It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
I still love you... kalo kata si Amir, huanjirrr so sweet amir! :P
tempat2nya.. jgn2 tetangga sepupu saya kang..
ato mgkn msh sodara.. (paling ga sm kluarga sepupu yg di bogor).
mesti tnya 2 sepupu nih..
btw si akang SMP nya dmn?
and true story
grazie
@solous
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@beepe
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@siapacoba
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@eswetod
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
@solous
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@beepe
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@siapacoba
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@eswetod
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
::::::::::::::Inilah Perpisahan Kita, Kawan!::::::::::::::
Bogor, 1997-1998 (Kelas 6 SD)
Betapa sulit bagiku untuk mencoba mengenyahkan Ary dari pikiranku. Sikap kalemnya yang kelewat cuek dan jarang berbicara selalu membuat hatiku kebat-kebit. Setiap ia berada di dekatku, ragaku serasa terbang melayang tinggi ke angkasa biru nan luas. Ia sering tiba-tiba merangkul bahuku atau menarik tanganku tanpa sepengetahuanku dan membuat jantungku berdebar-debar. Terkadang aku merasa iri kepada Ryan karena ia sangat beruntung bisa satu sekolah, satu kelas dan duduk berdua dengan Ary. Ke mana-mana mereka selalu pergi bersama. Bahkan di saat-saat aku dan Anton sedang sama-sama sibuk, mereka malah asyik bermain hanya berdua. Aku heran mengapa sejak kepulangan Ary dari Filipina, Ryan tidak pernah sesibuk dulu lagi. Ia selalu menyempatkan waktunya untuk Ary. Padahal tidak lama lagi kami akan menghadapi EBTANAS. Ryan dan Ary sama sekali tidak merasa terbebani oleh ujian kelulusan nanti. Tidak sepertiku yang sangat cemas dan selalu berharap semoga kelak di SMP nanti kami dapat melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama.
Apa yang menyebabkanku lebih menyukai Anton dan Ary ketimbang Erfan? Simple! Aku lebih suka orang tegas yang bisa mengambil keputusan daripada orang yang mencla-mencle! Anton dan Ary adalah dua orang yang memiliki kepribadian hampir sama, mereka selalu mengambil keputusan secara cepat tanpa harus berpikir lama karena takut akan suatu resiko. Sedangkan Erfan terlalu penakut dan banyak pertimbangan dalam mengatasi suatu masalah. Seperti saat dia dikejar-kejar oleh Jefri dulu. Benar-benar tak bisa bersikap dewasa. Itulah yang menyebabkanku tidak begitu menyukainya.
Di balik semua anganku akan Ary, aku masih memiliki harapan yang terkadang membuatku semakin bersemangat dalam menjalani hari-hariku. Setiap pagi saat aku membuka jendela-jendela dan pintu lantai atas rumahku, aku selalu dapat melihat senyum cool Ary tengah berjemur matahari di beranda loteng rumahnya seraya membidikkan tangannya seakan ingin menembakku. Rumah Ary terhalang oleh satu buah rumah di depan rumahku. Tapi untunglah rumah yang menghalangi rumah kami itu tidak tingkat dua seperti rumah kami. Sehingga beranda loteng rumahku masih bisa berhadap-hadapan dengan beranda loteng rumahnya. Kubalas bidikannya itu dengan gerakan yang sama seolah jempol dan telunjukku telah menjelma menjadi sebuah pistol. Ia telah berseragam sekolah dan bersiap akan menyamperku. Biasanya kami berangkat sekolah bertiga bersama-sama dengan Ryan. Walau berbeda sekolah, namun tujuan kami searah. Sambil berjalan kaki menempuh perjalanan menuju sekolah, kami selalu bercanda bersama. Sepulang sekolahpun mereka sering menungguiku di gerbang sekolah untuk kembali pulang bersama. Lalu biasanya kami berkejar-kejaran berlomba untuk mencapai jembatan Cigede lebih dulu. Di sanalah biasanya kami mengadakan perlombaan kencing paling cepat dan paling panjang jangkauannya dari atas jembatan. Tak jarang kami bertiga kena omelan bila ternyata di bawah jembatan terdapat sekelompok orang yang sedang mengumpulkan pasir di dasar sungai. Mungkin itulah kenakalan kami semasa SD, tetapi sekaligus menjadi momen saat-saat yang membahagiakan bagiku.
Bila sedang senggang Ary kerap berkunjung ke rumahku menjelang maghrib. Dia sangat senang menatap langit dari atas beranda rumahku, karena rumahku menghadap ke barat sehingga dapat melihat pemandangan sunset yang indah menyinari langit senja. Sebenarnya beranda loteng rumahku sangat luas dan menghadap ke tiga penjuru : utara, timur, dan barat. Di beranda yang menghadap ke arah timur, kami dapat melihat bukit pemukiman penduduk kampung seberang, Bubulak, tempat di mana aku bersekolah. Dari bukit kampung seberang itu rumahku terlihat bak sebuah vila mewah seperti di Puncak. Biasanya ketika menanti sunset tiba aku dan Ary menghabiskan waktu melukis bersama sambil sesekali berbalas puisi yang kami lantunkan.
Andai awan itu biru...
Mungkinkah langit malam
selamanya akan kelam?
Menghapus relung-relung
Jiwa yang sunyi dan tenggelam
Oleh lena dan asa yang terpendam
Menghantarkanku kepada kebisuan
Agar purnama selalu terang
Dan tak pergi meninggalkan
Para insan yang mencintainya...
Bila awan itu benar biru
Bolehkah aku duduk di sana?
Memangku purnama
Agar tak pernah pergi selamanya...
Begitulah syair yang pernah diucapkan Ary dan kuingat dalam sanubariku yang terdalam juga kucatat dalam sebuah buku agenda catatan harianku yang masih kusimpan hingga saat ini. Lalu kubalas syairnya itu dengan sebuah syair yang terlintas begitu saja dalam pikiranku.
Wahai Pangeran Kelana
Tiada indah purnama bila ia hilang
Larut dan terlena oleh jiwa-jiwa
Yang gundah gulana
Tak pernah terbayangkan pula
Mengapa awan biru itu engkau damba?
Sedang langit indahnya tiada terkira...
Dan bintang turut mempesona
Kiranya sungguh
Engkau ingin memangku purnama
Bolehkah aku turut serta?
Agar kita dapat menjaganya bersama!
Ary tersenyum mengembang dan kembali membalas puisiku, aku hanya memperhatikannya sekilas karena kami duduk di lantai saling membelakangi sibuk membenahi lukisan kami masing-masing di atas lembaran buku gambar berukuran A3. Angin sore yang kencang membuat rambut kami berkibar-kibar namun udaranya sangat sejuk sekali.
Bantulah aku menguntai bintang
Menjadi sebuah rantai
Yang dapat mengikat bulan
Agar cahayanya tak pernah padam
Menerangi gelapnya malam...
Dan bila pagi menjelang,
Biarkan awan tetap biru!
Meski langit warnanya sama
Namun tak mengapa...
Kita kan tetap duduk di sana
Menjaga purnama hingga malam
Kembali tiba...
Aku benar-benar melting mendengar lantunan puisi yang diucapkannya. Ary sangat puitis di balik sikapnya yang cenderung pendiam. Erfan yang kerap mengikuti lomba cipta puisi di setiap event PORSENI saja tak pernah sepuitis ini. Bagiku orang yang gemar mendeklamasikan puisi adalah orang yang teramat romantis. Salahkah aku berharap kepada Ary?
"Ry, mana gambar lu?"
Ary menutup buku gambarnya rapat-rapat.
"Woy, cat airnya kan masih basah! Nanti buku gambar lu malah jadi kotor," seruku padanya.
Kutarik merebut buku gambar A3 dari pegangannya secara paksa. Mataku sukses melotot begitu berhasil menangkap gambar langit yang dilukisnya.
"Kok awannya biru?"
"Gua salah ngewarnain tadi!" Katanya menarik kembali lukisannya yang kurebut.
"Oalah pantesan lu nyebut-nyebut awan biru terus dari tadi. Jadi gara-gara salah ngewarnain lukisan ya?"
Ary cengengesan kecil.
"Emangnya lu gambar apaan?"
"Rahasialah!"
"Licik lu! Sini gua bantu ngewarnain lukisan elu!" Ary mengangkat kuasnya ke arahku.
"Eh, gak bisa! Biar gua sendiri aja yang ngerjainnya!"
"Sini!"
"Jangan, Ry!"
"Alah, gak usah malu-malu gitu deh!"
"Resek banget sih lu!"
"Biar resek tapi tetap ganteng!"
Alamak! Saking serunya kami berebut tanpa sadar tangan-tangan kami telah perang kuas menyerang wajah lawan satu sama lain. Alhasil wajahku cemong-cemong dibuatnya. Demikian pula dengan wajah Ary, kotor habis penuh dengan coretan yang kubuat. Lantas kami pun tertawa bersama terbahak-bahak penuh kelucuan. Mungkin itulah momen paling romantis antara aku dan Ary.
***
Seperti amanat yang pernah disampaikan oleh Apih Hada sebelumnya, mulai kelas 6 ini aku akan berguru kepada adik Apih Hada yang bernama Umi Ating di luar jam sekolahku. Seminggu dua kali Umi Ating berkunjung ke rumahku untuk memberiku pelajaran Bahasa Inggris, wawasan nusantara dan ilmu pasti, di samping mengajariku mengaji mengingat aku sudah khatam Al-Qur'an di surau Mbah Empay, sehingga aku sudah tidak diperkenankan lagi mengaji di tempat beliau. Tetapi Umi Ating selalu mengujiku ilmu tajwid yang kurasa belum terlalu kukuasai. Walaupun sudah khatam Al-Qur'an di surau Mbah Empay, aku tidak pernah tahu hukum bacaan ilmu tajwid, sebab beliau tidak pernah menerangkan ilmu tersebut secara teori. Melalui Umi Ating-lah aku mulai paham apa yang dimaksud dengan ikhfa, idgham, dan idzhar. Dalam sekali pertemuan biasanya aku belajar dengan Umi Ating berkisar antara 3 sampai 4 jam. Dimulai setelah makan siang sepulang sekolah dan shalat dzuhur sampai selepas ashar. Hampir setiap akhir pekan pada hari Sabtu aku bergantian mengunjungi beliau di Leuwiliang. Aku pergi ke sana dengan menaiki angkot.
Umi Ating adalah sosok nenek yang cerewet, banyak memberikan nasihat namun juga tegas. Beliau sangat fanatik terhadap agama dan sangat sering menjadi penceramah di berbagai pengajian. Aku tidak hanya belajar ilmu eksakta, mengaji, dan Bahasa Inggris kepada beliau, tetapi juga termasuk membangun rasa kepercayaan diri yang kumiliki. Karena aku sejatinya adalah orang yang pemalu. Aku sangat sulit tampil di depan umum. Maka Umi Ating juga sering memberiku dorongan dan motivasi agar aku tidak grogi saat aku tampil di hadapan orang banyak.
Umi Ating sangat marah bila melihat orang di rumahnya enggan melakukan shalat. Maka sebagai ganjarannya beliau akan membawakan sapu lidi untuk menyabet siapapun itu yang tidak mau melakukan shalat, termasuk para mahasiswi yang 'in the cost' di rumah beliau. Sejak suami beliau meninggal, Umi Ating membuka kos-kosan putri di rumahnya. Ada sekitar 3 orang mahasiswi yang ngekos di sana, dan setiap kali aku berkunjung ke sana aku pasti sering menjadi sasaran cubit oleh mereka bertiga.
"Umi, cucu Umi ini kok lucu banget sih? Kaya Clark Kent si Superboy!" Salah seorang anak kos Umi Ating mencubit pipiku dengan gemas.
Oho... Ternyata bukan Erfan saja yang mengatakan kalau aku ini mirip dengan tokoh idolaku itu. Mungkin karena aku berkacamata seperti Clark Kent jadinya aku dikatakan mirip dengannya.
"Hush, sebagai muslimah yang baik haram hukumnya menyentuh lawan jenis yang tidak sedarah dengannya!" Umi Ating mengingatkan.
"Tapi kan cucu Umi ini masih anak-anak!" Anak kos Umi Ating membela diri.
"Sebentar lagi cucu Umi ini akan memasuki usia baligh, jadi kalian sudah bukan muhrim!" Tegas Umi Ating.
"Iya deh Umi, maaf kalau gitu," Anak gadis itupun berpamitan dari hadapan kami.
Setiap kali berkunjung ke Leuwiliang, aku pasti selalu menyempatkan diri ke Cibungbulang-Ciaruteun dan bermalam di rumah Bu Munah, sepupu mama. Aku sengaja menginap di Ciaruteun karena aku selalu rindu kepada Adi, kakaknya Resty yang pernah kutaksir dulu. Sekarang Adi sudah SMP. Awalnya aku hanya mengintipnya di kejauhan. OMG! Semakin beranjak besar, wajah Adi terlihat semakin cute dan ganteng. Aku suka sekali gaya rambutnya yang sederhana dan tidak pernah berubah sejak kami masih kecil dulu. Matanya pun masih sayu seindah senyumannya. Setelah beberapa kali memandanginya dari kejauhan, aku memutuskan untuk tidak menghampirinya sama sekali karena terus terang aku merasa sangat canggung untuk bertemu dengannya. Tapi di luar dugaan, pada akhirnya aku tetap harus bertemu dengannya. Semua berkat Bu Munah.
"Gih, nuju naon di dinga?" (Gih, lagi apa di situ?) Bu Munah menepuk pundakku membuat aku terkejut setengah mati.
"Eeh Ibu, teu nuju nanaon Bu!" (Eeh Ibu, enggak lagi apa-apa Bu!) Kataku berbohong.
Bu Munah turut menilik ke arah Adi yang sedang kuintip di balik rimbunnya dedaunan pohon jambu bangkok di halaman rumahnya. Rumah Adi memang berada persis di sebelah rumah Bu Munah.
"Oh, nuju ningalikeun si Adi nya? Cig atuh samperkeun!" (Oh, lagi ngeliatin si Adi ya? Udahlah samperin!) Titah Bu Munah kalem dengan logat Sunda Bogor kulon yang terdengar seperti kaset kusut.
Aku menggeleng, "Isin ah, Bu!" (Malu ah, Bu!)
Bu Munah menautkan kedua alisnya, "Isin kunaon? Apan kapungkur Ugih sok ameng duaan wae sareng si Adi." (Malu kenapa? Kan dulu Ugih suka main berdua saja sama si Adi.)
"Adi... Adi... Ngapain main sendiri di situ? Sini, ada Sugih lho! Masih ingat enggak?" Tiba-tiba saja Bu Munah memanggil Adi.
Adi hanya menoleh sekilas. Tak lama, iapun berjalan ke arahku.
"Ini lho, Sugih yang pernah tinggal di sebelah situ waktu TK dulu. Ingat enggak?" Tanya Bu Munah lagi.
Adi tak mengeluarkan suara tapi ia mengangguk pelan.
"Hai..." Sapaku malu-malu menyalaminya.
Adi tersenyum simpul dengan gaya coolnya. Errgh, ingin sekali aku memeluknya menumpahkan kerinduan yang selama ini kupendam setelah lebih dari 5 tahun tak bertemu. Oh Adi... Kamu ganteng banget sih? Dadaku berdebar-debar kencang.
"Sudah ya, kalian berdua pergilah main sana!" Titah Bu Munah sambil meninggalkan kami masuk ke dalam rumahnya.
Adi kemudian mengajakku ke sungai tempat di mana dulu kami sering menghabiskan waktu bersama. Sungai Ciaruteun airnya masih jernih seperti dulu, banyak bebatuan besar dan halus bertebaran di sepanjang sungai menjadi tempat untuk bersantai bagi siapapun yang ingin melepas penat di sana.
"Sekarang sudah jadi orang kota, penampilan kamu jauh berubah," Adi membuka percakapan di antara kami setibanya kami di sungai.
Suaranya telah berubah, mungkin karena ia telah mengalami pubertas. Lama kuperhatikan di lehernya telah muncul jakun sekarang. Wajar saja, Adi kan sudah kelas 2 SMP.
"Memang apa bedanya penampilanku dulu dengan sekarang? Apa karena sekarang aku memakai kacamata?" Kuiringi langkahnya bersamaan.
"Bukan itu aja sih, tapi logat bicara kamu juga sudah tidak seperti orang-orang di sini! Gaya pakaian kamu juga, sama seperti yang sering kulihat di majalah fashion anak-anak!" Beber Adi rinci.
"Di Bogor, aku sudah hampir enggak pernah ngomong Sunda, Di. Kamu kan tahu papa tiriku bukan orang Sunda. Malahan sama teman-temanku di sekolah maupun di rumah aku ngomongnya pakai bahasa gaul, gua-elu gitu manggilnya. Kalau soal pakaian sih, semuanya papa yang belikan," sahutku memberikan keterangan.
"Oh, mama kamu udah bosan ngejahit baju cewek buat kamu ya?" Adi mengangkat kedua alisnya bersamaan.
"Ah, kamu ingat aja soal itu, Di. Itu kan karena dulu mamaku kepengen punya anak cewek. Alhamdulillah, doa mamaku sudah terkabul. Sekarang aku punya adek cewek. Jadi mamaku udah nggak pernah minta aku sebagai modelnya lagi buat ngejahit gaun cewek," ungkapku sedikit tengsin.
"Jadi sekarang kamu punya adek cewek? Wah, sama dengan aku donk! Tapi punya adek cewek itu nyebelin, bikin repot. Manjanya minta ampun!" Keluh Adi memutar kedua bola matanya. Mimiknya benar-benar lucu membuatku gemas melihatnya.
"Oh, gitu ya? Adekku masih kecil sih, aku malah sayang banget sama adekku itu. Soalnya adekku cantik, montok, dan ngegemesin!" Responku spontan.
Adi mendesah, menarik napas panjang. "Gih, kaya apa sih rasanya tinggal di kota? Pasti enak ya? Bisa ke mall setiap hari," tanya Adi melemparkan kerikil-kerikil dalam genggamannya.
"Ah, enggak juga! Biasa aja. Aku malah jarang juga pergi ke mall. Paling cuma mama yang pergi belanja," kataku berterus terang.
"Di mall kan enggak mesti belanja Gih, kan banyak arena permainan game kaya dingdong gitu!"
"Aku enggak suka main dingdong, Di. Sebentar lagi kan aku mau EBTANAS. Makanya setiap hari Sabtu aku ke sini supaya bisa mengikuti les sama Umi Ating di Leuwiliang!" Timpalku.
"Payah ah kamu, Gih. Di kota kan enak, apa-apa serba ada. Malah ikut les di kampung!" Seru Adi mencibir.
"Eh, ngomong-ngomong kamu udah ada cewek belum?" Tanyanya kemudian.
"Ih Adi, kamu ngomong apaan sih? Kita kan masih ABG, masak ngomongin soal cewek?" Kuayunkan kakiku bergantian di dalam air sehingga air sungaipun bercipratan mengenai wajah kami.
"Wajarlah Gih, kita kan sama-sama cowok. Masak mau ngomongin soal cowok juga? Biarpun ABG, di sekolahku banyak kok yang sudah pacaran!"
DEGH!
Tiba-tiba saja aku merasa sangat cemas. Jangan-jangan Adi sudah...?!
"Kamu mau lihat foto cewekku, enggak?" Tawarnya mengeluarkan dompet dari celana jeansnya.
Tuhan! Tubuhku mendadak lemas seketika. Benar saja dugaanku barusan. Ternyata Adi sudah memiliki pacar. Betapa remuk hatiku mendengar pengakuannya, sampai akhirnya aku tak mendengar apa-apa lagi setiap kata yang terucap di bibirnya. Baru saja persahabatan kami dimulai kembali, tapi aku harus langsung mengalami patah hati oleh orang yang pernah kusukai dan sekarangpun masih tetap suka. Mungkin ini teguran dari Tuhan agar aku tidak menjadi orang yang kemaruk akan cinta. Tidakkah aku sudah memiliki Anton saat ini? Belum lagi Ary Wibowo yang selalu terkesan memberi harapan kepadaku, meski kelihatannya Ary tidak sama sepertiku.
"Gih, kamu kok ngelamun?" Adi mengguncang-guncang lenganku.
"Oh, eh, apa Di?" Tanyaku.
"Kita nyebur yuk!" Ajaknya sembari menarik tanganku ke dasar sungai.
Entah sejak kapan Adi telah menanggalkan kaus yang dipakainya. Tahu-tahu begitu aku tersadar dari lamunanku, Adi hanya mengenakan celana hawaii pendek. Tubuhnya terlihat seksi seperti Anton. Kulitnya kuning sama sepertiku, namun aku enggan melepas pakaian yang kukenakan. Aku malu dan takut Adi jijik melihat bekas cacar di sekujur tubuhku beberapa minggu lalu yang belum kunjung hilang. Padahal sudah kuobati dengan salerang kawung agar noda bekas cacar itu menipis samar di kulitku.
"Buka bajunya kenapa sih? Sama-sama cowok juga kok!" Protes Adi menarik-narik kaus yang kupakai.
"Jangan Di!" Cegahku.
"Kamu enggak merubah kelamin jadi cewek kan?" Candanya lagi.
"Enak aja! Aku malu aja, soalnya di badanku banyak bekas cacar bulan lalu!" Jawabku polos apa adanya.
"Halah kaya gitu aja mesti malu-malu. Udah lepas aja baju kamu daripada nanti basah!" Adi menanggalkan pakaianku. Akhirnya aku berhasil dibuat menyamainya.
"Wahahaha... Kamu jelmaan macan tutul ya, Gih?" Gurau Adi lagi menertawaiku.
"Tuh kan, ini yang bikin aku malu melepas baju, Di!" Aku merajuk menutupi badanku dengan kedua tanganku yang menyilang depan dada.
"Iya deh, maaf-maaf ya Gih!" Adi menarik tubuhku dan memelukku.
Akhirnya! Inilah yang kuharapkan dari tadi. Rasanya ingin sekali menghentikan waktu agar Adi terus memelukku selamanya. Namun berapa detikpun itu terus berlalu tetap patut kusyukuri. Betapa hangatnya pelukan Adi. Thanks God for the wonderful moment you give to me.
Bila malam tiba setiap menginap di rumah Bu Munah, aku selalu tidur sekamar dengan ketiga anak lelakinya secara bergiliran. Kadang aku tidur dengan Aa Yatman, putra pertamanya. Kadang dengan Aa Yatna, putra keduanya. Atau kadang juga dengan Ruly, putra bungsunya. Tubuh Aa Yatman dan Aa Yatna masih hot seperti dulu. Benar-benar atletis, dan bila tidur tidak pernah memakai baju.
"Waktu kecil dulu, kamu musuh Aa karena kamu sering belai-belai Aa kalau Aa lagi tidur. Tidur Aa jadi terganggu gara-gara kamu. Tapi setelah kamu pindah rumah ke Bogor, Aa merasa kehilangan kamu. Enggak ada lagi anak yang suka gangguin tidur Aa. Rasanya kangen banget sama kamu!" Ungkap Aa Yatna memeluk tubuhku dari belakang tatkala kami beranjak tidur.
"Ih si Aa, itu kan dulu waktu Ugih masih kecil banget!" Kataku keki.
"Oh, kirain Ugih masih mau belai-belai Aa lagi nih!" Candanya memutar tubuhku agar berbalik menghadapnya.
"Ya udah, kalau gitu Ugih mau peluk Aa semalaman!" Tanpa sungkan kulingkarkan tanganku di pinggangnya seraya membelai-belai punggungnya sampai aku tertidur.
Aa Yatna sama sekali tidak menepis tanganku dari tubuhnya. Dia justru malah semakin mendekapku erat ke tubuhnya yang beraroma maskulin itu. Sampai kami berdua terbangun pun posisi kami sama sekali tak berubah. Aku tahu Aa Yatna begitu menyayangiku, dia sangat menyayangiku sebagai adik sepupu jauhnya. Tapi perlakuannya sama seperti menganggapku sebagai adik kandungnya karena akrabnya hubungan keluarga kami sebagai satu kesatuan keluarga besar keturunan Emih.
Hal lain yang membuatku betah berkunjung ke Cibungbulang adalah aku bisa bertemu dengan Lucky. Dia adalah cucu Umi Ating yang seumuran denganku, dan tinggal mengontrak di rumah bekas tempat tinggal aku dulu. Bibi Titin, Ibunya, adalah sepupu mamaku. Konon Bibi Titin adalah seorang aktris film layar lebar. Dulu beliau sering diajak shooting bareng dengan Tante Rahayu Effendy ibunda dari Om Dede Yusuf aktor terkenal yang pernah melamar mamaku saat aku berusia 5 tahun. Setelah Umi Ating naik haji, dan memperdalam ilmu agama, Umi Ating melarang keras Bibi Titin untuk terjun ke dunia entertainment. Padahal semasa mudanya dulu saat belum menikah, Umi Ating juga seorang penyanyi panggung bersama Umi Nyai. Mereka berdua kerap tampil di TVRI mengisikan acara-acara hiburan. Umi Ating mengubah imagenya dan keluar dari dunia hiburan setelah beliau berhasil mendapatkan beasiswa kuliah ke Australia. Sepulangnya dari negeri kanguru itu beliau dipersunting oleh kekasihnya dan lahirlah Bibi Titin, Bibi Betty, dan Mang Cepy. Kemudian Umi Ating menjadi seorang guru, dan mengajar di sekolah yang Umi Nyai pimpin. Tak lama Umi Nyai banting setir menjadi seorang camat, Umi Ating pun naik jabatan menggantikan posisi Umi Nyai sebagai kepala sekolah. Setelah Bibi Titin dewasa, Bibi Titin kerap direkrut oleh para produser film karena kecantikan yang dimilikinya. Beberapa bulan menjelang pernikahannya, Bibi Titin tidak diperkenankan lagi untuk terjun ke dunia perfilman oleh Umi Ating. Setelah menikah dengan seorang pengusaha kaya raya Bibi Titin dikaruniai 4 orang anak, 3 laki-laki dan 1 perempuan. Lucky adalah anak bungsunya. Paras Lucky menurutku sangat keren, mungkin bila dibandingkan dengan selebriti zaman sekarang, kegantengan Lucky waktu itu bisa disetarakan dengan kegantengan Al, putra sulung musisi ternama Ahmad Dhani. Lucky juga memiliki kegemaran yang sama dengan Al, musik.
Semenjak perusahaan ayah Lucky pailit dan terlilit hutang yang sangat besar kepada bank, rumah Lucky yang mewah di kawasan Bantarjati Bogor terpaksa disita oleh bank beserta aset-aset perusahaan yang dimiliki papanya. Lantas keluarga Lucky memutuskan untuk mengontrak rumah di Cibungbulang, yang ternyata adalah bekas rumahku dulu. Setelah insiden mencekam yang dilakukan oleh Apih Hada 5 tahun lalu, rumah tersebut terpaksa dijual oleh papa kepada salah seorang tetangga kami yang tertarik untuk membelinya. Uang hasil penjualan rumah tersebut oleh papa dijadikan modal pembangunan rumah mewah yang kini kami huni di Cimanggu.
"Nanti kalian berdua masuk SMP yang sama ya! Kalian kan cucu Umi yang kompak, kalian pasti setuju bersekolah di SMP yang sama. Nanti Umi akan menemui kepala sekolah dan kepala TU-nya supaya kalian satu kelas terus di SMP!" Tutur Umi Ating kepadaku dan Lucky.
"Memangnya nanti Lucky mau daftar ke SMP mana Umi?" Selorohku penasaran.
"Kalian akan Umi daftarkan ke SLTP Negeri 4!" Terang Umi Ating.
Wow, SLTP Negeri 4 kan SMP negeri favorit nomor 2 di Bogor setelah SLTP Negeri 1. Katanya, Ary Wibowo juga berkeinginan melanjutkan ke sana.
"Pokoknya Ugih jangan mendaftar ke SLTP Negeri 1! Umi takut kamu bakal seperti kakekmu, Kang Hada. Dulu Kang Hada adalah satu-satunya murid dari SD Leuwiliang yang berhasil diterima di SLTP Negeri 1. Setiap subuh Kang Hada berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda. Jarak 20 km bukan masalah baginya, tapi sayangnya Kang Hada minder pada teman-temannya karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak pejabat, artis, dan pengusaha. Jadi, waktu Kang Hada naik kelas 3 SMP, Kang Hada memutuskan untuk berhenti sekolah. Lantas dia malah daftar TNI. Waktu itu negara kita lagi gencar-gencarnya wajib militer. Jadi umur 14 tahun pun bisa diterima menjadi ABRI asalkan fisik dan mentalnya kuat," terang Umi Ating menjelaskan panjang lebar.
"Oh, pantesan watak Apih Hada itu keras sekali ya Umi. Rupanya Apih Hada memiliki masa lalu yang pahit ya?" Kataku mengomentari cerita Umi Ating.
"Padahal Kang Hada itu murid paling pintar di SLTP Negeri 1 waktu itu lho, Gih! Kami sekeluarga amat menyayangkan dengan keputusan yang diambilnya. Makanya karena Umi gak mau seperti dia, akhirnya setelah lulus SD Umi mendaftar ke SLTP Negeri 4! Biarpun favorit nomor dua, tapi mutu pendidikannya sama saja dengan SLTP Negeri 1!" Imbuh Umi Ating lagi.
Sebenarnya aku sangat ingin mendaftar ke sekolah yang dimaksud oleh Umi Ating, meskipun aku belum tahu persis di mana letak sekolahnya. Apalagi Ary Wibowo dan Asep juga berkeinginan melanjutkan ke sana. Ditambah pula dengan Lucky, itu artinya nanti aku akan satu sekolah dengan cowok-cowok ganteng di sekelilingku. Wow, oks banget tuh!
"Tapi Umi, mama rencananya akan mendaftarkan Ugih pesantren di Sukabumi!" Selaku penuh rasa kecewa.
Umi Ating tercenung memikirkan kata-kataku. "Ehm, masuk pesantren itu bagus sekali sih, Gih. Umi juga mendukung. Tapi masalahnya, bagaimana mutu pendidikannya? Bagus atau tidak? Kalau mau pesantren yang bagus sekali, kenapa enggak sekalian ke Gontor aja?"
Aku mengangkat bahu, "Ugih kan enggak ngerti apa-apa, Umi. Semua pilihan kan mama yang mengatur."
"Biar nanti Umi bicara dengan mamamu itu. Terkadang mamamu suka salah dalam memilih," timpal Umi Ating kemudian pandangannya beralih kepada Lucky, "Nah Lucky, kamu harus punya semangat belajar yang tinggi kaya Ugih! Jangan keseringan main musik terus! Bisa jadi apa kalau kamu main musik terus?"
"Iya Umi, iya!" Sahut Lucky acuh tak acuh.
Sepeninggal Umi Ating dari hadapan kami, Lucky mengeluh kepadaku. "Kenapa sih nenek gue itu selalu mengagungkan elu? Di matanya cuma elu cucu yang paling nurut sama dia! Cuma elu cucu yang paling baik menurutnya! Cucu yang rajin shalat, rajin ngaji, rajin belajar!"
"Sst... Lucky, lu enggak boleh ngomong gitu! Umi Ating kelihatan jelas banget sayang sama elu lho! Sayang sama kita! Gue, elu, Aa Angga, Teh Intan, dan sepupu-sepupu lu yang lainnya!" Aku mencoba menenangkan perasaan Lucky.
"Tapi Gih, gue enggak suka Umi selalu ngelarang gue untuk bermain musik. Padahal jiwa gue itu ada pada musik, Gih!" Lucky terus memberengut.
"Coba kalau sama elu, apapun yang ditekuni elu pasti Umi dukung!" Tandas Lucky sebelum aku menimpali perkataannya.
"Ky, sebenarnya gue juga suka main musik. Gue suka banget main piano klasik. Tapi sayangnya karena harga piano itu sangat mahal, gue gak berani minta dibeliin sama mama. Malahan enggak ada satu orangpun di rumah yang tahu kalau gue diam-diam sering latihan piano klasik di rumah sahabat gue yang namanya Anton," ucapku menjelaskan. "Jadi, siapa yang ngedukung gue coba?"
Lucky lalu menatapku lekat, "Jadi nasib lu enggak beda jauh sama nasib gue, ya?"
Kuanggukkan kepalaku mengiyakan perkataannya. "Janji ya, nanti kita masuk SMP yang sama!"
Kamipun meninjukan kepal tangan kami bersamaan sebagai tanda kesepakatan.
***
"Gih, lu dah baca pesan gue kan?" Erfan menghampiriku di sela-sela jam istirahat saat aku sedang menyendiri di kelas seperti biasanya.
"Pesan yang mana ya? Memangnya elu ada main ke rumah gue kemaren? Kok mama nggak ada cerita ya?" Tanyaku bertubi-tubi.
Dari gelagatnya aku bisa membaca kalau Erfan mengarahkan pembicaraan menyangkut pesan tersembunyi dalam catatan yang pernah disalinkannya untukku ketika aku sakit cacar bulan lalu.
"Bukan! Pesan tersembunyi yang gue tandai pakai stabilo di catatan yang gue buat," tuturnya berterus terang.
"Ooh, memangnya ada ya?" Aku berpura-pura bego.
"Lu sama sekali nggak nyadar, Gih?" Erfan melongo.
"Memangnya isi pesannya apaan sih? Bisa nggak lu ngomong langsung aja sekarang? Kita nggak lagi main detektif-detektifan kan?" Sambarku.
Erfan bangkit berdiri bersiap akan meninggalkanku. "Gue malu ngomongnya Gih, lu baca aja deh tulisan yang ditandai pake stabilo merah, terus elu susun jadi kalimat dalam Bahasa Inggris!"
GREPH!
Kutahan tangan Erfan agar jangan segera pergi dari hadapanku. Kuhampiri Erfan seraya berbisik pelan, "Fan, gue paling gak suka sama orang yang nggak gentle! Maaf ya Fan, gue dah punya seseorang yang gue suka. Orang itu juga sayang banget ke gue!"
"Jadi... Jadi... Lu udah baca pesan gue? Memangnya siapa cewek yang elu taksir itu? Dewi? Mala? Ningsih? Wanti? Zizah? Atau Yesi?" Suara Erfan terdengar bergetar dan gugup.
"Dia enggak sekolah di sini! Tapi yang jelas dia lebih keren daripada elu, dan dia lebih gentle daripada elu!" Bisikku lagi di telinganya sambil terus ngeloyor pergi meninggalkannya dengan seribu tanda tanya pada ekspresi wajahnya.
Erfan pasti sangat terkejut begitu ia menyadari kalau aku juga sama sepertinya.
"Gih, tunggu!" Cegatnya menyusul langkahku.
"Lu, suka cowok juga?" Tanyanya memastikan.
"Sugih enggak sepenuhnya kaya elu, Fan!" Tiba-tiba saja Ardhan sudah berada di dekat kami.
"Dia masih suka sama cewek juga kok! Udahlah Fan, kalo Sugih enggak suka sama elu, elu bales aja perasaannya si Dewi ke elu! Kan dia suka banget sama elu!" Beber Ardhan memberi penjelasan.
"Udah yuk, kita jajan batagor, Gih!" Ardhan menarik tanganku.
Erfan hanya berdiri diam terpaku menatap punggungku yang terus berjalan menjauhinya.
"Gila tuh si Erfan, masak dia masih ngarepin gue? Gak kapok apa dulu sama teguran Bu Mul pas kami di kelas 5?" Curhatku pada Ardhan.
"Kapan-kapan kalau si Erfan maen ke rumah lu, lu kenalin tuh si Anton sama Ary yang kata lu keren itu ke si Erfan!" Saran Ardhan tanpa berpikir panjang.
"Buat apa?" Keningku mengerut.
"Biar si Erfan ngaca! Di atas langit masih ada langit! Gue pikir nih, kayanya si Erfan itu kepedean deh, mentang-mentang di sekolah ini banyak cewek yang ngefans sama dia, terutama Dewi primadona sekolah kita, si Erfan jadi besar kepala, ngerasa dia yang paling cakep sedunia! Dia kagak tahu kan kalo Anton yang sayang banget sama lu itu lebih keren daripada dia? Terus si Ary yang lu taksir juga sama kerennya dengan si Anton," Tutur Ardhan.
"Haahaa... Bisa aja lu, Dhan!" Aku sedikit terkikik mendengar ucapannya.
"Terus terang sih, gua juga penasaran kaya apa tampangnya Ary sama Anton. Tapi gua gak pede, takutnya entar gua malah ketularan jadi suka sama cowok juga kaya elu sama si Erfan! Haahaa..." Ardhan tergelak mencandaiku.
"Beu... elu Dhan, kalo bercanda kelewatan!" Kujitak kepala Ardhan sedikit sebal.
Di lain hari saat Genk SEDAN menyempatkan diri untuk belajar kelompok di rumahku, Ary muncul datang ke rumahku untuk mengajakku bermain in line skate bersama Ryan, Anton, dan Teguh. Sudah lama kami berlima jarang main bersama. Dulu Teguh malah hampir tidak pernah bermain dengan Anton, Ary, dan Ryan kalau bukan aku yang mengajaknya. Untung saja ketika Ary datang menyamperku ke rumah, kegiatan kerja kelompokku bersama Genk SEDAN sudah selesai. Semua teman anggota genkku sudah berpamitan kepada mama dan Mang Ega yang sedang asyik bersantai mencandai Dyah, adikku yang masih kecil, di ruang keluarga. Hanya tinggal Erfan yang belum kunjung pulang. Erfan nyaris mencium pipiku kalau saja tidak mendengar suara Ary yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.
"Gie, main in line skate hockey, yuk!" Ary nyelonong masuk ke kamarku karena sudah terbiasa berkunjung ke rumahku.
"Eh, siapa itu Gih?" Tanya Erfan menoleh pada Ary.
"Oh, kenalin Fan, ini sohib gue namanya Ary Wibowo!" Tunjukku ke arah Ary.
"Ary, ini temen genk gue di sekolah, namanya Erfan!" Kuperkenalkan Ary kepada Erfan yang kelihatan penasaran.
Ary dan Erfan bersalaman saling menyebutkan namanya masing-masing.
"Nama lu kaya artis ya!" Tutur Erfan santai.
"Sorry nih Fan, gue mau ngajakin Ugie main. Elu udah beres kan kegiatan belajar kelompoknya sama Ugie?" Seloroh Ary menarik tanganku keluar dari kamar.
"Ugie?" Erfan tercengang.
"Oh, itu panggilan akrab gue sehari-hari di rumah. Panggilan sayang dari keluarga sama sobat-sobat gue di sini!" Ucapku memberinya penjelasan.
"Ya, sama kaya elu, kalo di rumah elu dipanggil Aden kan?" Imbuhku mengingatkannya.
"Bentar ya Ry, gue mau ngambil sepatu skate gue dulu di kolong tempat tidur!" Sergahku melepas pegangan Ary di lenganku.
"Kalau gitu gue tunggu di depan ya!" Seru Ary mengacungkan jempolnya.
Saat aku membungkuk akan mengambil sepatu skate-ku di kolong ranjang, Erfan turut berjongkok di sebelahku. "Jadi itu ya Ary yang elu taksir? Ganteng juga. Kalah deh gua sama dia!" Aku Erfan.
Aku benar-benar tersentak mendengar ucapan Erfan tersebut. Tahu dari mana Erfan kalau aku menyukai Ary?
"Gak usah kaget, Gih! Sorry, waktu itu gue nguping pembicaraan elu sama Ardhan!" Katanya berterus terang.
Aku hampir menduga kalau Ardhan telah membocorkan semua rahasiaku kepada Erfan. Karena seingatku selama ini Ardhan benar-benar sahabatku yang baik. Dia selalu menutup rahasiaku rapat-rapat.
"Sebenarnya lu suka sama dua orang cowok ya? Bisa enggak gua jadi orang ketiga yang elu suka?" Pancingnya penuh permohonan.
"ENGGAK!" Sungutku menolak permintaannya mentah-mentah.
Kutinggalkan Erfan di kamarku seorang diri. Terserah dia mau menginap atau pulang setelah ini karena dia tak beranjak untuk segera pamit kepada mama dan Mang Ega.
"Ton, kita kan berlima, jadi permainannya gak imbang donk! Masak dua lawan tiga?" Seruku pada Anton.
"Siapa bilang kita cuma berlima? Kita kan berenam!" Teguh membalas seruanku.
"Berenam? Satunya siapa lagi?" Tanyaku mengamati sekelilingku, yang muncul malah Erfan.
"Ry, elu gak bermaksud ngajakin dia kan?" Desisku pada Ary melirik ke arah Erfan.
"Hai Gie! Maaf ya kawan-kawan, gue telat, habis disuruh ke warung dulu sama nyokap!" Sapa Asep yang baru saja datang bergabung dengan kami.
"Nih, dia orangnya!" Teguh menjentikkan jarinya.
Waah, cowok-cowok ganteng ada di sekelilingku. Ternyata orang yang dimaksud Teguh adalah Asep. Sebelum Ary dan kawan-kawan lainnya datang menyamperku, mereka terlebih dahulu menyamper Asep di RT3. Suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku jadi semakin bersemangat untuk main. Akhirnya setelah hompimpa bersama-sama, kami bermain 3 on 3. Aku satu kelompok dengan Ary dan Teguh. Teguh yang menjadi keeper timku, sedangkan aku dan Ary menjadi penyerang melawan Ryan dan Anton. Sementara Asep menjadi keeper sama dengan Teguh.
In line skate hockey memang sedang ngetrend di komplek perumahanku sejak aku kelas 3 SD. Permainan ini mengandalkan sepatu roda satu lajur yang biasa disebut roller blade atau roller play. Tetapi tidak semua anak di RW-ku memiliki sepatu roda sejenis ini karena harganya yang terbilang relatif mahal. Beruntungnya aku bisa mendapatkan sepatu skate ini lengkap dengan stick hockey, helm, dan atribut pengamannya secara cuma-cuma karena aku memenangkan undian kuis yang diselenggarakan oleh majalah Bobo saat aku naik ke kelas 5. Meski musim permainan in line skate hockey sudah jarang dilakukan, tetapi aku dan teman-temanku di lingkungan rumahku masih gemar memainkannya.
"Ayo Ry, terobos terus pertahanan Anton dan Ryan!" Teriakku pada Ary yang meluncur cukup jauh dariku.
Erfan masih belum pulang juga. Ia duduk di depan pagar rumahku menyaksikan permainan kami. Sebenarnya kasihan juga sih melihatnya duduk seorang diri. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Saat permainan dihentikan sejenak untuk beristirahat, aku duduk di sebelahnya setelah menyambar sebotol Gatorade bekas Teguh dan kuteguk penuh kehausan.
"Belum pulang, Fan?" Tegurku menepuk pundaknya.
"Gua betah di sini!" Katanya pelan.
"Oh, mumpung besok libur lu nginep aja di sini!" Tawarku padanya.
Erfan menatapku ragu. Kubalas tatapannya dengan anggukan.
"Yang bener Gih, gua boleh nginep di sini?" Mata Erfan berbinar.
"Iya!" Kuanggukkan kepalaku sekali lagi. "Kebetulan aja malam ini kami memang sengaja bikin acara mau bakar ikan sama jagung di kebun bawah!"
"Wow, beruntung amat ya gua kagak balik bareng si Dadan!" Erfan menghamburkan diri memelukku namun buru-buru aku menggeser pantatku sedikit menjauh darinya.
"Mereka juga pada nginep kok, entar malam tidurnya rame-rame. Lu jangan ngorok ya!" Gurauku mengedipkan sebelah mata.
"Kalau gitu gua boleh pinjam telepon rumah lu ya? Gua mau ngehubungi nyokap buat ngasih tahu kalo gua mau nginep di sini!"
"Masuk aja ke dalam!" Titahku melirik ke arah rumah.
Saat Erfan akan bangkit berdiri, langkahnya terhenti menatap Anton yang sedang berjalan ke arahku. Sejurus kemudian Erfan pun berdesis di telingaku, "Jadi itu ya pacar elu? Pantesan aja gua ditolak terus sama elu, si Anton emang kece!"
Jiah! Jangan-jangan Erfan naksir pada teman-temanku itu lagi? Makanya dia betah menyaksikan permainan kami hingga sore tiba.
"Oya satu lagi permintaan gua, boleh kan mulai sekarang gua juga manggil elu Ugie kaya mereka?" Erfan mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum ia benar-benar pergi dari hadapanku untuk menghubungi orang tuanya di Haur Jaya.
"ENGGAK BOLEH!" Sambarku ketus namun Erfan malah terkekeh meninggalkanku.
"Siapa sih tuh anak? Kok bubar kelompok belajar bukannya pulang?" Seloroh Anton merebahkan pantatnya di sebelahku.
"Itu yang namanya Erfan!" Sahutku pelan.
"Em, jadi itu anak yang suka sama elu?" Gumam Anton setengah berbisik.
"Oya, tadi dia bilang elu kece lho!" Kusunggingkan senyum manisku untuk bidadara kesayanganku.
"Wah, jangan-jangan dia naksir gue nih?" Muka Anton memerah geer.
"Idih... PD! Sok aja atuh mangga, silakan diambil aja si Erfan-nya! Jig ka ditu bawa pulang si Erfan-nya! Jangan lupa dikarungin!" Gurauku menggeser-geser Anton agar menjauh dariku.
#Jig ka ditu (Bahasa Sunda) : Sudah ke sana!
"Cie... Cie... Cemburu nih ye!" Anton malah berbalik menggodaku.
"Woy, ada apaan sih ini kok rame banget?" Asep dan Teguh menghampiri kami berdua disusul oleh Ary dan Ryan yang melangkah bersamaan di belakang mereka.
"Sini cuy! Ini loh si Ugie, katanya dia lagi cemburu sama temannya yang tadi itu. Katanya mereka terlibat cinta segitiga sama seorang cewek di sekolahnya. Siapa namanya Gie?" Anton berkelakar agar teman-teman lainnya tidak mencurigai hubungan kami.
"Cie... Cie... Siapa tuh nama ceweknya? Cantik gak? Ada fotonya gak?" Teguh dan yang lain turut menggoda.
"Apaan sih? Anton tuh bokis tahu! Omongannya bohong banget!" Tepisku apa adanya.
"Ya udah deh kalo gitu, jangan ngambek atuh Gie! Kita lanjutin lagi yuk mainnya!" Hibur Ryan mengusap punggungku.
"Udah sore ah, lu semua udah pada mandi belum?" Selidikku menyeringai pada mereka.
"Udahlah!" Sahut mereka kompak memamerkan gigi seri yang rata bak model iklan pasta gigi.
Tetapi aku berani jamin sebagian dari mereka pasti ada yang belum mandi karena keringat dari badan mereka tercium menyengat. Untung saja tampang mereka keren-keren, kalau tidak, mungkin sudah kutendang mereka kuusir pulang.
"Ngomong-ngomong, kampung kita sekarang asyik banget ya? Rasanya aman udah gak ada si Oman!" Seru Asep kepada Teguh.
"Buat gua, ada nggak ada si Oman di kampung ini rasanya sama aja!" Celetuk Anton spontan.
"Memangnya kenapa sama si Oman?" Ryan dan Ary tak mengerti.
"Uh, jijik banget gua sama dia!" Teguh bergidik mengangkat bahunya.
"Haahaa... Soalnya nasib lu sama kaya nasib gue!" Sahut Asep lagi.
"Nasib kita sama gimana maksudnya?" Teguh kebingungan.
"Yoi! Lu sering dicium kan sama si Oman?" Seringai Asep pada Teguh. Kontan wajah Teguh memerah malu seketika, tetapi ia tak mengelak akan pertanyaan Asep.
"APA?" Ary dan Ryan lagi-lagi terkejut mendengarnya.
"Si Oman yang katanya raja preman di komplek kita ini, dia sering nyium elu berdua?" Ryan benar-benar shock mendengarnya.
Asep dan Teguh mengangguk pelan bersamaan.
"Ternyata si Oman itu homreng ya?" Celetuk Ryan terlebih kepada dirinya sendiri.
"Tahu nggak nasib kalian berdua itu sama persis dengan nasibnya teman gua ini!" Tunjukku pada Erfan yang kembali menghampiriku.
"Oh, jadi ini temen lu yang dulu pernah lu sama si Ama ceritain itu ya?" Tebak Asep dengan tepat.
"Yups! Dia yang dulu kami ceritain ke elu!" Timpalku pada Asep.
"Hai, kenalin gue Erfan! Ngomong-ngomong Ugie pernah cerita apaan ya sama kalian?" Erfan menyalami teman-temanku satu-persatu.
Grrr... Berani benar si Erfan menyebut namaku dengan panggilan Ugie di hadapan sahabat-sahabatku! Sok akrab dengan mereka pula!
"Ah, enggak! Ugie cuma cerita kalau lu itu teman genknya dia di sekolah kan? Genk apa namanya? BMW ya? Corolla? Mercedes? Mitsubishi? Aduh, gue lupa apa namanya!" Elak Asep berpura-pura beloon.
"Kalau gak salah, katanya sih Genk SEDAN! Alias SEDENG dan EDAN!" Timpal Anton penuh canda.
"Katanya lu doyan ngoleksi BH emak-emak!" Canda Teguh menambahkan.
Erfan mengernyitkan kening sedikit grogi. "Gue? Ngoleksi BH emak-emak? Noway!" Tawanya terkikik.
"Kalau cangcut nenek-nenek, suka enggak?" Pancing Ryan turut merecoki suasana.
"Udah, jangan didengerin Fan! Mereka itu pada suka iseng!" Ary menengahi.
"Ugie di sekolah udah punya pacar belum?" Anton turut menyalami tangan Erfan. Dia tersenyum cengengesan.
"Kayanya nggak ada deh! Tapi kalau cewek-cewek yang ngefans sama dia, gue tahu!" Timpal Erfan turut cengengesan.
Apa maksud mereka berdua ya? Apa Anton dan Erfan sama-sama bermaksud memancing cemburu satu sama lainnya? Hadeuh!
Malam pun telah tiba. Usai menunaikan shalat maghrib berjamaah di mushala Al-Munir tempat biasa Aki Eben menjadi imam, kami berkumpul di beranda loteng rumahku. Hanya Anton yang tidak ikut shalat berjamaah dengan kami karena dia non muslim. Berkat resep yang diberikan mama, aku dan Ryan mulai meracik bumbu untuk ikan yang akan kami bakar. Ikan itu adalah hasil panen Aki Eben tadi siang. Aku, Teguh, dan Ary membantu Aki Eben sebelum genk SEDAN datang ke rumah untuk mengajakku belajar kelompok. Jumlah ikan yang kami dapat sangat banyak, ada ikan mas, mujair, lele, dan nila. Namun kami bertiga tidak begitu suka dengan ikan lele, jadi kami hanya mengambil ikan mas, mujair, dan nilanya saja. Sedangkan ikan lelenya kami berikan kepada Aki Eben untuk dibagikan kepada keluarga di RT-RT sebelah.
"Sebenarnya kita mau bakar ikan apa mau nyate sih? Kok panggangan ikannya pakai pemanggang sate?" Protes Ryan sedikit rewel.
"Sudahlah gak perlu dipersoalkan! Yang penting rasanya enak!" Responku padanya.
"Yoi cuy, kalo soal rasa sih dijamin enak, soalnya kan gue yang ngeracik bumbunya!" Ryan membanggakan diri.
"Gue yang nangkap ikannya!" Ary dan Teguh tak mau ketinggalan.
"Gue yang ngebersihin ikannya!" Asep pun tak mau kalah.
"Gue yang ngipasinnya!" Kusambar kipas bambu dari tangan Anton.
"Eeh, itu tugas gue!" Gerutu Anton padaku.
"Ya udah, karena masing-masing dari kalian dah punya tugas sendiri, berarti giliran gue yang belum punya tugas nih. Jadi, tugas gue kan sisanya. Tugas gue adalah makan semua ikannya! Ya nggak?" Celoteh Erfan asal.
Tanpa disadarinya semua mata memandang ke arahnya dengan tatapan sebal.
"Tugas lu itu bersihin piring-piring kotor bekas kami!" Seru kami kompak seperti koor paduan suara tanpa komando.
"Sorry... Sorry... Gue cuma bercanda kok!" Erfan tersenyum nyengir dengan wajah tanpa dosa.
"Eh, ngomong-ngomong pemandangan dari loteng rumah elu ini keren banget ya! Bubulak kaya kota cahaya, banyak lampu di mana-mana! Rumah tingkat di ujung sana kayanya rumah gue deh!" Erfan sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Yoi, rumah gua kan villa, Fan!" Timpalku sedikit berlagak.
***
Persahabatan itu benar-benar indah! Setelah dua kali kutolak perasaannya, Erfan berbalik menyemangatiku untuk tetap setia kepada Anton dan jangan mencoba berharap kepada Ary yang masih belum jelas apakah dia juga sama seperti kami. Apalagi sampai bermain api, aku bisa terbakar nantinya. Begitulah nasihat yang dilontarkan Erfan padaku.
"Tapi Fan, gua sama Anton nggak pacaran kok! Anton malah nggak ngelarang gua buat naksir sama Ary!" Kataku mencoba memberi penjelasan padanya agar tidak salah persepsi.
"Gua bingung sama hubungan elu dan Anton. Kalo bukan pacaran, terus hubungan kalian itu apa? Sebatas kecengan doank? Aneh!" Cecar Erfan.
"Elu ngecengin dia, terus dia juga ngecengin elu? Hubungan macam apa itu?" Lanjutnya lagi.
"Fan, elu kagak lagi jatuh cinta sama Ary kan? Jangan coba-coba buat misahin gue dari Ary, Fan!" Usutku padanya.
"Gie, orang yang gue suka itu elu! Bukan si Anton atau si Ary! Tapi setelah elu nolak gue dua kali, gue butuh kejelasan dari elu, siapa yang elu pilih?" Tembak Erfan to the point.
"Fan, dengar! Gue sama Anton cuma sebatas hubungan kakak-adik angkat. Awalnya dia memang suka sama gue kaya perasaan elu ke gue. Tapi setelah dia ngeliat harapan gue yang besar buat Ary, Anton jadi ngasih semangat buat gue supaya gue bisa makin dekat sama Ary. Anton ngerasa cuma pengen jadi kakak yang selalu peduli sama gue!" Ungkapku getir.
Mata Erfan terbeliak sangat kaget. Ia tak menduga kenyataan yang sebenarnya mengenai hubunganku dengan Anton.
"Terus, Ary dah tahu perasaan elu?" Erfan memegangi kedua lenganku.
Aku menggeleng muram. "Bagaimanapun gue merasa nyaman tiap kali gue ada di dekatnya. Bercanda sama dia, tertawa bersama, melukis senja, dan berbalas puisi berdua!"
"Lu gak berani ngungkapin perasaan lu ke dia?" Tanyanya hati-hati.
Aku menunduk.
"Kenapa dulu lu berani nanya sama gue lewat surat tentang perasaan gue ke elu? Sedangkan sekarang giliran lu yang punya perasaan ke si Ary, lu malah gak berani buat nyatain perasaan elu itu?" Erfan mencoba menatapku dalam-dalam.
"Kalau dulu elu gak pernah menanyakan perasaan gue ke elu, mungkin sampai saat ini gue gak bakal pernah berani buat ngungkapin perasaan gue ke elu!" Serangnya lagi.
"Tapi ini masalahnya lain, Fan! Elu dan Ary bukan orang yang sama! Watak kalian aja beda!" Suaraku tercekat untuk kukeluarkan. "Elu bukan orang gentle yang bisa ngomong langsung to the point saat elu ngerasain gelombang asmara. Elu sampai harus menulis lewat kertas saking malunya ngomong langsung ke gue. Sementara Ary... Dia itu orangnya puitis dan blak-blakan. Walaupun gue tahu kadang ada perasaan gengsi yang dia sembunyikan saat ada seseorang lain yang hadir di tengah-tengah kami. Gue belum siap menerima kenyataan saat gue tahu kalau seandainya Ary gak sama kaya gue, atau Ary menolak gue. Bahkan gue belum siap kalau seandainya nanti Ary berbalik ngebenci gue!" Kutepis tatapan Erfan di hadapanku dan kulerai tangannya yang menahan tanganku.
"Gie, lu harus kuat! Berjuanglah buat apa yang ingin lu dapat! Gua di sini cuma bisa berdoa, semoga elu berhasil meraih apapun yang elu harap!" Erfan lalu pergi meninggalkanku.
Kami berjalan pulang menuju rumah masing-masing setelah berdiskusi cukup lama seusai jam bubar sekolah. Pikiranku keruh. Penuh dilema yang membuncah dalam jiwa. Setelah berjalan beberapa meter, kutolehkan pandanganku berbalik menatap punggung Erfan di kejauhan. Ia baru saja menyeberangi rel kereta jalur pertama.
"ERFAAAAN...." Teriakku memanggil namanya.
Erfan pun menoleh menghadapku. Kulambaikan tanganku padanya.
"Thank you very much for your support!"
PLASS!
Lega rasanya setelah menyampaikan seuntai kalimat berbahasa Inggris yang selama ini tak pernah kumengerti. Tidak sia-sia aku mengikuti bimbingan les dengan Umi Ating seminggu 3 kali. Sedikit-banyak kemampuan bahasa asingku telah terasah.
"Keep spirit ya!" Erfan membalas teriakanku.
Ya, aku janji Erfan! Telah kubulatkan tekadku untuk segera mengungkapkan perasaanku kepada Ary. Entah itu pahit atau manis balasan yang akan kudapat, tapi itulah konsekuensi yang harus kuterima! 'Jadi, berjuanglah!' Begitu semangat yang Erfan berikan padaku. Gayanya benar-benar meniru para tokoh dorama Jepang kesukaanku.
Hari Minggu yang cerah sengaja kuluangkan waktuku khusus untuk Ary. Untunglah kemarin siang Umi Ating sedang berhalangan mengajarku les saat aku datang berkunjung ke Leuwiliang. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan begitu saja, aku langsung pulang cepat setelah menemui Adi dan Lucky di Cibungbulang, sengaja kuputuskan untuk tidak menginap karena aku telah membuat janji dengan Ary hari Minggu pagi ini.
"Tumben lu pagi-pagi gak biasanya ngajakin gue ngelukis?" Ary mengenakan sepatu roda roller skate-nya dengan sangat gesit.
Sejenak kemudian ia telah siap berseluncur denganku di jalan komplek perumahannya. Kami pun langsung melaju ke tempat tujuan kami, Taman Satin yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami. Biasanya taman ini ramai dikunjungi orang pada bulan suci Ramadhan, sebagai tempat ngabuburit atau menunggu saat berbuka puasa. Tapi karena hari ini bukan bulan Ramadhan, jadi taman ini tak sebegitu ramai suasananya.
Aku dan Ary mulai memilih tempat untuk melukis. Setelah mendapatkan tempat yang kami rasa sangat cocok, mulailah kami duduk di rerumputan dan mulai berimajinasi dengan pikiran masing-masing. Tak berapa lama tanganku mulai menggores-goreskan gambar, sementara pikiranku berkecamuk untuk menyusun rangkaian kata puitis guna membalasi syair-syair yang mungkin saja akan dilontarkan oleh Ary.
Aku adalah sebatang pohon
Yang tumbuh subur di tanah lapang
Daunku lebat dan rindang
Menaungi seorang kelana nan kelelahan
Tak kuhiraukan panas terik
Yang menggerogotiku di kala hari
Tidak lagi pagi...
Tak kuacuhkan angin kencang
Meski ia sanggup merobohkanku
Tatkala batangku semakin rapuh...
Tak kupedulikan hujan deras
Kian menerpaku dan merontokkan
Dedaunanku...
Hingga ku tak tahu lagi
Bahwa aku sudah tak bermahkota!
Bilakah engkau kelana...
Maukah engkau menjagaku
Dari segala aral yang menghadang
Melindungiku dan menjagaku
Agar tak tumbang
Maka niscaya aku akan senantiasa
Memberimu keteduhan...
Entah mengapa tiba-tiba saja mulutku menuturkan sebuah syair sebelum Ary memulainya lebih dulu. Ary sedikit terperangah mendengarnya, kemudian secara spontan Ary melantunkan syair balasan atas syair yang telah kusampaikan. Untung saja pada hari itu aku membawa sebuah walkman yang dapat merekam. Jadi semua perkataan Ary terekam dengan jelas dalam sebuah kaset yang telah kusiapkan di dalam walkman. Ary sama sekali tak menyadari kalau aku tengah merekam suaranya.
Hai, pokok kokoh lagi tegap...
Kau laksana payung kala ku berteduh
Dari hujan...
Kau laksana perisai kala ku berlindung
Dari sengatnya cahaya surya...
Kau laksana jaket penghangat
Dari dinginnya angin nan melanda...
Aku hanya seorang kelana
Lebih pantas kau menyebutku durjana
Karena aku tak memiliki bakti mulia
Seperti yang engkau damba
Kiranya kubisa menjagamu
Ku kan mencoba
Kiranya kubisa melindungimu
Ku kan berusaha
Hanya dengan segenap tenaga
Yang kupunya
Bukan dengan asa sekadar dikata
Betapa manisnya tutur kata Ary walau syair itu sederhana, namun karena kata-kata itu keluar sendiri dari mulutnya, semua apa yang telah diucapkannya menjadi terasa sangat bermakna. Mungkin karena aku sedang jatuh cinta padanya, segala apa yang disampaikan oleh Ary seakan telah berubah makna menjadi untaian kata-kata mutiara yang penuh romantika.
TEK!
Kutekan tombol walkman untuk memutar apa yang telah kurekam barusan. Terdengar suara Ary begitu mendayu-dayu seperti seorang pujangga yang membacakan puisi cinta. Ary yang sedang mengamati gambar coretanku, tertegun mendengar rekaman suaranya sendiri yang sedang kuputar.
"Lu ngerekam suara gua?" Ary berusaha meraih walkman di tanganku.
Segera kusembunyikan walkmanku di balik punggungku. Suasana Taman Satin sangat sepi tak seorangpun terlihat berkeliaran di sekitar kami.
"Gua suka dengar suara lu kalau lagi nyair!" Kataku cengengesan.
"Gila lu, bilang-bilang dulu kek sama gua!" Ary terus berusaha merebut walkmanku.
"Kalo gua ngomong dulu sama elu, pasti gak bakal lu izinin!" Kilahku membela diri.
"Siniin! Gua cuma mau ngedenger aja kaya apa rekaman suara gua!" Tangan Ary terus bergerilya meraih walkmanku di balik punggungku.
Tubuh kami berhadap-hadapan. Aku merasa momen inilah yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
"Ary... Sebenarnya ada yang pengen banget gua omongin!" Kataku mencoba berbicara.
"Mau ngomong apa sih? Dari tadi juga kita lagi ngomong!" Tukasnya cuek.
"Gua..." Pipiku memerah.
Tanpa kami sadari ternyata posisi tubuhku telah membujur terbaring di rerumputan, dan Ary berada di atas tubuhku setengah tengkurap dengan jarak yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh. Kedua tangannya bertumpu pada rerumputan seolah sedang push up.
Suasana mendadak hening. Lidahku berubah kelu untuk melanjutkan kata-kata yang ingin kuucapkan.
"Lu emangnya kenapa, Gie? Lu sakit?"
Dadaku bergemuruh. Jantungku berdebar sangat kencang. Rasanya aliran darah dalam tubuhku sedang bergejolak dahsyat menikmati momen yang menggetarkan hatiku ini.
"Ry, gua gak bisa ngomong lagi!" Kataku dag-dig-dug deg-degan.
Ary mengerutkan kening, "Gak bisa ngomong lagi? Lu mau jadi orang bisu?"
Akhirnya dengan penuh keberanian kunaikkan kepalaku beberapa derajat sedikit lebih tinggi supaya wajahku dapat merapat dengan wajahnya. Perlahan-lahan tapi pasti kudekatkan bibirku dengan bibirnya menirukan adegan-adegan drama percintaan yang pernah kutonton. Kurengkuh tubuh Ary ke dalam pelukanku, dan kulingkarkan kakiku menahan kakinya agar pergerakannya terkunci. Saat itulah mata kami saling terpejam menikmati setiap kecupan yang kami rasakan. Ary sama sekali tak melakukan perlawanan atas apa yang tengah kulakukan terhadapnya. Yang dapat kurasakan saat itu adalah bibir kami saling hisap dan semakin lama semakin kuat. Ciuman yang sangat kaku, namun cukup lama kami melakukannya. Entah berapa menit waktu yang telah tersita. Begitu nikmatnya kemesraan yang sedang kami rasakan sampai beberapa saat kemudian aku menyadari tiba-tiba saja batang kemaluanku menegang dan sesuatu yang hangat telah keluar dari lubang saluran kencingku.
CRRRRS... CRRRRS... CRRRRS...
Denyutnya kurasakan. Ary membuka kedua matanya. Ia diam terduduk sedikit menjauh dariku. Akupun segera bangkit duduk merapikan diri. Mukaku pasti memerah. Rasanya sangat malu untuk kembali menatap wajahnya. Malu atas apa yang baru saja kuperbuat terhadapnya. Kukemasi barang-barang peralatan melukisku dan walkman yang tadi kupakai untuk merekam ke dalam tas.
"Maafin gue, Ry! Selama ini diam-diam gue menyimpan perasaan suka sama elu. Gue gak tahu kenapa gue kaya gini. Tapi gue bener-bener suka sama lu!" Kataku seraya mohon pamit meninggalkannya pulang begitu saja.
Rasanya aku sudah tak memiliki muka lagi untuk bertemu pandang dengannya. Aku tidak tahu harus bagaimana. Ada sedikit perasaan bahagia karena bisa kembali menikmati ciuman dengannya setelah insiden pertama Ary terjatuh menimpaku saat bermain langit lupa di halaman belakang rumah Anton beberapa tahun lalu. Ada sekelumit perasaan menyesal juga karena aku telah berbuat sejauh ini. Apakah aku anak yang terlalu cepat matang untuk melakukan hal-hal yang terlalu dewasa? Namun di sisi lain, akupun memiliki sedikit perasaan kesal pada diriku sendiri, bukankah terlanjur basah aku sudah melakukannya, mengapa tidak sekalian saja aku menembaknya, memintanya untuk menjadi pacarku?!
"Ah, alangkah bodohnya aku!" Sesalku.
"UGIIIE!" Panggil Ary di kejauhan tatkala aku akan menyeberangi jalan raya menuju perempatan komplek perumahan kami.
Namun suara panggilan Ary sama sekali tak kuhiraukan. Aku terus meluncur menelusuri jalan pulang dengan sepatu roller skate yang kukenakan. Suara Ary teredam oleh suara-suara kendaraan yang berlalu-lalang.
"Maafin gue, Ary! Gue malu sama lu! Malu banget!" Jeritku dalam hati.
Setibanya aku di rumah, aku langsung bergegas memasuki kamar mandi. Kubuka resleting celanaku dan mengamati apa yang baru saja terjadi pada si upik 'burung jantanku'. Setelah kulepas celana dan sempak yang kupakai, kutemukan cairan lengket sedikit kental yang tidak kuketahui namanya apa. Aku tidak pernah kencing selengket itu. Aku mulai panik sendiri. Aku pikir jangan-jangan aku telah terkena penyakit kencing manis, kencing batu, atau malah aku terkena penyakit ginjal. Aku mendadak paranoid. Ingin sekali aku menanyakan kepada mama dan Mang Ega apa yang sedang menimpa pada 'burungku'. Namun aku merasa sangat sungkan karena ini menyangkut alat kelamin. Akhirnya aku hanya bisa diam menyembunyikan masalah yang sedang kupendam ini dalam-dalam. Sampai seiring berjalannya waktu, aku baru mengetahui kalau gejala yang sedang kualami ini adalah salah satu gejala pubertas. Aku sedang mengalami masa peralihan dari anak-anak menuju remaja. Inilah yang dinamakan ABG. Ternyata aku mengalami masa pubertas, tepat satu bulan setelah aku berulang tahun yang ke-12. Apakah ini terlalu cepat?
Semenjak kejadian itu, aku tak pernah lagi menemui Ary. Apalagi bermain bersama Anton, Ryan, Teguh, dan Asep. Aku khawatir Ary akan menceritakan apa yang telah kulakukan terhadapnya kepada teman-teman sepermainan kami. Anton tidak akan mungkin mencemoohku, karena dia tahu jelas bagaimana perasaanku kepada Ary. Tapi bagaimana dengan yang lainnya? Teguh dan Asep adalah lelaki normal yang jelas-jelas akan menghindar bila bertemu lelaki seperti Oman yang dulu sering menciumi mereka. Mereka berdua pasti akan sangat membenciku dan menjauhiku bila mereka tahu skandal yang telah kuperbuat terhadap Ary. Sedangkan Ryan, aku tidak tahu pasti bagaimana reaksinya. Karena sejauh ini menurut pengamatanku Ryan bersahabat akrab dengan Ary. Mungkin dia juga akan sangat marah seperti Teguh dan Asep bilamana mengetahuiku telah mencium sahabat terdekatnya itu.
Hari-hariku kini terasa sepi. Aku lebih banyak memfokuskan diri untuk menghadapi EBTANAS nanti. Umi Ating telah berbicara dengan mama mengenai ke mana aku akan melanjutkan sekolah nanti. Dan mama menyetujui pilihan Umi. Karena sebetulnya mama memang mempunyai ambisi agar aku dapat masuk ke sekolah yang dituju.
"Iis memang kesal Bi, dulu Iis tidak diterima di SMP Negeri 4! Padahal NEM Iis kan paling tinggi sekabupaten Sukabumi. Iis yakin, dulu sekolah itu pasti pakai sistem suap. Hanya orang-orang berduit saja yang diterima di sana! Alasan mereka saja menolak Iis lantaran Iis lulus SD di Sukabumi. Kata kepala sekolahnya waktu itu hanya orang asli Bogor saja yang diterima di SMP itu. Padahal Iis juga kan asli kelahiran Bogor! Apalagi Iis juga kan pernah terpilih menjadi bintang pelajar, Bi!" Mama mendengus panjang.
"Ya wajarlah Is! SMPN 4 kan kurang lebih sama aja dengan SMPN 1 sekolah bapakmu dulu!" Timpal Umi Ating memahami perasaan mama. "Bibi yakin, kali ini Ugih bisa diterima di SMPN 4! Sebab Bibi melihat, Ugih itu mewarisi kepintaran anak-anaknya almarhumah Emih! Zaman toh sekarang sudah berubah Is, yang namanya kasus penyuapan bisa dituntut ke pengadilan!"
"Maka dari itu tolong bantu gembleng Ugih ya Bi, biar dia bisa masuk diterima di SMPN 4! Sebab Iis dendam atas kegagalan yang Iis terima dulu. Iis bakal puas kalau Ugih bisa diterima di SMPN 4!" Ungkap mama penuh permohonan.
"Itu sudah kewajiban kita bersama untuk mendidik keturunan almarhum Aki Jumsih dan almarhumah Emih! Semua keturunan beliau-beliau kan adalah keturunan yang cerdas! Anak-cucu kita mewarisi kepintaran dan kejeniusan leluhur kita! Belum pernah Bibi mendengar keturunan almarhum Aki Jumsih dan almarhumah Emih ada yang goblok, apalagi idiot! Semuanya bagus-bagus karena kita keturunan bibit unggul!" Cerocos Umi Ating demikian panjangnya.
Astaghfirullah! Aku mengelus dada. Nenekku yang satu ini kan seorang da'iah. Tetapi mengapa nada bicaranya terdengar congkak begitu, ya? Apa tidak takabur itu namanya? Di satu sisi perlu kuakui, keturunan almarhum Aki Momo ayah dari almarhumah nenekku, hampir tidak ada yang bertitel sama seperti keturunan almarhum Aki Jumsih ayah dari Apih Hada. Buktinya saja anak-anak Umi Wati yang merupakan keturunan dari almarhum Aki Momo banyak yang kurang pandai di bidang akademik. Mang Iyan saja sampai harus dipindahkan sekolahnya dari Kota Bogor ke Leuwiliang hanya karena tidak sanggup mengikuti persaingan pendidikan di kota. Jadi bisa kutarik kesimpulan, keturunan dari pihak keluarga kakekku rata-rata memiliki otak yang cerdas, berprofesi menjadi guru dan tentara, serta memiliki paras secara fisik yang lumayan patut diperhitungkan. Sementara itu keturunan dari pihak keluarga nenekku, hanya mengandalkan fisik semata.
"Gih, mulai sekarang jadwal belajar kamu diperketat! Mama tidak mau kamu menjadi hancur masa depannya seperti Aa kamu si Fariz! Kurang baik apa coba, dulu Mama jemput Aa kamu itu ke Kalong secara baik-baik. Tapi setelah Mama bawa, uwak kamu-Kang Enday malah menariknya lagi ke Kalong dengan alasan bapak kamu baru aja pulang dan pengen ketemu sama Aa kamu. Terus sekarang bagaimana hasil didikan keluarga bapakmu itu? Aa kamu sudah rusak kelakuannya! Bulan lalu Mama dipanggil menghadap kepala sekolah Aa-mu di Leuwiliang. Katanya Aa kamu itu terlibat kasus narkoba! Aa kamu terbukti ngobat dan menjadi bandar narkoba di sekolahnya! Dan sekarang, Aa kamu telah resmi dikeluarkan dari sekolahnya!" Urai mama panjang lebar menasihatiku.
"Masya Allah, Ma! Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku sungguh terkejut mendengar kabar kakakku satu-satunya itu.
"Mama nggak mau mengganggu konsentrasi belajar kamu. Bulan lalu kan hasil try out kamu sudah berhasil menggeser posisi si Dewi dari gelar sang juara kelas. Semoga hasil EBTANAS-mu nanti juga begitu! Pokoknya NEM (Nilai Ebtanas Murni) kamu harus tinggi supaya bisa diterima di SMP Negeri 4! Jadi, belajar dari kasus Aa kamu itu, kamu harus jauh lebih baik daripada dia! Yang namanya anak kalau diurus sama bapaknya belum tentu benar hasilnya! Tapi kalau diurus sama ibunya sudah pasti terarah, sebab ibulah yang melahirkan anak! Kamu harus bersyukur tidak ikut dengan keluarga bapakmu! Coba kalau kamu ikut dengan mereka, bisa jadi apa kamu nanti?" Koar mama berpidato panjang lebar memberiku petuah-petuah sakti yang hanya dapat kutanggapi dengan anggukan-anggukan kepala.
Belum selesai satu masalah, muncul lagi masalah baru yang dibawa oleh Mang Bagas adik mama yang kelewat manja. Setelah 6 tahun menjadi tentara berkat jasa mama, Mang Bagas terlibat kasus penggelapan dana gaji rekan-rekannya sesama tentara. Sebenarnya Mang Bagas bukan terlibat kasus korupsi, melainkan saat ia menjabat selaku bendahara penerimaan gaji, banyak rekan-rekan kerjanya yang meminjam uang atas nama pribadi masing-masing. Padahal hal tersebut tidak diperkenankan dalam masalah prosedur keuangan kemiliteran. Karena Mang Bagas bukan koperasi bukan pula bank ataupun lembaga keuangan lainnya. Sementara rekan-rekannya yang meminjam uang telah bersekongkol enggan membayar piutang yang diberikan oleh Mang Bagas. Dengan berbagai tipu daya, mereka berhasil menjebak Mang Bagas agar hanya Mang Bagas yang dijadikan kambing hitam. Maka secara otomatis Mang Bagas menjadi satu-satunya tertuduh dalam kasus tersebut. Selama 3 hari 3 malam Mang Bagas dijerumuskan ke dalam spiteng barak tentara yang dipenuhi dengan tinja. Benar-benar sangat bau bukan? Bila aku menjadi Mang Bagas, mungkin aku sudah mati lemas karena mencium bau kotoran-kotoran najis tersebut. Biarpun Mang Bagas tetap diberi makan selama menjalani hukuman, Mang Bagas tetap tidak bisa makan karena sekujur tubuhnya dipenuhi dengan tinja.
Setelah 3 hari berlalu Mang Bagas baru dikeluarkan dari spiteng dan dijebloskan ke dalam kurungan khusus untuk tentara bermasalah. Mang Bagas dikenai sanksi harus mengganti rugi sejumlah dana yang terpakai untuk piutang yang diberikan kepada teman-temannya, karena secara langsung Mang Bagas telah merugikan pihak lain yang sama sekali tidak meminjam uang atau berutang kepadanya. Uang mereka terpakai untuk dijadikan piutang kepada teman-temannya yang mengajukan pinjaman di luar sepengetahuan yang uangnya terpakai. Lagi-lagi mama sebagai kakak sulung dari anak-anak Apih Hada, berkewajiban untuk menjadi penjamin Mang Bagas. Mama harus pontang-panting mencari uang dua puluh juta rupiah untuk mengganti semua kerugian yang ada. Akhirnya dengan berat hati, mama terpaksa menjual kebun durian kami di Angsana, Leuwiliang. Padahal kebun durian tersebut merupakan investasi mama untuk masa depanku kelak.
"Gas, sekarang kamu kan sudah Teteh bebaskan. Nama baik kamu juga sudah dipulihkan, Teteh minta kamu lanjut jadi tentara, tapi satu hal yang Teteh minta, tolong kerja yang benar! Jangan tergoda oleh harta, tahta, dan wanita!" Tegur mama baik-baik kepada Mang Bagas.
"Teh, Bagas juga udah kerja yang benar! Namanya masalah kan nggak ada yang tahu bakal kaya apa jadinya! Semua itu bukan salah Bagas, Teh! Bagas difitnah!" Mang Bagas memang pandai bersilat lidah. Ia tak pernah mau disalahkan, selalu merasa dirinyalah yang paling benar.
"Sekarang begini saja, sebagai balas jasa Bagas terhadap Teteh, Fariz akan Bagas bawa transmigrasi ke Kalimantan. Bagas akan didik Fariz seperti anak Bagas sendiri," Mang Bagas mencoba mencuri hati mama.
"Buat apa kamu transmigrasi, Gas?" Tanya mama risau. "Cukup lanjutkan saja pekerjaanmu jadi tentara! Buat Teteh bangga seperti saat kamu ditugaskan ke Timor-Timur dulu!"
"Aah, Bagas bosan Teh! Lagipula nama baik Bagas di kesatuan sudah tercoreng! Kalau Teteh berkenan, Fariz akan Bagas ambil dan dibawa transmigrasi ke Kalimantan," Mang Bagas berdalih.
"Tapi bagaimana dengan keluarga bapaknya di Kalong? Mereka pasti tidak akan melepaskan Fariz begitu saja!" Mama sedikit resah.
"Aah, kalau Bagas yang ambil, gak akan ada yang berani ngelawan Bagas! Tinggal bawa pistol saja, biar mereka semua ketakutan. Toh, akhirnya Fariz pasti diserahkan oleh mereka pada Bagas," Timpal Mang Bagas penuh keyakinan.
"Terserah kamu sajalah, Gas! Tapi tolong hati-hati dalam bertindak, jangan sampai kamu berbuat gegabah seperti kasus yang baru ini! Teteh hanya bisa mendoakan keselamatanmu, keluargamu, dan Fariz! Teteh titip Fariz baik-baik ya selama di perantauan nanti!" Pamit mama setelah mama melunasi sanksi yang harus dibayarkan oleh Mang Bagas kepada dinas kesatuan militernya.
***
Juni 1998
Akhirnya EBTANAS telah usai. Tak dinyana NEM-ku mencapai 45,10 dari 5 mata pelajaran yang diujiankan. Itu berarti nilai rata-rata hasil ujianku mencapai 9,2 dengan nilai tertinggi yang kuraih adalah Matematika dengan nilai 9,75. Padahal tinggal sedikit lagi saja aku bisa mencapai nilai sempurna angka 10,00 seperti yang tertera pada ijazah SD mama. Grrr... Aku jadi geregetan pada mama, kok bisa ya nilai-nilai EBTANAS mama dulu mencapai nilai sempurna seperti itu? Apa resepnya coba? Padahal menurut cerita mama, waktu kecil dulu hidup mama sangat susah. Telur satu butir saja harus dibagi untuk 5 orang anak. Kalau tidak ada telur, lantas mama dan adik-adiknya hanya makan nasi dengan goreng garam. Hm, untuk apa garam harus digoreng segala ya? Tapi aku salut dengan mama, meskipun dulu hidupnya susah, tapi tak pernah menyurutkan semangat belajar mama. Terbukti prestasi mama selalu melejit meraih angka kesempurnaan. Walaupun pada dasarnya di dunia ini tidak ada yang sempurna, selain Tuhan.
Lagi-lagi peringkat Dewi pada kenyataannya memang cukup sulit untuk kujatuhkan. NEM kami berdua hanya selisih satu angka di belakang koma. NEM Dewi mencapai 45,20. Dengan nilai yang kami kantungi setinggi itu, Ibu Adis guru wali kelas kami menyarankan kami berdua untuk mendaftar ke SLTP Negeri 1. Sekolah negeri terfavorit di kota kami sejak zaman sekolah itu berdiri. Kendati demikian, mama sudah sangat puas dengan hasil yang kuraih, dan mama tetap mempertahankan keinginan Umi Ating untuk mendaftarkanku ke SLTP Negeri 4 yang ternyata letaknya berada di belakang pabrik gas, Apollo Meubel, dan SMU Negeri 6.
Dewi berhasil diterima di SLTP Negeri 1, Erfan diterima di SLTP Negeri 8 sama dengan Jessica dan Ryan, Dadan diterima di SLTP Negeri 5 bersama dengan Ama dan Nico. Jefri menjadi siswa dengan NEM terendah di sekolah kami, jumlah NEM yang diraihnya hanya mencapai 17,00. Sedangkan Ardhan, aku tidak tahu ke mana dia melanjutkan sekolah. Sehari setelah pengumuman kelulusan dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kabarnya saat EBTANAS terakhir, nenek Jefri mendatangi rumah dan mushala keluarga Ardhan, karena kegiatan pengajian di mushala keluarga Ardhan dianggap telah mengganggu aktivitas penduduk setempat yang mayoritas beragama non muslim. Keluarga Ardhan diusir secara paksa oleh nenek Jefri dan para tetangga di sekitarnya. Aku benar-benar merasa kehilangan sahabat terbaikku. Padahal saat masih ujian, kami telah sepakat akan bertukar kado kenang-kenangan setelah pengumuman kelulusan tiba. Tetapi semua itu hanya janji yang terucap di mulut saja, karena tak seorangpun tahu ke mana keluarga Ardhan pindah.
"Selamat jalan Ardhan, semoga Allah senantiasa melindungimu dari segala bahaya yang menantangmu," doaku dalam hati.
Irwanto melanjutkan sekolah ke SMP swasta favorit di kota kami. Wajar saja, karena orang tuanya adalah seorang haji pengusaha ayam potong yang sukses. Meskipun demikian, Irwanto tak pernah sombong ataupun angkuh. Dia selalu menyapaku lebih dulu dengan penuh kehangatan di manapun kami bertemu. Bahkan ia masih kerap mentraktirku seperti dulu. Kebaikan hatinya itu terlihat jelas sangat tulus karena terpancar dari wajahnya yang shaleh.
Asep gagal masuk ke SLTP Negeri 4 dan diterima di SLTP Negeri 7 yang terletak tidak jauh dari kantor PLN di Paledang. Lucky juga gagal diterima masuk di SLTP Negeri 4, sekolah yang kami harapkan. Betapa kecewanya Umi Ating dan aku kepada Lucky, karena ternyata selama ini Lucky tidak pernah bersungguh-sungguh untuk meraih NEM tinggi agar dapat diterima di sekolah yang kami berdua telah janjikan. Lucky terlalu terlena dengan kegiatan band musiknya. Sehingga kegiatan belajarnya terbengkalai. Sebagai konsekuensi untuknya yang tidak bisa diterima di SLTP Negeri, dia terpaksa disekolahkan di SLTP PGRI 3 yang kebetulan satu atap dengan sekolahku.
"Umi betul-betul kecewa sama Lucky, Gih! Harus bagaimana cara Umi menasihatinya agar dia mau patuh pada Umi?" Keluh Umi Ating padaku.
"Sudahlah, Umi! Ugih juga kecewa sama Lucky, susah payah Ugih belajar karena ingin satu sekolah dengan Lucky. Tapi hasilnya, ternyata Lucky malah masuk SMP swasta!" Aku turut mengeluh.
"Pokoknya Ugih harus tetap semangat! Tunjukkan pada semua orang kalau keturunan almarhum Aki Jumsih itu cerdas-cerdas!" Umi Ating berbalik menyemangatiku.
"Iya Umi!" Sahutku santun.
Sementara itu, Teguh berhasil masuk sekolah yang sama denganku tetapi dia pindah rumah keluar dari Cimanggu. Ayahnya telah membeli rumah BTN di wilayah Barata, tidak seberapa jauh dari tempat tinggalku.
Aku merasa lega karena setelah insiden yang terjadi antara aku dan Ary tempo hari lalu, Ary tidak pernah menceritakan kejadian tersebut kepada satupun teman sepermainan kami. Ia menutup rapat-rapat kejadian tersebut seolah itu hanyalah rahasia kami berdua yang mengetahuinya. Syukurlah Ary tidak comel kepada siapapun. Maka tidak salah bila aku jatuh cinta kepadanya.
Sore itu usai pengumuman kelulusan di sekolah, aku mencoba untuk menemui Ary di rumahnya. Aku ingin meminta maaf padanya atas perbuatanku waktu itu. Sudah 5 bulan kami tak bertemu, rasanya rindu ini telah menggumpal di dada. Entah mengapa aku benar-benar grogi untuk meminta maaf padanya. Aku bingung bagaimana cara menyusun kata-katanya agar terdengar berkesan olehnya.
"Hai Ry, maafin atas perbuatan gue ya waktu itu!" Aku mencoba mereka-reka kalimat yang pas untuk kuucapkan.
"Heeeuh, kayanya gak cocok deh! Coba kalau gini kali ya : Halo Ry, apa kabar? Lama ya enggak ketemu! Gua ke sini mau minta maaf sama elu atas kesalahan gua waktu dulu, lu mau kan maafin gue?" Kucoba sekali lagi, "Tapi kayanya kalimat yang ini kepanjangan ya?"
"Eh Ry, nerusin ke SMP mana lu nanti? Soal yang dulu-dulu, kita lupain aja ya! Lu mau kan tetap jadi sahabat gue selamanya?" Aku masih menyusun kata-kata yang sesuai.
"Aduh, mau minta maaf aja kok susah amat sih?" Aku menggerutu seorang diri tidak karuan sudah seperti orang gila di pinggir jalan.
Langkahku semakin dekat menuju rumah Ary. Di saat yang bersamaan aku akan memasuki pekarangan rumahnya, tepat 3 meter di depanku Ary tengah berjalan membawa sebuah kotak kardus berisi penuh dengan mainan. Tampaknya Ary baru saja pulang bermain dari rumah Anton yang terpisah hanya dua rumah dari rumahnya. Saat Ary menyadari keberadaanku di hadapannya, mata kami saling bertumbukan. Saling menatap satu sama lain. Tak satupun dari kami yang bersuara. Mulut kami seolah terkunci rapat untuk menuturkan kata demi kata. Hanya tatapan mata yang mewakili isyarat percakapan di antara kami. Ary menatapku sendu seakan ingin menyampaikan sebuah salam perpisahan. Aku tidak tahu apakah ini semacam firasat atau feeling, yang memberitahukanku bahwa aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Kutatap wajah Ary penuh perasaan bersalah atas kejadian yang pernah kulakukan kepadanya. Tatapanku juga mengisyaratkan bahwa aku sangat merindukannya selama ini. Terlihat bibir Ary bergetar seperti ingin menyebut namaku walau sangat berat baginya. Cukup lama kami berdiri terpaku di depan pagar teras rumahnya. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan bahwa kami telah berdiri sekitar 20 menit lamanya.
"Ary..." Terdengar suara mama Ary memanggil dari dalam rumah.
Buru-buru Ary membuka pintu pagar pekarangan rumahnya sambil menahan kardus di depan dada. Sejak saat itu aku tak pernah melihat lagi sosoknya dalam hidupku.
Keesokan paginya aku tidak begitu bersemangat mengikuti kegiatan perpisahan kelas yang diselenggarakan sekolahku SDN Bubulak di kawasan Mega Mendung, Puncak-Bogor. Erfan terus mengguncang bahuku menanyakan apakah aku baik-baik saja. Sepanjang perjalanan aku tak hentinya termenung memikirkan Ardhan dan Ary yang telah pergi dari kehidupanku tanpa pamit. Tadi pagi ketika aku melintas di hadapan rumah Ary, rumah itu terlihat kosong melompong dengan jendela tanpa tirai memperlihatkan bahwa di dalam rumah itu sudah tidak ada lagi barang. Aku tak tahu ke mana Ary pindah, dan aku belum sempat pula menanyakan kepada Anton dan yang lainnya. Setelah kepergian dua orang sahabatku itu, bahkan kini aku juga akan berpisah dengan teman-teman Genk SEDAN yang sudah seperti keluarga sendiri bagiku. Erfan, Dadan, Ama, Nico, dan Jessica, tidak lama lagi kami semua akan berpisah.
"Gie, kata pujangga dalam hidup ini ada yang namanya pertemuan, dan ada pula yang namanya perpisahan. Lu gak usah sedih, karena walaupun kita saat ini berpisah, kelak suatu saat nanti kalau kita berjodoh kita pasti bakal bertemu lagi. Sekolah baru, bakal banyak sahabat baru. Bakal ada banyak orang yang hadir dalam kehidupan kita, datang dan pergi seperti angin yang berhembus gitu aja!" Celoteh Erfan mencoba menenteramkan suasana perasaanku.
"Fan, janji ya, meskipun kita beda sekolah nanti, kita tetap sahabatan! Jangan saling melupakan satu sama lainnya! Gua gak bakal lupain elu, kok!" Aku menghamburkan diri ke dalam pelukannya.
Erfan membelai-belai punggungku penuh kehangatan.
"Gih, renang bareng yuk!" Ajak Dadan, Ama, dan Nico berbarengan setibanya kami di villa tempat kami mengadakan acara.
Meski aku menolak permintaan mereka, namun kedua tanganku berhasil ditarik hingga ke tepi kolam. Seluruh pakaianku berhasil dilucuti, tinggal hanya memakai celana pendek hawaii yang biasa kupakai.
"Jangan murung terus donk, Gih! Ini kan hari terakhir kebersamaan genk kita. Ceria donk!" Hibur Dadan memancing senyuman di bibirku.
Meski kucoba memaksakan diri untuk tetap tersenyum, namun perasaan sedih itu masih terus menyelimuti hatiku.
"Kejar Gih! Tangkap kita ke sini!" Nico berenang menjauh.
"Ayo Gih, sekarang giliran elu yang ngejar!" Ama turut menghindar dari jangkauanku dengan gaya katak yang dikuasainya.
Aku benar-benar lesu, tak bersemangat untuk bermain bersama teman-teman genkku itu. Sampai akhirnya, tiba-tiba saja tanganku mendadak kram tak bisa mengejar Nico dan Ama. Kontan seketika aku tak kuat lagi berenang menepi, lantas perlahan-lahan tubuhku mulai tenggelam ke dasar kolam.
"Hwafh... Hwafh... Hwafh..." Aku mencoba menggerakkan tanganku ke permukaan air.
Berulang kali aku mencoba untuk timbul di permukaan, namun kekuatanku benar-benar lemah. Akhirnya mataku terpejam setelah kurasakan sejumlah air masuk ke dalam mulut dan lubang hidungku. Begitu sadar, kudapati tubuhku tengah dikelilingi oleh teman-teman sekelasku.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Bu Adis dan Pak Anto guru penjasku.
"Tadi kamu tenggelam, untung Erfan sama teman-teman yang lain sigap menolong kamu. Erfan juga yang memberi kamu napas buatan. Wah, ternyata ilmu yang pernah Bapak ajarkan bisa kalian terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bapak bangga punya murid pintar seperti kalian!" Puji Pak Anto pada Erfan dan teman-teman genkku lainnya.
Secara spontan kupeluk Erfan erat-erat yang duduk persis di sebelahku. "Fan, jangan pernah berhenti jadi sahabat gua! Gua gak akan rela melepas kepergian elu sama kaya gua kehilangan Ardhan dan Ary!" Tanpa terasa bulir-bulir air mata pun mengalir deras di kedua belah pipiku.
"Elu tenang aja ya! I'll be your best friend forever!" Bisik Erfan di telingaku membalas pelukanku.
Itulah pelukan terakhir yang pernah Erfan berikan padaku. Setelah perpisahan kelas di Mega Mendung hari itu, kami mulai menjalani lembar kehidupan baru kami masing-masing. Karena tidak lama lagi kami akan memasuki lingkungan sekolah baru dengan teman-teman baru, dan keluarga baru yang akan mengisi lembar kehidupan kita.
:::::::SEPANJANG HIDUPKU Part SD End:::::::
Terima kasih telah membaca kisah cinta monyetku semasa SD. Semoga berkesan di hati kalian semua. Nantikan secuil kisah cintaku di SMP pada episode selanjutnya ya
baru baca separo bang sugih.. belum sampai sini