It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@rebelicious @d_cetya @rayarere
Chaper 5 ‘’Worst Day Ever”
Stadion Gelora Muda yang jadi tempat terselenggaranya liga SMA sudah penuh sesak dengan para penonton yang sebagian besar siswa sekolah yang bertanding. Suporter SMA Altavia berkumpul di satu sisi lapangan. Mereka sudah memegang bendera yang dibagikan Yuda tadi siang. Hari ini SMA Altavia akan melawan SMA Bakti Utama.
Suara penonton terdengar riuh rendah. Kompetisi liga SMA kali ini dimeriahkan penampilan marching band sekolah masing-masing. Di tengah kumpulan colour guard alias pemain bendera tim marching band SMA Altavia, terlihat Agni, cewek paling centil satu sekolah, berjingkrak-jingkrak heboh. Dandanannya menor berat kayak lenong. Rupanya itu yang bikin penonton heboh. Agni lebih mirip maskot daripada colour guard.
“Yud, si Agni pake doping kali ya?” ujar Maya geli sambil memandang Agni.
“Gue rasa dia sebentar lagi ngejungkel. Gila apa, sepatu bot gitu dipake jejingkrakan kayak monyet lepas dari kebun binatang.” Yuda cekikikan.
“DOR!”
“Tiiiiiooo...” Maya mengelus dadanya kaget. Ini anak kurang kerjaan amat.
“Gimana, gimana?” Tio memaksa duduk di antara Yuda dan Maya.
Tangan kirinya menenteng sekantong plastik camilan.
“Lo mau nonton bioskop apa mau nonton bola sih? Aduuuhhh... lo jangan nyempil gini dooongg. Pantat gede... uh... sempit, tau!” Yuda ngomel-ngomel.
“Aduuuuhh... panasnyaaa?” Tio mengipas-ngipas dengan tangannya.
“Iya lah, namanya juga stadion bola. Lo kira mal, dingin?” Yuda mencubit pinggang Tio.
“ADUUUUUHHH!!!”
Maya juga ikut-ikutan sibuk kipas-kipas. Rambutnya digelung tinggi-tinggi karena gerah.
“Ini, lagi ikut-ikutan. Lo berdua tari kipas aja gih. Hehehe...” Yuda menaikkan sebelah alisnya. Mendadak tampangnya berubah jail.
“Eh tau nggak, setelah gue liat-liat ya...” Yuda mengusap-usap dagunya.
“Yuda, please...” Tio menatap memelas. Anak ini pasti mau ngomong yang aneh-aneh deh.
“Kayaknya lo berdua...”
“Bakpao isi kacang ijo!!!” pekik Tio mendadak.
Maya dan Yuda melotot heran.
“Gue suka banget bakpao isi kacang ijo. Lo suka nggak, May? Ntar gue beliin deh.” Keringat sebesar butiran jagung meluncur di dahi Tio. Kenapa juga otaknya cuma bisa menemukan kata bakpao isi kacang ijo di saat genting seperti tadi.
Kali ini Maya yang mendelik. “Lo kenapa sih? Eh, tadi lo mau ngomong apaan, Yud? Kita berdua kenapa?”
“Dodol duren juga gue suka!” pekik Tio lagi.
“Tio! Lo kenapa sih? Nggak penting banget deh. Yuda kan mau ngomong. Jangan dipotong-potong gitu dong! Kan jadi nggak jelas. Lo mau ngomong apaan tadi, Yud? Awas aja ya kalo lo motong lagi. Mau lo doyan bakpao kek, dodol kek, gue nggak peduli,” ultimatum Maya galak.
Tio langsung bungkam. Jantungnya dag-dig-dug nggak keruan. Matanya berkedip heboh memberi kode pada Yuda supaya jangan ngomong aneh-aneh. Yuda tersenyum jail. Menarik napas dalam-dalam.
“Menurut gue, kayaknya lo berdua boleh juga sekali-sekali nyobain makan di warung bubur ayam yang baru di deket rumah gue. Enak banget deh,” katanya sambil cengar-cengir ke arah Tio yang kelihatan nyaris pingsan waktu denger kalimat Yuda yang samasekali jauh dari bayangan. “Kok lo kaget gitu, Yo?”
“Apa hubungannya sama kita berdua yang sama-sama sibuk kipas-kipas?”
Yuda mengangkat bahu. “Nggak ada,” jawabnya cuek.
“Nggak ada?!”
“Lho, emangnya wajib ada hubungannya?”
Tio langsung lemas. Dasar jail!
Dua tim yang akan bertanding sudah tampak di lapangan. Mereka berbaris dan berfoto bersama terlebih dulu. Lalu mereka bersalaman. Selanjutnya kapten masing-masing tim maju dan wasit melempar koin menentukan bola pertama.
Tapi kok... lho.. lho? Ada yang aneh deh. Itu kan bukan Sandy. Yuda menyipitkan mata. Ia yakin itu bukan Sandy.
“May, lo liat deh. Itu bukan Sandy, kan?” Yuda menyikut pinggang Maya.
Maya ikut-ikutan menyipitkan mata. “Yo, liat, Yo. Sandy
bukan sih?”
Tio juga ikut-ikutan. “Iya tuh, bukan Sandy. Siapa sih?”
Sepertinya suporter Altavia mulai sadar kapten tim mereka bukan Sandy. Suara gaduh penonton membahana. Semua penasaran siapa cowok berambut lurus belah tengah dan berkulit putih yang mirip tokoh komik-komik Jepang itu.
Di tengah suara keheranan penonton, tiba-tiba pengeras suara berbunyi.
“Perhatian. Kami ingin mengumumkan, karena Sandy Stevent, kapten tim SMA Altavia mengalami cedera saat latihan, maka kapten tim SMA Altavia digantikan oleh Stevanus Kevin. Terima kasih.” Pengumuman singkat dari Pak Jo, pelatih tim sekolah, cukup dahsyat dan langsung membuat gempar.
“HAH??? Kevin? Kevin si pendiam?” jerit Yuda.
“Yang bener?” Maya kaget setengah mati.
“Tuh, kan. Bener dugaan gue. Anak baru itu pasti nyembunyiin sesuatu. Sok jaim doang.”
Yuda memandang cowok keren di lapangan itu. Masa iya itu si Kevin? Biasanya Kevin tidak pernah lepas dari kacamatanya. Rambutnya selalu tersisir rapi ke belakang. Sekarang kacamatanya entah ke mana, rambutnya menjuntai di dahi. Ini sih kayak Clark Kent di Superman. Dari cowok pemalu berkacamata tahu-tahu jadi jagoan. Untung aja Kevin nggak pakai kolor di luar kayak Superman, hehe.
Tapi serius, pemandangan ini benar-benar bikin seisi lapangan melotot. Siapa cowok keren yang tiba-tiba nongol jadi kapten itu? Cewek-cewek histeris dapat incaran baru. Kevin is totally different, tiba-tiba jadi selebriti.
Yuda merasakan dadanya berdesir lagi.
Hah, nggak bisa, nggak bisa. Ini penipuan namanya. Dasar cowok sok jaim. Masa gue naksir lagi gara-gara dia melepas kacamata? No way. Tadi emang cuma sugesti. Nggak banget deh naksir cowok split personality gitu, umpat Yuda dalam hati. Apa maksudnya coba, pura-pura jaim pakai kedok pemalu kayak gitu?
Pertandingan berjalan seru. Ternyata si Kevin canggih juga. Permainannya benar-benar lihai. Kaki terkilir yang dibicarakannya di kantin tak terlihat bekasnya sama sekali. Dia terlihat lincah berlari ke sana-sini. Poninya melambai-lambai tertiup angin waktu dia berlari, sesekali jatuh di dahi. Cewek-cewek histeris melihat idola baru mereka beraksi.
“Aihhhh... gileeeee. Nggak nyangka gue. Keren abiiiiiisssssss,” jerit seorang cewek histeris sambil melambai-lambaikan benderanya.
“Iya, ya. Kevin kok beda banget,” suara Maya yang lembut menimpali hampir tak terdengar.
“Apa, May?”
“Kevin keren,” ucapnya lebih keras.
Yuda menautkan alisnya sambil merengut.
“Kok lo bukannya seneng sih? Kan tambah satu lagi cowok keren di kelas kita.” Maya terheran-heran melihat reaksi Yuda.
“Sebel aja. Apa maksudnya coba, tampil kayak cowok pemula tiap hari? Ini penipuan namanya!” sungutnya.
“Malu kali,” celetuk Tio.
“Malu kenapa? Keren kok malu.”
“Ya malu aja. Mana gue tau kenapa? Kan gue bilang kali aja dia malu. Bisa aja kan cakep-cakep dia bolot misalnya?”
“Itu sih maunya lo, dasar sirik,” timpal Maya. Tio langsung ciut. Kok kecengannya itu sadis banget.
“Uh, emang artis,” sungut Yuda.
“Kok sewot sih, Ka?” Maya ikut-ikutan jadi pembela Kevin.
“Besok dunia pasti kebalik,” ucap Yuda.
Maya dan Tio berpandang-pandangan. “Maksud lo?”
Yuda diam tak menjawab. Dia kembali sibuk berkonsentrasi pada pergumulan di lapangan. Kevin masih lincah berlari-lari. Tampaknya tim sekolah mereka bakal menang. Dilihatnya Sandy dengan tangan di-gips duduk di kursi cadangan sambil melompat-lompat girang.
“Kami cinta Indonesia, kami cinta Altavia. Yes! Yes! Horeeeee...”
Riuh rendah yel-yel suporter membakar semangat seluruh anggota tim. Bendera-bendera bau yang sempat bikin hidung Yuda bengek berkibar-kibar di tangan para suporter.
“Nggak sia-sia gue ngerapiin bendera-bendera itu,” Yuda nyengir bangga.
Pertandingan makin seru. Waktu tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya
setelah perjuangan abis-abisan SMA Altavia mengalahkan lawannya 3-1. Suporter SMA Altavia langsung berteriak girang. Mereka mengelu - elukan nama Kevin yang dianggap sukses membawa timnya pada kemenangan. Sepertinya Kevin bakal jadi the next idol nih.
*****
PEMANDANGAN di kelas hari ini asli bikin melongo. Meja Kevin penuh sesak sama cewek-cewek sekelas dan entah dari mana lagi. Eit, si Agni Heboh juga ada. Busyet, dandanannya menor amat. Belum lagi Febby, model lokal yang baru merintis karier di seputar Jakarta Selatan. Ih, Dea juga ada. Dea salah satu cewek terpopuler di sekolah. Wajahnya imut dengan rambut kriwil ala Rachel Maryam, bibir mungilnya terlihat bergerak-gerak manja. Kevin yang berada di tengah-tengah mereka tampak senyam-senyum, berusaha ramah pada semuanya. Gila juga cowok ini, jaim-jaim ternyata tebar pesona. Yang untung Sandy dan Ray. Mereka dengan pede ikut-ikutan meladeni cewek-cewek itu.
“Gile lu, Vin. Untung banget dong ya, tangan gue patah. Kalo nggak lo mana mau main buat tim kita. Daaaaaaaann... lo nggak bakalan tenar mendadak gini,” ujar Sandy, merasa berjasa besar atas rezeki berlimpah itu.
“Iiiihhh... Kevin lebih keren daripada lo, lagi,” Agni bergenit ria.
“Sialan. Kalo bukan gue yang jadi partner latihannya tiap sore, kakinya pasti belom sembuh, bawel!” Sandy nggak rela disebut kalah keren.
“Emang kaki lo kenapa sih, Kevin?” tanya Dea dengan suara manjanya.
“Ummm... my legs, kaki... kaki... gue terkilir. Dulu. Few months ago,” Kevin tergagap-gagap.
“Vin, lo musti membiasakan diri. Masa grogi gitu. Mau gue latih mental?”
Ray ngakak melihat Kevin gugup. Dilihatnya dahi Kevin mulai berkeringat. Keringat dingin. Tapi anak itu masih senyam-senyum.
Yuda melangkah melewati kerumunan itu.
“Pagi, Ka,” sapa Kevin sambil melambai sekilas dari mejanya.
“Pagi. Sibuk nih. Perlu bolpoin tambahan nggak?” ucap Yuda jail sambil berlalu. Wajah Kevin yang berharap diselamatkan Yuda langsung berubah memelas.
“Yo, cuma ngeliatin? Nggak ikutan?” goda Yuda.
Tio tampak geram melihat cewek-cewek genit itu. Gila, bisa-bisanya mereka bela-belain berkerumun di kelas ini cuma demi seorang Kevin yang biasa-biasa aja. Jelas-jelas Kevin nggak sekeren dia. Nggak semodis dia.
Pokoknya menurut Tio, Kevin bukan tipe cowok idola. Kenapa sih cewek-cewek jadi menggila cuma gara-gara anak baru itu mendadak lepas kacamata?
“Biarin lah. Cewek-cewek itu nggak penting. Yang penting buat gue sekarang cuma Maya. Pamor gue turun juga nggak papa. Maklumlah, kalo liat barang baru orang emang suka kalap. Apalagi cewek,” keluhnya sambil menghibur diri sendiri.
“Hehehhe... cinta mati, Yo? Lo yakin banget sih Maya nggak suka sama Kevin? Lo kan liat sendiri, kemaren dia juga ikut melongo sambil ngiler.”
“Yaaahhh... lo kok gitu siihh? Yudayyyyyyyy... lo my only hope, tau!” rengeknya putus asa.
“Kan waktu itu gue udah bilang nggak janji.” Yuda memasukkan tangan ke dalam laci meja, merogoh tempat pensil dan binder yang selalu ia tinggal di sekolah.
“Hah? Apaan nih?” Ditariknya lima amplop dari dalam lacinya.
“Tagihan, kali. Lo banyak utang ya?”
“Enak aja.” Dibukanya amplop-amplop itu satu per satu. Matanya terbelalak kaget.
“Kenapa? Beneran tagihan?”
“Nih, baca semua. Kevin udah benar-benar jadi saingan lo tuh!” Yuda menyodorkan kertas-kertas itu.
Mata Tio hampir mencelat keluar membaca kertas-kertas yang disodorkan Yuda.
“Gila! Bener-bener gila,” gerutunya dengan nada iri.
Kertas-kertas itu berisi orderan buat Yuda. Biasa, orderan buat Mister Cupid. Yang bikin melotot, lima-limanya minta dicomblangin sama... KEVIN!
Gila apa? Sekali datang lima orderan untuk satu orang yang sama.
Tio mengembalikan semua kertas tersebut pada Yuda. “Lo pilih yang mana?” tanya Tio penasaran.
“Nggak ada!” Yuda membaca nama pengirimnya satu per satu. Siti, Cahya, Ourel, Silvia, Salma. Semuanya cewek biasa-biasa aja. Maksudnya, nggak terlalu menonjol. Tapi bukannya jelek. Nggak mungkin memilih, soalnya itu sama aja pilih kasih. Lagian kansnya kecil. Cewek-cewek lain, termasuk cewek-cewek top sekolah pada heboh dan dengan pede usaha sendiri. Mana mungkin Yuda terima order dari salah satu pengirim surat? Salah-salah jadi kerja rodi. Lagian, siapa tahu Kevin suka sama salah satu cewek cantik nan modis itu. Lima cewek ini? Buktinya mereka sendiri aja nggak pede ikut nimbrung. Mustahil. Dia nggak bisa menerima satu pun. Dia nggak boleh pilih kasih. Apalagi dia nggak tahu pasti surat siapa yang datang duluan. Yang jelas, dilihat dari sudut mana pun kansnya benar-benar kecil.
“Kok?”
“Tio, lo pikir gue dukun? Gue mak comblang profesional. Nggak pake jampi-jampi. Gue juga nggak mungkin pilih-pilih. Bisa ancur reputasi gue.”
Di sudut sana Maya tampak ikut asyik memerhatikan Kevin sambil tersenyum-senyum sendiri. Dia juga sama sekali nggak menyangka, ternyata di balik kacamata dan sikap canggungnya Kevin keren banget. Apalagi kalau ingat ternyata dia main sepak bola, hobi offroad. Wah.
Yuda berjalan ke arah Sandy. Ditariknya tangan Sandy yang sedang asyik menggoda cewek-cewek yang mengerumuni Kevin.
“Eh, eh, Yuda! Gue mau dibawa kemana? Aduh... aduh...”
“Vin, gue pinjem pengawal lo bentar, ya?” kata Yuda pada Kevin sambil terus menyeret Sandy yang ribut beraduh-aduh.
Yuda mendudukkan Sandy dengan paksa di kursi taman.
“Kenapa sih, Yud? Lo udah mulai nyadar kalo diri lo ternyata cute, ya? Trus lo mau nyatain sama gue?”
BLETAK! Kepala Sandy kena timpuk koin gopean.
Sandy mengusap-usap kepalanya. “Sadis lo. Trus napa dong?”
“sekarang, Jelasin ke gue... kenapa tiba-tiba si Kevin kutu buku itu, yang cuma ikut kompetisi matematika tiba-tiba jadi kapten sepak bola?” cerocos Yuda.
“Kan tangan gue patah.” Sandy menunjuk tangannya yang di-gips.
“Iya, gue tau. Pemain tim lo kan ada sebelas orang, belum termasuk cadangan. Ya, kan? Ya, kan? Trus kenapa Kevin? Gue jadi repot, tau!” protes Yuda.
“Lho? Kenapa lo yang repot?”
“lo liat dong! Semua cewek pada heboh ngejer-ngejer si Superman itu, trus nih, lo liat!” Yuda melempar amplop-amplop orderannya ke pangkuan Sandy.
Cowok itu ngakak membaca isi amplop tersebut. “Bagus dong, Yud... lo kan jadi untung gede!”
“Hah? Gila ya? Masa gue mau nyomblangin lima cewek ke satu cowok?”
“Ya, kalo Kevin-nya mau. Lagian itu kan resiko lo sebagai mak comblang kenamaan sekolah ini,” jawab Sandy cuek.
“Ihhhhh... lo emang ngeselin ya?” Yuda memukul tangan Sandy yang ber-gips.
“AUUUUWWWWWWW... jangan marah ke gue dong.”
“Lagian, jadi kapten patah tangan pas mau tanding! Nggak penting tau!”
Sandy cengengesan. “Namanya juga kecelakaan.”
“Ayo balik ke kelas. Ntar gue disangka beneran suka sama lo. Bisa turun pasaran.”
“Yeeee... Yuda.”
Mereka berjalan kembali ke kelas. Yuda geleng-geleng melihat cewek-cewek itu masih mengerumuni meja Kevin. Padahal sebentar lagi bel masuk bakal berbunyi. Kevin masih tersenyum canggung dan terlihat makin panik waktu Agni dengan centilnya merapatkan tubuh ke bahu Kevin yang ternyata bidang.
“Vin... lain kali ajarin gue main bola ya?”
IHHHHHHHH.....
“Yo, Yo...” terdengar suara berbisik memanggil Tio.
Ternyata Maya. Dia melempar kertas kecil ke arah Tio.
“Apaan tuh, Yo?” tanya Yuda.
“Tau nih, si Maya minta tukeran tempat duduk sama gue. Buat hari ini aja katanya. Tumben.” Tio mengangguk ke arah Maya, yang langsung disambut acungan jempol cewek itu.
“Ada apaan sih, tumben minta tuker-tuker tempat duduk?” tanya Tiosebelum pindah ke bangku Maya.
“Mana gue tau. Nggak biasanya dia mau curhat di kelas.”
Tio mengangkut tasnya. “Gue pindah dulu yeeee... dadaaaah, landak.”
Tak lama kemudian Maya datang dan duduk di sebelah Yuda.
“Kenapa, May? Kangen banget sama gue? Hehe...”
“Ntar deh. Gue siapin mental dulu,” katanya serius.
“Hehehe... kenapa sih? Lo naksir gue?” tanya Yuda jail.
“Ihhhhhhh...” Maya menjerit jijik sambil memilin-milin rambut panjangnya dengan gusar.
“Kenapa sih? Woi!” seru Yuda heran. Ia menjentikkan jari di depan mata
Maya. “Helloooooooouuuuwwww...???”
“Sini deh.” Maya merangkup di depan telinga Yuda dan siap membisikkan sesuatu.
“Gue perlu bantuan lo,” bisiknya super pelan.
“Bantuan apa? PR fisika? Matematika?” dengan cuek Yuda berbicara lantang. Maya buru-buru membungkam mulutnya.
“Jangan pake kenceng donggg... rahasia nih.”
“Iya... iya, apaan?”
“Gue minta bantuan lo... Mister Cupid,” kata Maya ragu.
Yuda tersedak permen karet yang dari tadi dikunyahnya. “Apa?”
“SSSSSSSTTT...”
“Ulang, ulang. Lo perlu bantuan gue? Sejak kapan? Lo kan nggak pernah perlu bantuan profesional kayak gue? Hehehehe...”
“Serius deh,” tukas Maya sebal.
“Oke, oke. Tapi emang bener, kan? Lo kan nggak susah ngedapetin cowok-cowok yang lo mau.”
Maya memutar-mutar pensil di tangannya. Iya sih... tapi kali ini...
“Siapa sih? Kok sampe seorang Maya minta tolong ke gue?” Yuda jadi penasaran juga.
“Tapi lo janji dulu mau bantu.”
“Liat-liat targetnya dulu.”
“Ah... nggak mau. Kalo lo janji, baru gue kasih tau,” paksa Maya
Yuda terdiam. Kapan lagi Maya minta dijodohin? Lagian gampang kali jodohin Maya. Dia kan idola cowok-cowok. Hehehe... kerja gampang, hasil cepat.
“Ongkosnya?” tanya Yuda jail.
“Apa aja yang lo mau, Yud,” jawab Maya serius.
“Oki doki. Gue mau sepatu transparan yang gue liat di Plaza Senayan,” tembaknya asal. Sepatu itu kan mahal banget.
“Deal!” sambut Maya antusias. Yuda sampai melongo.
“Serius lo, May?” ucapnya tak percaya.
Maya mengangguk cepat. “Serius.”
“Ya udah. Tell me the name,” sambar Yuda langsung, nggak mau rugi.
Sepatu impiannya. Kapan lagi? Orderan lagi sepi, apalagi gara-gara Kevindia nggak bisa terima orderan cewek-cewek. Mana semuanya ngorder Kevin.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Semua cewek yang mengerubungi Kevinlangsung bubar. Kelas langsung tertib ketika guru pelajaran pertama datang. Obrolan Yuda dan Maya pun terputus.
*****
Di tengah pelajaran Yuda menyikut Maya. “Ssst, May.”
“Hmm?”
“Lo belum nyebutin nama cowok itu. I’m dying to know, gila,” bisiknya.
Maya nyengir. Dia menulis sesuatu di secarik kertas dan menyodorkannya pada Yuda.
Seketika mata Yuda melotot. Lagi. “HAH?”
“Kenapa, Yud? Ketelen, Yud, permen karetnya?” tanya Maya panik.
“KEVIN?” jeritnya tertahan. Oh, no...
“Yuda, kok gitu sih? Wajar, kan? Dia emang keren kok. Liat aja fans-nya...” Maya jadi panik melihat reaksi Yuda.
Yuda manggut-manggut. Tapi, aduuuuuuhhhh... gimana dong?
“May, lo liat nih.” Lagi-lagi Yuda menyodorkan surat-surat orderan yang dia dapat
Ekspresi Maya berubah kaget begitu melihat kertas-kertas itu. Ternyata dia kalah cepat.
“Lo udah terima job dari mereka?”
Yuda menggeleng.
“Jadi?”
“Gue tolak semua. Lo nggak liat tuh makhluk-makhluk yang ngerubungin? Lagian gue nggak bisa milih. Aduuuuhhh... lo orang ketiga yang gue jelasin soal etika bisnis mak comblang gue.” Yuda jadi pusing.
“Hah? Lo belum terima job mereka?” Maya tiba-tiba girang.
Yuda menggeleng lagi.
“Berarti lo bisa dooooooongg ngambil job dari gue? Pleaseeeee... gue kan sobat lo. Lagian gue kan jarang minta tolong lo, Ka. Ya, Ka? Ka... gue nggak bakal marah kalo gagal. Kalo nggak jadian, paling nggak gue deket deeeeehh...” paksa Maya.
Yuda terdiam lagi. Bener juga sih. Apalagi Maya kan tipe yang gampang dapet cowok. Salah satu the most wanted girl di sekolah. Kansnya imbang dong sama yang lain-lain itu. yah, kayaknya nggak apa-apa juga bantuin Maya. Demi persahabatan
Tapi tiba-tiba Yuda ingat Tio. Perutnya mendadak mulas. Kacau! Kacau!
Yuda harus bilang apa kalau sampai Tio tahu Maya naksir Kevin? Malah sampai minta bantuan profesional Yuda.
“Ya, Yud?” desak Maya lagi.
Yuda melongo sebentar saking bingungnya. “Lo kebangetan, May. Bikin gue di posisi sulit gini.”
“Ya ampun, Yud, masa segitunya sih?” Maya yang nggak tahu apa yang
Yuda hadapi merengek dengan tampang memelas. “Abis gue minta tolong sama siapa lagi dong kalo bukan sama lo, Yud?”
Yuda tertunduk lemas. “Iya iya, tapi jangan bawel ya?”
“Bener nih...???”
“Iya. Tapi bakal makan waktu. Gue bener-bener blank sama makhluk satu ini. Lagian lo kenapa nggak mau sendiri sih?”
“Nggak ah... tengsin. Abis dia lempeng banget sama cewek.”
“Apes banget gue... kerja berrraaaaaattttt.”
PLETAK
Buah anggur melayang dari arah depan, tepat mengenai jidat Yuda. “YANG bener kamu?” tanya mama nggak percaya.
“Sueeeeeeerrr...” Yuda mengacungkan dua jarinya.
“Siapa sih cowok itu? Kok Maya sampe butuh bantuan segala? Keren banget, Yud? Mama pernah liat, nggak?” Mama penasaran berat.
Yuda melahap pisang kejunya. “Mmmmammaa khayaknyha bhelum phernah lhiat dheehh... nyam... nyam...” jawabnya dengan mulut penuh.
“Dia tuh anak baru. Dulu pemalu, tau-tau jadi keren. Kayak Superman gitu, Ma... dari Clark Kent jadi Superman. Berubaaaahhh!” cerita Yuda berapi-api.
Mama cekikikan melihat gaya anaknya yang penuh semangat.
“Yud... emang jadi bisa terbang?” kata mama rese.
“MAMA... bukaaaann. Jadi bisa main bola. Ah, yang itu nggak usah dibahas deh.”
“Trus trus?” Mama masih penasaran.
“Ya gitu. Orderan lain aku tolak. Sama Maya aku diancem siihhh... huh.”
“Kok kamu nggak naksir?”
“Maaaaa... duh. Makasih banget kalo aku musti ikut rebutan kayak di pasar gitu. Si Agni aja ikutan.”
“Agni centil itu?”
Yuda mengangguk. Tuh kan, Mama aja takjub.
“Ma, omong-omong ni pisang keju banyak gini, ditata-tata, lagi. Buat apa sih? Buat aku sendirian?” Yuda menatap bingung berbagai macam makanan yang tertata di ruang tengah.
“Ya bukanlah. Lagian masa kamu segembul itu? Wah, bisa bangkrut Mama.”
“Kalo gitu kenapa dong?”
“Emang Mama belum cerita?”
Yuda menggeleng sambil merebahkan kepala dengan manja di pangkuan
“Temen Mama kan ada yang baru dateng dari Amerika. Sekarang tinggal di kompleks sini.”
“Oh, ya? Bule, Ma?” Yuda langsung semangat.
“Bukan sih. Tapi adiknya menikah sama bule, jadi waktu itu dia kerja di perusahaan iparnya itu.” Mama mengusap rambut Yuda. “Emang kamu pengen dapet bule?” goda mama.
Yuda memanyunkan bibir.
“Omong-omong, siapa nama cowok itu, Yud?”
“Kevin.”
Yuda melahap potongan terakhir pisang kejunya. “Dika mana sih, Ma?”
“Mama suruh jaga di depan. Temen Mama kan belum tau jalan.”
Yuda beranjak dari sofa.
TING TONG!
“Nah, itu pasti dia.”
Mama menarik tangan Yuda ke depan pintu. Dika datang dari halaman bersama seorang wanita cantik seusia Mama. Dandanannya modern sekali.
Yuda sampai terkagum-kagum dan langsung bercita-cita bakal tetap gaya walaupun sudah tua nanti.
“Bianca, apa kabar?” wanita itu memeluk Mama.
“Baik. Sudah lama ya? Kamu sendiri gimana, Tria?” balas mama. Tante Tria. Itu toh namanya. Cantik banget. Tinggi, lagi.
“Kamu udah kenal Dika, kan? Nah, ini kakaknya Yuda. Kelas dua SMA.”
Yuda menjawab tangan Tante Tria. “Yuda, Tante,” ucap Yuda manis.
“Sekolah dimana?”
“Altavia, Tan.”
“Wah, anak Tante juga. Sekelas nggak, ya? Dia juga kelas dua. Tuh, dia lagi ambil oleh-oleh di mobil.” Tante Tria terlihat senang karena Yuda dan anaknya satu sekolah.
Perasaan Yuda jadi aneh. Anak baru, dari Amrik, jangan-jangan…
Yuda menatap cowok yang berjalan ke arah mereka sambil menenteng kantong oleh-oleh.
“Kevin?” Muka Yuda langsung jadi bloon.
“Yuda?” Kevin nggak kalah bloon.
“Kalian udah kenal?” Tante Tria tambah senang.
Kevin? Mama langsung tersenyum geli. Topik gosipnya nongol di depan pintu. Yuda jadi salah tingkah. Kevin selalu penuh kejutan.
“Yuda, ajak Kevin ke belakang deh, liat-liat taman,” usul mama aneh.
Liat-liat taman? Sejak kapan ada tradisi ngajak tamu liat-liat taman di rumah ini?
“Vin, rumah lo deket gue?” cetus Yuda, bingung harus ngomong apa.
Kevin mengangguk. “Iya.”
“Kok lo nggak pernah bilang sih? Kaget gue, tiba-tiba lo nongol di rumah gue,” sahutnya jujur
Kevin nyengir kuda. Memangnya Yuda pikir dia nggak kaget, apa?
“Sebenernya gue pengen kenalan sama tetangga dari kemaren-kemaren. Tapi kata Nyokap barengan aja, lagian dia kan paling hobi bawa oleh-oleh. Belakangan dia bilang punya temen tinggal di sini,” jelas Kevin panjang-lebar. “Lagian kalo tau lo tinggal disini, gue udah punya temen main. Adik lo cowok, lagi, fun kan, kalo gue punya temen sekompleks,” sesalnya.
Yuda memandang Kevin heran. Dia kelihatan tidak secanggung di sekolah. Tanpa seragam, lagi-lagi dia terlihat keren. Hari ini dia tidak memakai kacamatanya. Ups, Yuda jadi teringat Maya. Ini dia nih bintang jatuh. Kevin anak kenalan Mama, mau main ke rumah karena ada Dika. Tetangga lagi. Yuda bisa lebih cepat ngejalanin misinya. Sippp...
“vin, kacamata lo mana? Trus, lo kok bisa main bola nggak pake kacamata? Kacamata gaya, ya?”
“Enak aja. Ini kacamata minus. Tapi karena minusnya masih kecil, kalo nggak baca tulisan di papan tulis, gue masih bisa liat.”
“Ooooooooo...” Yuda ber-O ria.
“Trus, ngapain dipake melulu?”
Kevin nyengir. “Ya, males aja pake-lepas-pake. Bisa lecet idung gue,” candanya.
“Bercanda ya? Hehehehe...”
Kevin jadi salah tingkah. Yuda emang lucu banget, rambut cepak rancung-rancung, kulit item manis, gigi rapi. Cuma bawelnya, aduh, nggak tahaaaaaaaaaaannn...
“Liat apa, Vin?” rupanya Yuda sadar lagi diliatin.
“Nggak... lo lucu juga, ya,” jawabnya polos.
Pipi Yuda seketika memerah. Dasar asal.Mereka duduk di kursi taman, di depan kandang burung raksasa milik Yuda. Isinya parkit semua, dari warna putih sampai biru keunguan ada. Jumlahnya ada, kali, seratus.
“Banyak amat burung lo, Yud.” Takjub juga Kevin melihat parkit berisik sebanyak itu.
“Lo perhatiin deh, Rock, parkit tu lucuuuuuu... banget. Pipinya tembem, ada buletan itemnya. Gemeeesss... pengen nyubit.” Kalau ngomongin parkit, Yuda bisa lepas kontrol. Tapi dia memang pecinta binatang.
“Iya, ya, lucu. Gue minta dong sepasang. Gue suka banget binatang.”Kevin menatap lekat-lekat burung-burung kecil itu. Memang lucu.
Yuda bingung. Cuek amat minta koleksi parkit kesayangannya? Beda banget sama Kevin yang di sekolah.
“Em... emmm... lo mau minta sepasang?”
Kevin mengangguk sambil terus menatap parkit-parkit kecil yang berseliweran di dalam kandang. Tampaknya Kevin benar-benar serius sayang binatang. Mungkin nggak ada salahnya juga sih Yuda kasih dia sepasang.
“Boleh deh, tapi gue yang pilihin warnanya. Nggak boleh milih sendiri,” putusnya.
Kevin tersenyum girang. Yuda lucu banget. Dia sayang, tapi masih juga mau memberinya sepasang.Lima menit kemudian Yuda sudah berkutat di dalam kandang burung, berjuang menangkap sepasang burung untuk Kevin.
*****
“Jadi, cowok itu Kevin anaknya Tante Tria?”
“Ternyata, Ma...” jawab Yuda, masih shock. “Dan Yuda udah ngasih parkit Yuda sepasang. Hiks, hiks,” isaknya lucu.
Dika menepuk bahu Yuda. “Berlebihan deh. Mama malah seneng, tau. Lo kan udah dioleh-olehin jaket Mango, jadi balesannya parkit lo itu. Ya nggak, Ma?” celetuknya asal
“Enak aja, parkit gue nggak ternilai harganya tau!”
“Tapi Mama suka sama anaknya Tante Tria. Anaknya sopan. Ganteng, lagi,” puji Mama sambil mengedip penuh arti ke arah Yuda.
Yuda mengangkat cangkir bekas minum tamu mereka dari atas meja lalu mendelik ke arah Mama.
“Maksud Mama? Kok Mama ngedipin Yuda segala?”
“Masa nggak ngerti? Atau lo pura-pura nggak ngerti? Maksud Mama, boleh juga tuh jadi calon menantu...” sambar Dika yakin.
Sebuah serbet langsung melayang ke arah Dika. “Jangan ikut campur deh, bawel. Mau nggak gue pinjemin mobil lagi lo?”
“Emang gitu artinya kok. Iya kan, Ma?” balas Dika cengengesan sambil melempar balik serbet yang sempat nemplok di jidatnya.
“Rese ah!” tangan mungil Yuda menepis serbet yang hampir mendarat di mukanya.
“Udah, udah, kok malah ribut sih?” lerai mama. “Tapi Dika bener lho, Yud. Kevin tipe cowok idaman mertua kok.”
“Mamaaaaaaa...”
*****
Jam delapan malam. Yuda memasukkan buku-buku sesuai daftar pelajaran besok ke tas raksasanya yang berwarna biru langit. Yuda memang tergila-gila warna biru.
Yuda mengeluarkan diari kecilnya. Diari itu sudah bersamanya setahun ini. Tidak setiap hari Yuda menulis diari. Kalau lagi mood, atau ada yang sangat mendesak yang ingin ia ceritakan, baru ia menulis. Diari yang (lagi - Lagi) berwarna biru itu sudah penuh gambar lucu coretan iseng Yuda. Diambilnya pensil 2B yang selalu setia menemaninya saat ujian matematika. Walaupun nggak jago gambar, Yuda tetap nekat membuat gambar metamorfosis Kevin yang lugu. Digambarnya karikatur Kevin waktu dulu yang berkacamata dan culun, lalu gambar Kevin melepas kacamata, diselubungi asap, dan... TARAAA, jadilah Superman! Biarpun kayak gambar anak TK, tapi cukup menggambarkan kejadian sebenarnya kok
“Hoaaaaaaahhmmm...” sambil menguap lebar, Yuda merentangkan kedua tangan ke atas. Matanya sudah berat karena ngantuk. Ditariknya selimut, lalu dia pun tidur.
________________________________________________________
Epilog :
Dear diary,
Tau nggak? Sekarang sekolah gue, terutama kelas gue yang tadinya tenteram itu, lagi heboh, histeris, tak terbendung! Apa, coba?
Gara-gara si Kevin! Itu, si anak baru dari Amerika. Dengan nyebelinnya tiba-tiba dia bermetamorfosis dari cowok pemalu jadi kapten sepak bola yang keren! Gimana cewek-cewek nggak pada histeris? Yang lebih parah, gue terima job dari Maya. Dia naksir Kevin. Bayangin! SAMPE MAYA PERLU BANTUAN GUE!!!!! MAYA!!!!!
Gila nggak tuh? Bisa tertulis di tinta emas sebagai sejarah tuh! Maya. Hebat si Kevin...!
Tapi gue heran, kok orang-orang baru pada heboh sekarang ya?
Dulu, waktu belum ketauan dia sekeren hari ini, nggak ada yang ngelirik. Apa emang orang cuma dinilai dari tampang? Nggak adil amattt...
Eh, berarti gue bijak dong! Sebelum Kevin lepas kacamata, kok gue sempet sadar? Sadar dia keren, maksudnya. Waktu di kelas itu. Tuhhh... gue bijak kan?
Tapi gue kesel juga sama si Dika, bisa – bisanya dia bilang buat jadiin si Kevin mantu, heuhhh dasar emang adik durhaka. Mamah gue juga pake acara ngedukung segala lagi. Grr bikin gue kesel ajah…ada apakah dengan keluarga ini?-,-“
Semoga besok better than this day deh!!!
okesipp lanjuuttt^^)b
saran itu ka ato yuda di benerin dulu biar tambah sip. soalnya pas lagi baca yuda eh di dialog ka lsng buyar imajinasinya. hehe.
ditunggu lanjutannya..