kita?” Tanya Thomas.
“Aku malah berharap kau mau meneruskan kisahmu yang bersambung itu.” Kata Edgar. “Kurasa aku akan membantu acara Tim dalam menaikkkan rating acaranya.” Kata Edgar sambil tersenyum. Thomas terbelalak.
“Kau megenal Tim Hwang?!” Tanya Thomas senang. “MC acara nal ui chueog itu?!”
“Ya. Aku tinggal satu flat dengannya. Memangnya kenapa?” Tanya Edgar.
“Aku salah satu fans nya.” Kata Thomas senang. Edgar menaikkan sebelah alisnya. Entah mengapa ia seperti merasa… cemburu lagi.
“Benarkah… itu?” Edgar tampak menutupi rasa panas di hatinya.
“Ya. Itu karena setahun yang lalu dia pernah menolongku saat…” Thomas tiba - tiba menggantung kata – katanya. Seolah ia tak ingin membahasnya lagi. “Saat aku dicampakkan Eliana.” Kembali mendung itu menggantung di wajah tampan Thomas. Entah mengapa, rasanya masa lalu nya itu terpaksa harus ia bayangkan seperti sebuah drama horror yang ia tonton secara berulang – ulang.
“Bagaimana kau bisa yakin itu adalah orang yang sama? Tim yang membantumu waktu itu, dengan Tim yang menjadi MC radio?” Sela Edgar mencoba untuk mengalihkan pikiran Thomas. Ia tak ingin melihat wajah penuh duka itu. Tidak lagi! Setidaknya jangan sekarang.
Thomas tersenyum sedikit. “Orang buta mempunyai keyakinan dari suara yang pernah mereka dengar. Aku yakin itu adalah Tim satu tahun lalu yang pernah membantuku begitu aku mendengarnya di radio.” Terang Thomas begitu yakin. Edgar hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum.
“Tapi ngomong – ngomong, bagaimana kau bisa menulis e-mail dengan keadaanmu yang seperti ini?” Tanya Edgar tanpa maksud menghina. Thomas menyimpulkan sebuah senyuman.
“Aku meminta bantuan partner kerja ku di toko Bunga. Namanya Hee-Sun. dia mengaku kalau dia adalah manta pacarnya Tim Hwang. Tapi… aku tidak percaya itu.” Kata Thomas.
“Baiklah aku mengerti.” Ujar Edgar. Tiba – tiba ia mendapati mister Jung tengah berkeliling memperhatikan setiap pegawai yang bekerja. Beberapa pegawai yang tadinya hanya bersantai kini pura – pura terlihat sibuk ketika sang pemilik café itu melintas.
“Aduh!! Kenapa dia pake datang segala sih?!” Kata Edgar kemudian segera beranjak. Menggumam menggunakan bahasa Indonesia yang informal.
“Si…siapa?” Tanya Thomas yang disadari oleh Edgar.
“Nnngg… aku harus pergi Thomas ssi. Big boss Jung datang!” Edgar langsung menyentuh bahu Thomas dan mengecup singkat pipi Thomas sebelum berlalu.
“Besok aku akan datang ke tempat mu lagi. Oke?” Kata Edgar sebelum berlalu. Meninggalkan Thomas yang masih terdiam dan syok menerima kecupan dari Edgar. Kecupan yang terasa… sama dengan kejadian setahun yang lalu di sungai Han.
Tiba – tiba ia seperti merasa dejavu.
-oOo-
Di Incheon National Airport.
Edgar memeluk Dinda untuk yang kesekian kalinya. Meski ia tahu bahwa itu adalah sebuah perpisahan, tapi rasanya akan sangat menyedihkan jika harus melepas orang yang dikasihaninya dengan airmata.
“Kau akan baik – baik saja, bang?” Tanya Dinda di sela – sela pelukan mereka.
“Abang akan selalu baik – baik saja di sini dek.” Balas Edgar.
“Dinda pegang janji itu bang.” Balas Dinda. “Abang jangan lupa untuk ingat keluarga di rumah. Cepat selesaikan study abang disini dan cepatlah pulang. Dinda sama ibu pasti akan selalu nunggu abang.”
Setitik airmata terjatuh dari mata Edgar ketika ia mendengar nama ibunya di sebut. Ia merasa berat hati karena kali ini tak ada sanak keluarganya lagi yang menemaninya di Seoul. Empat minggu sudah berlalu dan tiba saatnya bagi Dinda untuk pulang, tugasnya sudah selesai dalam memastikan bahwa abangnya akan baik – baik saja di negeri Korea.
Dinda melepaskan rangkulannya dengan Edgar. ia mengusap pipi Edgar yang kini tengah basah. Ia memberikan senyum agar abang nya dapat mengiringi kepergiannya tanpa airmata.
“Dinda pamit dulu, bang. Abang baik – baik aja ya disini.” Kata Dinda sambil mencium tangan Edgar. seperti yang biasa dilakukan olehnya ketika di Indonesia.
Edgar mengangguk. Berjanji pada dirinya sendiri demi Dinda, ibu dan mendiang ayahnya.
Dinda beralih pada Tim yang berdiri tak jauh di belakang Edgar. Ia berjalan mendekati pemuda bermarga Hwang itu. Tim hanya tertunduk. Ia tahu pasti bahwa ia juga tak menginginkan perpisahan ini. Apalagi ketika saat – saat mereka bersama, berbagi cerita bersama, sungguh kenangan manis yang begitu singkat.
Dinda tersenyum mendapati wajah Tim yang tertunduk tak mau menatapnya. Seketika itu Dinda melayangkan sebuah kecupan singkat di bibir Tim. Tim agak terkejut. Namun setidaknya kali ini dia mau mengangkat wajahnya. Mereka berdua bertatapan.
“Kutitip bang Edgar kepadamu.” Kata Dinda tersenyum. Namun dapat di rasakan bahwa Dinda pun enggan meninggalkan bumi Korea di saat ia sudah menemukan kenangan manis disini.
“Aku akan menjaga hyung. Tenang saja.” Jawab Tim. Menatap dalam kearah mata Dinda.
“Ini akhirnya, bukan?” Tanya Dinda. Tim tersenyum.
“Jika semuanya sudah usai, aku berjanji akan menjemputmu ke Indonesia.” Jawab Tim. Dinda tak mengerti.
“Untuk apa?” tanya Dinda. Tim memajukan wajahnya dan membisikkan sesuatu pada Dinda.
“Aku akan melamarmu.” Bisik Tim. Seketika semburat merah muncul di wajah Dinda. “Tunggulah aku sampai saat itu tiba.”
Dinda tersenyum. “Aku akan menunggu sampai saat itu tiba.” Ujar Dinda. Ia kemudian memeluk pemuda Korea itu dengan sebuah hati yang telah ia titipkan padanya. Waktunya dalam sebulan sepertinya telah menumbuhkan rasa suka pada calon bintang hallyu masa depan itu.
“Saranghaeyo.” Bisik Tim di tengah – tengah pelukannya.
“Aku juga mencintaimu.” Jawab Dinda. Kemudian untuk beberapa menit kemudian mereka saling melepaskan rangkulan. Dinda menarik koper dan segera menuju pintu masuk bandara. Ia masih sempat menoleh ke arah Edgar dan Tim, dua pemuda yang paling ia sayangi. Ia melambai seakan – akan itu adalah hari terakhir ia akan melihat kedua namja itu.
Dan begitulah perpisahan terjadi. Namun dengan sebuah janji kepulangan yang pasti.
-oOo-
Edgar menghembuskan nafas. Membiarkan kaca jendela taksi itu berembun terkena desahan nafasnya. Musim dingin kini tengah berada di titik terpuncaknya. Apalagi kini sudah memasuki bulan Desember. Beberapa toko di jalan – jalan besar di Seoul sudah menyiapkan pernah – pernik Christmas day untuk menyambut hari kudus itu. Suara – suara nyanyian gereja terdengar beberapa kali saat mereka melewati gereja – gereja di pinggir jalan Seoul.
“Hey. Melamun aja.” Kata Tim sambil menepuk pelan bahu Edgar. memang semenjak kepulangannya dari bandara tadi, Edgar enggan membuka mulut. Tim mengerti itu. Bagaimanapun ada kesedihan ketika adik tercinta harus terpisah kembali karena waktu yang sudah berakhir.
“Aku tidak melamun. Hanya… cemburu.” Kata Edgar sambil mem pout kan bibirnya.
“Cemburu?” Tim tak mengerti.
“Dinda melangkahiku! Dia sudah memberikan ciuman pertamanya sementara aku yang lebih tau darinya saja tidak pernah mencium seseorang.” Kata Edgar jahil dengan nada yang dibuat kesal. Sontak wajah Tim menimbulkan semburat merah. Edgar tertawa begitu menyadarinya.
“Hahahaha! Tak kusangka kau akan menjadi calon adik iparku.” Kata Edgar sambil mengacak – acak rambut Tim. Tentu Edgar tahu apa yang ia saksikan di bandara. Bagaimanapun itu tampak nyata. Ciuman itu, kata – kata manis itu, janji cinta itu. Tim langsung malu.
“Aaah! Diam hyung.” Kata Tim sambil menutup wajahnya. Edgar tertawa geli melihat tingkah dongsaeng nya itu.
Entah mengapa, Edgar tampak teringat sesuatu yang mungkin hanya Tim saja yang tahu.
“Tim, aku ingin bertanya padamu.” Kata Edgar merubah mimiknya menjadi serius.
“Mwo?”
“Apa benar dulu aku seorang gay?” Tanya Edgar dengan ekspresi serius. Seolah meminta jawaban yang jujur. Tim terbelalak.
“Edgar hyung. Kau sudah mengingat semuanya?!” Tanya Tim sambil mengguncang – guncang bahu Edgar. Ia teringat dengan ucapan Dinda bahwa Edgar tengah mengalami amnesia parsial. Dari respon Tim, Edgar tahu bahwa apa yang ditanyakannya adalah benar.
“Ternyata benar. Aku memang gay.” Gumamnya. Ia kemudian menoleh pada Tim. “Dinda sudah menceritakan semuanya padamu?” Tanya Edgar. Tim mengangguk.
“Apa kau sudah mengingatnya hyung?” Tanya Tim masih dengan ekspresi yang tadi. Namun sedetik kemudian air mukanya berubah ketika Edgar menggelengkan kepala.
“Aku hanya melihat… dari sebuah kenangan yang memaksa masuk.” Ujar Edgar. Tim terdiam. Ia hanya menatap hyung nya itu dengan raut wajah prihatin. “Seminggu yang lalu, saat aku bersama Dong-Joon hyung, tiba – tiba kenangan – kenangan itu menyeruak masuk dalam kepalaku seperti sebuah film yang alurnya berantakan. Tepat ketika Dong-Joon menyebut kata gay padaku.”
“Omo! Tak kusangka amnesia parsial bahkan bisa membuat kau lupa pada jati dirimu sebagai seorang homoseksual.” Kata Tim. Ia teringat pada kata – kata Dinda tentang proses sebuah amnesia terjadi. “Mungkin saja kau ingin melupakan fakta orientasi seksualmu itu.”
‘Mungkinkah Edgar merutuki orientasi seksualnya saat kecelakaan terjadi? Itu berarti saat itu dia tidak ingin menjadi gay?!’
Tatapan Edgar menerawang. Seolah ia mengingat kembali kenangan yang tidak pernah ia tahu kapan ia membuat kenangan itu.
“Tim. Jika aku gay, apa aku punya kekasih pria? Atau mungkin, apa aku pernah mengagumi seorang pria?” Tanya Edgar sambil menoleh ke arah Tim. Tim hanya menatapnya balik. Seolah bertanya ‘kau yakin ingin mengetahuinya?’
Edgar menunggu jawaban Tim seolah membalas ‘ya, aku ingin mengetahuinya.’
“Kau pernah punya seseorang yang kau kagumi saat itu hyung. Dan nyaris menjadi sepasang kekasih.” Kata Tim menjelaskan. Edgar menaikkan sebelah alisnya.
“Apa maksudmu dengan nyaris?” Tanya Edgar meminta penjelasan lebih rinci.
“Kalian harus berpisah karena sebab yang… hanya kalian berdua yang tahu.” Kata Tim mengingat kembali tentang hari dimana Edgar mencampakkan Thomas.
“Kenapa bisa begitu? Apa dia mencampakkanku karena aku seorang pria?” Tanya Edgar berasumsi.
“Tidak.” Tim menggeleng dan berkata datar. “Kau yang meninggalkannya. Kau yang membuatnya sakit hati.” Kata Tim dingin.
Edgar menghela nafas. Ia sungguh tak menyangka bahwa ia akan sekejam itu pada seseorang. Ia tak ingin mendengarkan lagi karena sepertinya itu akan menjadi kisah paling sedih dan menyakitkan yang pernah ia dengar dari Tim. Bagaimana mungkin ia mencampakkan orang yang pernah dikaguminya.
Apakah kini ia akan mencampakkan orang yang sedang membuat jantungnya berdebar kala di dekatnya?
Tiba – tida ada satu kenangan lagi yang memaksa masuk. Dan kali ini wajah Thomas terpatri disana.
-oOo-
.
.
.
.
.
Kosakata:
1. Paboo (Korea) Bodoh
2. Dongsaeng (Korea) Adik.
cipok balik . wkwkwkwk. makasih buat ketajaman matanya akan typo yang saya buat.. sudah saya ganti... makasih banyak yo....
itu Sedih banget . tapi akhirnya memuaskan sekali qaqa..... itu drakor terkeren yang gua tonton setelah beethoven virus.... #GakNanya #GamparGuaAjah
Itu terbalik dg Edgar TS.
Makin keren ceritanya..^^
makin rapih tulisannya, (y).
mau baca dulu ~
OMAIGOD!!! duh, apa jadinya aku tanpa dirimu @Fuumareicchi . #NangisLebai..... maaf banget... nama Thomas dan Edgar punya aksen penyebutan yang nyaris serupa. jadi sering kebolak - balik.... huhuhuhu!!! . Entah sudah berapa kali aku sudah harus berterimakasih padamu lagi.... ..