It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
oke bang. gw slalu tunggu update-an cerita lo bang.
bukan nii-san.. suami (ini ngayal) orang bogor..
Bnyk bgt cobaan hidupnya..
Ini teh kisah nyatanya kang Sugih?. Saya kira kisahnya si Dirgi tu kisahnya Akang.
Kehidupannya meni pahit pisan ya Kang.
@balaka
@solous
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@beepe
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@rey_drew9090
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@inlove
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@eswetod
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
Selamat membaca lagi teman-teman
:::::::Bertemu dengan Ary dan Ary:::::::
Sejak kejadian itu mama memutuskan untuk tinggal di Bogor sementara waktu. Kami mengontrak sebuah rumah sederhana tidak jauh dari rumah Umi Wati, bibinya mama, adik dari mendiang nenekku yang selama ini sering kami tumpangi. Entah apa sebabnya Apih Hada tidak berani bertingkah bila menginjakkan kaki di Cimanggu, nama pemukiman tempat kami tinggal. Beliau menyusul mencari kami setelah beberapa hari kejadian itu berlalu. Namun beliau tak berani mengamuk lagi karena mama memanggil Aki Eben, suami dari Umi Wati, untuk datang menengahi masalah keluarga kami. Kharisma yang dipancarkan oleh Aki Eben berhasil membuat Apih Hada diam tak berkutik tak berani mengeluarkan kata-kata kasar lagi yang bernada ancaman. Aki Eben senantiasa menyebutkan pesan yang pernah diucapkan oleh mendiang Aki Momo, kakeknya mama, atau mertua Apih Hada, semasa hidupnya. Ternyata mama adalah cucu kesayangan mendiang Aki Momo, dan Apih Hada sangat segan terhadap mendiang mertuanya tersebut. Karena itu Apih Hada hanya bisa terdiam saat Aki Eben memberikan nasihat-nasihat dan pesan yang pernah disampaikan oleh Aki Momo semasa hidupnya.
"Ingat Kang, pesan almarhum mertua kita dulu? Beliau titip, jaga baik-baik Iis! Jangan pernah melukai perasaannya apalagi sampai menyakitinya!" Aki Eben mengingatkan Apih Hada akan pesan mendiang Aki Momo.
"Iya, saya masih ingat pesan beliau!" Timpal Apih Hada tanpa berani menatap wajah adik iparnya.
"Oleh karena itu, tentu Akang sangat menghormati almarhum mertua kita, bukan? Tolong tepati janji Akang kepada almarhum, sebelum beliau meninggal dulu! Pegang kata-kata Akang!" Aki Eben berbicara dengan sangat tenang penuh kewibawaan.
Apih Hada diam terpekur tak berani membantah. Padahal orang yang sedang berbicara kepadanya adalah adik iparnya.
Aura wajah yang dipancarkan Aki Eben sangat berkharisma, walau hanya sedikit tutur kata yang dilontarkannya namun sangat mengena di hati orang-orang yang mendengarkannya. Aki Eben sangat taat beribadah. Meski bukan seorang haji, beliau kerap diminta warga untuk menjadi imam di mesjid dan mushala-mushala tempat tinggal kami. Suaranya saat membacakan surat-surat Al-Qur'an terdengar syahdu menggema di telinga. Beliau sering pula dipanggil untuk menjadi pemimpin doa di setiap acara tahlilan dan yasinan di RW kami. Beliau adalah seorang public figure yang bijaksana sehingga sangat disegani warga, maka tak heran bila beliau dipercaya menjadi Ketua RW abadi yang takkan pernah tergantikan sepanjang hayatnya. Aku pribadi merasa lebih dekat dengan beliau ketimbang dengan kakek kandungku sendiri, Apih Hada. Bagiku berada di dekat Aki Eben lebih menenteramkan hati, sejuk, dan damai. Karena setiap aku mempunyai masalah, Aki Eben selalu menjadi pendengar yang baik untukku, dan selalu memberiku solusi yang sangat ampuh hanya dengan seuntai kalimat berbobot yang diucapkannya. Sedangkan bila bersama Apih Hada, benar-benar horor bagiku. Karena sikap hangat beliau bisa berubah terbalik 180 derajat bila aku salah mengucapkan kata baginya. Betapa aku sangat takut kepada Apih Hada.
"Pa, kami pindah ke Cimanggu!" Mama menghubungi papa di kantornya melalui wartel.
Saat itu telepon seluler hanya dimiliki oleh orang kalangan kelas atas. Harganya belum merakyat seperti ponsel di zaman sekarang. Mempunyai telepon rumah saja masih dapat dikatakan sebagai barang mewah.
"Kalian menumpang di rumah Bibi Wati lagi?" Tanya papa di seberang saluran telepon.
"Tidak Pa, kami mengontrak rumah di ujung gang paling pertama. Mama takut minggu lalu Bapak ngamuk-ngamuk. Makanya kami kabur," Mama menjelaskan.
"Ada masalah apa sama Bapak?" Papa mulai cemas.
"Nanti kalau Papa datang akan Mama ceritakan. Sekarang kami di sini baik-baik saja," Jawab mama menenangkan.
"Syukurlah, besok Papa ke situ! Sekarang Papa masih sibuk di kantor, orderan pagar di bengkel sangat banyak!" Respon papa lagi mengakhiri pembicaraan.
"Iya Pa, Mama tunggu!" Timpal mama menutup telepon.
Mama telah menjemput Mang Rahmat, adik bungsu mama yang dititipkan oleh Apih Hada di panti asuhan selama setahun terakhir. Mama menangis terharu dapat menjemput pulang adik kandungnya yang tidak pernah diketahui kabarnya selama dua tahun lebih, mengingat mama pernah pergi menjadi TKW ke Brunei Darussalam selama satu setengah tahun.
"Ade, kamu kurus sekali!" Isak mama di sela-sela tangisnya memeluk adik bungsunya yang hanya terpaut 3 tahun denganku.
Ade adalah panggilan akrabnya dalam keluarga. Nasibnya tidak jauh berbeda denganku. Ia hanya sempat mengenal mendiang nenek selama 3 tahun lamanya. Selebihnya selama Apih Hada sibuk berdinas di luar Pulau Jawa, Mang Rahmat dititipkan di rumah-rumah sanak famili kami yang tinggal di Leuwiliang, keluarga Apih Hada secara bergantian. Dan Mang Ade tak pernah tahu bahwa ibu kandungnya telah meninggal dunia di Riau. Setelah nenek meninggal dunia, Apih Hada hanya sempat sebulan tinggal mengikuti Bibi Ridha dan suaminya merantau ke Padang. Karena tidak betah akhirnya Apih Hada pulang ke tanah Jawa dan mengisi masa pensiunnya sebagai security di sebuah pabrik bata di Leuwiliang sampai akhirnya beliau bertemu dan menikah dengan Umi Uun yang akhirnya menjadi nenek tiriku. Kendati amat disayangkan, watak Apih Hada yang egois dan tidak bertanggung jawab telah menelantarkan putra kandungnya sendiri ke panti asuhan. Padahal dari segi materi, beliau dapat dikatakan hidup amat berkecukupan.
"Teteh, Ade kangen! Ade sedih gak pernah ada yang nengokin!" Mang Rahmat sesenggukan.
#Teteh (Bahasa Sunda) : Kakak (perempuan).
"Ade sampai beberapa kali mau diadopsi sama orang, Teh! Tapi Ade nggak mau, sebab Ade yakin suatu saat Teteh Iis pasti akan datang menjemput Ade pulang!" Ucap Mang Rahmat lirih.
"Udah, kamu gak usah sedih, mulai sekarang kamu ikut tinggal sama Teteh! Ya?" Mama membelai-belai kepala Mang Ade.
"Iya Teh, Ade nggak betah tinggal di sini. Bawa Ade pulang, Teh!" Pintanya penuh harap.
"Iya! Iya!" Jawab mama menenangkan perasaannya.
"Gih, ini paman kamu, ayo cium tangan sama pamanmu!" Mama menarik tubuhku untuk mendekat.
Dengan patuh kuturuti perintah mama. Kusalami tangannya penuh rasa sopan.
Sejak adanya kehadiran Mang Rahmat di tengah keluarga kami, rasanya aku tidak kesepian lagi. Aku jadi mempunyai kawan bermain. Hari-hariku mulai diisi penuh tawa canda bersama paman bungsuku. Namun sayang, kebersamaan kami hanya sesaat. Hingga pada suatu malam, kami berjumpa rombongan keluarga yang menanyakan alamat Umi Wati kepada kami saat aku dan Mang Rahmat pergi berbelanja ke warung untuk membeli telur disuruh oleh mama.
"Permisi Dek, mau numpang tanya, rumahnya Ibu Indrawati di sebelah mana ya?" Tanya seorang ibu yang wajahnya terlihat samar karena lampu penerang jalan sangat redup.
"Ibu Indrawati mana ya?" Tanya Mang Rahmat sedikit bingung, pasalnya cukup banyak tetangga kami yang memiliki nama sama persis dengan nama Umi Wati.
"Itu lho, istrinya Bapak Eben yang ketua RW 2!" Tandas seorang bapak, mungkin suami ibu tadi.
Bapak itu menggendong seorang anak perempuan sedikit lebih kecil dariku. Sedangkan di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki sedikit lebih tinggi dari Mang Rahmat.
"Oh, rumahnya tidak jauh dari sini. Bapak dan Ibu ikuti saja jalan gang ini sampai ke ujung! Rumah Ibu Indrawati terletak persis di ujung gang!" Mang Rahmat memberi petunjuk.
Bapak tadi manggut-manggut tanda mengerti. "Terima kasih ya, Dek!" Ucapnya tulus.
"Sama-sama Pak!" Balasku dan Mang Rahmat bersamaan.
"Mari Dek!" Pamit ibu tadi sambil merangkul anak laki-laki yang berdiri di dekat suaminya, dengan sebelah tangan.
"Mari-mari!" Kami mempersilakan mereka beranjak dari hadapan kami.
Barang bawaan mereka sangat banyak mulai dari beberapa tas jinjing hingga tas gendong yang dibawa oleh si anak laki-laki.
"Mang, mereka kan menanyakan rumah Umi Wati, mengapa tidak kita antarkan saja sekalian?" Selorohku pada Mang Rahmat.
"Sudahlah, kita harus buru-buru nanti mama kamu tidak jadi masak nasi goreng kesukaan Mamang. Sudah lapar nih!" Mang Rahmat mengelus-elus perutnya.
#Mamang (Bahasa Sunda) : Paman.
"Iya, aku juga sudah lapar Mang!" Sahutku patuh pada pamanku.
Setibanya kami di rumah, mama sempat mengeluh kesal karena kami sangat lama pergi ke luar. Namun baru beberapa saat kami bersantai setelah menyerahkan sekantung telur belanjaan kami dari warung kepada mama, Mang Dadan adiknya Mang Iyan, anak ketiga Umi Wati dan Aki Eben, datang tergopoh-gopoh ke rumah kontrakan kami membawa kabar berita.
"Teh Is! Teh Is! Disuruh Umi ke rumah! Ada Teh Ridha dan keluarganya datang dari Padang!" Kata Mang Dadan dengan nafas tersengal-sengal, sepertinya beliau habis berlari kencang menuju tempat kami.
"Yang benar, Dan?" Tanya mama tak percaya.
"Iya, ada Aa Dicky, Dian, dan Ega!" Seru Mang Dadan masih dengan nafasnya yang ngos-ngosan.
Aku dan Mang Rahmat saling berpandangan.
"Jangan-jangan rombongan keluarga yang bertanya kepada kita tadi?" Ucapku pada Mang Rahmat dan dibalasnya dengan sebuah anggukan.
"Ayo De, Gih, kita ke rumah Umi Wati sekarang!" Mama bergegas merapikan pakaian dan mematikan televisi sambil menggiring kami ke luar rumah.
Sontak kami berempat tergopoh-gopoh berjalan menuju rumah Umi Wati. Rasa lapar yang sempat melanda perut kami mendadak hilang begitu saja.
"Assalamualaikum!" Kami mengucap salam bersamaan.
"Waalaikumsalam!" Sahut orang serumah.
Pintu rumah Umi Wati dalam keadaan terbuka lebar dan dari luar terlihat sedang sangat ramai acara kumpul keluarga. Di dalam ruangan Umi Wati dan keluarganya tengah bercengkerama dengan rombongan keluarga yang sempat menanyakan alamat padaku dan Mang Rahmat di pinggir jalan tadi. Semua anak Umi Wati dan Aki Eben berkumpul di ruang keluarga mulai dari Mang Iyan anak pertama mereka, Mang Engkos anak kedua mereka, Bi Laela dan Bi Laeli anak keempat dan kelima. Semua bercengkerama saling melepas rindu.
"Teh Is!" Bibi Ridha menghamburkan diri memeluk tubuh mama, kakak sulungnya tercinta.
"Ridha, Ya Allah, opat tahun papisah urang pateupang deui!" (Ridha, Ya Allah, empat tahun berpisah kita bertemu lagi!) Mama dan Bibi Ridha saling peluk, saling kecup, berurai air mata.
"Ridha pikir mun urang geus pada berumah tanggi moal bakal kapendak deui! Alhamdulillah, urang masih keneh dipasihan jodo ku Gusti Pangeran!" (Ridha pikir kalau kita sudah pada berumah tangga tidak akan bertemu lagi! Alhamdulillah, kita masih juga diberi jodoh oleh Tuhan!) Ucap Bibi Ridha masih dalam pelukannya.
"Lho, ini kan anak yang tadi!" Seru anak laki-laki yang bertemu dengan kami di jalan tadi.
"Kalau itu Teh Ridha, berarti ini Aa Ega?" Mang Rahmat memastikan.
"Ega, damang?" (Ega, sehat?) Mama mendekap tubuh anak laki-laki itu.
Suasana berubah sangat mengharukan. Hampir semua anggota keluarga menitikkan air mata melihat kedatangan Bibi Ridha sekeluarga ke rumah Umi Wati. Semua memang telah direncanakan karena mama yang mengongkosi kepulangan mereka.
"Pangestu, Teh!" (Baik, Teh!) Jawab anak laki-laki tadi yang ternyata adalah pamanku, adik mama nomor lima.
Mamaku adalah kakak sulung dari tujuh bersaudara yang sebenarnya delapan bersaudara. Saat mama lahir, kakaknya mama yang baru berusia dua tahun meninggal dunia karena demam berdarah. Sejak saat itulah mama menjadi anak tertua dalam keluarganya. Adik mama yang pertama bernama Wana Sedayu. Aku sendiri memanggilnya Mang Wana, dan beliau sedang tinggal di Aceh mengikuti program transmigrasi. Beliau adik mama yang paling pintar tetapi sangat malas bekerja. Gayanya selalu berlagak seperti bos. Usianya hanya terpaut 2 tahun dengan mama. Adik mama yang kedua adalah Bibi Ridha, yang pernah menyusuiku semasa aku bayi hingga aku berusia satu setengah tahun di Riau. Semasa mudanya bibiku yang satu ini sangat tomboy, gayanya sangat jantan dan gagah seperti laki-laki. Bersama mama dan Mang Wana, mereka bertiga menjadi anak tertua Apih Hada dan sering hampir kena tembak di saat amarah Apih Hada meradang. Adik mama yang ketiga adalah Bibi Harti yang ikut dinas suaminya ke Palembang di Dinas Sosial. Bibi Harti sendiri bekerja sebagai seorang perawat karena dulu pernah mengenyam pendidikan hingga sekolah tinggi keperawatan. Bidang ilmu yang digelutinya adalah kejiwaan. Maka tak heran kalau bibiku yang satu ini tahu banyak mengenai masalah psikologi dan menjadi perawat di panti dinas sosial yang mengatasi orang-orang sakit jiwa. Kelebihan yang dimiliki beliau adalah kemampuan mendengar ucapan beberapa orang yang berbicara kepadanya sekaligus. Beliau adalah satu-satunya anak perempuan kesayangan Apih Hada karena kecantikan yang dimilikinya melebihi kecantikan mama dan Bibi Ridha. Adik mama yang keempat adalah Mang Bagas, anak laki-laki kesayangan Apih Hada yang satu bulan lalu meminta uang satu juta rupiah kepada mama untuk biaya pendidikan AKABRI-nya. Wataknya sangat keras, mudah marah seperti sang ayah. Lalu adik mama yang kelima adalah Mang Ega, adik yang paling shaleh dan sangat rajin membantu pekerjaan para kakaknya. Usianya terpaut 5 tahun denganku. Sejak kecil ia tak pernah diurus oleh Apih Hada. Karena hubungannya sangat dekat dengan Bibi Ridha, ia memutuskan untuk ikut bersama Bibi Ridha dan suaminya. Sedangkan adik mama yang terakhir adalah Mang Rahmat, yang telah kuceritakan nasibnya di atas.
Benar-benar keluarga besar bukan? Ini belum seberapa! Masih banyak keluarga kami yang menyebar di daerah kulon, Leuwiliang, kampung halaman Apih Hada, Bandung tempat neneknya mama, Cianjur tempat para sepupu mama, dan Cirebon tempat keluarga Umi Saripah, kakak dari mendiang nenek yang pernah kutumpangi selama beberapa bulan dulu saat mama masih bekerja di Rindu Alam.
"A Ega!" Mang Rahmat sudah lama ingin mengenal sosok kakak yang terpaut 2 tahun dengannya.
"Bener ieu teh Ade?" (Benar, ini nih Ade?) Mang Ega sedikit ragu.
"Ade ku Teteh candak ti panti asuhan, Eg!" (Ade oleh Kakak ambil dari panti asuhan, Eg!) Mama memberitahukan.
"Alhamdulillah Ya Allah, aku dipertemukan dengan adikku!" Mang Ega mengucap syukur.
"Syukur atuh, ayeuna kulawarga Iis tas keumpeul deui!" (Syukurlah, sekarang keluarga Iis sudah kumpul lagi!) Umi Wati menengahi.
"Muhun Bi, mugi-mugi wae Harti jeung Wana oge enggal uih ka Bogor nya?" (Iya Bi, semoga saja Harti dan Wana juga segera pulang ke Bogor, ya?) Mama menyeka air mata yang membasahi pipinya.
"Duh, ieu barudak teh padahal tadi kapendak di jalan. Tapi teu arapaleun acan ka urang!" (Duh, ini anak-anak padahal tadi ketemu di jalan. Tapi pada nggak kenal sama kami!) Mang Dicky, suami Bibi Ridha mulai bersuara.
Kucium tangan Mang Dicky bergantian dengan Mang Rahmat penuh kesopanan. Kami berdua hanya dapat tersenyum nyengir karena ketidaktahuan kami mengenai mereka saat berpapasan di jalan tadi. Biasanya aku mempunyai daya ingat yang tajam mengenai wajah orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku pada kejadian di masa lalu. Namun karena lampu jalanan yang amat redup membuat penglihatanku sedikit berkurang sehingga aku tidak dapat mengenali mereka dengan jelas.
Dan seperti yang kuceritakan sebelumnya, kebersamaanku dengan Mang Rahmat hanya berlangsung sesaat. Karena kepulangan Bibi Ridha dan Mang Dicky ke Bogor bukan untuk tinggal menetap. Melainkan untuk mendaftar transmigrasi ke Aceh menyusul Mang Wana di sana. Mang Rahmat telah memutuskan untuk ikut serta bersama mereka. Karena Mang Rahmat tak ingin terpisahkan dari Mang Ega, kakak yang usianya teramat dekat dengannya. Mama berusaha keras menahan kedua pamanku itu untuk tinggal bersama kami, namun keduanya sangat keras kepala ingin mengetahui seperti apa tanah Aceh.
"Entoslah De, Ga, di dieu wae sareng Teteh jeung Ugih! Ngarah Ugih aya rencangna!" (Sudahlah De, Ga, di sini saja sama Kakak dan Ugih! Supaya Ugih ada temannya!) Bujuk mama kepada kedua adiknya.
"Ade hoyong ngiring Aa Ega wae!" (Ade mau ikut Kak Ega saja!) Kata Mang Rahmat berkeras pada keinginannya.
#Aa (Bahasa Sunda) : Kakak (laki-laki).
"Karunya Teh Ridha sareung A Dicky, pasti karepotan!" (Kasihan Kak Ridha dan Kak Dicky, pasti kerepotan!) Cegah mama lagi.
"Entos Teh, teu kunanaon! Nyuhungkeun dibantos wae biaya sakolana! Salianna ti eta, Ridha masih keursa milarian kanggo emamna!" (Sudah Kak, tidak apa-apa! Minta dibantu saja biaya sekolahnya! Selain itu, Ridha masih bisa mencari untuk makannya!) Bibi Ridha berusaha meyakinkan hati mama untuk menyerahkan tanggung jawab pengasuhan adik-adik mereka yang masih di bawah umur kepada Bibi Ridha sepenuhnya.
"Tapi Dha, ieu tas amanat almarhumah Umi keur Teteh!" (Tapi Dha, ini sudah amanat almarhumah Ibu untuk Kakak!) Mama pun berpegang teguh pada pendiriannya.
Namun pada akhirnya mama tak berhasil membujuk dan menahan adik-adiknya agar jangan pergi lagi meninggalkan tanah Bogor. Di saat yang bersamaan dengan hari-hari menjelang keberangkatan Bibi Ridha dan Mang Dicky sekeluarga menuju tanah rencong, Apih Hada sengaja menculikku untuk kembali memaksa mama menandatangani surat perjanjian utang-piutangnya dengan Warga Saluyu. Aku dijadikan alat pemerasan. Apih Hada mengancam mama akan membawaku ke Aceh bila mama masih tidak berkenan menandatangani surat perjanjian utang-piutang itu. Aku pikir masalah tersebut telah selesai, namun ternyata nasihat Aki Eben dulu hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri bagi Apih Hada. Dalam hati aku merasa sangat geram kepada kakekku ini. Namun aku tak berdaya untuk melawannya, terlebih beliau adalah ayah dari ibuku. Aku sangat takut sekali kepadanya.
Bibi Ridha dan Mang Dicky yang tidak mengerti apa-apa perihal sangkutan Apih Hada kepada Warga Saluyu, merasa bingung mengapa aku dipaksa ikut ke Aceh bersama mereka semua oleh Apih Hada. Aku sempat bermalam dua hari di lokasi transito tempat pelatihan dan pembinaan para calon warga transmigran.
"Pokoknya selama mama kamu belum menebus hutang-hutangku kepada Warga Saluyu, kamu kutahan dan harus ikut dengan kami ke Aceh! Kalau mama kamu tidak bersedia melunasinya, kamu akan kujadikan gelandangan di pinggir jalan! Akan kusuruh kamu jadi peminta-minta biar orang pada kasihan sama kamu!" Gertak Apih Hada membuatku bergidik ketakutan.
Mang Rahmat dan Mang Ega yang menyaksikan gertakan kakekku itu, turut merasa geram kepada ayah mereka sendiri terlebih karena mereka berdua telah ditelantarkan olehnya selama ini.
"Bapak keterlaluan! Mengapa Ugih harus dijadikan korban? Dia masih anak-anak, Pak! Belum mengerti apa-apa soal masalah Bapak dengan mamanya!" Sentak Mang Ega keras.
"Kurangajar kamu Ega, berani-beraninya berkata kasar kepada ayahmu ini? Tahu apa kamu masalah Bapak dengan kakakmu si Iis itu? Sudah sepantasnya dia berbakti kepadaku dengan melunasi hutang-hutangku!" Maki Apih Hada sambil meraih gagang sapu ijuk guna dipukulkan ke arah pamanku.
"Ega tahu begitu banyak pengorbanan Teh Iis untuk keluarga kita. Selama Ega di Padang, Teh Iis sering mengirimi Ega paket dan uang. Begitu juga dengan Kang Bagas, semua Teh Iis yang membiayai pendidikannya hingga bisa masuk AKABRI. Ade pun Teh Iis yang menebusnya dari panti asuhan. Kurang berbakti bagaimana Teh Iis itu, Pak?" Tantang Mang Ega.
PLAAK!
Sebuah pukulan berhasil mengenai paha Mang Ega. Apih Hada menatapnya dengan mata beringas sangat buas bagai srigala yang ingin menerkam mangsanya. Namun Mang Ega tak gentar untuk terus berkoar.
"Karena itu Ega tidak mau bertahan di sini dan tinggal bersama Teteh Iis. Ega tidak mau selalu merepotkannya. Ega kasihan Teh Iis banyak berkorban demi keluarga!" Tandas Mang Ega lagi.
"Kalau aku tahu kamu dilahirkan ke dunia untuk menentangku, sudah aku bunuh kamu dari dulu Ega! Berani-beraninya kamu melawan pada bapakmu sendiri!" Amuk Apih Hada murka.
"Tidak usah menyesali masa lalu Pak, kalau Bapak mau, silakan cabut nyawaku saat ini juga!" Mang Ega memasrahkan dirinya ke hadapan sang ayah.
Mang Rahmat sangat ketakutan melihat ketegangan di antara ayah, cucu, dan anak ini. Ia bersembunyi di balik punggung Mang Ega yang sedikit lebih tinggi darinya.
"A, kalau Aa dibunuh Bapak, nanti Ade sama siapa?" Desis Mang Rahmat lirih.
"Kamu tidak usah takut, De! Arwahku akan selalu menemani kamu! Akan kulindungi kamu dari kekejaman Bapak terhadapmu!" Hibur Mang Ega tanpa logika.
Aku hanya terbengong-bengong menatap mereka bertiga. Walau takut aku berusaha mencoba untuk tidak menghindar dari Apih Hada yang tak pernah berhenti menatapku tajam. Di tengah perseteruan kami, mama datang pada saat yang tepat. Mama diantar oleh papa, ayah tiriku yang baik hati.
"Pak, Iis ka dieu bade ngajajapkeun artos anu Bapak priyogikeun!" (Pak, Iis ke sini mau mengantarkan uang yang Bapak perlukan!) Mama menyodorkan sekotak kecil berukuran box makanan berisi gepokan uang sepuluh ribuan.
Mata Apih Hada berbinar menatap uang panas yang berjumlah lima juta rupiah itu. Uang dengan jumlah sekian di era 1990 masih terbilang relatif besar. Mungkin setara dengan uang lima puluh juta rupiah pada zaman sekarang. Entah apa yang telah Apih Hada gunakan dengan uang sebanyak itu yang dipinjamnya melalui Warga Saluyu. Besar kemungkinan pinjaman asli Apih Hada tidaklah mencapai sekian, mengingat besarnya nilai bunga yang diberikan oleh Warga Saluyu kepada Apih Hada.
"Ieu masih kurang! Ari maneh moal ngongkosan Bapa ka Aceh?" (Ini masih kurang! Kamu tidak akan mengongkosi Bapak ke Aceh?) Tegurnya penuh keseriusan.
Mama menatap sekilas kepada papa. Papa tidak terlalu paham akan Bahasa Sunda, karena beliau asalnya dari Kota Gede, Yogyakarta. Mama menerjemahkan ucapan Apih Hada kepada papa. Tanpa merasa jengkel sedikitpun papa langsung mengeluarkan dompet dari dalam kantung celananya.
"Ini Pak! Semoga cukup untuk ongkos!" Papa menyerahkan beberapa puluh lembar uang sepuluh ribuan yang berjumlah hampir lima ratus ribu rupiah.
Bukan main girangnya hati Apih Hada bagai mendapat durian runtuh. Andai saja durian runtuh itu benar-benar nyata kuharap beliau tertimpa banyak duri yang menancap di tubuhnya.
"Terima kasih, Nak! Kalau mau memberi Bapak uang, jangan segan-segan ya!" Apih Hada menepuk-nepuk pundak papa.
"Ayo Gih, kita pulang!" Ajak mama padaku.
"Ega, Ade, kalian jaga diri baik-baik ya! Kalau nanti sudah tiba di Aceh sering-sering kirim kabar sama Teteh! Apa yang kalian perlukan selama di sana, minta saja sama Teteh! Insya Allah, akan Teteh kirimkan!" Mama menyisipkan beberapa lembar uang ke dalam kantung celana adik-adiknya bergantian.
"Terima kasih, Teh! Pasti Ega dan Ade bakal sering kirim kabar, mohon doakan ya agar perjalanan kami selamat!" Mang Ega dan Mang Ade berebut memeluk mama.
"Amin!" Timpal mama membalas pelukan mereka.
Lalu mama mengajakku masuk ke dalam mobil yang diparkir di halaman kantor transito. Papa segera mengemudikan kendaraan pribadinya itu dan membawa kami makan di sebuah rumah makan khas Sunda terlebih dahulu. Baru setelah itu kami diantarkannya pulang.
Sebenarnya uang yang diberikan mama kepada Apih Hada tadi adalah sebagian dari tabungan papa untuk membangunkan kami sebuah istana baru di Cimanggu. Sementara rumah kami di Cibungbulang yang telah kami tinggalkan telah papa jual kepada orang lain. Dulu aku merasa sangat betah tinggal di sana. Bagaimana tidak, di desa itu aku mempunyai banyak kawan seumuranku. Masih kuingat dengan jelas nama-nama mereka yang dulu sering bermain denganku di masa kecil : Adi, Resty, Anah, Nani, Bimo, dan Dede. Kawan-kawanku sering mengajakku mandi di Sungai Ciaruteun setiap sore, letaknya hanya beberapa puluh meter di belakang rumahku. Airnya jernih dan dangkal hingga terlihat dasar permukaannya yang dipenuhi bebatuan. Terdapat pula air terjun kecil yang menyembur keluar dari sumber-sumber air di tebing pinggiran sungai. Di antara sejumlah kawan-kawanku itu aku tidak tahu mengapa diam-diam aku sangat sering mencuri-curi pandang ke arah Adi yang dua tahun lebih tua dariku. Dia adalah kakaknya Resty tetangga sebelah rumah Bu Munah, sepupu mama. Di mataku Adi terlihat sungguh ganteng dan tidak banyak berbicara. Kedua orang tua mereka adalah dokter yang membuka praktek di kota. Tiap kali bertemu Adi hatiku selalu mendadak berdebar-debar tak menentu. Aneh, bukankah aku masih terlalu kecil untuk mengalami hal seperti itu?
Kenanganku bersama teman-temanku di Cibungbulang yang tak pernah terlupakan olehku adalah saat Nani salah seorang teman perempuanku dibelikan mini compo oleh ayahnya. Setiap hari ia menyetel lagu-lagu dangdut kesukaannya. Bahkan ia kerap menciptakan koreografi untuk kami tarikan. Setiap hari pula ia memaksa aku dan kawan-kawan lainnya untuk mengikuti gerakan tarian yang dibawakannya di rumahnya. Tubuhnya yang kurus ceking membuatnya leluasa bergerak teramat lincah.
Mabuk lagi... ah... Mabuk lagi!
Judi lagi... Judi lagi...
Kau bawa teman-teman
Hai mabuk bersamamu
Kau ajak teman-teman
Hai judi bersamamu
Lagupun mengalun riang.
"Ayo Sugih, gerakanmu kurang gesit!" Protesnya mengkritik gerakanku.
"Ayo Adi, kamu juga jangan loyo!" Omelnya lagi pada Adi.
Adi hanya membalasnya dengan tatapan bete, sementara aku tertawa cekikikan di sebelahnya. Adi memang tidak suka menari, ia terpaksa memenuhi permintaan Nani karena Resty adiknya terus merengek membujuknya agar ia ikut menari bersama kami. Aku sendiri juga enggan melakukannya. Namun di mana ada Adi di situ pasti ada aku. Adi memang hampir tak pernah tersenyum. Justru karena itulah aku merasa tertarik kepadanya. Tokoh jagoan kesukaannya adalah Batman, sedangkan aku menggemari Superboy. Kami berdua sering bermain adu kekuatan dengan memakai kaos tokoh jagoan masing-masing.
"Ayo, ikuti terus gerakanku! Mabuk lagi..." Nani memberi instruksi seraya berdendang.
"Andai kamu tahu Di, aku juga sedang mabuk oleh paras ketampananmu!" Pikirku saat itu tanpa pernah terungkapkan, menikmati alunan lagu yang membuat pikiranku benar-benar mabuk.
Belum lagi keponakan-keponakan mama, anak Bu Munah. Mereka memiliki keindahan tubuh di atas rata-rata, dan membuatku semakin kerasan tinggal di Cibungbulang ketika itu. Bagaimana tidak, A Yatna dan A Yatman, dua pemuda 18 tahunan seumuran dengan Mang Iyan, sering tidur siang dalam keadaan shirtless di sampingku. Terang saja aku tergoda untuk membelai-belai indahnya dada mereka yang bidang. Yang paling kusuka sebenarnya adalah Aa Yatna, karena selain tubuhnya indah, wajahnya pun cukup good looking bagiku. Sedap dipandang, agak mirip Goro personel boyband asal Jepang : SMAP. Hanya saja sayangnya sikap Aa Yatna sering kelewat kasar padaku. Bila sedang kesal karena kuganggu, tak jarang kepalaku dijitaknya sampai aku memekik kesakitan. Hanya Aa Yatman yang tak pernah marah kepadaku kalau aku mengelus-elus tubuhnya saat dia sedang tertidur pulas. Malah kalaupun tertangkap basah olehnya, Aa Yatman selalu menarik tubuhku untuk merapat ke tubuhnya dan membiarkan tangan-tangan mungilku bergerilya di atas tubuhnya yang indah. Oh betapa jablainya aku ketika masa kecilku dulu. Tetapi bila sedang hangatnya menikmati kebersamaanku dengan Aa Yatman di atas ranjang, seringkali kuteringat kepada Om Kasmin yang dulu sering menemaniku tidur dengan tubuhnya yang bertelanjang dada. Betapa indahnya masa kecilku dulu.
Kini setelah aku pindah ke kota. Tinggal di sebuah pemukiman penduduk yang bernama daerah Cimanggu, aku merasa sangat kesepian. Aku sama sekali tidak memiliki teman. Apalagi Mang Rahmat tidak tinggal menetap bersama kami. Sampai akhirnya kutersadar bahwa selama ini aku memiliki seorang tetangga yang tinggal persis di depan rumah kontrakan kami, juga memiliki anak seumuranku. Namanya adalah Azharry dan akrab kupanggil Ary.
Awalnya aku melihatnya sedang asyik bermain remote control tanpa pernah mengerti mainan apa yang sedang dimainkannya itu. Mengingat selama ini mama tak pernah bersedia membelikanku mainan laki-laki yang sepantasnya kumainkan. Aku hanya dapat mengamati keasyikannya tanpa berani menegur atau menyapanya. Aku benar-benar pemalu.
"Sini Gih, main sama Ary!" Panggil mama Ary padaku.
Aku menggelengkan kepala sungkan.
"Ayo, jangan malu-malu! Main sama Ary di sini!" Bujuknya lagi.
"Ary, ajakin Sugih main donk! Ingat enggak tiap papanya datang, Ary sering dikasih bakmie lho sama papanya Sugih?" Mama Ary mulai membujuk anaknya juga.
Oh, aku benar-benar tidak sadar. Kebaikan hati papa tidak hanya merambah ke tetangga-tetangga kami di Cibungbulang. Ternyata kebaikan hati papa telah dikenal luas juga oleh masyarakat Cimanggu. Terbukti dari perkataan mama Ary tadi yang mengucapkan bahwa keluarga mereka pun selalu kebagian oleh-oleh yang dibawa oleh papa setiap kali papa datang menjenguk kami. Keren Pa, aku salut padamu!
"Ayo, main denganku!" Ary menarik tanganku tiba-tiba.
Tanganku gemetar bukan main. Kemarin aku sempat sedih merindukan sosok Adi yang kusuka di Cibungbulang. Sedih karena aku sudah tidak bisa menemuinya lagi karena jarak yang relatif jauh untuk anak seumuranku telah memisahkan kami. Tetapi apa mau dikata? Semua ini gara-gara ulah Apih Hada! Gara-gara beliau aku jadi harus terpisah dengan Adi yang membuat dadaku bergemuruh sangat dahsyat.
"Terima kasih ya, papamu sering memberiku bakmie kesukaanku!" Ucap Ary tulus membuatku terperangah hingga mulutku menganga lebar.
Aku terbengong-bengong menatapnya, "Tuhan, apa Kau sengaja telah memindahkan wajah Adi ke wajah anak yang sedang berada di hadapanku ini?" Batinku.
Antara senang, kaget, dan juga rindu. Ingin sekali aku memeluk Ary saat itu juga namun entah mengapa tubuhku terdiam terpaku. Mulutku terkatup rapat seakan hanya boleh diam membisu seribu bahasa. Rasanya aku sedang mengalami 'De Javu'. De Javu akan wajah Adi yang telah ditransfer ke wajah Ary. Hanya saja bedanya, sikap Adi sangat dingin kepada semua orang, sedangkan sikap Ary sangat hangat bersahaja.
"Kamu Sugih, kan? Kita main tamiya, yuk!" Ajaknya lagi.
Aku hanya bisa melihat mainan yang dipegangnya kemudian diserahkan olehnya ke tanganku. Ary mengajakku ke sebuah tanjakan depan gang rumah kami. Di sanalah kami meluncurkan tamiya-tamiya koleksi Ary dari atas jalan gang yang miring menurun ke bawah.
"Jangan jauh-jauh, ya sayang!" Pesan mama Ary mengingatkan.
"Iya Bu!" Sahut Ary kalem.
Ups! Kupikir Ary memanggil ibunya dengan panggilan 'mama', ternyata ia memanggilnya dengan sebutan 'ibu'.
Keluarga Ary berasal dari Makassar. Sebenarnya mereka termasuk keluarga berada, hanya saja rumah yang dibangun oleh ayah Ary di daerah Loji-Bogor Barat saat itu belum rampung. Maka Ary sekeluarga mengontrak di depan rumah kontrakan kami. Mereka adalah keluarga harmonis yang menurutku patut dicontoh oleh keluarga-keluarga lainnya di Cimanggu. Bagaimana tidak, bila mama Ary membuat kue, tetangga satu RT pun mendapat jatah satu piring darinya untuk setiap rumah. Semua anak Pak Husni, begitulah nama ayahnya Ary, sangat patuh dan tidak pernah membantah kepada perkataan Pak Husni dan Bu Husni. Keluarga ini terlihat sangat rukun, tenang, tenteram, dan damai di mata para tetangga lainnya.
Sejak pertama mengenalnya aku langsung jatuh hati karena wajahnya sangatlah mirip dengan wajah Adi yang kusukai. Matanya sayu, itulah yang kusukai dari Adi. Dan seperti sebelumnya saat aku berkawan dengan Adi dulu, ke mana Ary melangkah aku pasti ikut bersamanya. Hari-hari kami selalu dipenuhi keceriaan berdua. Hingga makan, tidur siang, mandi, dan mengaji pun pergi berdua. Aku tidak pernah mempertanyakan kepada hatiku sendiri mengapa aku memiliki rasa ketertarikan sesama jenis seperti ini. Hidupku benar-benar enjoy tanpa beban. Mungkin karena saat itu aku masih anak-anak, belum bisa memikirkan hal-hal asmara lebih matang.
Sikap Ary sangat baik kepadaku. Dia sering menjadi pelindungku di saat aku sedang diganggu oleh anak-anak berandalan di RT kami. Adalah Oman, Yusuf, Teguh, dan kawan-kawannya, sebuah genk yang sering mengganggu anak-anak yang tak pernah bermain dengan mereka. Tingkah mereka sangat liar dan nakal, sering melempari jemuran pakaian milik tetangga dengan lumpur hingga menjadi kotor, melepas pentil motor milik orang yang sedang diparkir di tepi jalan agar ban motor tersebut kempes, memasukkan kaca beling ke dalam sepatu orang-orang yang sedang bertamu di rumah mereka, mencuri gorengan di warung Umi Titi tetangga kami yang sudah tua saat keadaan warung sedang sepi, melempari kaca rumah orang dengan batu, merusak tanaman peliharaan orang, memasukkan sampah ke dalam kolam ikan di depan rumah orang, dan masih banyak lagi kenakalan lainnya yang mereka perbuat hingga sangat meresahkan warga RT kami.
BRUGH!
Tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja Oman menengkas kakiku dari belakang hingga aku terjatuh ke tanah. Aku meringis kesakitan karena lututku terluka.
Kutolehkan pandanganku ke belakang menatapnya. "Apa-apaan ini?" Pekikku pada si anak berandal.
"Itu imbalan buat anak sombong yang nggak pernah gaul sama kami! Jangan sok kaya deh lu, mentang-mentang bapakmu punya Mercy dan suka bagi-bagi makanan ke semua tetangga! Rumah masih ngontrak juga!" Ucapnya sengit.
Demi Tuhan, aku tak pernah pandang bulu dalam bergaul. Apalagi sampai merasa sok tajir akan kekayaan yang dimiliki papa, ayah tiriku. Aku memang kelewat pemalu dan kuper sehingga tidak banyak teman yang kumiliki.
Belum sempat aku bangun berdiri, Oman sudah menduduki tubuhku dan meninju wajahku.
"Elu harus tahu semua wilayah Cimanggu ini adalah daerah kekuasaanku! Jadi elu jangan ngerasa sok hebat di daerah ini kalo enggak mau gue gibas!" Ancamnya.
"Hey, jangan main kasar!" Teriak Ary melerai tubuh Oman dari atas tubuhku.
"Lu mau gue hajar juga?" Oman merasa risih atas perlakuan Ary.
"Tiap hari kalian main cuma berdua! Jangan-jangan kalian itu pacaran ya?" Cibir Oman sambil melayangkan tinju ke arah Ary.
SRET!
Ary berhasil menangkisnya. Padahal Ary masih anak TK nol besar sama sepertiku. Sedangkan Oman sudah kelas 3 SD. Sebenarnya umur Oman sudah mencapai 11 tahun, seharusnya dia sudah duduk di kelas 5 SD tetapi memang dasar otaknya bebal plus ditambah dengan kenakalan yang sering diperbuatnya maka tak jarang dia tinggal kelas di sekolahnya, sampai akhirnya iapun diberhentikan oleh pihak sekolah. Anehnya dia sering mengusik anak-anak seumuranku dan Ary. Seakan tak tenang hidupnya bila belum mengganggu kami. Tubuhnya memang kecil sebesar tubuh kami, tetapi biar kecil dia sangat lincah dan gesit seperti kancil. Karena itulah dia suka berteman dengan anak seumuran kami yang dijadikannya sebagai anak buah. Sedangkan anak-anak yang tidak mau berteman dengannya dianggapnya sebagai musuh, dan dia menjadi sok jagoan.
"Jangan ngawur! Kita kan masih kecil!" Ary mendorong tubuh Oman agar menjauh dari kami.
"Bangun Gih!" Titahnya padaku.
Aku segera bangkit dan berdiri di belakangnya.
"Berani lu berdua nantangin gue?" Oman berkacak pinggang sambil menunjuk-nunjuk wajah kami.
"Ayahku bilang berani karena benar, takut karena salah!" Ary tak gentar. Gayanya benar-benar keren.
Oman langsung mengerahkan teman-temannya untuk mengepung dan mengeroyok aku dan Ary. Kawanan Oman berjumlah 5 orang, sedangkan kami hanya berdua, tentu perlawanan sangat tidak seimbang. Ary menghalangi tubuhku agar tidak terkena pukulan Oman dan kawanannya. Kami berjuang mati-matian agar bisa keluar dari kepungan mereka, namun sia-sia. Perlawanan kami hanya membuang tenaga saja. Wajah Ary lebam-lebam kebiruan, hidungnya berdarah, dan salah satu giginya tanggal akibat pengeroyokan itu.
Kalau saja Aa Engguh ustadz yang sering mengajari kami mengaji, tidak lewat waktu itu, mungkin akupun sudah habis babak belur dipukuli mereka.
"Hentikan!" Teriak Aa Engguh lantang membuat Oman dan komplotannya kabur kocar-kacir seperti kawanan kancil diburu harimau.
"Kalian tidak apa-apa?" Tanya ustadz kami yang baik hati itu.
"Ary terluka A!" Jawabku menopang tubuhnya agar tidak jatuh.
"Akan saya laporkan mereka kepada orang tuanya masing-masing!" Janji Aa Engguh pada kami sambil menggendong Ary di punggungnya.
Aku sangat takut sekali kalau kedua orang tua Ary akan berubah membenciku karena telah menyebabkan Ary terluka berat. Ternyata di luar dugaan Pak Husni dan Bu Husni malah merasa bangga karena anak lelaki mereka telah bersikap layaknya seorang pahlawan.
"Kamu tidak apa-apa, Gih?" Bu Husni malah mencemaskan keadaanku.
Aku menggeleng sedikit takut. Takut beliau akan marah kepadaku. Disentuhnya pipiku yang lebam sama seperti Ary.
"Duh, lutut kamu berdarah tuh!" Serunya memapah tubuhku masuk ke dalam rumah.
"Coba tadi Ibu melihat perkelahian kalian, pasti seru sekali dan sangat menegangkan seperti adegan-adegan perkelahian di film India yang sering Ibu tonton!" Lanjutnya lagi. Tangannya sibuk menetesi obat merah ke atas luka di lututku.
GUBRAK!
Mamanya Ary ini kocak banget, sih! Aku pikir beliau akan mengomeli kami habis-habisan karena kami telah berkelahi. Tapi ternyata beliau malah ingin menyaksikan perkelahian kami. Hadeuh!
Sejak saat itulah aku menganggap Ary sebagai sahabatku satu-satunya. Meskipun diam-diam dalam hati aku memendam perasaan suka kepadanya karena parasnya yang mengingatkanku kepada Adi. Walaupun tubuh Ary tak setinggi Adi, atau sikap Ary tak sedingin Adi, rasa rinduku kepada Adi terbayarkan sudah hanya cukup dengan memandangi Ary saja.
"Ry, ayo kita bermain kuda-kudaan!" Ajakku pada Ary dengan tangan menggenggam pisau hendak memotong pelepah daun pisang.
"Maaf Gih, aku tidak bisa. Kami sekeluarga sedang sibuk mengemas barang. Besok kami akan pindah ke Loji!" Jawab Ary menolak ajakanku.
DEGH!
Hatiku benar-benar kaget mendengar kabar tersebut. Kupikir tidak lama lagi kami akan masuk SD, dan kami akan satu sekolah bersama. Kupikir selamanya kami takkan pernah terpisahkan. Tapi kenyataan berkata lain. Hari itu kami benar-benar harus dipisahkan oleh keadaan. Tuhan, adilkah ini untukku? Selama ini aku sudah sangat kesepian. Aku tidak mempunyai kawan, lantas Kau sengaja memisahkan aku dengan Ary?
"Mengapa harus pindah Ry? Kamu tidak betah di Cimanggu?" Tanyaku murung.
"Bukan tidak betah, Gih. Rumahku bukan di sini, tapi di Loji!" Sahutnya gamblang.
Sikap Ary memang lebih dewasa dari usianya. Aku hanya diam termenung mengamati kesibukan Ary mengemasi barang-barang miliknya.
"Gih, mobil tamiya ini untukmu, simpan baik-baik ya!" Pintanya menyerahkan salah satu koleksi mainan kesayangannya.
Aku sama sekali tidak merasa senang akan mainan pemberiannya meskipun dulu aku sangat berharap mama berkenan membelikannya untukku.
"Akan kusimpan baik-baik pemberianmu ini!" Ucapku setenang mungkin.
Dalam hati sebenarnya aku terus berteriak, "Ary, tolong jangan pergi! Jangan pernah tinggalkan aku!"
Sepanjang hari itu kuhabiskan waktuku membantu Ary mengemasi barang-barang pribadinya. Setelah kami selesai membereskan barang, kami menghabiskan waktu berdua duduk di tepi sungai sambil melempar-lempar batu kecil ke dalam sungai, berlomba batu siapa yang dilempar paling jauh dan gelombang siapa yang lingkarannya paling besar setelah batu-batu itu berhasil kami lemparkan.
"Gih, kamu kok tidak bersemangat hari ini?" Tanya Ary melemparkan batu di tangannya sejauh mungkin.
"Bagaimana tidak bersemangat, aku akan kehilangan kamu! Hanya kamu satu-satunya temanku di sini, Ry!" Tegasku.
"Jangan sedih, Gih! Besok kamu ikut aku pindah ya? Supaya kamu tahu rumahku!" Pintanya kemudian.
Aku mengangguk lesu. Keesokan paginya aku menunaikan permintaan sahabat tercintaku yang telah setia menemaniku selama satu tahun itu. Banyak sekali kenangan indah antara kami berdua yang takkan pernah kulupakan. Dialah sahabat pertamaku di dunia. Karena dia selalu menguatkan perasaanku ketika aku sedang bersedih, terlebih bila aku sedang mempunyai masalah dengan mama atau saat aku sedang diganggu oleh genknya Oman yang berandalan.
"Kamu harus bisa melawan Oman dan teman-temannya meskipun tidak ada aku! Jangan pernah mau ditindas oleh mereka!" Pesan Ary pada hari terakhir pertemuan kami.
Aku mengangguk mengiyakan perkataan Ary.
Hari ini karena mama sangat sibuk menjahit di rumah, mama tidak bisa mendampingiku mengantar kepindahan Ary dan keluarganya. Untunglah ada Umi Wati selaku Ibu ketua RW yang meluangkan waktunya untukku. Aku sangat berterima kasih kepadanya karena berkatnyalah aku bisa mengantar Ary pindah ke rumahnya yang baru di Loji.
"Ry, maaf aku tidak bisa memberimu apa-apa!" Kuserahkan sebuah boneka uwa-uwa berbulu kuning kepada Ary.
"Lho, ini kan..." Suara Ary terputus.
"Itu memang boneka, bukan untuk kamu! Tapi untuk Astari adikmu! Kuharap kamu akan selalu ingat padaku di saat kamu melihat adikmu memainkan boneka ini!" Ucapku tergugu.
"Lalu, apa yang akan kamu berikan sebagai kenang-kenangan untukku?" Pintanya penuh harap.
Aku menoleh kanan dan kiri. Suasana sangat sepi, tidak ada orang di sini. Kami sedang bermain di sebuah lapangan tenis dekat rumah Ary. Buru-buru aku mengecup pipi kanan Ary seraya mendekapnya erat. Ary hanya diam tak memberikan perlawanan.
CUP!
"Ary, aku harap kamu tidak akan pernah melupakanku!" Ucapku malu-malu seusai mengecup pipi kanannya.
Ary memegangi sebelah pipinya itu tanpa memberikan reaksi apapun terhadapku. Mungkin ia merasa bingung, janggal, dan aneh. Tapi aku ingin ia mengerti kalau itulah pemberianku untuknya agar ia selalu teringat kepadaku.
"Gih, ayo kita pulang!" Terdengar suara Umi Wati memanggil dari kejauhan.
Aku segera bergegas menghampiri. Ibu Husni mengajak Ary untuk mengantar kami ke tepi jalan raya.
"Sering-sering main ke sini ya, Gih!" Ucap Bu Husni melambaikan tangannya kepada kami saat kami masuk ke dalam angkot.
"Daah Sugih!" Ary turut melambaikan tangannya.
Di saat itulah genangan air mata mulai basah membanjiri pelupuk mataku. Tangiskupun meledak seketika di dalam angkot. Aku benar-benar merasa kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku.
"Huaaaa... Ugih gak mau pisah sama Ary, Umi!" Isakku menelungkupkan kepalaku ke atas pangkuan Umi Wati.
"Iya, Umi tahu kalian berdua bersahabat akrab! Kalian berdua memang tidak dapat terpisahkan, kamu jangan sedih ya, Gih! Kapan-kapan kita bisa bertandang ke sini lagi!" Hibur Umi melontarkan janji manisnya padaku.
"Ugih gak bisa jauh dari Ary!" Suaraku sesenggukan.
"Iya, iya, Umi tahu itu!" Umi Wati membelai-belai kepalaku.
Saat itu aku masih menjadi satu-satunya cucu Umi Wati, sekaligus cucu kesayangan Aki Eben. Karena mereka berdua belum memiliki satupun menantu mengingat anak-anaknya masih bersekolah di SMP dan SMA. Hanya Mang Iyan satu-satunya anak mereka yang baru lulus SMA.
"Sekarang siapa lagi sahabat Ugih?" Tanyaku pada Umi Wati.
Umi Wati hanya menyunggingkan seutas senyuman. Orang-orang di dalam angkot terheran-heran memandang ke arah kami namun kami sama sekali tak peduli.
:::::Akan terus kulanjutkan!:::::
Waduh Bro nasibmu kok malang banget ya. Tapi sekarang tidak pernah diusir lagi kan? Pasti sekarang sudah punya rumah sendiri ya?