It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
aku jg ngerasa ini ff (btw, aku jg anak ff ) Dan agaknya emang sebaiknya bahasa yg digunakan 1 aja. Bahasa korea jadi selingan aja, bukan sering, itupun dalam satu kalimat, bukan kata maupun frasa. Itu jadi lebih dipahami pas baca keseluruhan cerita. Dan kalo ada kalimat koreapun, sebaiknya footnote aja. IMO. Oke, lanjutin. ^^
hahahaha.... emang keliatan banget ya anak FF #plak! >_< ok deh qaqa, makasih atas masukannya....
hhehehe.... susah qaqa kalo udah jadi gaya bahasa. tulisan asing lebih menantang untuk ditulis :P. tetep ada footnote nya koq di akhir cerita. aku bukan anak ff, hanya pembaca setia ff (Sama sajah... -,-) wkwkwkwk......
Saran yang bagus. makasih deh qaqa. Ngomong - ngomong itu nggak sepenuhnya spoiler koq .
baca ini sambil dengerin moonlight sonata..^^
Di sebuah flat kecil disudut kota Seoul, Edgar mengutak – atik laptopnya yang telah dipasang Internet. Laptop itu diposisikan pada meja pendek sehingga Edgar lebih leluasa untuk lesehan. Entah apa yang ia cari, yang jelas kelakuannya telah menghabiskan banyak kertas di sekelilingnya. Setiap kali ia menemukan sebuah kata, maka ia akan menuliskannya di selembar kertas. Atau mungkin tidak! Dia akan membuat kertas itu timbul dengan menggunakan Reglet (sebuah alat seperti penggaris berlubang kotak – kotak didalamnya disertai sebuah papan padat dibawahnya. Khusus untuk menulis braille) serta paku stylus. Ia meminjam alat tersebut dari tetangganya yang kebetulan punya. Lengkap dengan pelat atas dan bawahnya!
Alat itu adalah peralatan untuk menulis huruf braille!
Ya, Edgar sedang mencoba untuk menulis secarik surat untuk seseorang yang pastinya tidak bisa melihat. Cukup kesulitan juga karena Edgar sendiri pun baru belajar menulis huruf braille dengan reglet. Dan surat itu pastinya ditujukan untuk pangeran indahnya; Thomas.
Edgar berkali – kali mendapati kesalahan dalam menulis huruf braille sehingga tak jarang kertas – kertas yang seharusnya menjadi surat cinta malah tergeletak menyedihkan diatas lantai bersama teman – temannya. Selepas itu Edgar kembali membuat sepucuk surat lagi untuk yang kesekian kalinya. Dan hampir satu jam ia terus melakukan rutinitas tersebut.
Namun sampai detik ini pula ia masih saja tetap gagal dalam menulis surat untuk orang buta tersebut!
“Arrgggghhh!! Menulis braille ternyata lebih sulit dari hangul !” Edgar mulai depresi. Ia mengacak – acak rambutnya dan menjatuhkan dirinya diatas lantai yang beralaskan tikar bambu. Bola – bola kertas hasil remukannya beberapa ada yang tertindih.
“Hyung! Kau baik – baik saja?”
Edgar terkejut mendapati sebuah suara deritan pintu dan orang yang kesusahan untuk masuk. Edgar menoleh dan mendapati pemuda Korea mirip Kim-Bum di serial drama That Winter, The Wind Blows itu.
“Tim?!” Edgar langsung menegakkan duduknya. Tim cengengesan ketika ia berhasil masuk. Ia menggantung palto hitam berbahan kulitnya ke gantungan.
“Berantakan sekali hyung! Aku bahkan susah untuk masuk.” Kata Tim mengomentari kamar Edgar yang memang berantakan.
“Sedang apa kau disini?” Tanya Edgar tak memedulikan pernyataan Tim.
“Berkunjung. Lagipula aku sedang bosan di rumah.” Kata Tim santai dan langsung duduk disebelah Edgar setelah sebelumnya menyingkirkan bola – bola kertas ‘hasil karya’ Edgar.
“Hee-Sun?” Edgar menanyakan pacar Tim.
“Tentu saja dia sedang sibuk bersama teman – temanya.” Kata Tim sambil mengerucutkan bibirnya. Cemberut. Tim lalu ikutan nimbrung dengan apa yang tengah dilakukan Edgar.
“Kau sedang apa?” Tanya Tim sambil melihat kearah layar laptop. “ ‘Cara menulis huruf braille’?” Gumam Tim membaca judul lalu menoleh penuh tanda tanya pada Edgar. Lalu menoleh kepada reglet yang tergeletak di atas meja. “Kau belajar menjadi buta?” Celetuk Tim.
“Bukan urusanmu!” Sungut Edgar tanpa menjawab pertanyaan Tim.
“Untuk apa kau belajar braille? Hangul saja kau tidak becus!” Kata Tim sambil menyenderkan punggungnya kedekat pintu lemari tak jauh dari posisinya.
“Hey hey! Sejak kapan kau mengurusi urusanku?! Lagipula aku menulis huruf braille dengan menggunakan bahasa latin. Bukan menggunakan bahasa hangul!” Kata Edgar membela.
“hah? Latin…?” Tim berpikir sejenak. Untuk sesaat matanya membulat. “Jangan – jangan kau tengah menulis surat untuk pelanggan buta favoritmu itu, ya?!” Tim langsung nyeletuk dengan suara keras. Edgar membekap mulut Tim.
“Pelan – pelan!” Suruh Edgar. Tim cengengesan.
“Berarti kau sudah mengetahui namanya, ya?” Tanya Tim.
“Namanya Thomas. Aku berkenalan dengannya kemarin lusa.” Kata Edgar santai sambil menuliskan lagi huruf braille diatas sebuah kertas baru.
“Mwo ?! Kau sudah berkenalan? Hebat kau hyung!” Tim memuji. “Bagaimana kau bisa berkenalan dengannya?” Tanya Tim.
“Ummm… aku mengikuti saranmu.”
“Saranku? Yang mana?” Tanya Tim dengan tatapan bingung. Edgar menatap Tim lebih bingung lagi.
“Lho, bukankah kau memberikanku saran untuk ‘memanfaatkan’ kebutaannya?” Tanya Edgar. Tim berpikir sejenak. Sesaat kemudian matanya membulat seolah mengingat sesuatu.
“Jangan bilang kau—”
“Ya. Aku berpura – pura menjadi gadis bisu.”
“MWO!!”Teriak Tim. Edgar langsung membekap Tim untuk yang kedua kalinya.
“Ingat peraturan pertama?!; Jangan berisik di flat ku!” Kata Edgar galak. Tim mengangguk dan menciut.
“Mianhae …” Gumam Tim. Edgar memutar bola matanya.
“Jadi… kau benar – benar ‘menipunya’?” Tanya Tim.
“Hei! Aku hanya mengikuti saranmu!” Kata Edgar membela.
“Tapi aku tak menyangka bahwa kau akan benar – benar melakukannya.” Kata Tim. Edgar menghembuskan nafas kesal. Tatapannya berpaling dari mata Tim seolah ia juga menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan dan kebohongan besar.
“Apa dia mempercayaimu bahwa kau seorang yeoja?” Tanya Tim lagi.
“Sesuai dengan kata – katamu. Ya, dia mempercayainya.” Kata Edgar. Tim terdiam begitu pula Edgar. Untuk beberapa saat mereka bermain dalam pikiran mereka masing – masing.
“Apa sebaiknya kukatakan saja yang sebenarnya?” Tanya Edgar.
“Tergantung.” Jawab Tim.
“Tergantung?”
“Kau mengaguminya, kan?” Tanya Tim. Edgar menghembuskan nafas seolah mengatakan ‘sudah jelas sekali, kan?’. Tim menyadari tatapan itu dan tersenyum garing.
“Jika aku menjadimu, mungkin aku akan meneruskan kebohongan ini.” Kata Tim.
“Kenapa?”
“Jika aku sudah lama mengagumi hanya lewat jarak, maka bisa dekat dengannya dan tahu namanya saja adalah sesuatu yang langka, bukan?” Kata Tim.
“Jadi menurutmu, aku harus berbohong?” Tanya Edgar sarkas.
“Jika pun kau berkata jujur, apakah bisa menjamin bahwa dia tidak akan membenci dan menjauhimu?” Tanya Tim skak. Edgar terdiam. Untuk beberapa saat ada pergolakan batin dalam dirinya. Tim hanya menunggui Edgar. Membiarkan sahabatnya itu menentukan pilihannya sendiri.
“Hhhh… sudahlah. Daripada kau galau, lebih baik kita pergi saja.” Tim kemudian berdiri dan mengambil paltonya. Ia menoleh pada Edgar.
“Mau kemana?” Tanya Edgar.
“Myeong-dong. Mau ikut? Ku traktir kau bulgogi.” Kata Tim sambil tersenyum.
“Boleh.” Edgar menerima tawaran Tim dan segera mengambil paltonya.
-oOo-
Seminggu setelah pertemuan…
Jalanan di Gwanghamun Square tidak begitu ramai karena Seoul saat itu sedang berada di puncak kedinginan. Namun tetap saja tidak menghentikan aktivitas beberapa orang yang menghabiskan waktu sengangnya dengan berjalan santai di Gwanghamun Square yang terkenal akan patung King Saejong The Great. Gwanghamun Square jika diperhatikan mirip seperti Bundaran HI di Indonesia dengan patung Selamat Datang di tengahnya.
Saat itu, dua orang namja tengah jalan sambil tertawa ceria dan bercanda satu sama lain. Salah satu namja memegang tangan namja yang lain dengan kilatan tatapan cinta di matanya.
“Eliana. Pelan – pelan!” Kata Thomas menyuruh seorang namja yang dipanggil ‘Eliana’ itu untuk tidak menuntunnya terlalu cepat.
Orang itu Edgar. Dengan menggunakan syal merah dan palto kulit serta celana permanent pants yang sesuai dengannya. Sementara Thomas sama ha lnya menggunakan syal dengan palto bulu dan seperti biasa membawa tongkat.
Edgar menghentikan Thomas tepat di sebuah kolam air mancur. Membiarkan Thomas menerka dimana mereka berdiri.
“Kita dimana?” Tanya Thomas.
Edgar kemudian megambil tangan kiri Thomas. Ia menuliskan beberapa huruf di telapak tangannya. Thomas tersenyum.
“Gwanghamun Square?” Kata Thomas sambil tersenyum. Edgar tersenyum mendapati senyum ringan milik Thomas. “Kau sudah belajar untuk berkomunikasi dengan orang buta, ya?” Tanya Thomas. Edgar tersenyum sambil memegang tangan Thomas. Ia bersyukur setiap saat ia bisa memegang tangan pangeran yang membuat fokus pandangannya hanya ke satu arah.
Tidak sia – sia ia belajar banyak mengenai bahasa isyarat, huruf braille, serta rahasia telapak tangan dari internet.
Untuk hal yang terakhir mengenai rahasia telapak tangan, Edgar baru menyadari akan ilmu tentang membaca gerakan jari sebagai pembelajaran untuk mengenali simbol – simbol kata dan benda dan menjadi pendidikan pagi penyandang buta dan tuli (sekaligus bisu) yang di canangkan oleh Hellen Keller , penyandang tuna rungu, tuna netra, dan tuna wicara beserta gurunya; Anne Sullivan. Penemuan ini menggunakan metode getaran dan kepekaan di kulit sehingga otak dapat merespon dan menggambarkannya. Tak heran jika orang buta lebih peka, bukan?
Dan metode itu bisa dipelajari oleh Edgar dalam kasus mereka. Meskipun Thomas hanya menyandang kebutaan, namun Edgar juga berperan sebagai orang yang tuna wicara, kan?
Lagipula metode ini juga menguntungkan Edgar karena selalu leluasa untuk bisa menggenggam tangan tebal Thomas. Sungguh modus yang menguntungkan bagi keduanya!
Edgar menggandeng tangan Thomas dan mengajaknya ke salah satu kursi batu yang telah disediakan di pinggiran kolam. Mereka berdua duduk disana. Hening. Tak ada yang membuka pembicaraan. Edgar sekali lagi terus menatap Thomas dalam kekaguman dan keterdiamannya.
Kenapa Thomas tampan sekali?
“Noona…” Panggil Thomas menyadarkan lamunan Edgar. Edgar tergagap.
Saat ini Thomas biasa memanggil Edgar dengan sebutan noona. Semenjak kedekatan mereka di hari pertama, Thomas ingin dekat dengan Eliana (Edgar) dengan memanggilnya nama yang lebih ‘layak’ Bagi orang Korea kebanyakan.
“Kau masih disana, noona?” Tanya Thomas. Tatapannya tak terarah namun pertanyaan itu untuk Edgar.
Edgar menyentuh bahu Thomas lembut. Thomas tersenyum. Edgar menyentuh pipi mulus Thomas dengan jemarinya. Menyusuri tiap senti wajah Thomas yang tampak gagah namun tetap flamboyan.
“Apa hari ini aku tampil menarik, noona?” Tanya Thomas jahil. Edgar tertawa. Membuat suara dengusan yang diketahui Thomas sebagai ungkapan tawa.
“Kau tertawa, ya?” Kata Thomas sambil tersenyum. Wajahnya berseri menimbulkan pipi kemerahan di kulit tropisnya.
Tangan Edgar menelusuri pelipis Thomas. Disana baru ia sadari ada sebuah luka sayat didekat mata Thomas. Ia menyentuh pelan dan jarinya berhenti disana. Seolah bertanya sesuatu.
Apa ini?
“Hidupku.” Gumam Thomas seolah dapat membaca apa yang dipikirkan Edgar.
“Maa…?” Edgar menggerung. Menaikkan alisnya. Bingung.
“Itu luka ketika aku mendapati kebutaan ini. Satu – satunya yang permanen. Kata Senja, dulu ada banyak luka sayat di wajahku. Namun perlahan semuanya hilang dan hanya luka itu yang tersisa.” Kata Thomas. Tangan Thomas ikut menyentuh luka kecil di pelipisnya. “Aku masih bisa merasakan keberadaannya.” Kata Thomas.
Edgar terdiam. Sekali lagi wajah tampan itu menunjukkan tatapan sendunya. Seolah sedang meringkuk sedih didalam ruang gelapnya.
Edgar tak ingin merasakan suasana yang berlebihan dan sedih lebih jauh lagi. Ia mengambil sesuatu yang telah ia siapkan untuk Thomas dari sakunya. Sepucuk surat!
Edgar menggamit tangan Thomas dan menaruh kertas tersebut di tangannya. Thomas merasakan sesuatu yang diberikan Edgar padanya. Alisnya bertaut penuh tanda tanya.
“Apa ini, noona?” Tanya Thomas. Kedua tangannya meraba. Berbentuk persegi dan berserat.
“Kertas? Apakah surat? Untuk siapa?” Tanya Thomas. Edgar menempelkan telapak tangannya di dada Thomas. “Untukku?”
Thomas terdiam beberapa saat. Membiarkan tangannya menggenggam erat surat itu.
“Apa… boleh kubaca sekarang?” Tanya Thomas.
“Aaaa…” Edgar menggerung lagi seolah mengatakan; tentu.
Thomas kemudian membuka lipatan surat tersebut. Meraba – raba sesaat dan tersenyum ketika mendapati kepala surat.
“Kau belajar huruf braille, ya?” Tanya Thomas sambil tersenyum. Edgar mendenguskan nafas. Tertawa. Tanpa izin lagi, dia membaca surat yang telah bertuliskan huruf braille berbahasa latin tersebut. Meraba setiap huruf dan kata yang timbul disana.
Demi langit dan matahari yang menyinari bumi dan seisinya, wajahmu begitu rupawan ketika aku pertama kali berjumpa denganmu.
Maaf, aku tak pandai merangkai kata. Terlebih lagi aku tak begitu mahir menulis aksara braile. Namun yakinlah aku sudah berusaha keras agar aku bisa menyampaikan apa yang kurasakan terhadapmu.
Ini mungkin terlalu cepat. Namun bayangmu telah hadir dalam setiap mimpiku. Kau telah menjadi angan – angan ku. Apakah aku terlalu berlebihan menuliskan seribu pujian kepadamu? Bagiku kau adalah sebuah permata yang telah berhasil membuat tembikar dalam hatiku penuh dengan embun. Mendamaikan.
Maaf, aku mungkin takkan pernah bisa berbicara dengan kata – kata indah. Namun, lewat secarik surat ini, aku ingin mengatakan bahwa aku ingin dekat dan berteman denganmu… terimakasih karena untuk pertama kalinya… kau tersenyum ramah untukku di hari pertama kita berkenalan.
E
Thomas terdiam beberapa saat ketika menyelesaikan surat Edgar. Ia terpaku. Edgar menunggu reaksi Thomas. Namun tak ada respon apapun dari Thomas saat itu.
“Neee…” Edgar menggerung lagi. Seolah berkata;Thomas?
Thomas menghembuskan nafas berat. Tatapannya tiba – tiba menjadi sendu.
“Boleh aku langsung menjawab suratmu?” Tanya Thomas. Edgar menyentuh bahu Thomas. Memberikan isyarat silahkan. Thomas menghirup nafas berat.
“Untukmu noona. Terimakasih atas semua pujian yang telah kau ucapkan untukku. Serta terimakasih untuk kekagumanmu kepadaku. Kuharap itu tulus dari dasar hatimu. Namun ketahuilah, aku tak sesempurna seperti yang kau kira. Aku tak bisa melihat keindahan. Orang terakhir yang mencintaiku harus menelah pil pahit ketika ia tahu kekuranganku.
“Aku bukanlah permata. Aku hanya seonggok batu karang yang lama – kelamaan terkikis oleh ombak. Percayalah, sebagian hatiku mengatakan bahwa pertemuanku padamu hanyalah formalitas karena… aku disuruh oleh kakakku! Ini semua mungkin demi nya. Namun sebagian hatiku tak jelas! Tertutup kabut! Seolah masih ragu apakah aku benar – benar nyaman didekatmu.”
Thomas menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan.
“Kenapa kau memilihku untuk kau kagumi noona? Aku bahkan yang masih ragu akan adanya cinta. Terlebih pada orang asing sepertimu.” Thomas bertanya sarkastik. Edgar terdiam.
“Kenapa kau memilihku yang bahkan tak sempurna ini? Bukankah banyak yang lebih sempurna dariku.” Tanya Thomas. Matanya sedikit berkaca. Ia merasakan ada sakit hati dan dendam dalam dadanya.
Karena aku juga tak sempurna…
Thomas merasakan Edgar ‘menulis’ ditelapak tangannya lagi. Kali ini sebuah kalimat, bukan sebuah kata. Rangkaian kalimat itu baru disadari Thomas setelah ia dengan susah payah menerjemahkannya dengan otaknya.
“Mwo?” Tanya Thomas.
Sekonyong – konyong Thomas merasakan tangan Edgar menyentuh bahunya lembut. Thomas sedikit terkejut namun membiarkannya. Seketika itu tangan Edgar mengambil tangan kanan Thomas. Memberikan kode – kode yang mungkin hanya dimengerti oleh mereka.
Edgar mengarahkan tangan Thomas untuk menyentuh bagian tulang selangkanya. Tepat diatas dadanya. Kemudian mengarahkan tangan Thomas menyentuh dada Thomas sendiri. Lalu kode yang ketiga, Edgar menggenggam tangan Thomas dengan kedua tangannya. Sedikit meremas namun tetap dengan kelembutan.
Perlu beberapa saat untuk Thomas dapat mengertinya. Hingga ia paham dengan maksud Edgar. Setitik airmata menetes dan mengalir di pipinya. Wajah sedih yang membuat Edgar ingin selalu ada didekatnya.
Aku… kamu… satu…
Edgar menghapus setitik airmata itu. Meski menangis, Thomas masih menyiratkan wajah ketegaran disana. Tersenyum ketika mendapatkan tangan lembut Edgar menyentuh pipinya. Baru kali ini ada yang rela menghapus airmatanya secara langsung. Dan Thomas yakin, Edgar melakukan itu bukan karena empati. Namun karena ia benar – benar peduli.
~Aku memang tak sempurna. Kau pun juga begitu. Akan terus begitu sampai nanti Tuhan mempertemukan kita. Menjadikan dirimu sebagai penyempurna diriku. Karena aku dan kamu adalah SATU yang sempurna, yang saling melengkapi kekurangan.~
-oOo-
Langit kota Seoul semakin lama semakin meredup. Malam mulai menyelimuti negeri gingseng tersebut dengan selimut kelamnya dan mulai menutup cerita – cerita yang terjadi hari ini. Penduduk pribumi pun bersegera mungkin untuk menuju peraduannya. Namun hanya mereka yang tengah mencinta yang masih menuliskan cerita – cerita indah.
Tak terkecuali di Banpo Moonlight Rainbow Bridge. Atau Jembatan Banpo yang menjadi ‘jantung’ utama kota Seoul. Merupakan jambatan besar yang memiliki dua tingkat jalan dan dihiasi dengan air pancur yang berwarna warni serta lihai menari. Ada dua cara untuk menikmati keindahan di Rainbow Bridge ini. Yang pertama pergi ke tepi jambatan dengan menaiki subway dan turun di stasiun Dongjak, lalu ditambah lima menit berjalan.
Cara kedua dengan menaiki kapal penumpang feri dari stasiun Yoneorui. Biasanya ada penyewaan kapal untuk melintasi jembatan Banpo yang dikhususkan untuk turis dan pengunjung. Bahkan jika beruntung biasanya diatas kapal ditemani oleh live band. Serasa menikmati bulan madu di kapal pesiar saja.
“Apa kau yakin tidak menghabiskan uangmu,noona?” Tanya Thomas. Edgar tersenyum dan memegang pergelengan tangan Thomas seolah mengatakan; tak apa.
Lagipula harga naik kapal wisatawan hanya mengeluarkan beberapa won saja. Untunglah Tim mau meminjamkan Edgar beberapa won untuk malam ini.
“Jika kau kekurangan. Aku bisa memberikan beberapa won untukmu.” Gumam Thomas tak enak hati.
“Maa…” Edgar menggerung. Kemudian menaruh telapak tangannya dikedua bahu Thomas.
“gagha, ulineun gal junbigadoeeoissda ! ( (Korea) “Tuan! Semuanya sudah siap! Kita berangkat!)” Terdengar seorang petugas berteriak dari dermaga dan memberikan jempol kearah nahkoda. Sang nahkoda membalas dengan membentuk ‘O’ dengan menggunakan jari telunjuk dan jempolnya. Tanda bahwa kapal siap dijalankan!
Tubuh Thomas terhuyung nyaris terjatuh ketika kapal itu berjalan membelah sungai Han menuju keremangan yang dihiasi lampu LED dari jembatan Banpo. Untunglah Edgar dengan cekatan menggamit bahu Thomas agar tidak terjatuh. Mereka berdiri di buritan kapal. Dimana para penumpang sedang ramai – ramainya. Jadi bukan mereka saja yang menikmati keindahan malam di Banpo Bridge.
“Kau tahu? Ini… pertamakalinya aku naik kapal.” Gumam Thomas. Edgar menoleh dan menatap seksama wajah Thomas. Terlihat sangat tegang. Untuk ke seribu kalinya, Edgar membuat Thomas tenang hanya dengan menggenggam erat tangan Thomas seolah mengatakan kau tak sendirian, Thomas!
Thomas menyabitkan sebuah senyuman. “Aku punya pengalaman buruk dengan air sebenarnya. Jadi aku sedikit phobia jika harus naik perahu.”
“joh-eun jeonyeog sinsa sugnyeo yeoleobun …((Korea) para hadirin, aku akan menyanyikan sebuah lagu…)” Suara seorang penyanyi wanita berpakaian glamour tampak menaiki sebuah panggung kecil di tepi buritan. Suasana menjadi riuh rendah ketika penyanyi itu menyapa para turis dan tak berapa lama mendendangkan sebuah nyanyian.
~~nappayo cham geudaeraneun saram
heorakdo eopshi wae naemam gajyeoyo
geudae ttaemune nan himgyeobge salgoman
itneunde
geudaen moreujanhayo~~
Sebuah lagu yang nyaris lawas. Yang mungkin sekarang dinyanyikan secara ballad verse oleh penyanyi tampan Korea; Tim Hwang. Namun juga sering dinyanyikan oleh Lee Sung-Min dan Yesung Super Junior.
“Lagu yang merdu…” Puji Thomas. Tatapannya menatap kosong ke arah permukaan air yang terpantul indah oleh lampu – lampu pelangi dari jembatan Banpo. Meski tatapannya kesana, namun seolah ia tak sedang menikmati keindahannya.
Edgar sekali lagi merasakan sesuatu yang hangat ketika menatap wajah Thomas yang hanya berjarak beberapa inci darinya. Begitu tampan wajah permata itu hingga membuat Edgar tak dapat berpaling darinya.
Karena suasana yang riuh rendah dan terlalu ramai, Edgar mengajak Thomas ketempat yang lebih cocok.
“Mau kemana?” Tanya Thomas. Tak ada jawaban dari Edgar (tentunya). Hanya suara lenguhan kecil dan tarikan lembut yang membuat Thomas mengikuti Edgar. Edgar menuntun Thomas melewati beberapa orang yang sebagian besar sedang berdansa. Sementara yang lain hanya bercakap – cakap di buritan kapal. Sesekali Thomas memastikan langkahnya agar tak menabrak atau malah justru merepotkan orang lain yang dilewatinya. Yang ia ketahui hanya bau – bau parfum bermerek yang menjadi penuntun jalannya.
Edgar mengajak Thomas kebagian belakang kapal; geladak. Hanya ada beberapa pasangan disana. Dan salah satu diantaranya ada yang tengah bercumbu tanpa memedulikan kehadiran Edgar dan Thomas. Namun Edgar juga tak peduli.
Edgar menuntun Thomas ke tepi geladak. Semua turis dan pengunjung memang lebih ramai di buritan kapal sehingga geladak bisa dibilang lumayan sepi. Karena para turis lebih memilih menikmati angin dari haluan kapal secara langsung dan menatap gemilangnya sungai Han saat winter.
“Disini… senyap…” Gumam Thomas. Ia melangkahkan kaki berjalan hati – hati. Mengetuk – ngetukkan tongkatnya. Saranghamnida lambat laun masih bisa didengar dari geladak kapal. Meski suasana riuh rendahnya tidak bisa dirasakan lagi oleh Thomas.
Thomas memegang pagar pembatas. Matanya menerawang jauh meski tanpa pandangan. Entah mengapa kedamaian dalam dirinya. Dirasakan tangannya dingin karena terkena besi pagar yang membeku. Malam itu salju memang turun pelan sehingga nyaris beberapa orang tak menyadarinya. Angin sejuk menerpa wajahnya dan meniupkan rambutnya hingga beberapa surainya tertiup dan berantakan.
“Noona, disini mendamaikan…” Kata Thomas. Edgar mendekat dan berdiri disamping Thomas. Ikut merasakan angin malam yang sungguh mendamaikan. Mereka berdua berdiri di tepi geladak. Tak memperdulikan tiga pasangan yang kini tengah berdansa menikmati alunan. Mereka hanya menikmati suasana tenang dari kapal feri yang melaju pelan.
“Katakan, dimana kita?” Tanya Thomas. Edgar meraih tangah Thomas dan kembali menggambarkan sebuah tempat dan sebuah kata.
Pelangi
“Rainbow Bridge.” Kata Thomas seolah bisa tahu dari clue yang diberikan Edgar. Jembatan Banpo memang lebih dikenal dengan sebutan Rainbow Bridge karena dari sulur – sulur besi diatas jembatan akan memancarkan air yang berwarna – warni dan langsung jatuh ke sungai Han dibawahnya. Kombinasi dengan cahaya lampu LED buatan membuatnya tampak seperti kilauan pelangi yang bersinar di malam hari.
“Sudah lama aku ingin kesini. Melihat pelangi – pelangi itu melengkung anggun dimalam Seoul. Dimana kita bisa menari dibawah cipratan pancurannya.” Kata Thomas. Matanya seolah sedang mengenang. “Dulu sebelum aku buta, kakakku yang memang bertugas di KBRI Seoul menceritakan betapa indahnya Rainbow Bridge. Seolah negeri dongeng tengah muncul di kota Seoul. Dan Senja selalu menceritakan ‘betapa romantisnya jika bisa pergi kesana bersama seorang kekasih’.” Thomas menghentikan ucapannya. Perlahan ia tersenyum.
“Tak kusangka aku pergi kesini denganmu, noona.” Kata Thomas. Edgar memerah. Untuk sesaat dia merasa pipinya memanas karena malu. Seketika Edgar salah tingkah. Thomas tersenyum karena peka dengan aura Edgar.
“Tapi…” Sekali lagi secara cepat Thomas merubah ekspresinya. “Tak ada gunanya kau mengajakku kesini. Aku takkan pernah bisa melihat keindahan yang terpancar dari Rainbow Bridge itu. Meskipun ada ratusan warna yang dihasilkan, yang kulihat hanya ada satu; hitam.” Gumam Thomas. Wajahnya tampak dingin. “Gelap.” Kali ini terdengar seperti sebuah penekanan.
Edgar tergugu. Ia tahu pasti bukan ini yang ia harapkan dari reaksi Thomas. Tapi ia tak bisa menyangkal bahwa ia ingin tahu lebih dalam hati Thomas. Seolah ingin duduk bersama dengan Thomas di ruangan yang gelap itu. Ingin melihat apa yang dilihat Thomas.
Mereka berdua terdiam. Hening.
~~arayo naneun aniran geol
nungiljulmankeum bojalgeot eoptdangeol
daman gakkeusshik geujeo geumiso
yeogi naegedo nanwojul sun eoptnayo
birok sarangeun anirado~~
“Kau… bisa berdansa?” Tanya Thomas tiba – tiba. Edgar menaikkan alis. “Sudah lama aku tidak berdansa. Mau menemaniku? Lagipula lagu dan suasananya sangat pas. Kau tidak ingin menyia – nyiakan waktu hanya untuk mendengar kisah sedih ku, kan?” Kata Thomas. Edgar tersenyum simpul.
Tangan Edgar meraih kedua bahu Thomas dan menghadapkan tubuh Thomas untuk berhadapan dengannya. Edgar membantu Thomas melepas tongkat bantunya. Setelah itu ia melingkarkan tangannya di leher Thomas. Thomas tersenyum saat menyadari Edgar ‘mengiyakan’ ajakan Thomas. Thomas akhirnya merengkuh pinggang Edgar. Seiring dengan alunan nada yang melembutkan, kaki mereka saling mengikuti irama. Berdansa dan berputar dalam harmoni keindahan malam di kota Seoul.
Thomas merasakan kehangatan wangi papermint dari desah nafas Edgar. Edgar tak henti – hentinya menatap wajah charming Thomas yang hanya berjarak beberapa inci darinya. Dibawah kilauan jembatan Banpo, diatas kemilau sungai Han, Seoul kembali menceritakan kisah romantisnya di musim dinginnya. Dua namja yang saling membutuhkan dan mengagumi. Membiarkan lagu – lagu cinta mengiringi tarian mereka.
“Kau mahir berdansa, noona.” Kata Thomas memuji. Edgar tersenyum. Sesaat ketika ke sekian kali langkah mereka berpijak dalam tarian…
“AKH!”
Edgar terpekik tertahan saat kakinya terinjak sepatu Thomas. Ia menahan jeritan. Jangan sampai Thomas mengetahui suara bassnya. Untuk sesaat dansa mereka terhenti. Edgar mengaduh kesakitan sambil memegangi kakinya!
“Owh! mianhae noona! Apa aku menginjak kaki mu?! Apakah sakit?” Tanya Thomas.Edgar menggeleng.
“Apakah itu menyakitkan?” Tanya Thomas lagi. Edgar lagi – lagi menggeleng sambil mengelus – elus punggung kakinya dan meringis.
“noona? Kau baik – baik saja, kan?” Tanya Thomas lagi. Kali ini menyadarkan Edgar bahwa Thomas buta! Sehingga ia tak bisa melihat Edgar menggeleng!
Thomas yang masih khawatir mencoba menunduk dan menggapai kaki Edgar untuk memeriksanya. Namun dengan cepat tangan Edgar menahannya seolah mengatakan tak apa! Bukan masalah besar. Tak perlu repot untuk memeriksanya.
“Tapi kakimu…”
“Ssstt…” Edgar berbisik memotong kata – kata Thomas. Menempelkan jarinya di bibir Thomas. Memberikan isyarat jangan khawatir!
“Mianhae…” Gumam Thomas untuk kesekian kalinya.
Edgar terdiam. Kali ini menatap wajah Thomas yang terlihat khawatir padanya. Untuk sesaat, Edgar menatap dalam wajah rupawan Thomas.
“Noona?” Panggil Thomas. Edgar tak memedulikannya. Entah mengapa ia tersihir seketika oleh pesona Thomas yang mengkhawatirkannya. Tiba – tiba tanpa perintah otaknya, Edgar mendekati bibir Thomas tanpa sepengetahuan Thomas. Ia cukup tergoda untuk dapat melumat seseorang yang ia kagumi selama ini.
“Noona, kau baik – baik saja?” Thomas bertanya khawatir karena Edgar tak memberikan tanda dan tanpa disadari ada sebuah bibir yang akan segera mengecup bibirnya. Seandainya Thomas tak buta, apakah ia akan menyingkir dari kecupan Edgar?
~~eonjenga hanbeonjjeumeum dolabwajugetjyo
haneobshi dwieseo gidarimyeon
oneuldo chama mothan gaseumsok hanmadi~~
Semakin dekat bibir Edgar nyaris menyentuh bibir Thomas, seketika itu pula…
“Gyaa… Hujan!” Thomas langsung panik dan segera menutup kepalanya. Kesadaran Edgar pulih kembali ketika sebuah air menciprati wajahnya! Nyaris saja bibir kedua Adam itu saling berpagut.
“Apa ini? Apa ini hujan? Bukankah sekarang musim salju?” Tanya Thomas. Namun suara orang bertepuk tangan di buritan ataupun geladak tampak membuatnya bingung. Apakah ada sebuah pertunjukkan sampai semua orang terdengar bahagia?
Edgar yang bisa melihat keindahan lampu – lampu dan air yang menari terpukau memandang keatas. Tepat pukul 21:00 KTS. Inilah yang membuat Edgar mengajak Thomas kesini; Moonlight Rainbow Fountain! Cipratan air menciptakan embun – embun diwajahnya. Memang benar, Rainbow Bridge sangat indah dan menjadi ‘surga’nya Seoul! Tak sadar, Edgar ikut bertepuk tangan dengan keriuh - rendahan para turis.
Inilah yang menjadi suguhan utamanya; Moonlight Rainbow Fountain. Ini adalah pertunjukan air mancur jembatan paling panjang yang dicatat Guiness World Record. Saat mentari mulai terbenam, 200 lampu aneka warna menyinari air mancur yang terjun langsung ke Sungai Han di bawah jembatan tersebut.
Air mancur ini mengalir dari sisi kiri dan kanan jembatan, yang panjangnya 1.140 m. Debit air yang dikeluarkan sekitar 190 ton per menit. Air mancur tersebut jatuh di jarak 43 meter dari jembatan. Diiringi alunan musik, air mancur pelangi ini seakan menari.
Untuk melihat langsung pertunjukan Moonlight Rainbow Fountain, wisatawan bisa mengunjungi Seoul pada bulan April- Desember. Jam pertunjukan berbeda-beda tiap bulan, namun biasanya selalu ada pukul 12:00, 20:00, dan 21.00 waktu setempat. Moonlight Rainbow Fountain berdurasi 15 menit.
“Noona? Apa yang terjadi?” Tanya Thomas masih mencoba melindungi tubuhnya. Edgar yang menyadari ada seseorang yang tidak dapat menikmati keindahan visual tersebut langsung meraih tangan Thomas dan menuliskan sebuah kata.
Tarian Pelangi.
Thomas tercengang. Ia baru tersadar bahwa cipratan air yang mengenai tubuhnya adalah pancuran dari Rainbow Bridge yang tengah menari. Seumur hidup baru kali ini ia bisa merasakan berdiri dibawah pelangi. Padahal selama ini dia hanya mendengar ceritanya dari kakaknya. Dan dia ada disana! di pertunjukkan itu!
“Ani… Mana? Aku ingin melihatnya?” Thomas saat itu terlihat sangat gusar. Seolah tengah memberontak ingin keluar dari ‘ruang gelap’ nya dan melihat pelangi diluar sana.
“Omo! Aku tak melihatnya noona!” Thomas terlihat memaksakan diri ingin melihatnya seolah tak sadar jika ia tengah buta. Kakinya melangkah kedepan seolah mencari – cari dimana letak cahaya.
Dimana pelangi yang sering diceritakan Senja? Yang disebut – sebut sebagai dongeng di kota Seoul? Aku ingin melihatnya!
Thomas terantuk karena terpeleset licinnya dek geladak. Ia kehilangan tongkatnya. Namun ia masih beraba – raba mencoba berdiri dan ingin sekali melihat warna. Hatinya terasa sesak saat ia menyadari takkan ada warna yang dilihatnya meskipun terdengar suara kekaguman muda – mudi disekelilingnya yang melihat warna. Ia ingin melihat warna itu!
“Noona! Aku ingin melihatnya!” Gumam Thomas sambil berdiri tanpa bantuan tongkat dan melangkah kedepan lagi sambil melayang – layangkan tangannya. Meraba – raba udara. Dan sekali lagi ia nyaris terpeleset…!
Namun sebuah tangan berhasil merengkuhnya. Tangan yang menahannya agar tak terjatuh. Tangan lembut yang ia kenali. Eliana!
“Noona! Aku ingin melihat warna – warna itu!” Thomas tampak seperti anak – anak yang amat menginginkan sebuah mainan yang dilihatnya. Namun Edgar tahu bahwa Thomas memang ingin sekali melihat sesuatu yang dulu ia pernah lihat keindahannya.
“Tolong bantu aku! Aku ingin bisa melihatnya dan…”
Cup!
Thomas terdiam seketika dalam rengkuhan Edgar. Terasa sekali sesuatu yang lembab baru didaratkan oleh Edgar. Edgar baru saja mencium pipinya!
Thomas termangu. Rasanya seperti terasa sengatan yang membuat kehangatan dalam benaknya. Seketika ia terdiam dan menjadi salah tingkah. Mendapati sebuah kecupan dengan Edgar yang memeluk dirinya dari belakang.
~~geudae saranghamnida~~
Sesaat ia terdiam, dalam ruangan gelap itu Thomas dapat melihat sebuah kombinasi cahaya yang meredup timbul. Sebuah warna yang ia lihat dalam ruang gelap itu!
“Noona..” Hanya itu yang bisa digumamkan Thomas. Entah apa yang dirasakannya. Jantungnya terasa berdegup kencang.
Edgar mengetahui reaksi Thomas yang terkejut. Ia tersenyum malu – malu dikala merasakan dadanya berdebar hebat. Memberikan warna – warna hangat dalam kamar gelap Thomas. Kisah romantis mereka hari itu diakhiri dengan cipratan air dari Banpo Bridge. Disaksikan sungai Han dan dibawah Moonlight Rainbow Fountain…
-oOo-
Kosakata:
1. Hangul Tulisan dan bahasa Korea.
2. Mwo? (Korea) Apa?
3. Mianhae (Korea) Maafkan Aku.
Lagu yang dinyanyikin oleh penyani di buritan kapan di Banpo Bridge adalah Geudae Saranghamnida. Lagu ini pertama kali saya tahu dinyanyikan secara ulang oleh penyanyi Korea bernama Tim Hwang yang berduet bersama penyanyi Indonsia; Astrid. Dan menjadi soundtrack salah satu drama kompilasi antara Indonesia dengan Korea pada tahun 2011 dan ditayangkan di salah satu stasiun TV Swasta.
HAH! Ini Fuumareichi yang nulis Alfi Hasan Alatas, Kan??!! :O
Kata mianhae, hyung, nuna, yg terlalu seringpun adakalanya terlalu pusing diartikan. Coba kalo digunakan dalam 1 kalimat utuh. Misal, Hyung, naega jeongmal mogoshippeoyo, arra!? [1]
nah baru di footnote jadi gini:
footnote :
1. Kakak, aku sangat lapar, mengerti!?
2. Dst, dll, dkk.
Gitu ajasih xD ya mungkin beda aja kali ya tiap orang. Aku seringnya pake gini sih.
itu aku.. itu aku..^^
nice..
Edgar memasuki flatnya dengan keadaan yang lesuh. Ia melepas syal dan paltonya serta melemparkannya ke sembarang arah. Cukup untuk menambah statement berantakan pada kamar flatnya.
Edgar menghela nafas. Ada sedikit rasa bangga bercampur dalam lelahnya. Rasa bangga yang ia rasakan malam ini mengingat kejadian – kejadian indah di Banpo Bridge beberapa saat yang lalu. Sesuatu yang menjadi angannya selama ini bisa kesampaian. Masih terasa jelas bibirnya yang menyentuh pipi halus Thomas. Begitu dingin karena wajahnya yang terciprat air mancur sungai Han.
Edgar menghempaskan tubuhnya. Nyaris melompat – lompat mengingat kejadian yang spontan tadi. Bagaimana wajah Thomas bersemu merah ketika ia mengecup pelan wajah pemuda itu. Aaah… sungguh malam yang indah bukan?
Edgar nyaris melepas lelahnya dengan mengatupkan kedua manik matanya. Tersenyum karena akan membawa alam mimpi yang indah dalam tidurnya.
Sesaat ia telah nyaris tertidur, sebuah suara membangunkannya.
Tok… Tok…
Suara ketukan pintu. Edgar bahkan malas untuk menyambutnya. Ia sudah terlalu nyaman dengan posisi tidurnya.
Tok… Tok… Tok…
Pintu itu masih ‘meminta’ untuk dibuka. Edgar mendengus dan bangun dengan kejengkelan dihatinya. Ia mengacak – acak rambutnya frustasi. Beberapa detik ia hanya terduduk di tepi ranjang, berharap suara itu akan menghilang ketika Edgar tak menyambutnya.
Tok… Tok… Tok… Tok…
Namun sayang, suara itu malah terus mengganggui Edgar. Edgar memutar bola matanya dan mendengus kesal. Ia melemparkan bantalnya.
“Tunggu sebentar.” Kata Edgar.
Dengan jengkel, ia menggeser pintu flatnya dan mendapati sesosok tubuh wanita yang tengah memunggunginya.
“Heo nugu-inga? (Ya, cari siapa?) ” Tanya Edgar dengan menggunakan hangul. Wanita itu berbalik dan Edgar dapat melihat seraut wajah poker faced yang tersenyum datar padanya.
Edgar mengernyitkan dahi. Wajahnya oriental sekali dengan orang Melayu kebanyakan. Dan kedua manik mata itu mengingatkan Edgar pada bola mata indah milik seseorang.
“Heum … Indonesia ? Hmmm... Orang Indonesia?” Tanya wanita itu canggung.
“Ya. Ada perlu apa?” Tanya Edgar kali ini menggunakan bahasa Indonesia.
“Aku mencarimu.” Gumam wanita itu. Edgar mengernyitkan dahi.
“Maaf?”
“Kau Eliana, kan?” Tanya perempuan itu.
“Hah?!” Edgar masih tak mengerti.
“Kupikir kau sungguhan bisu.” Kata wanita itu. Beberapa detik mencoba mencerna, Edgar baru menyadari apa yang dimaksud oleh wanita itu. Ia membelalakkan matanya resah namun mencoba menutupi kegelisahannya.
“Maaf. Tak ada yang bernama Eliana disini.” Gumam Edgar. Ia nyaris menutup pintunya.
“Tunggu!” Wanita itu menahan laju pintu Edgar yang nyaris ditutup. Sesaat matanya terlihat sangat sayu dengan harapan yang nyaris pupus. Edgar terdiam.
“Aku Senja. Kakak Thomas.”
-oOo-
Malam di Myeong-dong. Surga pari penikmat malam di Seoul. Jalan itu mirip sekali dengan jalan – jalan utama di pasar malam. Tentunya yang ini jauh lebih moderen. Dibanding Insa-dong, Myeong-dong lebih banyak diisi oleh toko fashion dan aksesori lainnya. Meskipun dibenarkan juga bahwa Myeong-dong adalah tempat untuk pedagang cemilan dan pedagang kaki lima lainnya.
Edgar memberikan sepuluh won pada sang penjual bakpia pinggir jalan. suasana dingin di Korea memang terasa hangat jika jajan sesuatu yang hangat. Dan makanan China itulah salah satunya.
Edgar memberikan sebungkus pada Senja. Satu bungkus berisi tiga bakpia dan untunglah sangat murah bagi Edgar yang mentraktir Senja kala itu.
Mereka kembali berjalan menyusuri malam dingin kota Seoul. Dengan menyesap aroma hangat dan harum dari sebungkus bakpia yang berisi cokelat, nanas dan daging. Sesekali kabut putih mengepul tebal dari hidung mereka yang memerah karena kedinginan.
Edgar mengeratkan syalnya dan melepas sarung tangan sebelah kanannya untuk memakan salah satu bakpia. Sekilas mereka seperti muda – mudi yang menikmati malam di kota Seoul dengan jalan – jalan santai mengadu cinta dan kasih.
“Apa yang kau inginkan, noona?” Tanya Edgar sambil mengambil segenggam bakpia cokelat kesukaannya. Senja tak menatap Edgar. Tatapannya terpaku pada jalan Myeong-dong didepannya. Menikmati segelintir orang yang masih beraktivitas selarut ini.
“Kau tahu Thomas itu buta, kan?” Tanya Senja. Edgar mengangguk tanpa melihat Senja. Ia cukup gugup untuk berhadapan dengan kakak Thomas sehingga ia lebih memilih untuk menutupinya dengan menyibukkan mulutnya mengunyah bakpia.
“Apa yang kau inginkan?” Tanya Senja. Datar dan sarkas. Edgar menatap Senja bingung. Tak mengerti dengan ucapan Senja.
“Ng?” Gumam Edgar.
“Kau ingin memanfaatkan kebutaannya? Dengan menjadi… gadis bisu?” Tanya Senja. Edgar merasa tertampar. Untuk sesaat Edgar tak bisa berkata apapun. Cukup lama hingga Senja menghela nafas seolah memandang sinis kearah pemuda cantik disebelahnya.
“Dulu Thomas memiliki banyak teman dan penggemar. Dulu ia berjaya sebelum menjadi buta. Namun ketika Thomas kehilangan kedua matanya, banyak dari mereka yang memanfaatkannya karena Thomas cukup… kaya.” Senja menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Ayahku adalah pemilik perusahaan Dhirgantara dan Thomas adalah pewaris tunggalnya. Aku tidak terlalu memperhatikan keadaan keluargaku di Tanah Air karena kesibukanku di KBRI Seoul. Tapi yang jelas, selepas kebutaannya, Thomas bercerita padaku bahwa ia sering sekali dimanfaatkan oleh teman – temannya. Bahkan setelah Thomas jatuh buta, pacarnya juga meninggalkannya.” Gumam Senja.
Edgar memilih untuk diam. Ia tak tahu harus menjawab apa melihat aura kesedihan dan simpatik luar biasa dari wanita bernama Senja disebelahnya. Ia memakan bakpia keduanya.
“Maaf, aku mengawasi kalian berdua seharian ini.” Gumam Senja. Edgar tersedak mendengar ucapan Senja. ‘Apa dia tahu tentang ciuman itu?’ Edgar membatin. Mengingat kembali peristiwa di Banpo Bridge. Senja menoleh sekilas dan seolah tak peduli dengan suara batukan Edgar.
“Aku cukup terkesan dengan skenario mu menjadi gadis bisu untuk mendekati adikku. Sebenarnya itu kesalahanku karena telah menjanjikan secara paksa Eliana ~ yang sebenarnya~ untuk menemui adikku. Namun ternyata, hari itu malah kau yang muncul.” Gumam Senja sinis.
“Aku tak tahu apa yang kau inginkan dari Thomas.” Gumam Senja. “Tapi kumohon padamu jauhi dia!”
Edgar terdiam dan memandang Senja aneh. Terlihat sekali dua kelopak itu tampak berkaca – kaca menatapnya. Namun masih disembunyikan oleh sikap angkuhnya.
“Kenapa kau menyuruhku untuk menjauhinya?” Tanya Edgar.
“Kau sudah menipunya dan dia terlihat bahagia bertemu dengan ‘gadis bisu’. Kau harusnya melihat senyum yang tak pernah ia tunjukkan tiga tahun belakangan ini. Namun ketika aku mengetahui skenario tipu daya mu, aku tak mau melihat adikku tersakiti untuk yang kesekian kalinya.” Senja berujar tegas. Edgar terdiam.
“Aku tak tahu maksud dan tujuanmu menyamar menjadi gadis bisu. Tapi kurasa…” Senja menggantung ucapannya. Memejamkan matanya dan menghentikan langkahnya. Sebelum akhirnya ia melanjutkan kata – katanya. “Kau mempunyai maksud buruk seperti yang sudah – sudah.” Kata Senja akhirnya.
Edgar terdiam. Mengatupkan belah bibirnya yang shape M. menatap dingin ke arah wanita yang tampak sedang ‘melindungi’ adiknya dari ‘dirinya’.
“Kenapa kau melakukan ini, Tuan?” Tanya Senja. Sekuat tenaga menatap pemuda cantik didepannya. “Kenapa kau menipu Thomas?” Tanya Senja dengan nada yang sedikit di naikkan. Tampak emosi naik – turun didalam dadanya membuat bahunya terguncang lembut. Sedikit matanya berkaca dan suara pitamnya berhembus keluar menghasilkan kabut lembut dari deru nafasnya.
“Sarang …” Gumam Edgar tenang dan nyaris tanpa ekspresi. Matanya mengarah kepada senja namun seolah tak menatapnya. Senja mengernyitkan dahi.
“Hah?” Senja memiringkan kepalanya dan menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Menatapnya bingung dengan ucapannya.
Cinta?
“Karena aku mengaguminya selama ini.” Gumam Edgar lagi. Senja tercekat dengan penuturan Edgar. Cinta? Dia mencintai Thomas?
“Tuan? Apa aku tidak salah dengar? Barusan kau tadi bilang…sarang?” Tanya Senja. Edgar terdiam.
“Nee…” Kata Edgar. Memaksakan sebuah senyum ketulusan. Senja masih mencoba untuk mencernanya secara logika. Namun tak pernah ada tempat yang logis untuk sebuah cinta suci nan terlarang, bukan?
“Tapi… kau kan…”
“Laki – laki?” Tanya Edgar. Senja mengangguk. Edgar kemudian tersenyum maklum. Terlihat sangat dewasa. Senja menatap wajah namja cantik didepannya itu. Tak pernah terbayang bahwa Edgar adalah salah satu pria dari kaum itu…
“Apa kau… gay?” Tanya Senja hati-hati. Edgar hanya menjawabnya dengan seulas senyuman.
“Kau sudah mengetahuinya, Noona. Aku memang salah satu bagian dari kaum Luth dan… aku mungkin sudah menyukai adikmu sejak lama. Aku tahu aku salah dengan menaruh hati ini padanya. Dengan membuat diriku seolah gadis dungu yang tak bisa bicara hanya untuk bisa mendekatinya dan mengetahui namanya.” Kata Edgar. Ia kemudian menghela nafas panjang.
Tatapannya menangkap bangku yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berjalan mendekati kursi panjang itu dan duduk disana. Menundukkan wajahnya dalam – dalam. Menahan malu. Senja ikut duduk disebelahnya. Terdiam. Seolah menunggu kelanjutan ucapan Edgar.
“Bahkan ketika aku mengetahui namanya saja sudah membuatku merasa bahagia. Sosok namja yang membuat rasa simpatik dalam hatiku untuk bisa sekedar berteman dan ikut melihat apa yang dilihatnya. Sosok yang membuatku merasa bahwa memang aku seharusnya berada didekatnya. Menghibur kesedihannya dan merasa tenang kala mendengar tawanya.” Edgar menghembuskan nafas dengan sengaja untuk meleburkan rasa penat didadanya. Membiarkan hawa dingin membuat udara nafasnya membeku dan mengembun.
“Kau boleh membenciku dan menjauhkanku dari adikmu. Namun setidaknya ketahuilah noona, perhatianku lebih tulus dibandingkan ‘mereka’. Aku tak mengharapkan apapun sebagai gantinya. Aku hanya ingin mendengar tawanya yang lepas meskipun nantinya…” Edgar menghela nafas sebelum melanjutkan. “…Kutahu aku akan kehilangan cintanya.”
Edgar terdiam untuk beberapa saat. Menunggu respon dari Senja. Namun tampaknya Senja pun tengah bermain – main dalam pikirannya. Sulit mencari keputusan dari argumentasi yang didengarnya. Disatu sisi ia tak ingin seorang gay mendekati adiknya. Namun disisi lain, menurut pemantauannya hari ini, Thomas tampak bahagia dalam kehangatan yang diberikan Edgar. Sungguh ironi karena tak ada pilihan yang sempurnya. Yang ada hanyalah pilihan yang terbaik meskipun bukan berarti yang terindah.
“Hhh… Sudah sangat larut, noona.” Edgar melirik arlojinya. Berharap dapat mengisi suasana canggung dengan basa – basi nya. “Sebaiknya kita berdua pulang. Terutama kau. Meskipun bukan di Indonesia, tapi malam memang menjadi mayoritas kejahatan bagi kaum Hawa.” Kata Edgar sambil meremukkan bungkusan bakpianya yang telah kosong dan membuangnya ke tong sampah yang terletak tak jauh dari bangku mereka. Edgar beranjak berdiri.
Ia hendak melangkah pergi. Namun ia masih sempat menoleh. “Sekuat apapun kau menghapusku dari Thomas, hatiku tetap akan lebih kuat menemukannya.” Gumam Edgar seraya tersenyum datar.
Senja meremas paltonya dan terpejam beberapa saat. Menentukan sebuah keputusan yang terbaik bagi kebahagiaan adiknya.
Edgar tersenyum pelan melihat ekspresi wajah Senja. Ia tahu itu adalah sesuatu yang terberat yang dikerjakan oleh seorang unnie. Namun apadaya, hatinya seolah sudah tertulis nama Thomas disana.
Gay hanyalah sebuah keputusan dan pilihan. Kita masih bisa berpaling dari dunia tersebut. Namun cinta lah yang membuat Edgar tak memiliki pilihan untuk pergi darinya.
“Tuan… Tunggu…” Senja mencoba menghentikan Edgar yang semakin berjalan menjauh. Ia berdiri dan sedikit berlari untuk mengejar langkah Edgar. Edgar menoleh dan tersenyum.
“Panggil aku Edgar.”
-oOo-
Pagi kembali menyapa negeri gingseng tersebut. Kota yang berada di tengah – tengah negeri surga itu mulai menampakkan kecerahan langitnya yang bahkan masih tertutupi oleh awan kelabu di musim dingin. Bagi sebagian orang tropis, hal tersebut mungkin akan menjadi culture shock seperti yang terjadi pada beberapa orang Indonesia seperti halnya Thomas.
Pada awal kedatangannya di Seoul, Thomas sering mengalami panas dan pucat ketika winter tiba. Tubuhnya menggigil seolah – olah ia sedang meregang nyawa karena titik beku yang ekstrem menurut tarafnya. Bahkan sesekali hidungnya pernah membeku dan terasa gatal. Dan saat digaruk malah mengucurkan darah segar.
Pernah juga bibirnya yang pecah – pecah akibat mengering sehingga Senja sering membekalinya lips balm jika ingin keluar dan menembus musim dingin di Seoul. Fiuh, terkadang semua itu sangat merepotkan di awalnya.
Namun pada akhirnya, tubuh Thomas akhirnya mulai terbiasa dengan suhu dingin di Seoul. Tidak lagi mengalami culture shock yang merepotkan itu. Malah setahun belakangan ini ia merasa jika harus kembali ke Indonesia maka ia harus kembali menyesuaikan diri. Karena tubuhnya sudah terlalu terbiasa dengan Seoul.
Seperti pagi ini.
Jendela apartemen di kamar Thomas mulai mengkristal putih dan membuat sebuah tirai halus dan murni seolah tengah diciptakan dari salju yang sampai saat ini masih tetap turun. Heater menggerung lembut dan pelan seolah menjadi irama tersendiri bagi pemiliknya yang masih tertidur meski hari sudah mendekati siang waktu Seoul.
Thomas masih terlelap dengan balutan kaos putih panjang dan dibedong dengan selimut tebal khas winter. Matanya yang polos terkatup ringan seolah baru kali ini ia bisa merasakan lelapnya alam mimpi dibanding malam – malam sebelumnya.
Entah mengapa beberapa hari belakangan ini, Thomas lebih mudah untuk terlelap dibandingkan kemarin – kemarin. Insomnianya seolah telah hilang semenjak beberapa peristiwa yang ia alami bersama seseorang dan meninggalkan jejak – jejak mimpi indah dalam setiap tidurnya. Memberikan warna ketika ia menutup mata, dibandingkan melihat kegelapan ketika ia membuka mata.
Hebat, bukan?
Ting…
Suara dentangan…
Sejenak mengalun lembut dari setiap sudut apartemen itu. Sangat netral hingga seolah terdengar menjadi bagian dari bangunan moderen itu. Bagi yang peka pasti bisa merasakan kejanggalan bahwa suara dentangan itu tak pernah terdengar di apartemen yang sepi akan suara.
Apalagi sebuah dentangan piano.
Memang sih ada sebuah Grand Piano Yamaha 2000 di apartemen Senja. Namun tak pernah ada yang tahu untuk apa sebuah piano diletakkan di apartemen itu. Senja sendiri tak pernah bisa memainkan musik. Apalagi untuk alat orkestra rumit seperti piano. Bahkan Thomas, meski berjiwa seniman namun musik bukanlah bidangnya. Bibi Yuna? Apalagi.
Jadi untuk apa sebuah piano diletakkan di sebuah ruangan tanpa ada yang memainkannya? Entahlah. Tak pernah ada yang tahu kenapa ada sebuah piano di sudut ruangan tak jauh dari ruang tamu Senja.
Dan hal aneh berikutnya adalah, piano itu hari ini tengah berdentang! Bukan! Tapi mengalun! Ya, membentuk sebuah nada lembut yang suaranya menyisir setiap sudut ruang dan terdengar nyaman di telinga insan yang mendengarkannya. Siapa yang mampu memainkan dentangan yang begitu sempurna itu?
Thomas membuka kelopaknya. Telinganya mulai peka dan memantulkan kesadarannya kembali dari alam mimpi. Terbangun karena suara – suara ganjil yang bergaung hingga kesudut kamarnya.
Thomas kemudian terbangun dan terduduk diam untuk beberapa saat. Mencoba meresapi setiap alunan nada yang didengarnya. Ia merasa sangat familiar dengan nadanya. Bahkan ia mengenalinya.
Siapa? Siapa yang tengah bermain piano itu? Senja, kah?
Atau Thomas masih berada didalam mimpi?
Thomas menurunkan kedua kakinya dan telapaknya menyentuh lantai kayu yang dingin. Kakinya yang telanjang mencoba meraba. Meski tanpa tongkat, ia sudah hafal betul seluk beluk apartemen Senja. Kamarnya tak memiliki pintu. Jika pun ada, harus melewati lorong untuk menujunya.
Tangan Thomas ikut meraba dinding. Tak peduli nyawanya yang baru terkumpul beberapa persen selepas ia bangun tidur. Suara alunan lembut piano membuatnya lebih memilih untuk mendengarnya lebih dekat. Meresapi alunannya lebih dalam.
Ting… Ting…. Ting…
Thomas telah sampai di lantai dua. Tepatnya di puncak tangga teratas. Dari sini, ia sudah dapat mendengar dengan jelas alunan piano itu. Ya, alunan itu…
Moonlight Sonata!
Alunan musik yang setiap pagi selalu membuatnya datang ke Jung’s Café hanya untuk mendengarkan dalam mendamaikan jiwanya. Begitu merdu dan syahdu. Namun nadanya begitu kuat.
Aaahh… mengapa Beethoven selalu dikenang? Mungkin karena karya – karyanya yang luar biasa.
“Siapa?”
Ujar Thomas sedikit berteriak. Suaranya sukses membuat dentingan itu berhenti. Thomas menyesal karena ia ingin lebih lama mendengar alunan lagu Moonlight Sonata lebih lama. Namun apadaya, alunan itu telah berhenti.
“Senja?” panggil Thomas lagi. Tak ada jawaban. Entah mengapa hatinya menjadi berdebar ketika ia mengetahui tak ada siapapun diruangan itu.
Tapi tunggu…
Sebuah suara langkah kaki tampak mendekatinya. Menaiki tangga dan terdengar semakin mendekat.
“Senja eonnie?” Panggil Thomas lagi. Masih tak ada jawaban. Sementara seseorang tampak semakin dekat dengannya. Semakin dekat dan…
Thomas merasakan aroma papermint hangat berhembus diwajahnya. Thomas terdiam. Sedikit berdebar. Menunggu respon.
“Mwo?” Tanya Thomas.
Sebuah sentuhan menjawabnya. Sentuhan lembut dan hangat. Menggenggam erat lengan Thomas. Thomas tampak familiar dengan sentuhan itu.
“E… Eliana?” Gumam Thomas. Orang didepannya mendenguskan nafas tanda mengiyakan. Edgar.
“Sedang apa kau disini? Darimana kau tahu kediamanku?” tanya Thomas dengan mimik terkejut.
Edgar hanya terdiam ~tentu saja~. Matanya menunduk dan bibirnya menyunggingkan senyum melihat wajah Thomas yang begitu polos dan matanya yang tak fokus menatap lawan bicaranya. Edgar hanya mengusap lembut jemari Thomas.
Perlahan, Edgar menarik pelan lengan Thomas untuk ikut dengannya menuju ke lantai dasar. Thomas hanya menurut dengan tarikan lembut Edgar. Mengikuti Edgar dari suara langkahnya tanpa memberontak. Hatinya sudah cukup berdebar ketika orang yang menciumnya malam itu kini tengah hadir di rumahnya sendiri!
Edgar menuntun lengan Thomas untuk duduk di depan sebuah Grand Piano yang tadi dimainkannya. Thomas tahu persis dimana ia berada sehingga tangannya tampak leluasa menghafal setiap senti piano. Namun yang membuatnya cukup heran adalah; apakah Edgar yang memainkan dentingan tadi?
“Apa tadi kau yang memainkan Moonlight Sonata?” Tanya Thomas. Tangannya sudah hafal harus ditaruh dimana untuk mengetahui respon Edgar. Perlahan ia menaruh jemarinya di leher. Sesaat kemudian ia merasakan anggukan dari kepala Edgar.
“Aigoo ! Tak kusangka kau piawai dalam memainkan musik. Bagaimana kau tahu bahwa aku menyukai lagu tersebut?” Tanya Thomas. Edgar seketika melirik Senja yang tengah berdiri di lantai dua. Memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kehangatan. Cukup lama tatapan Senja bertemu dengan tatapan Edgar.
Tentu saja Edgar mengetahui bahwa Thomas menyukai Moonlight Sonata dari Senja. Seandainya ia mengetahuinya lebih awal, mungkin Edgar akan memainkan piano di awal kisah pertemuan mereka. Karena pada dasarnya, ternyata Edgar memang mahir memainkan piano.
Edgar kemudian tersenyum simpul dan tatapannya kembali kepada Thomas didepannya. Ia tak bermaksud untuk menjawab pertanyaan Thomas yang tadi. Ada hal lain yang ingin ia berikan pada Thomas saat itu.
Edgar menyentuh tangan Thomas dan memberikan sebuah benda pipih padat dan kaku. Sepucuk surat!
Thomas tersenyum mengetahui bahwa sebuah surat telah kembali berada dalam genggamannya. Mungkin setiap di awal pertemuan, Edgar memang akan memberikannya sebuah surat untuk mengawali hari. Untuk mengawali kisah mereka berdua.
“Boleh kubaca sekarang?” Tanya Thomas. Tangannya kembali mendapat respon ‘ya’ dari Edgar. Dengan perlahan Thomas membuka surat tersebut. Tangannya meraba dan merasakan sebuah huruf timbul braille.
Dear
Hai Thomas, sebelumnya aku ingin minta maaf padamu karena telah lancang mencium pipimu di Banpo Bridge saat itu. Aku hanya terbawa suasana romantis yang kita ciptakan bersama kala itu.
Ngomong – ngomong aku telah tahu semuanya dari Senja. Tentang bagaimana kau menyukai Moonlight Sonata. Sejujurnya aku bisa memainkan Moonlight Sonata itu untukmu jika kau mau. Sekarang aku mengetahui alasanmu mengapa setiap pagi kau selalu melangkahkan kaki menuju Jung’s Café.
Mengapa kau menyukai Moonlight Sonata? Bukankah itu lagu tentang kesedihan dan patah hati?
Tapi biarlah pertanyaanku diatas menjadi pertanyaan yang retoris. Yang jelas, aku hanya menyampaikan betapa bangganya aku telah mengetahui sesuatu yang indah darimu. Yang bisa aku ciptakan lewat bakatku dalam memainkan piano. Setelah ini, kuharap kita bisa melaluinya bersama – sama…
E
Thomas mengakhiri lembaran surat itu. Lagi, surat Edgar kembali membuat Thomas terdiam. Huruf Braille yang ditulis kini lebih baik dari surat yang pertama. Membuat Thomas selalu merasa bahwa Edgar tengah berusaha untuk berinteraksi lebih dalam dengannya. Menembus kegelapan dan kebisuan, Edgar mencoba mengirimkan sinyal – sinyal warna antara kesempitan gelap yang terasa menyesakkan itu.
Hangat…
Hati Thomas entah mengapa terasa hangat.
Dari lantai dua, Senja menatap kedua adam itu. Menatap dengan penuh kebimbangan namun disaat yang bersamaan juga merasa hangat melihat senyum Thomas.
Tidak, ia tak pernah rela adiknya berpacaran dengan seorang gay!
Tidak juga karena ia merasa kasihan kepada gay seperti Edgar!
Namun sesuatu yang didengarnya dari Edgar malam itu telah membuatnya percaya bahwa Edgar bisa membahagiakan Thomas. Tentang lika – liku kehidupan Edgar yang telah dihadapi maupun yang akan di hadapinya di kemudian hari!
-oOo-
Edgar keluar dari mobil sedan hitam tepat di depan flatnya. Ia baru saja di antar oleh Senja ketika ia baru pulang dari apartemen Thomas. Untunglah saat itu Thomas tidak ikut mengantar jadi ia bisa menjadi dirinya sendiri. Menjadi Edgar lagi.
“Ghamsahamnida sudah mengantarku pulang.” Kata Edgar.
“Ani! Aku yang harus berterima kasih padamu untuk hari ini.” Kata Senja sambil tersenyum.
“Baiklah, jika terjadi apa – apa, harap hubungi aku.” Kata Edgar. Senja tertawa renyah.
“Seharusnya aku yang berkata begitu.” Kata Senja.
Beberapa menit kemudian mobil itu melaju menjauhi flat Edgar. Edgar menghela nafas. Teringat dengan peristiwa malam dimana ia bertemu dengan Senja. Tentang sebuah kejadian yang sepertinya telah membuat pikiran Senja berubah.
Mengingat itu, ada sesuatu yang menggantung di benak Edgar. Sungguh menyesakkan ketika kita tahu waktu yang kita punya dan kapan akan berakhirnya!
“Edgar ssi.” Seseorang memanggil di belakangnya. Edgar langsung menoleh dan mendapati pemuda tampan In-Ho disana.
“In-Ho ssi?? Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Edgar pada dokter muda itu. “Sudah berapa lama kau di depan flat ku? Kau tidak di rumah sakit? Apa kau tidak bekerja?”
“Cukup lama untuk menunggumu.” Kata In-Ho sambil mendekati Edgar.
“Menungguku? Untuk apa? Kau tidak dirumah sakit?” Tanya Edgar tanpa basa – basi. In-Ho tampak serius. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dan itu sangat penting mengingat mimik wajahnya yang tampak menegas.
“Lebih baik kita masuk dulu.” Kata Edgar mencoba beramah tamah sambil berjalan menuju pintu flat.
“Tak perlu.” Kata In-Ho dingin. Entah mengapa, kata – kata itu membuat Edgar membeku. Takut? Sedikit. Karena baru kali ini ia mendengar kata – kata penuh tusukan dari orang ramah seperti In-Ho.
“Aku sudah mendengar semuanya.” Gumam In-Ho dengan tatapan datar.
“Tentang apa?” Edgar berbalik. Kali ini mencoba untuk tidak berburuk sangka pada prince charming di depannya.
“Antara kau dan pemuda buta itu.” Tegas In-Ho. Edgar tersentak namun sebisa mungkin tidak menunjukkan eskpresi. Ia tahu ia harus rileks dalam menghadapi tatapan In-Ho.
“Darimana kau tahu? Tim, kah? Anak itu memang tidak bisa menjaga mulutnya!” Rutuk Edgar.
“Tidak penting darimana aku tahu.” Kata In-Ho. Seketika tubuhnya maju dan tangannya menggenggam erat pundak Edgar yang memang lebih pendek darinya. Edgar terkesiap. Tak cukup kuat untuk membuat dirinya berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman In-Ho. Di tambah lagi tatapan matanya yang tajam membuat Edgar membatu tak berkutik.
“Edgar ssii! Jawab aku!” In-Ho terdengar menuntut. “ Apa kau jatuh cinta pada namja itu?” Selidiknya tajam. Edgar mencoba menghindari tatapan In-Ho seolah In-Ho dapat membaca kebenaran yang di siratkan dari mata Edgar.
“Apa – apaan kau ini?! Itu bukan urusanmu!” Edgar mencoba memberontak dengan menapik cengkeraman In-Ho dari bahunya. Meski berhasil, ia tahu bahwa In-Ho lah yang memang sengaja melepas cengkeramannya. Edgar mundur beberapa langkah hingga tubuhnya tersandar di daun pintu.
“Mwoya?! Kenapa kau mempertanyakan itu kepadaku?” Edgar sekali lagi menuntut kejelasan atas perlakuan In-Ho.
“Edgar ssi! Jangan jatuh cinta pada namja itu!” Tegas In-Ho.
“Mwoya?!”
“Kau akan sakit hati!”
“Kenapa aku harus sakit hati?!”
“Karena di tidak menyukaimu! Jika pun dia jatuh cinta padamu, di mencintai Eliana!” tegas In-Ho kali ini lebih keras. Berhasil membuat Edgar terdiam dan membuatnya berpikir keras.
Kebisuan berlangsung beberapa detik ketika In-Ho kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Kau menipunya kan Edgar ssi?! Kau pikir dengan cara seperti itu kau bisa mendapatkan hatinya?!” Kali ini In-Ho berkata sedikit lembut. “Ini semata – mata bukan kulakukan karena aku peduli padamu saja. Tapi aku peduli padanya juga! Pada namja itu!
Aku tahu dia begitu sangat kesepian dalam kebutaannya. Dan saat itu kau datang padanya, kan?!” In-Ho berkata dengan sedikit keringat yang menetes di pelipisnya. Edgar membalikkan badan membelakangi In-Ho. Ia sadar ia bukan lah pria tegar. Namun setidaknya ia tak ingin orang lain tahu akan airmatanya!
“Aku hanya takut ketika namja itu sadar siapa kau sebenarnya, dia akan sakit hati dan meninggalkanmu. Tapi… kau lah sebenarnya yang akan lebih merasakan sakit hati daripada dirinya! Ak hanya takut, jika kebohonganmu terus dilakukan, akan berdampak buruk bagi dirinya dan terutama dirimu!” In-Ho menolehkan pandangannya dari Edgar yang memunggunginya. Ia tak ingin melihat seseorang yang telah membuatnya jatuh hati tengah menangis akibat kata – katanya.
“Kenapa kau mengatakan semua ini padaku?” Tanya Edgar terdengar bergetar. Kentara sekali ia tengah menahan isakan. Belum lagi keningnya yang kini tengah ia tabrakan ke daun pintu. “Kenapa kau katakan padaku tentang semua ini?” Edgar mengulang pertanyaannya.
In-Ho terdiam. Kenapa? Kenapa?! Apa semuanya masih tidak cukup jelas hingga Edgar masih harus bertanya kenapa?! Apa ia masih tidak cukup nyata untuk Edgar?! Apa ia harus mempertegasnya dengan sebuah kata – kata?!
“Karena aku jatuh cinta padamu.”
DEG!
Kata – kata In-Ho membuat jantung Edgar berdebar lebih kencang. Ternyata benar apa yang selama ini ia rasakan. Benar dengan apa yang ia dengar meski ia mencoba untuk tak percaya. Dan kini ia tahu siapa gerangan orang yang selama ini membuat Edgar dipandang tanpa di sadari oleh dirinya sendiri.
In-Ho jatuh cinta padanya!
Pria itu jatuh cinta padanya!
Tapi… kenapa baru sekarang ia mempertegas perasaannya sehingga Edgar tak perlu menjadikan In-Ho pilihan kedua. Sehingga Edgar bisa belajar untuk mencintainya, bukan malah menjauhinya!
“Kenapa kau baru mengatakan sekarang ketika aku telah melihat orang lain yang bahkan tidak sesempurnamu?!” Edgar tertawa pahit. Lebih untuk menghibur diri sendiri meski tidak berhasil. Malah membuat hatinya sakit tentang apa yang dulu, sekarang, dan nantinya akan terjadi. In-Ho yang kini telah hadir di depan matanya, ketika Edgar membuang muka ke arah Thomas!
In-Ho tersenyum getir. Pahit sekali! Ia tahu maksud dari ucapan namja didepannya.
“Jadi… sebelumnya kau mencintaiku?” Tanya In-Ho. Hanya sekedar untuk memastikan sebuah perasaan.
“Setidaknya aku bisa i dulu, kan?” kata Edgar. Kali ini tetesan air matanya tak bisa berhenti. Ia semakin tak dapat menatap secara langsung wajah In-Ho.
“Berarti sekarang aku sudah terlambat.” Kata In-Ho sambil tersenyum getir. “Karena hatimu kini suda dipastikan milik orang lain.”
Beberapa menit berikutnya, In-Ho hanya bisa berbalik dengan langkah berat. Ia benar – benar telah terlambat. Bagaimana bisa ia kehilangan hati yang nyaris ia dapat? Bagaimana bisa namja itu datang ketika kemantapannya untuk menegaskan perasaannya pada Edgar telah timbul? Bisakah ia melupakan semua ini?
Edgar berbalik. Matanya kini bisa dikendalikan untuk tidak mengeluarkan bulir – bulir airmata itu. Namun saat itu juga ia hanya bisa melihat punggung In-Ho yang pergi menjauh. Membawa bendera putih karena kekalahannya dalam meraih cinta. Karena cintanya telah diberikan pada orang lain.
Namun, apakah orang lain itu akan menerima cintanya?
-oOo-
.
.
.
.
.
.
Kosakata:
1. Sarang (Korea) Cinta
2. Aigo (Korea) Astaga
3. Ghamsahamnida (Korea) Terimakasih – ucapan yang lebih akrab.