It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Adityaa_okk Makasih Kalau inget aku mention. *plak*
SUKA
SUKA
Mention yak!
@pokemon Kamu juga keren krn udah komen /eaa /modus
@arifinselalusial @jacksmile Makasih Aku mention kalau inget, ya.
harussss
***
Pintu rumahku terbuka dari dalam. Wajah terkejut mama menyambut kedatanganku yang sudah basah kuyup akibat hujan yang belum juga berhenti mengguyur sedari tadi.
"Ya ampun, Yanu!" Mama menangkup kedua pipiku menggunakan tangannya. "Ka-kamu kenapa basah kuyup begini? Kamu hujan-hujanan?! Payung yang mama kasih ke kamu mana?! Gak kamu pake?!" sederet rentetan yang Mama semburkan keras-keras tepat di depan wajahku seketika membuat aku kembali ingat bahwa aku dibekali sebuah payung pagi tadi olehnya.
Aku benar-benar lupa.
"Pa! Pa! Lihat nih, Yanu! Masa dia hujan-hujanan sih, Pa?!" Mama menarik aku ke dalam, menutup pintu dan kembali menguncinya.
Papa muncul dari ruang tengah, mengernyit menatap tubuhku yang membuat lantai rumah kami basah disebabkan tetesan air yang berjatuhan dari seragam yang masih aku kenakan.
"Lihat nih, Pa! Padahal jelas-jelas mama udah bawain payung buat dia pakai tapi anak ini malah-"
"Yanu, cepat masuk ke kamar, mandi terus ganti baju." Papa memotong omelan Mama yang sepertinya memang akan terus berlanjut. Jadi, aku cuma menganggukan kepala, berjalan cepat tak ingin membiarkan becek yang aku bawa membasahi seluruh ruangan.
"Pa, kenapa-?"
"Mama buatin teh anget aja buat Yanu. Anak udah berantakan gitu kok masih aja dimarahin. Sabar aja. Namanya juga remaja."
"Papa ini!"
Itulah percakapan yang sayup-sayup aku dengar sebelum aku masuk sepenuhnya ke dalam kamar. Aku membanting tas anti airku ke sembarang arah dan mendarat di dekat pintu kamar mandiku. Meskipun kamarku sederhana, ketika 3 tahun lalu rumahku diberitahukan bakal direnovasi, dengan kukuh aku meminta supaya aku bisa memiliki kamar mandi pribadi.
Aku menghembuskan nafasku yang begitu hangat, padahal tubuh luarku terasa amat dingin saat ini. Kancing seragamku aku tanggalkan satu per satu, begitu terlepas, aku melemparnya lagi ke sembarang arah. Setelah itu aku berjalan menuju ke kamar mandi. Bukan untuk mandi melainkan melepas semua pakaian basahku, dan tidur buat menghilangkan stres sesudahnya.
.
Ada 3 sms masuk. Dan 1 missed call yang asalnya dari nomor milik Ari. Sedangkan kotak masukku di isi dengan dua buah sms yang sama dari satu pengirim; Nuga.
[From: Nuga.
Bocah edan! Ngapain hujan-hujanan?!]
Aku memijat kepalaku yang sedikit pening. Jadi dia toh yang memanggilku ketika aku berlari keluar gerbang sekolah sambil basah-basahan. Aku memutuskan untuk mengabaikan isi smsnya itu, menjatuhkan diri ke atas ranjang dan memeriksa sisa sms satunya yang belum terbaca.
[From: Ari.
Maaf, yang. Plis...]
Aku tercenung, terus memperhatikan layar ponselku tanpa berkedip. Flip ponsel aku tutup kemudian, kedua mataku mulai aku pejamkan.
Kenapa dia yang meminta maaf? Bukankah sejak awal yang salah itu aku? Akulah yang terlalu sensitif, selalu bertindak posesif, tak menyukainya berada dekat-dekat dengan orang lain. Aku menyebalkan.
Ah, sakit.
Aku meringis, memijat pelipis seraya mencari posisi nyaman di atas kasur empukku. Mungkin sebaiknya aku tidur dulu, aku benar-benar butuh istirahat.
.
Aku terbangun saat merasakan beberapa tepukan cukup keras di kedua belah pipiku, refleks berusaha membuka kedua mataku yang terasa begitu berat untuk dibuka. Masih ada wajah mama, kali ini menyiratkan mimik cemas sembari berulang kali menyebut namaku.
"Yanu?! Sayang?!"
Kemudian dengan cepat dia berlari keluar dari kamarku.
"Papa! Badan Yanu panas, Pa! Dia demam, Pa!"
Suara teriakan Mama terdengar sampai ke telingaku. Dan apa katanya? Badanku panas? Aku justru merasa dingin. Demam? Benarkah? Kalau dipikir-pikir, mungkin juga.
Sebab rasanya seluruh anggota tubuhku sakit bukan kepalang. Terutama bagian kepala.
"A...ri."
Aku ingin melihatnya sekarang. Kekasihku.
. . .
"Ma?" suaraku agak serak, mendengar namanya dipanggil, Mama yang sedari tadi sibuk membaca resep obat yang dia pesan dari Dokter pun menoleh padaku.
Mama tersenyum lembut, meletakan obat-obatan kembali ke atas meja, "Iya, sayang?" jawabnya seraya mengusap puncak kepalaku, kain kompres yang diletakan di atas dahiku ia betulkan.
"Besok Yanu kayaknya harus absen dulu dari sekolah. Ah.."
"Iya. Mama sudah tahu. Tadi mama sudah nelpon Mamanya Dwi, minta bantu buatin surat absen buat kamu, biar Dwi yang nanti ngasih izin sakitmu," perjelas Mama pelan, masih sambil mengusap rambutku. Membuat aku nyaman.
Aku tersenyum, meski yakin bibirku saat ini pasti terlihat pucat. "Makasih ya, Ma. Maaf, karena Yanu... lupa kalau udah bawa payung,"
Mama tersenyum sambil menggeleng pelan. "Ini udah kewajiban orang tua 'kan? Yang penting kamu istirahat, kalau ada perlu apa-apa, panggil aja Mama, ya."
Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Setelah itu Mama beranjak dari tepi ranjangku, berjalan keluar kamar tanpa menutup pintunya.
Aku menghembuskan nafas cukup berat, bersyukur memiliki Mama galak yang perhatian. Padahal kemarin dia yang mengomeli aku paling keras, sekarang tau anaknya sakit, dia luluh juga.
Sayang sekali, karena besok aku harus absen.
lagi mnikmati nihh LOL
. . .
Padahal aku sedang ingin sekali menemui Ari. Aku mau bicara baik-baik padanya, menjelaskan egoku dan memperbaiki hubungan kami. Ah, tidak. Sejak awal hubungan kami memang baik-baik saja, cuma aku yang menganggap ini runyam dari sisiku sendiri.
"Aish." aku menyipitkan mata merasakan ngilu yang menjalar ke ubun-ubun kepalaku. Sebaiknya aku tak perlu berpikir banyak-banyak, kalau mau cepat sembuh, istirahat saja.
Baiklah. Aku akan istirahat sekarang.
***
Jadi orang sakit itu tidak enak. Pernyataan itu tak sepenuhnya salah, justru aku setuju seratus persen. Bagaimana tidak, jika seharian ini—mentang-mentang aku sakit waktuku aku habiskan cuma untuk berbaring dan bersandar di atas tempat tidur. Tentu pengecualian untuk kencing, dan keperluan yang tak sepatutnya orang tuaku turut campuri.
Aku menghembuskan nafas lesu. Pusing di kepalaku sedikit demi sedikit mulai mereda, hanya saja perutku terasa agak mual, dan tenggorokanku tidak enak. Susah menelan makanan, tetapi tetap dipaksa untuk minum obat. Sisi menyebalkan sekaligus perhatian Mama; Terlalu overprotective padaku.
"Menyebalkan..." cibirku sambil melirik jam dinding yang terletak di samping lemari pakaianku.
Ini sudah hampir lewat jam 1 tepat. Sebentar lagi jam pelajaran di hari Jum'at akan berakhir. Seandainya aku sedang ada di kelas saat ini, aku bisa menghabiskan waktu satu jam untuk berdua-duaan dengan Ari di sana.
Tapi kalau dipikir-pikir, waktu satu jam juga tidak akan ada artinya kalau hanya kami habiskan untuk mengobrol dan membahas hal yang itu-itu saja. Menyebalkan.
Aku rindu pada Ari. Aku mau memeluknya saat ini juga.
Dering ponselku terdengar dari bawah bantal di mana aku yang memang meletakan alat komunikasi tercanggihku di sana, ada panggilan masuk.
Mataku hampir melotot keluar tatkala mendapati nama Ari yang tertera dilayarnya. Panjang umur, padahal baru saja aku memikirkannya.
Segera saja aku menekan tombol jawab, bersiap menyapanya, ketika...
Tut tut tut
Kupingku baru saja terbakar rasanya. Ponselku masih menempel tepat di sisi telingaku, dan aku tau betul siapa yang baru saja—hampir membuat aku terkena serangan jantung secara dramatis. Ya ampun, Kak Nay tidak berubah sama sekali.
Ngomong-ngomong, tadi dia bicara apa saja di telpon? Aku tak mampu menangkap seluruh isi teriakannya. Rasanya konyol.
Dering ponsel kembali terdengar, mengantisipasi teriakan yang akan terdengar selanjutnya, aku putuskan untuk sedikit menjauhkan corong speaker dari daun telingaku.
"Ha-halo?" jawabku malah gelagapan.
Oh. Ini suara Ari. Aku menghembuskan nafas lega, sedikit tersenyum mendapati ia yang kelepasan menyuarakan panggilan sayangnya untukku.
"Dan kamu yang ngasih tau?" tanyaku seraya menggaruk puncak kepalaku yang gatal.
suara Kak Nay menerobos penjelasan yang sedang Ari utarakan. Kalau sudah seperti ini, aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tertawa.
Dalam hati tentunya.
"Ya udah, kalau emang mau jenguk. Tapi aku gak mau ngerepotin, lho." ujarku untuk mereka.
Bisa aku dengar suara perdebatan antara kakak dan adik di seberang sana. Berulang kali namaku disebut, dan berulang kali pula Ari salah menyebut namaku. Aku cuma bisa geleng-geleng maklum.
"Mau sampe kapan kalian rib—"
Tut tut tut
Aku membanting ponselku ke ranjang dengan penuh emosi. Aduh, kepalaku sakit. Tapi mereka itu benar-benar menyebalkan. Aish.
Ada getaran, kali ini sms yang masuk. Apa lagi sih?
[From: Ari.
Otw to your house. ]
Aku tersenyum lagi, kali ini dibarengi perasaan senang. Juga tak sabar, karena sebentar lagi, aku dan Ari akan bertatapan muka.
I just love him too much. And it can't be help.
.
Suara motor berderu terdengar dari luar rumah, dan aku kenal betul dengan jenis kendaraan yang mesinnya baru saja dimatikan itu. Aku menarik dan menghembuskan nafasku berulang kali, bersiap untuk kemungkinan ter—termemalukan sepertinya.
Suara langkah yang terkesan cepat kian mendekat ke arahku, aku menngernyit, dan ketika pintu kamarku menjeblak terbuka, sosok Kak Nay dengan wajah penuh kekhawatiran menggelapkan duniaku. Tidak. Dia memeluk aku terlalu erat.
"Yan, Yan! Kakak kangen sama kamu, tapi kenapa sekarang kamu malah sakit saat kita bertemu lagi setelah sekian lama sih?"
Aduh, plis, kak. Aku gagal paham.
"Kakak, jangan gitu dong. Malu-maluin aja!" Ari tiba ke dalam kamarku, pandanganku beralih buatnya begitu pelukan Kak Nay terlepas. Dia tersenyum, aku membalasnya cukup canggung.
"Hai," ucap kami bersamaan.