BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ALFI HASSAN ALATAS (SENYUM YANG HILANG) - UPDATE HAL.126

13031333536133

Comments

  • lanjut donkk...
  • udah siap nih @boybrownis tgl d launching #Lhoo..
    lg sibuk. nti mlm mgkn.
    d tunggu kecupannya y.. #Eehh
  • @Fuumareicchi teganya kau selingkuhin aku T-T huaaa... :'(
  • @YogaDwiAnggara #pukpuk.. aku tetep setia kok pd mu.. walau aku jg setia pd nya, jg dia.. hahay.. #Plaakkk #kabuuurrr..
  • gak masalah walaupun aku gak yang pertama, asal aku yang terakhir buat kamu :D
    *tarik kak @Fuumareicchi ke ranjang :*
  • ALFI POV

    Ini salahku. Rei pingsan semua salahku. Aku lupa mengkalkulasikan besar energi dan daya yang harus Rei keluarkan dari tubuhnya yang tidak bisa dibilang besar itu. Ditambah lawan yang kami hadapi adalah tim inti runner-up kejuaraan antar sekolah tahun lalu. Sudah pasti tenaga yang harus Rei keluarkan dan impact yang ditanggung tubuhnya menjadi berlipat ganda. Karena itu, jelas dan pasti ini salahku. Siaall..

    Aku, seorang Alfi Hassan Alatas yang dieluk-elukkan sebagai jenius oleh seisi sekolah lupa mengkalkulasikan hal remeh temeh begini. Dasar bodoh. Kesombonganku membuat Rei terluka. Atau mungkin kemarahanku yang membuatku mengaburkan penilaianku.

    Memar dibibir Rei entah mengapa membuatku gusar, geram dan marah seketika. Walau tak kutunjukkan padanya, tapi otakku panas emosiku menggelegak. Rei adalah temanku. Satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman sekarang ini. Tidak ada yang lain.

    Melukainya sama saja melukaiku. Jika ada yang mempunyai niat mencelakai Rei, langkahi dulu mayatku. Tidak ada yang boleh melukai temanku. Sudah cukup sekali aku gagal melindungi seseorang yang berharga untukku. Dan takkan kubiarkan ada yang kedua kali.

    Tapi disinilah Rei. Di ruang UKS karena kelalaianku memperhitungkan seluruh aspek yang mungkin terjadi. Otakku terlalu panas tak sanggup mengkalkulasi melihat memar dibibirnya. Pikiranku terlalu fokus ingin membantu Rei membalas perbuatan Robby dengan kekuatannya sendiri.

    Bagaimana aku tahu itu Robby? Mudah. ‘43 unit aksi’ dari Sistem Kodifikasi Ekspresi Wajah milik Paul Ekman yang membantuku. Tinggal membaca kebocoran ekspresi yang ditunjukkan Rei ketika aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

    Manusia pada dasarnya dapat menetralkan wajah jika mereka mau. Namun, sepandai-pandainya seseorang akan selalu ada kebocoran ekspresi yang dapat muncul ke permukaan. Entah itu kedut di ujung mata, senyum sekilas, pupil melebar, menggigit bibir bawah, ujung kelopak mata yang menurun atau bibir atas yang menyungging dan banyak lainnya. Aku telah menghapal semua di luar kepala.

    Cara itu selalu ampuh 95% untuk mengetes kebohongan pada lawan bicara. Sisa 5% nya hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Seperti psikopat atau sosiopat, dan orang-orang yang telah belajar cara untuk menetralkan wajah mereka.

    Dengan cara itu pula aku mengetahui kalau Rei pintar bermain basket. Ingat ketika aku bertanya ketika kami berjalan menuju hall basket? Jawaban Rei yang hanya lumayan mungkin tidak bisa menjadi indikasi. Tapi ada ekspresi kepuasan disana ketika aku bertanya pintarkah dia, bisakah dia bermain basket. Ekspresinya jelas menunjukkan rasa bangga.

    Sudah seharusnya Rei bangga. Kepintarannya adalah hasil usaha dan kerja kerasnya. Dia pantas mendapat beasiswa. Dan basket? Aku ingat sekali ekspresinya. Impressor glabelle yang membuat alisnya sedikit tertarik dan orbicularis oris yang membentuk senyum sekilas pertanda puas terlihat disana juga matanya yang berbinar cerah. Tahulah aku kalau Rei bukan cuma sekedar bisa bermain saja, tapi ada kekuatan yang dia banggakan disana.

    Karena itulah aku memutuskan menantang tim inti basket bertanding. Awalnya aku sendiri yang akan menantang Robby 1 on 1 seperti dulu, tapi melihat ekspresi Rei aku berubah pikiran. Aku akan membantunya membalas Robby dengan kekuatannya sendiri. Yang mana memang telah dilakukannya.

    Ekspektasiku sesuai. Permainan Rei di atas kata standar. Dia hebat. Membuatku bangga telah mengenalnya. Lihatlah bagaimana dia bisa lepas dari kawalan ketat Robby yang notabene adalah salah satu defender terkuat ditingkat SMU. Dengan lincah, dan sedikit trik yang entah dari mana dia pelajari, bukan cuma sekali dia mempecundangi Robby. Dan Aksinya didetik terakhir untuk lepas dari kawalan, sungguh spektakuler. Bagaimana bisa dia masih menyembunyikan gerakan fake (tipuan) yang disimpannya diakhir? Itu Remarkable. Marvelous.

    Rasa senangku akan aksi Rei langsung hilang ketika melihat senyum lebarnya terakhir kali sebelum dia pingsan. Iya. Pingsan. Itu salahku. Kalkulasiku terlalu egois dan naif. Akibatnya, membuat Rei pingsan. Sial. Siiaall.. Siiaaalll.. Aku bodoh.

    Langsung kuangkat tubuh Rei dari hall basket. Dan sebelumnya kuhardikkan kata-kataku pada Robby “"Urusan Lo sama gue belom selesai Rob" setelah itu aku langsung melesat membawa Rei dengan kilat menuju UKS. Tak kupedulikan tatapan-tatapan seisi sekolah yang sangat tertarik itu.

    Sebenarnya kata-kataku lebih kutujukan pada diriku sendiri. Aku yang salah, ingin bisa menyalahkan orang lain. Dan Robby lah pelampiasanku. Karena dia yang membuat bibir Rei memar. Karena Robby lah, aku memikirkan pertandingan basket ini. Siaalll.. Siiaalll.. Aku bodoh.

    Ketika di UKS Rei sempat tersadar setelah kuberi minyak angin yang ada disana. Dia tersenyum melihatku. Bodoh.. Rei bodoh. Kenapa masih bisa tersenyum penuh terima kasih begitu untukku. Tidakkah dia berpikir salahku lah hingga dia pingsan begini. Maaf Rei..

    “Hei..” katanya membuka suara.
    Aku menatapnya dan memegang tangannya.

    Dia tersenyum lagi “Kita menang..”

    “Tapi aku lelah. Lelah sekali..”

    “Kita dimana Fi..” Katanya satu-satu mengatur nafasnya. Ku angsurkan air putih padanya.

    Dia meminumnya dengan cepat dan kutuang lagi segelas. Yang bocor dengan sekejap mata. Aku tahu dia pasti sangat lelah. Tapi dia terlihat senang sekali. Dan tak bosannya memasang senyum indah terkembangnya untukku. Membuat rasa bersalahku berlipat ganda. Rei bodoh.. Jangan tersenyum begitu untukku. Ini salahku.

    “Fi..”

    “Rei. Maaf..” Dia mengernyit seolah berkata ‘untuk apa?’

    “Maaf karena usulku. Kamu.. begini..” Dia tersentak sesaat dan langsung memasang kembali senyum teduhnya untukku.

    “Fi.. Bukan salah kamu” Di raihnya tanganku yang satu lagi. Digenggamnya erat.

    “Bukan salah kamu. Jangan berani-berani nyalahin diri kamu sendiri..” Dia mengatur nafasnya lagi.

    “Aku justru mau terima kasih ke kamu, karena kamu udah marah untuk aku. Yang kamu lakuin itu udah bikin aku senang. Karena akhirnya aku bisa balas Robby dengan kekuatan aku sendiri. Fii.. Makasih ya..” Digenggamnya erat tanganku dan diletakkan didadanya penuh rasa syukur.

    Lihatlah betapa bodohnya dia. Inilah mengapa aku dulu membencinya. Dia terlalu baik. Bukankah dia terlihat manis sekali. Aaahhh.. Rei.. bodoh.. Dasar bodoh..

    Ku lepas satu tangan kananku dari dadanya “Thanks Rei..” Kuelus rambutnya dan entah ide dari mana, aku mencium keningnya. Lembut. Intens, tak ingin untuk menyudahi. Perasaan apa ini?

    Dia mengangguk lalu “Sama-sama” detik berikutnya dia sudah tertidur setelah mengucapkan kata itu. wajahnya terlihat senang sekali. Aaahh Rei.. Aku elus rambutnya sebentar hingga dia benar-benar menyelusup ke alam mimpi.

    Terima kasih Rei. Kata-katamu membuat beban didada dan pikiranku terangkat seketika. Aku berjanji, mulai sekarang tak akan membiarkan ada siapapun yang bisa menyakitimu. Jika ada mereka harus melangkahi mayatku terlebih dahulu..

    Kali ini aku akan benar-benar melindungi temanku. Apapun taruhannya, Takkan kubiarkan temanku sampai terluka. Tidak akan. Tidak mungkin kejadian dulu berulang.. Aaahh.. Tom.. Kenapa ingatan tentangmu mengalir deras.. ‘Film-Film’ itu mulai ‘diputar’ sekarang.. Mataku pun menerawang keluar jendela, sementara ‘film-film’ itu terpampang nyata..


    *FLASHBACK*

    “Fi.. Sini.. Aku mau kasih dengar kamu CD musik klasik yang kemarin aku pinjam dari tempat les”

    “CD sapa Tom?”

    “CD Sakurai-sensei Fi.. Kemarin aku iseng, eh ngeliat ada CD ini. Kata Sakurai –sensei lantunan piano concerto-nya sangat hebat Fi.. Langsung aku pinjem deh.. Hee..”

    Belakangan ini Tom terlihat aneh. Senyumnya tidak seperti biasa. Aku merasa senyum itu dimaksudkan untuk menopang sesuatu. Tapi apa? Apakah dia ada masalah?

    “Chopin lagi?” Tanyaku akhirnya. “Yang mana?”

    “Piano Concerto No. 1 in E Minor Opus No. 11.. Aku sudah mendengarkannya kemarin. Aku ingin tahu pendapatmu Fi”

    Aku mengangguk mengiyakan kata-katanya. “Oke. Mainkan”

    Ditekannya remote CD miliknya. Lalu mengalunlah lantunan suara orkestra. Sekilas tentang Chopin Piano Concerto No. 1 in E Minor. Karya ini dibuat sekitar tahun 1829-1830. Chopin hanya membuat 2 (dua) concerto yang dinamakan Piano Concerto No. 1 in E Minor Opus No.11 dan Piano Concerto in F Minor Opus No. 21. Sebenarnya Piano Concerto No.2 diciptakan terlebih dahulu oleh Chopin tapi ketika penerbitan tidak ditemukan score orkestra untuk F Minor, akhirnya jadilah Piano concerto in E minor no.1.

    Kembali ke alunan orkestra tadi. Bagian awal orkesta menimbulkan kesan yang menghimpit. Lalu, setelah kesedihan yang manis pada tema pertama, masuklah tema kedua dalam E Mayor. Sebelum bagian piano dimulai, intro panjang nan megah orkestra membawa pendengar menyelami emosi yag dituangkan Chopin saat dia menciptakan karya ini. Saat-saat kepergiannya dari kampung halaman.

    Lalu masuklah permainan pianonya. First Movement, Allegro Maestopo yang begitu berani dan tegas. Masuk setelah intro orkestra yang dramatis. First movement inilah yang penting untuk movement selanjutnya, tentang bagaimana cara pianis masuk setelah orkestra yang sangat menghimpit itu.

    Second Movement, Romance Larghetto. Karya romantis yang menyejukkan, sedikit melankolis. Cinta yang bersemi dibawah terang bulan. Kenangan indah yang tak terhitung banyaknya. Dentingan yang penuh haru akan rindu pada sosok yang ditunggu. Saat-saat menyenangkan sekaligus menyedihkan. Lantunannya seolah bercerita tentang malam-malam yang dilewati dengan terus terbayang-bayang dirinya. Karya romantis melankolis yang indah.

    Third Movement, Rondo Vivace. Rondo yang didasarkan pada tarian rakyat Polandia. Rondo yang megah dan mewah. Nada yang terdengar menyenangkan. Membuat kita ingin ikut berdansa.

    Musik pun selesai. Secara keseluruhan Piano Concerto ini adalah favoritku. Dari lantunan awal orkestra hatiku sudah terjerat dalam pesona menghimpit yang dihadirkannya. Dan Romance Larghetto yang dimainkan.. indah.. Sangat indah..

    “Fi.. Gimana?”

    “Bagus. Favoritku. Aku pinjam ya?”

    Dia memandangku. Sendu. Wajahnya sesaat menyiratkan sesuatu, namun terganti dengan senyumnya. Andai waktu itu aku sudah menghapal cara membaca ekspresi wajah. Sudahlah. Penyesalan tidak pernah datang di awal bukan?

    Dia mengangguk. “Bawa aja. Rabu balikin ke Sakurai-sensei. Aku suka musik orkestranya”

    “Himpitan demi himpitan yang diciptakan, walau sedikit agak dramatis tapi terdengar indah dan sedikit menyesakkan. Seolah ingin melupakan hal yang telah lalu dengan menunjukkannya secara lantang..”

    Aku mengernyit. Ada apa dengan Tom? Komentarnya, juga ekspresi wajahnya tidak biasa. Senyumnya pun terasa hanya sebagai penghias saja. mungkinkah dia menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Tom selalu bercerita padaku. Hampir selalu..

    “Tom..” “Fi.. Kita makan yuk”

    Katanya memotong perkataanku. Jika biasanya aku selalu menurutinya. Tapi kali ini rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Aku ingin menyakinkan diriku bahwa Tom baik-baik saja.

    “Tom.. Aku mau tanya” Dia mengangguk seakan berbicara ‘tanya aja’

    “Aku mau kamu jujur” Lagi. Dia mengangguk. “Kamu ga papah kan Tom?” Dia tersentak.

    Tom terlihat kaget. Namun dengan cepat, bagai kilat, senyumnya lebar menghiasi wajahnya.

    “Aku ga papa kok Fi. Cuma capek tapi laper. Makanya lesu gini” Elaknya sambil terus memasang senyum.

    Entahlah, aku masih ragu. Tapi Tom nyaris tidak pernah bohong padaku. Jadi aku percaya saja pada kata-katanya, walau ragu ini masih menyiksa.

    “Oke. Yuk makan. Biar kamu semangat” ujarku menyakinkannya. Walau nada suaraku lebih kepada meyakinkan diri sendiri.
    *

    Hari ini pelajaran olahraga. Namun Tom yang biasanya bersemangat terlihat lesu. Mukanya pun sedikit pucat. Waktu pagi tadi kutanya dia bilang belum sarapan. Mungkinkah efek sarapan membuat seseorang terlihat sangat pucat? Curigaku mulai menyeruak kembali.

    Waktu pelajaran basket, Tom sama sekali tidak fokus. Bolanya memantul entah kemana. Dan passingnya lemah sekali. Juga akurasi operannya sedikit parah tak terkendali. Aku was-was. Hatiku cemas. Aku takut terjadi sesuatu pada Tom. Sehingga mataku tak lepas dari sosoknya.

    Tom.. Tolong jangan bikin aku khawatir. Kamu satu-satunya sahabatku.. Jangan buat aku khawatir.. Batinku yang terus kudengungkan berulang-ulang dikepalaku.

    Dan benar saja dugaanku. Mataku menangkap sosok Tom yang tiba-tiba merosot dilapangan basket tak sadarkan diri. Tom Pingsan.

    PE (Physical Education) teacher kami, Mr. Dennis sigap. Aku dengan secepat kilat sudah berada disisinya. Mengusir setiap pengganggu yang berkerumun dengan wajah galak. Mr. Dennis mengeluarkan botol minyak angin dari sakunya. Diangin-anginkan dibawah hidung Tom. Dia sadar. Alhamdulillah.

    “Tom, kamu ikut bapak ke UKS. Harusnya kamu tadi bilang kalo kurang sehat” Ujar Mr.Dennis.

    Tom hanya mengangguk. Aku meliriknya. Muka Tom sudah seperti susu busuk sekarang. Benar-benar pucat. Bibirnya pun memutih. Sama sekali tidak ada rona diwajah indahnya. Hatiku merana melihatnya.

    “Saya ikut pak. Biar saya yang temenin Tom. Tapi saya ke Kantin dulu beli makanan buat Tom” Mr.Dennis dan Tom memandangku. Wajahku bersikukuh. Kupasang tampang tegas dan keras.

    *

    Roti-roti yang ada dikantin kubeli banyak. Teh manis hangat 2 gelas besar juga sudah kupesan. Tak lupa air mineral botol besar 1,5 liter kubeli juga. Ketika sampai di UKS aku hanya melihat Tom yang berbaring disana. Mr. Dennis sepertinya telah kembali ke lapangan. Tom Terlihat menggigil gemetar.

    Muka Tom masih terlihat pucat. Keringat terlihat deras menghias wajahnya. Beruntaian turun dengan tanpa jeda.

    “Tom..” Dia menoleh. Tersenyum lemah. Hatiku resah.

    Tok Tok Tok

    “Ini teh manis hangatnya mas Alfi..” Ibu kantin datang.

    Aku mengangguk dan memberi isyarat menaruhnya dimeja samping tempat tidur. Menunggu ibu kantin pamit keluar.

    “Tom.. diminum dulu..” Kuambi gelas yang berisi teh manis dan kusorongkan ke mulutnya.

    “Pelan-pelan Tom.. Panas..” tanpa banyak membantah dia mengikuti semua kata-kataku.

    “Sekarang rotinya nih..” Kuambil roti sobek bantal coklat keju untuknya.

    Tom mengambil roti dengan patuh. Tangannya menjangkau gelas teh hangat. Aku bantu. Dan kupegangi gelas itu. Dia celupkan rotinya ke dalam gelas berisi air hangat sebelum memakannya. Dengan cara seperti itu, dia menghabiskan rotinya dalam sekejap. Astaga.. Tom.. Berapa lama dia tidak makan? Kok makannya kayak orang kesurupan.

    Setelah roti habis, segelas teh yang tersisa pun ditandaskannya. Matanya melirik dan seolah memohon memberinya roti lagi. Toooommm.. Astagaaaa.. Bener-bener belum makan ya dia? Kok bisa?

    Aku yang awalnya ingin marah padanya karena tidak bercerita padaku jika dia sedang sakit, jadi mengurungkan niatku melihatnya kelaparan seperti ini.

    “Tom..” Lirihku sambil menggelengkan kepala.

    Dalam menit-menit yang terasa singkat, 4 buah roti sobek kombinasi, 2 gelas teh manis hangat dan setengah botol air mineral 1,5 liter tandas. Berpindah kedalam perut Tom yang menyantapnya dengan amat sangat lahap sekali.

    “Tom..” lagi-lagi aku hanya bisa berkata lirih sambil menggeleng-gelengkan kepala.

    Setelah makan, dia tersenyum penuh rasa puas. Rona wajah yang tadi hilang berangsur mulai membuncah menampakkan mengisi warna disana. Aku lega. Kulirik kearah tubuhnya. Bajunya basah penuh keringat. Mungkin karena olahraga tadi atau akibat dia sakit menggigil yang beberapa saat lalu terjadi. Entahlah. Tapi dia harus berganti baju.

    “Tom.. Buka baju. Kamu pake kaus aku dulu nih. Baju kamu basah gitu..” dia tersentak. Rona wajah yang tadi mulai berwarna memudar. Berganti pucat denga cepat.

    “Gg.. Ga.. Us.. sah Fi.. Ga begitu basah ini mah” Elaknya.

    Tapi aku bersikeras. Tak ingin menerima jawaban tidak aku mendekat ke tubuhnya dan mulai menarik lepas kausnya.

    “Fi.. Jangan.. gga.. Us.. sah..” Dia menghindar aku menariknya mendekat.

    Sejak dulu tenaga Tom tidak pernah bisa melawanku. Kumulai menarik paksa kaus olahraganya. Dan berhasil. Tapi tunggu.. apa itu? Apa yang biru-biru seperti lebam itu? menghias tubuhnya banyak sekali. Diperut, di dada dan ketika aku berputar ke belakang tubuhnya, banyak sekali bekas cambukan disana. Dia terluka. Dan tidak bercerita padaku?!

    Aku murka. Wajahku seram seketika. Kupandang matanya dengan tatapan menghakimi, seolah ingin menghabisinya. Teganya dia.. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin dia menyembunyikan ini dariku? Kita bersahabat sejak lama..

    “Siapa?” Kataku bergetar menahan amarah.

    Tom hanya menunduk terdiam. Aku murka. Amarahku menyeruak seketika.

    “CERITA! SIAPA?!!” Amarahku lepas begitu saja. aku membentaknya untuk pertama kalinya.

    Dia kaget. Tersentak hebat. Badannya bergetar sedih. Hatiku perih. Perih melihat tubuh sahabatku berhias biru-biru tanpa aku tahu. Aku merasa gagal sebagai orang yang dekat dengannya. Aku bukan seorang yang emosional. Amarahku bisa kuatur dan kutahan sedemikian rupa, seberapapun marahya aku. Tapi melihat dirinya, aku bukan saja marah, tapi murka tak terkira.
    Bagaimana bisa ada seseorang yang tega menyakiti anak yang manis dengan senyum yang selalu menghias wajah seperti Tom? Dan (lagi-lagi), Bagaimana bisa dia merahasiakan ini dariku? Jangan-jangan ini sudah berlangsung sejak lama?

    Tapi tidak mungkin, kami selalu bersama. Dia menangis. Hatiku teriris. Amarahku lenyap entah kemana. Tangisnya membuatku tidak tega berlama-lama memarahinya.

    “Fi.. hiks.. Jangan hiks.. Marah.. Aku .. hiks.. Takut.. hiks hiks..” Oohh Tom..

    Dengan cepat kusergap tubuh Tom dan kupeluk dirinya erat. Terlalu erat. Hingga dia mengaduh.

    “Aw.. Aduh Aduh.. jangan kencang-kencang. Hiks.. Badanku masih ngilu Fi..” Amarahku mulai terbit sedikit. Tapi lenyap lagi ketika dia takut-takut menatapku.

    “Tidur. Cepet tidur” Akhirnya hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.

    Setelah kuberikan kausku aku menatapnya tajam menyuruhnya segera istirahat dan tidur. Wajahnya masih bersimbah air mata. Amarahku ku tahan didada. Aku bertekad akan menyelidiki ini sampai tuntas. Tidak ada yang boleh menyakiti sahabatku. Tekadku waktu itu.

    *END OF FLASHBACK*


    Sifat Rei dan Tom yang hampir sama tidak membantu meringankan hatiku. Begitu melihat lebam dibibirnya, amarahku terpicu seketika. Aku teringat akan Tom. Sikap dan sifat yang yang selalu bersembunyi didalam senyum membuatku gemas.

    Tapi untunglah sekarang persiapanku sudah lebih lengkap. Aku sudah dapat membaca Facial Action seseorang berkat buku yang kuhapal. Karena itu aku dapat mengambil tindakan cepat sebelum semua sudah terlalu gawat. Jangan sampai seperti Tom.. Tidak akan mungkin kubiarkan seperti Tom..

    Tok Tok Tok

    Kak Farel datang. Seperti ingatan tentang tentang Tom yang mengalir deras, memori tentang pertemuan pertamaku dengan kak Farel pun kembali menghias. Aku masih kikuk untuk menyebutnya kakak, walau dia seniorku. Mengingat pertemuan kami dulu.

    Aku, tentu saja masih ingat pertemuan kami. Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan wajah lucunya saat ‘tertampar’ bola basket waktu itu. Juga ekspresi mengejannya seperti orang yang ingin buang air ketika dia berniat melakukan shooting. Kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan.

    Namun, ketika kami bertemu kembali di SMP, aku pura-pura tidak mengenalnya. Melihatnya seperti memutar semua memori lama. Memori saat-saat bahagiaku bersama Tom. Ingatan itu akan terus mengalir deras berikut ingatan-ingatan yang ‘menyakitkan’, yang dengan pasti menyusul.

    Karena itu aku menjauhinya dan menyuruhnya menjauhiku. Pertemuan dengan orang dari masa lalu membangkitkan ‘horror’ itu di dalam kepalaku. Aku tidak bisa setiap hari menonton ‘bioskop’ kehidupan masa laluku diputar berulang-ulang. I just can’t. I’m not that strong enough.

    Kak Farel selalu bersikap baik dan sedikit over padaku. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati melihat tingkahnya dan membandingkannya dengan dulu. Tidak jauh berbeda. Tingkahnya masih menggemaskan.

    Setelah Kak Farel selesai memakaikan Rei baju, aku menyuruhnya balik ke kelas. Aku membaca ada perasaan kecewa disana. Depressor glabelle alisnya turun ke bawah. Dan bibir bawahnya sedikit tertekuk. Dia masih belum ingin beranjak dari sini. Tapi aku tidak ingin dia membolos dan menemaniku. Aku ingin sendiri. Aku ingin, hanya aku yang menjaga Rei.

    Aku tatap matanya dengan tajam. Tatapan yang menyuruhnya segera kembali ke kelasnya. Dia tak rela, tapi menuruti inginku. Kak Farel memang baik padaku. Dia sepertinya selalu tahu mauku dan tidak pernah membantahnya. Dulu pun begitu. Ketika dia mengajakku masuk tim basket aku menyuruhnya menjauh dan dia langsung melakukannya. Walau itu tadi, dia seperti tak rela. Entah mengapa..

    HMMM Huaahhmm

    Suara Rei. Dia terbangun. Baru juga sebentar dia tertidur. Rei mengerjapkan matanya. jelas sekali masih ada rasa kantuk disana.

    “Fi.. Jam berapa? Kok kamu ga ke kelas?” Dia menatapku sambil sedikit tersenyum.

    Aku menggeleng. “Aku tungguin kamu”

    “Ga usah. Kamu balik ke kelas gih Fi.. Kalo kamu disini aku ga mau tidur ah. Aku ke kelas aja” Dia beranjak bangun. Aku menahannya dengan cepat.

    “Kamu ga boleh kemana-mana. Tidur. Cepat” Perintahku galak.

    Rei tak gentar. Sial. “Ga mau. Kamu bolos karena aku. pokoknya aku balik ke kelas” Dia bersikeras.

    Huufth.. Repot jika sudah begiini. Sifatnya sedikit banyak, mirip sekali dengan Tom..

    “Rei, kamu tahu kan apa kata anak-anak tentang aku?” Dia mengangguk.

    “Aku jenius” Yakinku padanya tanpa bermaksud sombong.

    “Aku sudah hapal seluruh materi yang akan diajarkan. Jadi..” Aku sengaja menggantung akhir kalimatku.

    “Tetap ga boleh. Kamu ga boleh bolos FI. Yuk balik ke kelas” Sifat keras kepala ini.. haahh.. Sial.

    “Oke. Aku ke kelas. Tapi kamu disini. Tidur. Cepat” Aku menyerah. Aku sulit membantah dirinya. Seperti dengan Tom dulu.

    Wajah Rei menyiratkan tekad yang keras. tidak mungkin aku bisa mengubahnya. Rei mengangguk dan mulai kembali ke posisi tidur. Rei terlihat lega dengan jawabanku. Tidak butuh waktu lama matanya mulai terpejam dengan nafas yang teratur. Dia tertidur. Sebelum beranjak aku kecup keningnya dan meninggalkan ruangan itu.
  • Sepagi ini lho, sudah cap kecup kening
    Mau bikin envy apa? Huh?
    Ahahahahahhaha~
  • Sepagi ini lho, sudah cap kecup kening
    Mau bikin envy apa? Huh?
    Ahahahahahhaha~
  • Ooo...,jadi yg di siksa itu temannya alfi, bukan alfi ternyata !!!
  • Dhika_smg wrote: »
    Sepagi ini lho, sudah cap kecup kening
    Mau bikin envy apa? Huh?
    Ahahahahahhaha~

    sini kamu aku yg kecup.. muuuaacchhh.. :-*
    #CipokBasah #Plaaakkk..
  • Dhika_smg wrote: »
    Sepagi ini lho, sudah cap kecup kening
    Mau bikin envy apa? Huh?
    Ahahahahahhaha~

  • dafaZartin wrote: »
    Ooo...,jadi yg di siksa itu temannya alfi, bukan alfi ternyata !!!

  • @dafaZartin kira2 cuma bgitu ga yaaa..
    d tgu next episode nya y.. #Halah udh kyk sinetron..
Sign In or Register to comment.