Halo para member Boyzforum semuanya.
Saya d'Rythem24 membawa cerita baru yang sialnya (sepertinya) merupakan cerita bersambung. Sungguh masalah besar karena saya cuma bisa ngetik lewat hape, jadi kalau pun bisa rampung, update-nya pasti bakal lama. Tapi meski begitu, semoga berkenan untuk membaca, ya.
Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran, karena kemampuan menulis saya sungguh masih pas-pasan.
Happy Reading!
***
First Chapter: Class | Part 1.
***
Menjadi remaja yang memiliki kegiatan tetap dari mulai Senin hingga Sabtu sungguh merupakan hal yang merepotkan. Kau bangun pagi hari, mandi, kemudian bantu menyiapkan sarapan. Menyedihkan sebenarnya, tapi apa boleh buat? Mengingat aku adalah anak tunggal dalam keluarga, jadi aku yang harus membantu Mama menyiapkan sarapan setiap harinya.
Namun, selama di dapur, aku tak hanya memasak. Dinasehati, diwanti-wanti yang terus berputar pada hal-hal sama; "Nilai sekolah kamu berapa?", "Jangan lupa kerjain PR!", "Pakai seragam yang benar!", dan hal-hal membosankan lainnya. Aku hanya bisa mendesah sambil menganggukan kepala seolah memahami setiap baris kata yang terucap dari bibir merah menyala berlipstik Mama.
Memakai sepatu yang sama selama lebih dari setahun terakhir, tas selempengan cokelat favoritku, dasi seragam hasil pembetulan Mama, tinggi celana abu-abu di atas pinggang; merupakan gaya Senin hingga Kamisku dari pagi sampai pukul dua siang hari. Berjalan sendirian, di saat remaja seusiaku yang lain berangkat sekolah menggunakan motor, diantar dengan mobil, naik angkot, bahkan menaiki ojek.
Aku mendongak, awan mendungnya sungguh meneduhkan. Cahaya matahari tidak menerangiku kali ini, tak memberi terang yang biasanya membuat aku terpaksa menyipitkan mata. Lalu pandanganku menyapu sekeliling, pada trotoar di seberang; di mana mereka yang memiliki tujuan tempat yang sama sepertiku saling bergandengan tangan, mengobrol kalem dan tertawa membagi candaan garing serta terbarunya. Aku kurang beruntung karena sahabat terbaikku memiliki selera humor yang kacau dan nyelekit.
Ngomong-ngomong di mana, ya, dia?
Oh ya. Hari ini ada mata pelajaran Matematika 'kan? Itu artinya dia sudah sampai sejak pagi-pagi buta ke dalam kelas untuk meminta contekan pada rekan sekelasnya. Menyedihkan.
Aku melirik jam digital yang tertera pada layar ponselku. Pukul enam lewat 37 menit. Aku tak akan terlambat masuk kelas. Ini hari Rabu, itu artinya Pak Dudu yang akan mengajar. Haruskah aku bolos? Materi tentang Ekonomi dan sebagainya itu benar-benar membuatku bosan.
Aku berharap aku cepat naik ke kelas tiga, kemudian lulus, dan langsung mencari pekerjaan. Tak perlu kuliah, karena aku malas kalau harus disibukan oleh kegiatan belajar.
.
Kelasku berada ditingkat atas, X-B. Dekat dengan tangga, bersebelahan dengan kelas A dan juga C. Tepat di depan kelas kami ada mading besar yang berguna sebagai tempat dimuatnya papan pengumuman yang biasanya diletakan oleh OSIS.
Ada pengumuman baru kah hari ini?
Aku melirik, membaca setiap baris kata yang tertera pada masing-masing kertas, tak ada yang menarik kecuali nama seseorang yang tertangkap oleh indra penglihatanku. Tanganku bergerak, telunjukku mengusap namanya; 'Nazril . H - Perwakilan kelas B'.
Apa dia sudah ada di dalam kelas , ya? Atau mungkin...
"Yanu?"
Panjang umur. Sedang aku pikirkan dan suaranya terdengar tepat di belakang punggungku. Menurunkan tangan, aku menghela nafas bersamaan dengan membalikan tubuhku menghadapnya. Dia berdiri di sisi kanan pintu kelas, tangan kirinya memegang penggaris sedangkan yang kanan meremas bulatan kertas.
"Ah, Pagi, Ri," sapaku, mengulas senyum terbaik untuknya.
Ari-nama panggilannya- balas tersenyum buatku. Berjalan mendekat dan segera melancarkan kebiasaan menyebalkannya-mengacak-acak rambut belah pinggirku. Aku mendecak sebal tanpa menepisnya.
"Pagi, sayang," dia berbisik pelan sekali, suaranya hampir tak terdengar. Mataku mendelik, melirik cemas ke kanan dan ke kiri.
Lega karena tidak ada siapa-siapa.
"Hentikan kebiasaanmu itu!" cibirku sambil melotot sedikit.
"Yang mana?" tanyanya sambil tersenyum jahil. Aku memutar bola mata.
" 'Sayang' itu! Nyebelin tau dengernya!" aku memelankan suaraku sekaligus menekannya pada bagian 'Sayang'. Ari tertawa pendek.
"Ya gak apa-apa, dong? Gak boleh manggil sayang ke pacar sendiri emang?" Ari mengedipkan mata, aku bersemu.
Malas menggubrisnya, dia justru merangkul pundakku dan menyeretku masuk ke dalam kelas.
Beginilah rutinitasku yang lain. Bercengkrama seadanya dengannya, Nazril Hilyas. Kekasih sekaligus ketua murid di kelas 10 B, kelas kami berdua. Kelas yang diisi oleh 32 murid, merupakan ruang yang membantu mempererat jalinan hubungan kami.
Aku duduk di kursi ketiga di baris paling jauh dari pintu kelas, sedangkan Ari di sebelahku. Kami tak sebangku tentunya, sebab kuris di kelas ini semuanya tunggal. Hanya ada jarak sekitar 50 centi di antara kami berdua. Jarak yang tak pernah menghalangi ikatan kami.
Ikatan terlarang antara aku dan Ari.
Comments
.
Sedikit tentang aku; Yanu Farharendra. Anak tunggal dari keluarga sederhana yang mendidikku secara tegas dan menyebalkan, yang membuatku mampu bertahan berada di posisi sepuluh besar murid terpintar di kelas 10 B ini. Posisi pertama di pegang oleh Burhan Saleh, anak pertama dari salah satu Guru ter-killer sejagat raya yang pernah aku kenal-Bapak Darus.
Aku merinding setiap kali membayangkan modus pembelajaran apa yang Burhan terima dari ayahnya yang seorang Guru Bahasa Indonesia kelas 12 itu.
Lupakan soal Burhan. Kembali tentangku, aku tak menyukai hal-hal yang bersifat membosankan; semacam bergosip, menggoda cabe-cabean apalagi gonta ganti cewek. Hei, sejak aku lahir aku hanya melirik mereka yang berjenis kelamin sama denganku. Seperti Ari.
Sejak pertama kali duduk di sebelahnya, memperhatikan setiap gerak dan tutur bicaranya, terbius senyum dari bibir merahnya, tangan besarnya yang seringkali menggaruk-garuk kepalanya sendiri saat sedang dilanda bingung. Aku menyukai semua itu.
Aku yang awalnya merasa bosan berada di kelas ini, menemukan alasanku untuk bertahan dan ditenangi kenyamanan akan kehadirannya. Dan sejak aku yakin bahwa aku telah jatuh cinta padanya, aku bersyukur dan berterima kasih pada siapapun orangnya yang membuat aku bisa bersatu dalam ruang kelas yang sama, dengan Ari.
Aku tersenyum, menatap halaman buku catatanku yang masih kosong. Ah, mulai lagi. Ya ampun, apa-apaan aku ini?
"...Baiklah anak-anak. Jika sudah selesai dengan soalnya, tolong segera kumpulkan ke depan, ya. Waktu kalian 15 menit lagi!"
Seketika aku menegakan kepala, Pak Dudu duduk tenang di atas meja Guru yang berada di baris terdepan sambil mengetik pada laptopnya. Pandanganku beralih ke arah papan tulis yang hanya memuat beberapa paragraph ringkasan materi hari ini.
Nah, lagi 'kan? Kali ini apa yang aku lewatkan?
Aku tak boleh panik. Mungkin sebaiknya-ah, tunggu. Menoleh ke kanan, kudapati senyum penuh pengertiannya.
"Ngelamun lagi, huh? Tuh, soalnya." dia berbisik, wajah tampannya menyebalkan sekali kalau sedang ingin menertawaiku. Buku catatannya masih menggantung di tengah celah tempat dudukku dan juga dirinya, seperti biasa, aku mengambilnya tanpa sungkan, dan segera menulis beberapa baris soal yang ternyata cukup mudah untuk dijawab.
Masih terus menggerakan penaku di atas kertas, gerakanku perlahan-lahan terhenti. Mataku melirik ke kanan, sudah aku duga kalau Ari pasti sedang memperhatikanku dengan intens.
Aku tidak boleh gugup. Atau seharusnya, sejak awal aku tidak perlu mengingat beberapa hal yang tak sepatutnya aku bayangkan. Membikin buyar konsentrasi dan hasilnya aku ketinggalan materi.
Tetapi, inilah sisi baiknya. Seberapa banyak pun aku tertinggal, akan ada tangan tulusnya yang terjulur untuk membantuku supaya dapat melaju sejajar dengan yang lain.
Ari terlalu baik.
Aku menyukai kelas ini, sebab ada dia yang selalu membuatku terbantu oleh perhatiannya. Tak hanya sebagai ketua murid, tetapi juga sebagai sosok terdekatku.
Aku mengembalikan catatannya, menaruhnya di atas meja miliknya. Tersenyum, mengucap 'Terima kasih' tanpa suara. Ari mengangguk, kembali memfokuskan pandangannya ke depan kelas.
Kadang aku berpikir, apa jadinya jika saja aku tak berada satu kelas dengan pemuda ini?
.
Aku meletakan ujung daguku di atas meja, mengaduk-aduk es teh manis dengan sedotan. Aku mengantuk, rasanya bisa tertidur kapan saja jika begini.
"Ngantuk, ya? Gini, deh, mentang-mentang pinter gak pernah serius ngedengerin pelajaran dari Guru,"
Aku mengernyit, mendelik sinis pada Nuga yang sedang menikmati mie ayam bakso pesanannya.
"Berisik, deh! Jangan mulai!" aku menyipratkan es teh milikku ke arah mukanya, sebal. Hanya sedikit.
Nuga cuma mendecak, mulutnya sibuk mengunyah bulatan bakso kecil. Makanan kesukaannya.
"Pelajaran Pak Dudu tuh emang bikin ngantuk, keles!" gerutuku malas. Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Ehm," Nuga menelan. "...lebih bikin ngantuk pelajaran punya Bu Mayang, angka semua isi materinya,"
Aku mendesah lemas. "Itu karena kamu benci matematika,"
"Andai ada kelas di mana Matematika tak berlaku untuk diajarkan, dengan senang hati aku bakal langsung daftar deh. Walau harus ngulang dari awal," gumamnya terlihat antusias.
Dasar sinting.
"Sana cari sekolahan ke planet Mars, aku yakin makhluk asing di sana lebih milih untuk menerima murid gak berguna macam kamu lebih mungkin daripada di sini," responku ketus.
Nuga memonyongkan bibirnya. "Kalau perlu kita cukup tukeran otak aja," setelahnya dia menyedot es teh botol dinginnya.
"Ogah amat. Otak pinterku terlalu berharga untuk dipunyai sama laki-laki abstrak kaya kamu," aku melet.
Nuga meniup isi botolnya sampai beriak. Dasar jorok.
Aku lupa memperkenalkannya. Namanya Nuga Dwirestu. Orang-orang lebih suka memanggilnya Dwi, sih. Sahabat terbaikku-yah, disebut demikian karena kami saling mengenal sejak jaman Masa Orientasi Sekolah Menengah Pertama dulu. Meski menyebalkan, dia adalah sarana curhat terbaik yang aku miliki.
"Ada sms?" tanya Nuga. Tapi tak aku gubris.
[From: Ari
Bisa ke perpustakaan sekarang..?]
Aku mengernyit, menutup flip ponselku setelah itu beranjak dari posisi dudukku.
"Nu, bayarin es teh manisku dulu, ya," kataku setelah berhasil keluar dari bangku panjang tempat kamu duduk bersama di kantin saat ini.
Nuga menatapku. "Mau ke mana?" tanyanya.
"Ada urusan bentar. Dah." aku mempercepat laju langkahku.
Ada apa, ya? Tumben Ari ngajak ketemuan di jam istirahat, biasanya dia akan meminta waktu berdua saat jam pelajaran sudah selesai semua. Waktu pulang maksudku.
Perpustakaan di sekolah kami tak berada jauh dari kantin, hanya perlu melewati beberapa ruang praktik dan sampailah. Aku mengetuk pintu, mendapat perhatian Kak Salun-salah satu anggota OSIS yang paling sering menjadi murid yang mengawasi perpustakaan ini. Meski wajahnya anggun, tapi dia dikenal galak dan sadis.
Aku melangkah masuk, melirik satu persatu jajaran rak sampai akhirnya menemukan sosok yang lebih tinggi dariku sedang berdiri di rak paling belakang. Beberapa tumpukan buku tertata di dekatnya, buku yang sama dengan yang saat ini tengah dibaca olehnya.
"Ri?"
Ari mengedik sedikit, menoleh padaku, setelah itu tersenyum. Bukunya ia tutup, tangannya lalu mengacak rambutku seperti biasanya.
"Bantu aku bawa buku-buku ini, ya, ke kelas. Tugas dari Madam Revi," pintanya.
Oh, jadi ini maksudnya membawa aku ke perpustakaan?
"Emangnya Mei ke mana?" tanyaku sekeluarnya kami dari dalam ruang penuh buku ini. Mei yang aku maksud adalah Meilina Tiara, wakil ketua murid kelas kami.
"Dia lagi ada rapat, ngewakilin aku," jawabnya sambil melirik aku sekejap.
Aku membulatkan bibir. Menatap sampul buku paket pelajaran Bahasa Inggris. Mata pelajaran kami selanjutnya setelah jam istirahat berakhir.
Bruk.
Bukunya aku letakan secara bersamaan di atas meja Guru, sedangkan Ari justru membaginya ke masing-masing tempat.
"Bagiin ke satu-satu tempatnya, Yang." katanya dengan nada melengking. Aku melotot penuh, dan Ari tertawa.
"Tenang aja, sih. Gak ada siapa-siapa kan di dalam sini selain kita?" dia berkata demikian tanpa menoleh padaku. Aku mencibir bisu.
Mau tak mau, ikut membagikan buku paket ini ke barisan milikku dan yang di sebelahnya. Untung saja aku tak punya peran penting dalam kelas, kalau tak mengingat statusnya sebagai kekasihku pun, aku mana sudi mau membantunya.
Terdengar jahat? Masa bodoh.
Buku terakhir telah selesai aku letakan, aku berbalik dan secara mengejutkan puncak kepalaku hampir bertabrakan dengan hidung seseorang. Ari tertawa pendek.
"Aku di sini, lho," ucapnya.
"Mana tau," ketus aku merespon.
Tapi jarak di antara kami tak merenggang sama sekali. Berada di pojok kelas, hanya berdua, dengan keadaan sesunyi ini. Apa yang bisa aku harapkan?
"Makasih udah mau bantu," Ari mengacak rambutku lagi, aku menatapnya, memberi anggukan.
"Gak masalah. Ini bukan soal berat," komentarku.
Tangannya berhenti mengacak, turun perlahan memijat sebentar daun telingaku, lalu berakhir diam pada pipi sebelah kiriku. Oh, tidak, aku pasti merona saat ini.
Aku merapatkan kedua belah bibirku, tak berani menatapnya kali ini dan lebih memilih untuk mengalihkan pandanganku menelusuri tiap bagian kelas kami. Merasakan usapan lembut di bagian wajahku, tubuhku seketika menghangat.
Apa yang akan terjadi? Apa yang aku harapkan? Mungkinkah kali ini...
Aku meliriknya, Ari memancarkan keseriusan dari kedua bola mata terangnya. Bukan saatnya memikirkan hal yang macam-macam. Ayolah!
Ari membungkuk sedikit. Oh, benarkah ini saatnya?
Mataku siap terpejam, tetapi...
"Kita keluar, yuk! Di sini gerah."
Oh. Lagi-lagi dia menghancurkan suasana.
Ari mendahuluiku, meninggalkanku begitu saja di dalam suasana sunyi kelas 10 B ini.
Selalu seperti itu. Memberikan aku ruang penuh harap, menyentuhku, membuat aku berpikir seakan dia hendak menciumku, dan pada akhirnya, dia melarikan diri.
Aku tak pernah mengerti apa yang ada di dalam pikiran cowok semacam dia.
Mendesah lesu, aku menyandarkan tubuhku ke dinding kelas sambil bersedekap. Mau sampai kapan kelas ini menjadi saksi bisu di antara hubungan penuh kecanggungan kami? Tak pernah ada kemajuan berarti. Semuanya seolah selalu sama. Menyebalkan.
Aku menyentuh bibirku yang kering, menjepit jari telunjukku di antara celahnya yang terbuka.
Kapan dia akan memberikan ciuman pertamanya untukku? Aku seringkali bertanya-tanya sampai detik ini.
*** End of Chapter 1 ***
Err, maaf, ya, kalau ceritanya gak jelas banget. Maklum. Aku udah lama gak ngetik cerita. /alesan
Ya, emang akunya aja, sih, yang kurang bakat nulis. Hahaha.
Terima kasih sudah mau membaca. Sampai ketemu di Chapter 2.
***
Mendung lagi. Langit pagi yang seharusnya kelihatan cerah sekarang ini justru bak suasana segelap waktu maghrib tiba. Mama sampai mengomeli aku, memaksa aku untuk membawa payung sebab ia yakin kalau hari ini akan turun hujan. Malah bisa jadi badai.
Semoga saja hujan atau memang badainya datang setelah aku sudah sampai ke rumah nanti. Mana mungkin, ya? Bahkan aku masih memiliki waktu lebih dari 6 jam untuk belajar di kelas. Menyebalkan.
Tint!
Aku mengedik. Sejujurnya sangat terkejut. Padahal sedang berjalan di trotoar, tapi kenapa masih ada saja yang membunyikan klakson padaku? Menoleh, dan langkahku otomatis terhenti tatkala sebuah motor besar yang dikendarai seseorang ber-helm mendekat perlahan-lahan ke arahku, sampai akhirnya berhenti tepat di sampingku.
"Pagi, sayang..."
Aku memukul helm-nya sesaat setelah ia membuka penutupnya.
"Kenapa bisa ada di sini?" tanyaku. Heran? Tentu saja. Arah rumah kami berdua berlawanan dari sekolah, bisa di bilang sekolah kami ada di tengah, sedangkan kekediamanku berada di barat dan miliknya berada di timur. Sangat aneh menemukan dia muncul dari arah barat. Dan itulah sebabnya aku dan Ari sangat jarang untuk pulang pergi ke sekolah berdua.
"Kejutan. Semalam aku nginep di rumah Dirga bareng anak-anak lain, sengaja gak ngasih tau kamu, dan sesuai dugaanku, kita pasti bisa ketemu di jalan mau ke sekolah. Hehe..." mendengar penjelasannya cuma bisa membuat aku mengangguk-anggukan kepala. Memang, sih, rumahku dan juga Kak Dirga satu arah. Kak Dirga merupakan ketua OSIS, dan Ari juga berstatus sebagai salah satu anggotanya di sana semenjak semester kedua tahun ajaran awal kami dimulai.
"Yuk, naik!" Ari melirik jok belakangnya. "Udah lama, lho, kita..." kalimatnya menggantung. Alisku naik sebelah.
"Apa?"
"Apa aja boleh. Cepet naik!" kaca helm-nya ia turunkan lagi. Dan aku pun membonceng di jok belakangnya dengan senang hati.
Starter motor menyala, tanganku bergerak, bermaksud untuk melingkar di antara pinggangnya, namun urung. Akhirnya aku hanya mampu meremas celana seragamku sendiri.
Motor yang Ari kendarai mulai melaju, sepanjang jalan kami habiskan untuk saling terdiam. Tak ada yang bisa aku ucapkan, tak satu pun topik pembicaraan melintas dalam benakku tuk aku utarakan, yang selalu berputar-putar hanyalah satu hal; bagaimana caranya supaya aku bisa dengan mudah membawanya lebih dekat kepadaku?
Kami berdua memang saling menyukai. Maksudku, ya, aku menyukainya, Nazril juga menyukaiku karena bagaimanapun juga dialah yang mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu padaku beberapa bulan lalu, hanya mungkin, disebabkan masing-masing dari kami belum benar-benar saling mengenal satu sama lain, waktu bertemu pun sempit dan kegiatan sekolah lebih banyak menyita rutinitas kami, membuat hubungan kami tak begitu memperlihatkan kemajuan berarti.
Aku sangat menginginkan Ari. Ingin memeluknya, ingin dia terus mengacak lembut rambutku, mengusap pipiku, dan juga mencium aku.
Bibirku aku gigit sendiri. Memikirkan semua hal ini selalu berujungkan rasa sakit di dadaku. Ada rasa khawatir bercampur tak tenang. Khawatir jika terus begini maka hubungan kami kian merenggang, juga tak tenang, karena takut kalau aku tak akan mampu menahan diriku.
Aku ingin berusaha mempertahankan semuanya supaya tak ada yang harus disesali. Tetapi, aku tak bisa.
"Gitu dong, Yang."
Aku mendengus, komentarnya yang seolah memberiku lampu hijau sesudahnya tanganku melingkar pada pinggangnya justru membuat aku semakin bingung. Sebenarnya apa yang dia pikirkan selama ini tentangku?
Aku menatap pantulan wajahnya dari spion motor ini. Tampan dan penuh ketenangan, bersih dan mempesona.
Pantas saja aku bisa begitu menyukainya.
.
"Katanya hari ini bakal ada tugas kelompok,"
"Masa?"
"Farel yang bilang, kan dia juga ikut nginep, materi kelas A kan pasti ngeduluin yang lain,"
"Hm, gitu."
Sepi lagi. Perjalanan menuju kelas saja rasanya begitu canggung. Ya, seandainya saja aku perempuan dan aku cukup agresif, aku tak akan segan-segan kok memeluk lengan atau pun menggandeng tangannya.
"Ah, Nazri?!"
Langkah Ari terhenti, tetapi tidak denganku sebab aku tau siapa satu-satunya manusia di dunia ini yang memanggil Ari dengan sebutan demikian.
"Yanu?" Ari memanggilku. Tapi aku cuma melambai tanpa menoleh.
"Aku duluan, ya."
Tak ada lagi suara, kecuali percakapannya dan juga Mei yang sayup-sayup terdengar. Apalagi yang mau mereka bicarakan?
Anak tangga pertama sudah aku pijak, tapi sebelum naik ke atas, aku menoleh terlebih dahulu ke kiri, di sana Ari dan Mei tengah mengobrol dengan leluasa, dibarengi senyum serta tawa pendek yang sesungguhnya menjengkelkan bagi mataku.
Sudah tentu Ari populer dikalangan murid perempuan, mengingat prestasinya cukup cemerlang dan ia dikenal tekun juga ramah. Dan sudah bukan gosip lama lagi, kalau Mei menaruh perhatian lebih terhadap pacar lelakiku itu.
Bagaimana jadinya jika Mei tau lelaki yang disukainya berpacaran dengan lelaki lain, ya?
konflik blm muncul, cerita tentang kegiatan si Yanu nya malah bikin ikutan suntuk bacanya. itu sih cuma kata q aja yah.
hmm padahal q pngen yg kmren kmu critain itu de. or yg macam Diantara Satu Untuk Dua(mendadak lupa judul)
tpi coba d lanjut. pngen tau ceritanya.
lanjut dong...
@Abeza @Gabriel_Valiant Iya. Ini juga mau dilanjut, kok.
@kizuna89 Sengaja bikin yang beda. Haha. Konfliknya itu, ya, keresahan si Yanu sendiri XDD Abis ini juga konfliknya muncul kok. Susah nakernya krn jumlah word terbatas T-T
Mention @d_Cetya Khikhi... Nih, kak, cerbung baruku.
. . .
Sesuai apa yang telah Ari beritahukan padaku, pelajaran Sejarah hari ini akan kami bahas dengan cara berkelompok. Lebih tepatnya, satu kelompok dengan dua orang. Dan karena kami semua memilik kursi tunggal di tiap tempatnya, pada akhirnya kami harus saling mengajak satu sama lain. Tetapi, bagian inilah yang justru membuat aku paling sebal.
Sempit.
"Nazril satu kelompok sama aku, ya?"
"Sama aku aja, ya, Ri? Kamu kan pinter di matpel sejarah, jadi mendingan-"
"Eh, aku duluan yang ngajak dia!"
"Gak bisa gitu dong, gini-gini aku juga-"
"Aduh, apaan sih kalian tuh?!"
Blablablabla.
Selalu seperti ini. Mengingat tempat duduk Ari berada tepat di sebelahku, otomatis resiko berisik dan risihnya ikut-ikutan aku dapatkan. Aku memutar bola mata, melirik ke baris seberang, di mana Burhan masih duduk sendirian di kursi terdepannya.
Dasar cabe. Lihat di sana. Murid terpintar di kelas ini tuh si Burhan, bukan pacarku, woy! Kalian tidak berpikir ya kalau seandainya kalian satu kelompok dengannya maka tugas kalian akan cepat terselesaikan? Tidak bermaksud menggunakannya sebagai budak.
Aku menghela nafas, bersiap berdiri dari dudukku ketika tiba-tiba saja wajahku disikut oleh seseorang dari samping.
"Aw." aku mengaduh kalem. Suasana berisik yang terjadi pun mereda, para gadis yang sedang mengelilingi Ari seketika menatap ke arahku, termasuk sang pangeran idaman mereka.
Aku mengusap bagian di bawah mataku, lumayan perih. Tersenyum sinis ke arah mereka, dan tanpa mempedulikan setiap tatapannya, aku memutuskan untuk keluar dari tempatku dengan cara mendorong beberapa parasit ini.
"He-hei, woles aja, keles!" komentar salah satu dari mereka yang setahuku mulutnya memang paling pedas, Melani Renawati.
"Sebelum komentar sama orang lain, ngaca dulu dong," balasku yang sukses membikin mereka bungkam.
Mau dia perempuan kek, laki-laki kek. Apa peduliku? Toh, mereka semua sama saja. Menyebalkan dan hanya bisa membuat aku sakit. Tak hanya mata, tapi juga hatiku.
"Bubur, masih belum nentuin kelompok?"
Burhan mendelik, tajam tatapannya sungguh menurun dari sang Ayah.
"Harus berapa kali saya bilang, panggil saya 'Burhan'. Nama saya bukan Bubur," jawabnya yang tentu dibarengi perasaan risih. Aku terkikik.
"Dan harus berapa kali gue bilang, kalau ngomong sama orang seusia loe, nggak usah pake 'saya saya', keles,"
Alisnya menukik turun. Tentu merasa terganggu dengan cara bicaraku.
"Bahasa gue-loe itu tidak masuk ke dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Yanu. Papa saya yang bilang,"
'Iyalah, kampret! Bapak loe itu Guru Bahasa Indonesia, keles. Gue tau!' cibirku dalam hati.
"Jadi, ada perlu apa sama saya?" Burhan kembali memfokuskan pandangan pada buku catatannya, seperti sebelum aku datang.
"Udah nemu temen sekelompok belum? Sekelompok sama gue aja, nyok. Gue masih sendiri, nih," tawarku tanpa basa basi padanya. Burhan melirikku sekilas, setelah itu memberi anggukan.
"Oke. Tapi kamu bagian menulis, ya?" katanya seenak jidat.
"Ogah. Gue ngedikte aja," tolakku sembari bersedekap.
"Ya sudah, cari orang lain saja sana."
Runtuh sudah harapanku. Dasar anak ini, kenapa ilmu bicaranya jauh lebih tajam daripada materi yang ditulisnya?
"Oke, oke, fine. Gue bagian nulis, kamu yang ngedikte. Puas?"
Burhan nyengir kemudian. Kalau tidak ingat kami akan berada dalam satu kelompok, sudah aku jitak dan jambak rambutnya.
"Nyebelin, ya. Mentang-mentang dia paling cantik,"
"Jangan-jangan Nazril beneran suka juga sama dia?"
Daun telingaku bergerak-gerak kurang nyaman mendengar nama Ari disebut-sebut. Tatapan mataku beralih ke tempat duduknya, dan perasaan menyebalkan itu kian menyelimutiku. Tanganku terkepal, dadaku serasa kembang kempis melihat mereka duduk berhimpitan seperti itu.
"Tadi Ari bilang kalau dia udah janji bakalan satu kelompok sama Mei,"
"Dasar itu cewek!"
Oh. Jadi itu isi salah satu topik pembicaraan mereka pagi tadi. Lalu, apa peduliku?
Tidak. Akulah yang paling mempedulikan hal ini lebih dari siapapun, hanya saja... Kalau sudah begini, memangnya apa yang bisa aku lakukan?
Tidak mungkin kan aku berteriak: 'Dia itu pacarku, jangan berani mendekatinya!'
"Cih."
Sepertinya, mendung diluar sana membagi kesuraman warnanya padaku.
.
"...Nu?"
Langit masih mendung. Gelapnya sampai-sampai membuat lampu perpustakaan dinyalakan saat siang hari bolong begini.
"...Yanu?"
Aku melirik ke kanan dan ke kiri yang justru membuat mendung diluar sana semakin pekat mengelilingiku. Lihatlah mereka. Bahu saling berdempetan, lirikan mata Mei untuk Ari yang terkesan janggal, senyum bahagia saling terlempar dan jari-jemari yang bertumpukan.
Kalau mau pacaran tuh ya diluar kek, ini perpustakaan, woy, bukan cafe!
Buk.
"Adaw!"
Perhatian seluruh penghuni ruang penuh buku ini terfokus padaku. Aku melotot pada Burhan yang juga sedang sama-sama memelototiku.
"Apa sih?" desisku sebal.
"Niat tidak mau mengerjakan tugas? Kenapa kamu justru melamun?"
Aku meremas ujung rambutku, mendesah lesu.
. . .
"Ini di perpustakaan, jangan berisik, ya."
Oh, lihat. Ketua murid yang daritadi sibuk berduaan sama wakil ketua muridnya angkat bicara. Dan kenapa rasa cemburuku kian membara semakin bertambahnya waktu? Aku ini bukan cewek, yang sedikit-sedikit akan merasa marah, perasaan berkali lipat lebih sensitif jika sedang datang bulan.
Aku lihat Ari masih menatap ke arahku. Aku mendecakan lidah, hendak bersuara ketika tiba-tiba sebuah telapak tangan menyusup dibalik poni rambutku. Aku membatu, Burhan tepat berada di sampingku, menatapku serius sambil mengernyit.
"Suhu badanmu normal, tapi kenapa suasana di sekelilingmu memancarkan aura yang tidak mengenakan?" Itulah yang dikatakannya begitu telapak tangannya mengundurkan diri dari dahiku. Alisku naik.
"Ngapain?" tanyaku seraya menggaruk-garuk kepalaku.
"Hanya memeriksa suhu tubuh kamu. Aku kira kamu sedang tak enak badan atau semacamnya, begitulah."
Apakah wajahku terlihat sesuram mendung di luar sana? Mungkinkah wajahku pucat bak orang kedinginan yang habis kehujanan? Aku benar-benar tidak mengerti.
.
Bruk.
Aku mengedik sedikit, menatap buku catatanku yang baru saja dilemparkan oleh Burhan di atas meja tempatku sedang bersantai menatap rintik-rintik gerimis. Aku melihat padanya.
"Ini tulisan apa?" tanya Burhan yang kontan saja membuat aku memiringkan kepala.
"Apanya?" aku balik bertanya.
"Kamu itu bagaimana? Masa menulis di buku catatan yang mau dikumpulkan kata 'yang' kamu singkat dengan 'yg', juga apa itu 'mrpkn'? Itu merupakan 'kan? Iya kan? Itu tidak masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahu tidak!" sembur Burhan panjang lebar, sukses membikin atmosfir dingin di sekelilingku berubah hangat.
"Kalau gitu, ya, loe rubah aja sendiri. Ada tipe-x 'kan?" titahku enteng tanpa segan.
"Yanu, kamu itu, ya!" Burhan lalu memukul-mukulkan buku catatanku ke lenganku dengan gemas.
"Aduh, apa banget, sih, loe. Ribet, ah!" pada akhirnya kami pun jadi bertengkar dan saling memukul-mukul badan lawan masing-masing.
Beberapa murid di kelas tertawa melihat tingkah kami. Aku dan Burhan memang belum lama saling mengenal, tetapi sejak awal dulu, setiap bersama kami seringkali ribut seperti ini. Makanya aku pun agak enggan untuk mendekatinya, murid yang lain juga. Sebab, dia ini segalak bapaknya.
"Bubur ayam! Berhenti, deh!" aku merebut buku milikku dari tangan Burhan, melemparnya sembarang dan berakhir mengenai wajahnya. Ekspresi sebalnya kian menggelap sesudahnya buku itu jatuh dari paras tampannya.
"Err, Ri, sorry, ya. Aku-"
Ari melempar balik buku itu, jatuh tepat di atas mejaku. Aku dan Burhan terdiam, setelah itu dia menghela nafas.
"Pokoknya perbaiki isi catatanmu. Dan berhenti memanggil aku dengan sebutan 'Bubur'." selesai berucap demikian, Burhan meninggalkan tempatku.
Suasana kelas kembali sepi. Aku menatap Ari, begitu juga sebaliknya. Tak ada yang membuka suara, akhirnya, aku putuskan untuk melanjutkan kegiatan bersantaiku menikmati jatuhnya gerimis di luar sana. Tetapi, pantulan wajah gelapnya masih tetap dapat aku tangkap dari sisi kaca bening yang mulai dibasahi oleh air ini.
Siapapun tolonglah. Tarik gorden kelas ini supaya aku tidak bisa melihatnya untuk sementara waktu. Mohonku seraya menutup kedua mata.
.
"Yang?"
Deg.
Ya ampun, mau apa Ari berbisik sedekat itu di belakang telingaku? Detak jantungku sukses mencelos karena suaranya yang terdengar terlalu mendadak. Aku meraih tas selempenganku yang berada di atas meja, siap berbalik.
"Nazri?"
Gerakanku terhenti. Aku mendengar helaan nafas cukup berat dari Ari.
"Iya, Mei?"
"Hari ini boleh gak aku numpang buat dibonceng? Supir aku lagi ada urusan sama mama, jadi gak bisa jemput,"
Well done, girls. Sepertinya aku sudah tau bagaimana hasil akhirnya nanti, jadi daripada mengganggu, sebaiknya aku segera pergi saja.
"Maaf, Mei,"
Ada yang mencekal pergelangan tanganku. Langkahku tertahan, aku melirik Ari penuh tanya.
"Hari ini aku mau pulang bareng Yanu, jadi-"
"Eh, nggak. Siapa bilang? Aku ada janji juga sama Nuga, kalian pulang aja berdua." aku menepis pegangan Ari cukup kasar. "Bentar lagi kayanya hujan," aku menepuk pundak Ari. "Antar cewek kamu sampe ke rumah. Haha." setelah itu aku berlari sekencang mungkin, menerobos depan pintu ruang kelas A yang masih dipenuhi murid-murid yang baru keluar dari dalamnya, menuruni tangga sampai keluar dari gerbang.
Aku tak mau mempedulikan apapun. Bahkan ketika hujan deras mulai turun dan membasahi tubuhku, walaupun aku mendengar namaku dipanggil berulang kali, aku ingin terus berlari. Sebab, Ari pasti tau.
Dia tau seberapa besarnya mendung yang menguasai perasaanku saat ini menyaksikan kedekatannya dengan Mei. Karena ini bukan pertama kalinya.
Dingin. Tubuhku menggigil, langkahku terasa berat saking terlalu banyaknya air yang terserap oleh seragam yang aku kenakan.
...Karena Ari tau, bahwa aku yang notabene-nya adalah kekasihnya merupakan sosok pecemburu berat. Yang entah kenapa, fakta itu tak ia hiraukan sama sekali.
***TBC***
@firkhafie Haha. Sengaja dibuat gitu di awal-awal