It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
dari kemarin tidur aja gue, pake acara demam pula shit u,u
eh thanks ya buat kemarin kayaknya gue udh nemu konflik apa yang cocok buat cerita ini
kok thanks ke gue? kan ide lu
@amira_fujoshi @3ll0 @arifinselalusial @Beepe @Wook15@kiki_h_n @reenoreno @Adityaa_okk @Gabriel_Valiant @animan @elul @TigerGirlz @bumbu
Chapter 3 “Looking At You”
HARI INI Yuda datang kecepatan. Kapok rupanya kena marah Bu Dini. Yuda mencoret-coret halaman belakang bukunya. Order lagi sepi nih, belum ada klien baru setelah Ike yang happy ending sama Si Judes.
“Pagi, Yud...” rupanya Tio si cowok gaya.
“Yo, kok sepi sih?”
“Yeee... kita aja kali yang kerajinan. Biasanya jam segini mah emang sepi,” tukasnya sambil sesekai mengusap rambutnya yang rapi dengan jemarinya.
“Nah, lo ada apa datang pagi banget?” Yuda mengeluarkan sebatang cokelat.“Mau?”
“Nggak ah. Gue lagi persiapan kasting iklan jamu pinter buat pelajar. Gue nggak mau dong ada jerawat yang nongol pas gue kasting.”
Yuda cengengesan.“Iklan jamu anti bolot maksud lo?”
Tio mencibir.“Jamu pinter buat pelajar.”
“Yaaahh, terserah lo deh. Tapi kalo lo jerawatan kan bisa sekalian main iklan jamu untuk jerawat dan bisul. Ya, nggak?” Tio cemberut. Dasar sadis sobatnya yang satu ini.` Beda banget sama Maya yang baik dan lemah lembut. Dia udah naksir Maya sejak SMP. Dan untungnya, berkat makhluk tengil bernama Yuda, dia jadi bisa bersahabat dengan Maya.
Biarpun mereka bertiga dikenal sebagai tiga sahabat, Tio tetap memendam rasa suka buat Maya. Biarpun Maya nggak sadar dan cuek gonta-ganti pacar. Tio yakin, suatu saat, apalagi kalau dia sudah jadi artis terkenal, Maya pasti berpaling padanya. Jadi, bisa aja kan iklan jamu pinter buat pelajar ini menjadi gerbangnya menuju kesuksesan karier dan cinta?
“Eh, Yo, ngapain lo dateng pagi-pagi? Kok nggak jawab? Sebelum lo nanya, kalo gue males kena semprot bu Dini.Tengsin.”
Tio terkikik. “Lumayan, kan, duduk di meja guru. Kapan lagi coba?”
“Sialan lo.”
“Yuda, gini lho, gue punya misi buat lo. Kebetulan lo datang pagi.”
Alis Yuda bertaut bingung.“Misi?”
“Iya... misi. Mau ya, terima misi gue?”Tio setengah memaksa.
“Eits, eits.Tunggu, tunggu. Lo mau make jasa mak comblang gue? Mau nyoba panah asmara gue?!” Yuda histeris.“Lo naksir cewek??? Horeee...!!!
Boleh, boleh. Who’s the lucky girl, my man?” Yuda menepuk-nepuk punggung Tio heboh. “Nggak nyangka prinsip playboy cap eceng gondok lo luntur juga. Jadi akhirnya hati lo terpaut satu cewek nih?”
Yuda terdiam ketika melihat Tio menatapnya dengan pandangan please-deh-Ka-gue-belum-selesai-ngomong. Yuda malah bikin Tio makin grogi.Siapa yang nggak grogi, coba? Jelas-jelas selama ini Tio sok berikrar nggak mau terikat pada satu cewek. Apalagi saat ia menapaki jalan emas menuju ketenaran.
“Oke, oke. Cerita, cerita. But still... I’m very happy for you. Hehe.”Yudatidak bisa menahan girang karena Tio naksir seseorang. Tio menarik napas dalam-dalam. Dengan gerakan slow motion Tio meraih tanganYuda.
“Lo nggak naksir gue, kan, Yo?” bisik Yuda panik.
Tio melotot.Gerakan dramatisnya gagal. “Ya nggak lah, mimpi apa gue naksir lo?”
Susah payah Yuda menahan tawa.“Oke.Oke. Ulang, ulang. Pegang tangan gue lagi.” Yuda meletakkan tangan Tio di tempat semula.
Tio manyun.“To the point aja deh.”
“Bagus, Siapa?”Yuda mencondongkan kepalanya.
“Gue... suka sama... si... -Maya,” ucap Tio sambil berbisik, lalu meringis.
“HAH?” Yuda histeris. Jadi selama ini...
“Sssst...” tangan Tio dengan cepat membungkam mulut ember Yuda.
“Jangan ngejerit dong ah.”
Tiba-tiba sosok Kevin terlihat memasuki kelas. Mereka berdua langsung terdiam.
“Oke, Tio. Ini masalah serius buat profesi gue, juga persahabatan kita bertiga. Kita obrolin nanti, pas istirahat. Di Suman aula, oke?” desis Yuda di kuping Tio.
Tio mengangguk-angguk. Matanya menatap kagum ke arah Maya—yang baru datang dan kini asyik membolak-balik PR nya—malah kelihatannya sebentar lagi ngiler. Ih.
“Tio, entah cuma perasaan gue, atau emang dari tadi lo ngeliatin gue? Mau pinjem PR, ya?” Maya yang tiba-tiba berbalik membuat Tio serasa kepergok nyolong ayam di halaman tetangga.
“Eh, nggak. Emangnya gue nggak boleh liat ke sana?” elaknya asal.
Yuda cekikikan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Kevin, yang sedang tenang meletakkan buku-bukunya di meja. Dia terlihat menulis sesuatu di bukunya. PR kali. Seminggu sudah Kevin jadi anak baru, tapi sepengetahuan Yuda, Kevin belum banyak teman. Cuma Sandy dan Ray yang duduk di Sumannya terlihat agak akrab dengannya. Kacamata minus Kevin yang berbingkai kotak memang mewakili otaknya yang cemerlang.
Dia begitu dingin, Lempeng, Cuek, Atau pemalu ya?
*****
“Kira-kira jadi saingan lo nggak tuh anak baru?” goda Yuda sambil menyikut Tio.
“Maksud lo?” Tio menyibakkan poni Hua Ce Lei-nya.
“Maksudnya, ada kemungkinan dong fans-fans lo beralih ke dia. Anak baru lho, dari Amrik, lagi.” Yuda makin jail. Dia tau banget Tio paling takut kehilangan fans. Apalagi kalau sampai kalah tenar.
Tak lama kemudian Maya beranjak dari bangkunya. Rambutnya diikat tinggi, langkahnya anggun menghampiri bangku Yuda dan Tio.
“Tuh, buruan lo dateng.”
“Jangan ngeledek terus dong, Yud. Mana lo mau pake acara nyidang gue di Suman aula segala, lagi. Biar gue menikmati kecantikan Maya kek. Bosen gue liat duri landak di kepala lo.”
Yuda mendelik sewot.
“Pokoknya awas kalo Maya sekarang sampe curiga,” ancam Tio.
“Pada gosip apa sih?” Maya duduk nyempil di bangku Yuda.
“Mamat,” Tio asal sebut. Entah apa yang lewat di kepalanya sampai-sampai ia menyebut nama Mamat.
“Mamat? Siapa Mamat? Anak baru lagi?” Maya sibuk mencari-cari di sekeliling kelas. “Mana?”
Tio menatap Yuda panik. Matanya berkedip-kedip hebat minta bantuan.
“Mamat tuh kembaran lo,” tambah Yuda. Maya tambah bingung.
Yuda menahan tawa melihat Maya kebingungan, hidungnya kembang-kempis. Dia tahu Maya paling nggak tahan kalau tahu Yuda punya rahasia sama orang lain.
“Serius deh, Yud,” sungut Maya sambil merengut. Kayak belalang sembah.
“Nggak! Nggaaaak...! Lo gampang banget diboongin, lagian makhluk satu ini aja lo percaya. Maklum, ada anak baru, cowok keren pula. Berpotensi banget buat menandingin popularitas abang satu ini hehehe...”
Mendengar jawaban Yuda, sepotong penghapus Pelican melayang ke jidatnya.
“Aduhhh! Tio, awas lo...”
“Hihihi...”
Kevin masih tampak tenang dan hening di seberang sana. Mulutnya tampak mengunyah permen karet. Jarinya memutar-mutar pensil.
“Vin ! Lagi bikin PR, ya?Mau nyontek punya gue? Atau punya Tio? Dia jago fisika lhooo...” teriak Yuda tiba-tiba.
“Auw!” jemari raksasa Tio mencubit lengan Yuda.
Kevin menatap Yuda dan tersenyum tipis.
“No, thanks... Yuda,” jawabnya kalem.
“Ah, menurut gue dia biasa-biasa aja. Nggak keren-keren amat. Kayaknya
bukan tipe yang bakal digila-gilai cewek,” bisik Tio sirik.
“Kevin, katanya Tio... Hmphhh.
Yuda terempas keras ke kursi ketika Tio membekap mulutnya
“Ugh! Tio... lo pikir lo mafia Italia ya, pake bekep-bekep mulut orang! Tangan lo... aduuhhh. Berapa bulan purnama nggak lo cuci, hah?!”Yudabersungut-sungut sambil mengusap pantatnya yang linu.
Kevin menatap sebentar insiden lucu itu. Lagi-lagi tersenyum sekilas, lalu kembali asyik dengan buku PR-nya.
“Brrr... dingiiiiiiinn. Cool banget yeee boowww?” celetuk Maya cuek.
Satu per satu penghuni kelas II E berdatangan. Kevin tampak mulai berbaur dengan cowok-cowok di sekitarnya, terutama dengan Sandy dan Ray. Dua cowok ini termasuk deretan papan atas cowok most wanted di sekolah. Tentunya juga termasuk deretan saingan terberat Tio.
Sandy kapten tim basket sekolah merangkap wartawan mading. Badannya tinggi banget, 180 centimeter. Buat Yuda, Sandy tu persis raksasa. Dengan body-nya yang cuma 160 centimeter pas, Yuda bisa sakit leher tiga hari tiga malam kalau ngobrol berlama-lama dengan Sandy.
Terus ada Ray. Dia kapten kesebelasan sepak bola sekolah. Tampangnya cool, kulitnya cokelat terbakar matahari. Tingginya sih cuma 168 centimeter, tapi buat cewek-cewek, Ray itu seksi. Pokoknya harus menyaingi cowok dua ini, Tio harus modal dandan habis-habisan. Berpenampilan dan bergaya seperti model catwalk papan atas.
Kevin tampak lucu berkumpul akrab dengan mereka. Kevin berkulit putih (kelamaan kena salju, kali), tinggi juga sekitar 175 centimeter, body-nya ramping berisi, istilah Maya sih body cowok gaul zaman sekarang. Kacamatanya itu lho, bikin dia terlihat serius dan jarang olah raga (sok tahu banget).
“Vin, lo tau nggak, bakal ada kompetisi fisika antar sekolah?” tanya Sandysambil sibuk menyalin PR.
“Tau,” jawab Kevin pendek.
“Vin, Vin... maksud si Sandy, lo nggak minat ngikut?” sambung Ray yang juga sedang menyalin PR dengan gerakan superkilat. Kadang-kadang dia meringis kesakitan karena tiba-tiba jarinya keram dan nggak bisa ditekuk.
“Oh. Mau, kayaknya. Tapi gue rada males ikut prosedur pendaftarannya. Mana pake interview segala.”
“Wah, gile, kepinteran tingkat tinggi nih. Kayaknya udah nyaris level olimpiade,” gumam Yuda yang menguping sedari tadi. Maya yang masih nyempil di sebelah Yuda, mengernyit.
“Kok lo usil ke si Kevin sih? Ada klien yang suka? Atau... lo naksir dia?” bisik Maya jail.
Mata Yuda kontan melotot mendengar ucapan Maya.“Enak aja. Batu es gitu, bisa beku gue dicuekin. Cinta perlu kehangatan, tau!” semprot Yuda.
Maya cekikikan geli. “Sok tau ya lo, kayak pernah jatuh cinta aja.”
Kontan tangan Yuda yang lincah menjambak kucir kuda Maya.
“Eh, woi, bisa tenang nggak seeeeeeeehh???” kata Tio.
“Diem lo,” balas Yuda dan Maya kompak, lalu tertawa berbarengan.
Sementara itu Kevin, Sandy, dan Ray masih sibuk berdiskusi tentang kompetisi fisika, walaupun sebenarnya di antara mereka cuma Kevin yang mengerti apa itu fisika.
*****
Akhirnya bel tanda istirahat berbunyi. Biarpun bunyi bel yang bernada lagu Kuch Kuch Hota Hai itu benar-benar bikin malu (bayangin apa kata sekolah sebelah), tapi bunyi bel itu tetep bikin seisi sekolah melek lagi. Apalagi Yuda. Akibat kehiperaktifannya, dia paling nggak tahan disuruh duduk diam.
“Tio, buruan ikut gue.”
“Iya, iya. Nggak sabaran amat sih.” Dengan malas-malasan Tio bangkit dari kursinya.
Yuda dan Tio berjalan tergopoh-gopoh ke arah taman di Suman aula.
“Jalannya cepetan dikit dooong. Lelet banget sih, kayak orang kebelet pipis,” sungut Yuda kesal sambil menyeret Tio. Ini anak apa nggak bisa gesit semenit pun, ya?
Akhirnya mereka sampai di bangku besi di bawah pohon beringin. Napas Tio tersengal-sengal akibat diseret-seret Yuda. Dasar tukang dandan.Giliran disuruh olahraga malesnya minta ampun.
“Oke, Tio. Lo udah gila ya, naksir Maya?” cecar Yuda to the point.
“Yeee... kok malah dimarahin? Hak asasi dong, Ka, gue naksir Maya. Emang apa salahnya?
Yuda geram dan mencubit tangan Tio. “Iya, gue ngerti, tapi lo udah gila ya?” semprot Yuda lagi. “Dia kan sahabat kita.”
Tio mengangkat kedua tangannya. “So?”
“So, gue nggak mau. Nggak mau. Titik. Berarti selama ini lo ada maksud terselubung dong deket-deket Maya? Berarti selama ini persahabatan kita nggak ikhlas dong? Berarti kalo kalian pacaran gue sendirian? Kambing congek? Nggak, nggak! Lagian masa sih Maya harus gue relain sama cowok narsis kayak lo sih? Gue udah tau lo luar-dalem atas-bawah kanan-kiri, tiiiiiiiiiiioooooooooooo...”
“Yaaaa... Yuda.Bantuin dong. Lagian apa salahnya sih sahabat jadi pacar? Malah bagus, kan? Kita udah saling kenal. Pasti malah jadi tambah klop,” Tio maksa.
“Nggak, Ini udah nggak lucu lagi,” Yuda berkeras.
“Lho, emang siapa yang ngelucu? Ini serius, Yud. Cinta itu serius. Sekalipun buat gue si petualang cinta,” kata Tio sok yakin.
“Tapi...”
“Tolong deh, Yudayyyyy, masa orang laen lo bantuin gue nggak.Ya, Yud?Gue kasih upeti deeeeehh, lo mau apa aja, tinggal sebut.”
Mendengar kata “upeti”, Yuda langsung nyengir.“Hmm... kaos kaki garis-garis yang kemaren gue liat di Sox World. Tapi gue nggak janji lo pacaran lho. Gue cuma janji lo jadi lebih deket sama Maya. Gimana? Kalo mau lebih, lo usaha aja sendiri.”
“Oke, siippp.”
Setelah bersalaman ala penjabat dapat tander, mereka langsung menuju kantin. Wajah Maya pasti sudah membentuk seribu tekukkan, saking bete-nya ditinggal.
*****
Benar saja. Di kantin Maya duduk di Suman warung Mang Sum. Mukanya menekuk, bibirnya manyun, dan jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan kesal. Saking kerasnya ketukan Maya, mangkuk bakso di Sumannya bergetar kecil terkena gempa bumi lokal.
“Bagus ya... main rahasia-rahasiaan? Dari mana lo? Ngaku!?” dampratnya judes.
“Nggg...” Tio tergagap-gagap.
“Dari aula,” sahut Yuda.
“Alasan?” cecar Maya.
“Tio pengen e’ek. Tapi malu di WC Suman, makanya di WC belakang aula.”
Tio melotot. Alasan apaan tuh? Bikin malu aja.
“Nah, lo ngapain? E’ek juga?” desis Maya pelan.
“Ya nggak lah... kebetulan gue perlu ke WC juga. Ternyata WC-nya penuh, jadi gue kudu ngantre. Mana yang masuk kayaknya pada pipis seliter gitu...”
Sikut Tio menghantam punggung Yuda. “Penjelasannya nggak perlu sedetail itu kali,” umpatnya kesal.
“Oke, reason accepted. Tapi kalo rahasia-ra-ha-siaan lagi, gue bawa lo ke salon,” ancam Maya.
“Kok ke salon?”Yuda dan Tio berbarengan.
“Rambut lo pada mau gue botakin!!!”
“Yaa... jangan dong. Udah Hua Zhe Lei gini. Kalo botak pasaran bisa turun.”
Yuda cekikikan melihat kepanikan Tio.
“May, Tio bentar lagi pingsan, lho. Lo sama aja nyuruh dia disunat dua kali kalo harus ngerusak rambutnya,” ucap Yuda sambil menahan tawa.
Maya mencibir.“Dasar cowok narsis, nggak penting banget.”
Tio cuma manyun dan menatap Yuda sebal. Apa sih isinya kepala Yuda? Kok bisa-bisanya ngomongin orang lagi ngebom di WC? Sama kecengannya, lagi. Mendadak Tio menyesal menceritakan rahasianya yang sudah disimpan bertahun-tahun itu. Dasar Yuda.
Semenit kemudian Tio sudah sibuk meracik bumbu kuah baksonya.
“Huh... hah... Mang Sum, ni sambel cabe rawitnya beli di neraka, ya? Pedes amattt...”
“Sori, permisi.”Tiba-tiba pundak Tio ditepuk seseorang.
Rupanya Kevin. Ia datang bersama Sandy dan Ray.
“Eh... iya. Silakan, silakan. Nikmatilah hidangan bakso Mang Sum,”
cerocos Tio kayak iklan. Sumpah malu-maluin. Padahal Tio nyaris berhasil menyembuhkan penyakit latahnya.
Yang lain kontan cekikikan.
“Vin, lo jangan ngaget-ngagetin si Tio. Tu anak rada jantungan,” goda Sandy.
“Sialan lo,. Gue cuma beramah-tamah mempromosikan bakso Mang Sum yang tersohor di sekolah ini.” Tio makin ngelantur dan malu-maluin.
“Tapi bener lho,Vin, bakso di sini uenak buanget. Cobain deh. Iya kan, May?” Yuda menimpali dengan sangat heroik.
“Iya, iya. Murah, lagi,” sambung Maya. Nggak penting banget.
Kevin cuma senyam-senyum canggung. Gara-gara Maya kali ya? Cowok mana sih yang nggak gemetar diajak ngomong Maya. Sandy dan Ray saja yang sudah hampir dua tahun sekelas masih tercengang-cengang.
“Iya deh, gue coba. Thanks for the information, ya guys,” jawabnya ramah, tetapi tetap dingiiiiinn.
Lalu mereka bertiga memesan bakso pada Mang Sum yang ternyata dari tadi ikut cekikikan. “Ternyata Mas Kevin grogian ya,” celetuknya jail.
Maya, Yuda, dan Tio duduk di kursi luar kios bakso Mang Sum. Ini tempat paling enak. Meski bagian dalam kios ada kipas angin, kalau kepedesan tetap aja gerah banget. Yuda dan Maya sibuk melahap baksonya sambil ber-huhah-huhah. Tio menyeruput kuahnya sedikit-sedikit.
Ketiga cowok tadi duduk di bangku dalam. Mereka juga tampak sibuk melahap bakso. Karena jarak mereka dekat, Yuda bisa mendengar percakapan cowok-cowok itu dengan cukup jelas. Maklum, sudah terlatih saat menjalankan misi, jadi walaupun pelan tetap terdengar oleh kuping Mr Cupid.
“Lo nggak naksir si Maya itu, Vin? Number one in school tuh,” bisik Ray
pelan. Terlihat Sandy mengangguk sekilas.Maya memang beruntung.Tiap cowok pasti jatuh hati melihatnya. Yudamembuang napas.
“Kenapa, Yud?” tanya Maya heran.
“Nggak, nggak. Tadi ngisep udaranya kebanyakan,” jawabnya asal, lalu buru-buru pasang kuping lagi.
“Vin, menurut lo gimana si Maya itu?” desak Ray.
“Cantik,” jawab Kevin pendek.
“That’s it???” Sandy nggak puas.“Cuma cantik? Lo nggak naksir?”
Kevin menyuap baksonya bulat-bulat. “Ya, that’s it. Naksir gimana, ngomong aja baru tadi,” jawabnya dengan mulut penuh. Hihi, lucu juga si Kevin ini, kenapa nggak jawab dulu baru nyuap sih?
“Tapi ada kemungkinan naksir, kan? Dia kan ideal banget. Lagian lo kanudah ampir dua minggu lo di sekolah ini, masa nggak ada yang diincer?” korek Sandy.
Kevin mengangkat bahu.“Maybe, Emang belum ada aja.”
Sandy dan Ray mengangkat bahu bareng-bareng.
Yuda menyeruput es jeruknya. Kupingnya masih siaga menunggu percakapan selanjutnya. Dipikir-pikir, ngapain sih dia kurang kerjaan memata-matai Kevin? Yang jelas bukan karena dia naksir. Yuda penasaran aja. Kok orang satu ini lempeng banget, nggak akrab-akrab sama seisi kelas sih? Pemalu atau kuper?
“Vin, lo nggak minat ikutan klub?” tanya Ray lagi. Sandy seperti biasa, mengangguk setuju.
“Pengen sih. Actually, di sekolah lama gue di Amrik gue ikutan klub soccer,” jawabnya. Bahasa Indonesia-nya yang campur aduk membuat kalimatnya jadi kedengeran keren. Dalam hati Yuda terheran-heran, benar apa nggak sih? Kok tampang Kevin kayak orang buta olahraga? Dia belum bisa buktiin, habis setiap jampelajaran olahraga Kevin belum pernah ikut. Kakinya sakit, katanya.
“Oh ya?” respons Ray antusias. “Posisi lo apa?”
“Kapten,” jawab Kevin, melafalkannya dengan bunyi “kepten”. Bule banget deh.
“Serius?” Ray makin semangat. “Lo masuk tim kita deeeehhh...”
“Nggak bisa.”
“Why?” kali ini Sandy angkat bicara.
“Kompetisi musim panas lalu kaki gue terkilir. Kata dokter, gue harus istirahat dua bulan.”
Ray terlihat kecewa. Niatnya punya pemain asing di liga SMA dua minggu lagi pupus.
“Berapa lama sisa waktu istirahat lo?” desak Sandy.
Kevin tampak berpikir.“Kurang-lebih satu minggu lagi.”
Lalu pembicaraan itu berakhir, karena mereka bertiga lalu kembali ke kelas sambil terus ngobrol. Mana mungkin Yuda nguntit di belakang.
“Ka, cabut yuk.” Maya membuyarkan lamunan Yuda.
“Yuk.”
“eh..mana si cowok narsis” Tanya Yuda
“Udah kabur, Mau ke WC katanya.”