It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sayang banget ceritanya baru delay. tp aku harap di selesain sampai akhir ya :-D
nafsu makan hilang
nafsu xxx hilang
butuh vitamin BSC segera @VereNara
up up
buat bang @3ll0 Sori yaa, ga engeh kalo yg summon gw ternyata bang @3ll0 hahaha , maklum mata tua. makasih loh udah di summon walau ga bakalan masuk Notif T.T...
@3ll0 @exomale @cute_inuyasha @Tsu_no_YanYan @Adi_Suseno10 @Tsunami @d_cetya @4ndh0 @Wita @DoniPerdana @Lonely_Guy @balaka @centraltio
Part V
“Udang goreng tepungnya enak banget ma!” Kata Gugun senang sambil melahap habis udang goreng tepung ditangannya lalu mengambil yang lain.
“Itu Ian yang masak” Jawab mama kalem.
“Oya?” Gugun dan papa berseru bersamaan membuat Ian tersenyum malu karenanya. Beda dengan mama yang justru terlihat bangga.
“Serius?” tanya Gugun tidak percaya.
“Ya iya lah, jadi kamu pikir Ian tadi ngapain di dapur sama mama? Dia itu bantuin mama masak” Bela mama dengan semangat.
“Ya aku tau dia bantuin mama masak, tapi aku kira dia cuma motong-motong sayur gitu atau malah cuma ngeliatin doang” Canda Gugun.
“Memangnya kamu, Ian beneran bantuin mama masak, malah mama yang cuma bantuin soalnya hampir semua ini dia yang masak”
“Wah, jadi hari ini kita makan masakan Ian nih ceritanya” Ujar papa senang. Yang lain ikut tersenyum senang sementara Ian diam saja tidak berkomentar.
“Bakal calon mantu yang baik nih”
Gugun melihat penuh makna pada Ian ketika mengucapkan kalimat tersebut, dan dadanya berdebar dengan begitu menyenangkan ketika Ian menunduk dengan wajah merona. Ada senyum kecil menghiasi wajah Ian kala itu dan itu membuatnya semakin mempesona di mata Gugun.
Memori itu berputar kembali begitu saja tanpa diminta.
“Kamu kenapa kok senyum-senyum sendiri gitu?”
Gugun tersadar dari lamunan masa lalunya, dia yang sedikit menangkap pertanyan Ogi segera menggeleng dan tersenyum lembut.
“Tidak!”
“Kamu ngetawain masakan aku ya?” Ogi mulai cemberut.
Hari ini dia memasak udang goreng tepung yang baru dia ketahui sebagai salah satu masakan kesukaan Gugun serta beberapa masakan lain tentunya. Tapi hasilnya kurang memuaskan, padahal dia sudah mengikuti petunjuk pada kemasan tepung tapi, sepertinya dia terlalu tebal memberi tepung dan memasaknya kurang lama sehingga bagian dalam masih sedikit mentah.
Ogi bukannya tidak bisa memasak, dia bisa meskipun mungkin tidak sebaik Ian dan Gugun tahu betul hal itu.
“Aku tidak mentertawakan masakanmu”
“Terus apa?” Ogi masih cemberut.
“Aku hanya senang kamu memasak begitu banyak untukku hari ini” Kata Gugun berbohong.
“Oh!” Ogi terlihat senang dengan jawaban itu. “Kalau gitu dimakan dong, jangan diliatin terus”
Gugun pun tak lagi bicara dia mulai menyantap lagi hidangan didepannya yang dia yakini akan tersisa banyak seperti hidangan pada malam terakhir dia bertemu Ian. Dan setiap suapan yang masuk mulutnya rasa rindulah yang hadir, rindu pada rasa hidangan yang orang itu sajikan, rasa yang begitu memanjakan lidahnya.
_____________________________________________________________
“.......na?”
“........”
“Mas Ian!”
Sebuah tepukan dibahu benar-benar mengagetkan Ian, nyaris saja dia menjatuhkan piring yang ada ditangannya.
“Eh, Za? Kenapa? Kamu bikin kaget aja.” Ian menunjukkan dengan jelas wajah terkejutnya membuat Reza merasa tidak enak dan bersalah.
“Mas sih ditanya dari tadi nggak jawab-jawab” Katanya membela diri menggunakan mimik wajah bersalah.
“Emang kamu tanya apa?” Tanya Ian sambil menoleh sebentar pada Reza yang sekarang bergerak kesisi kirinya.
“Mas Bimo mana, liat nggak?”
“Kan ambil sayuran” Kata Ian kalem sambil meneruskan pekerjaannya.
“Nah itu dia, kok nggak balik-balik? Dicariin tuh sama mas Toni”
“Yah aku mana tau Za, dari tadi disini ngelapin piring”
“Hmmm!” Reza lalu menilik Ian yang terlihat sibuk dengan piring-piringnya, perasaan bersalah karena baru saja mengejutkan Ian pun ikut mendorongnya untuk berkata “Sini mas aku bantuin!”
Tanpa disuruh dia pun segera mengambil kain lap dan membantu Ian mengelap piring-piring tersebut. Dan saat itulah Bimo muncul dengan kardus berisi sayuran juga sebuah kado ditangan lainnya.
Reza yang melihat Bimo langsung memberitahu kalau Toni sudah menunggunya. Matanya pun tak luput dari kado ditangan Bimo.
“Itu kado siapa?” Teriaknya penasaran.
“Mas Toni” Bimo menjawab sambil lalu.
“Hah? Kado lagi?” Serunya tidak percaya bercampur antusias. Bimo tidak lagi menghiraukan dan langsung menuju dapur masak.
Serta merta Reza berbalik pada Ian dan berkata “Mas aku liat dulu ya, nanti aku balik lagi. Mana tau isinya makanan enak kayak waktu itu, kan asik!”
Dan tanpa berdosanya anak itu meninggalkan Ian begitu saja sambil berlari kecil mengejar Bimo bahkan sebelum Ian sempat menjawab. Padahal tadi dia sendiri yang menawarkan bantuan.
Tapi itu merupakan sebuah ketenangan bagi Ian, kado untuk Toni kemungkinan akan menarik banyak perhatian sehingga tidak ada yang mengganggunya saat ini. Kerena ada hal lain yang sudah cukup mengganggu pikirannya. Dan dia sungguh tidak mau kalau sampai ada orang lain setelah Reza menemukannya sedang blank.
Bagaimana tidak mengganggu pikiran Ian jika dengan tiba-tiba dia mendapat pelukan erat dan... hangat dari orang yang sering meneriaki, bersikap tidak bersahabat juga memandang sinis padanya. Dan bahkan sebelum pelukan itu terjadi dia sudah lebih dulu disambut raungan kemarahan Dewa yang membuatnya terperanjat kaget. Tapi hanya dalam hitungan detik kemudian suara tingginya menurun hingga akhirnya menjadi bisikan ketika dia sudah memeluk Ian.
Dan dua kalimat terakhir yang diucapkan Dewa tadi malam mendorong Ian untuk berpikir keras supaya bisa menerjemahkan makna kelimat-kalimat tersebut.
‘Apa yang dia maksud tidak ingin bersikap seperti itu, dan mengapa aku membuatnya tambah lelah?’
Ulang Ian berkali-kali, ditambah lagi sikap Dewa tadi pagi yang seakan tidak ambil pusing, berbanding terbalik dengan Ian yang nyaris tidak bisa tidur semalam.
‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
Lelah Ian mencari jawaban maksud ucapan Dewa namun tak juga dia temukan, padahal yang harus dia lakukan bukanlah mencari ataupun menerjemahkannya tapi cukup dengan memberi sedikit perasaan peka.
-Flashback-
‘Aku tidak ingin bersikap seperti ini lagi padamu tapi kau membuatku tetap melakukannya’
‘Kau membuatku tambah lelah’
Setelah mengucapkan dua kalimat tersebut Dewa tak bicara apapun lagi, yang dia lakukan hanya mendekap Ian dengan erat seolah Ian akan pergi jika dia sedikit saja merenggangkan dekapannya. Aroma tubuh Ian yang sedikit lengket karena keringat tidak mengganggu penciumannya sama sekali.
Lama dia memeluk Ian, sebelum akhirnya dia mengangkat kepalanya, membawanya kedepan wajah Ian untuk kemudian menempelkan kening dan hidung mereka. Kemudian secara perlahan Dewa pun mulai membelai pipi dan rambut Ian secara bergantian. Dia melakukannya dengan sangat lembut hingga Ian merasa jantungnya seperti sedang berontak hendak keluar, jantung itu memukul keras dadanya hingga Ian pun tak bisa lagi menggambarkan seperti apa kecepatan jantungnya berdetak.
Hal seperti ini memang pernah terjadi sebelumnya tapi, saat itu Dewa sedang mabuk. Dia melakukannya dibawah pengaruh alkohol berbeda dengan sekarang, dia sepenuhnya sadar.
Beberapa saat lamanya setelah membelai pipi dan rambut Ian, kesadaran Dewa sedikit demi sedikit mulai menurun dan disadari Ian bahwa orang itu perlahan mulai tertidur karena, tubuhnya yang kian berat serta bertumpu penuh pada Ian. Dengan gugup Ian lalu mencoba menggoyangkan tubuh Dewa untuk membangunkannya sebelum dia benar-benar terlelap.
“Pak!”
Ian yakin sudah bicara dengan benar tapi degupan jantungnya membuat suara yang keluar tak lebih besar dari bisikan Dewa tadi. Goyangan pada tubuh Dewa lah yang membuat orang itu merespon meski hanya dengan gumaman.
“Mmmm?” Gumam Dewa pelan.
“Sebaiknya anda istirahat ke kamar?” Kali ini Ian berhasil bersuara.
Barulah saat itu Dewa melepaskan satu tangannya kemudian tangan itu dia gunakan untuk mengucek matanya yang terpejam. Dewa sudah hendak memeluk Ian lagi ketika dengan cepat Ian menahan tubuh Dewa.
“Istirahat didalam saja pak”
“Mmmm? Tapi... aku belum menghabiskan buahnya!”
“Biar saya simpan dikulkas, anda bisa makan lagi besok”
Dewa terdiam sebentar, kemudian berkata “Jangan! Akan ku habiskan sekarang”
Setelah berkata begitu Dewa kembali ke kursinya menyuapkan potongan demi potongan buah yang tersisa ke dalam mulut dengan mata terpejam hingga sumuanya habis. Ian sudah tidak punya waktu untuk mengherankan tindakan tersebut, jantungnya yang masih setia berdetak kencang menjadi pusat perhatiannya untuk ditenangkan lagi pula, Ian sudah pernah melihat cara makan Dewa yang lebih aneh dibanding ini. Itu terjadi ketika Dewa sakit.
“Aku selesai”
“Huh?” Susah payah Ian mengumpulkan kesadarannya, dan ketika dia tahu apa yang Dewa maksudkan dia segera mendekati Dewa untuk memindahkan piring bekasnya. Dan Ian baru sadar kalau kakinya bergetar saat berjalan.
Baru saja Ian ingin mengambil piring di hadapan Dewa, namun lagi-lagi orang itu menarik Ian dan kembali memeluknya. Ada helaan nafas panjang begitu dia kembali berhasil mendekap melakukan hal tersebut. Dewa yang pada saat itu dalam posisi duduk menempatkan kepalanya tepat diantara dada dan perut Ian, merasakan setiap kali bagian itu bergerak karena Ian bernafas sehingga, dia pun bisa menenangkan diri dari kepenatan yang dia dapat hari ini dari rutinitasnya.
Namun ketenangan Dewa adalah ketegangan bagi Ian. Bagaimana tidak, belum juga keterkejutannya hilang dia sudah dikejutkan lagi dengan yang lain. Ian nyaris seperti patung kaku tak bergerak mendapat pelukan-pelukan Dewa. Pikirannya seperti kosong bahkan untuk sekedar bertanya mengapa Dewa melakukannya.
Baru setelah beberapa lama waktu berlalu Dewa melepaskan Ian dari dekapannya.
“Aku akan tidur sekarang” Ujarnya pelan seraya pergi menuju kamar dengan begitu santai seakan tidak terjadi apa-apa.
Tentu saja dia bersikap demikian karena apapun yang dia lakukan tadi didasari atas keinginannya sendiri dan dia melakukannya dengan kesadaran penuh. Dan efek yang dia rasakan sekarang sudah cukup baginya sehingga tidak perlu repot-repot memikirkan hal yang baru saja terjadi. Sangat kontras dengan Ian yang bahkan tergagap saat menjawab.
“I-iya”
Dan begitu Dewa telah menghilang dia pun terduduk lemas di kursi bersama dengan debaran jantungnya yang sepertinya butuh waktu lama untuk bisa dia kendalikan.
Akhirnya malam itu menjadi malam yang sangat tidak menyenangkan bagi ian. Hatinya dilanda gelisah karena tak henti-hentinya diganggu kejadian di apartemen Dewa.
Sigh!
Berkali-kali dia menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya sendiri, bahkan dengan membayangkannya saja jantungnya sudah kembali berdetak cepat lalu bagaimana dengan besok? Dia tidak tahu harus menghadapi Dewa dengan cara seperti apa esok pagi.
Akan tetapi kekhawatiran Ian seakan tidak bermakna sama sekali sebab, ketika dia mendatangi apartemen Dewa keesokan harinya yang terjadi justru di luar perkiraan Ian. Dewa terlihat santai saja, tidak sedikit pun terlihat berniat untuk mengungkit atau membahas kejadian kemarin. Hanya satu saja yang lain dari sikapnya yaitu dia terlihat lebih kalem.
Mungkin jika orang lain yang melihat akan merasa tidak ada perubahan karena biasanya Dewa juga diam (dingin) seperti itu. tapi bagi Ian yang sudah berulangkali dibentak dan diteriaki serta pernah diabaikan, baginya sikap dingin Dewa kali ini lebih tenang dan bisa dibilang cool. Bukan sikap dingin yang mengintimidasi seperti biasanya.
Dan itu pula yang membuat Ian heran.
Bukan berarti dia mau Dewa membahas atau bahkan mengganggunya dengan mengungkit kejadian semalam, sungguh Ian tidak mau hal itu. Namun tidakkah Dewa merasa sesuatu, malu misalnya seperti yang tengah dirasakan Ian? Bukankah dia sudah dengan seenaknya memeluk orang lain? Seharusnya ada perasaan seperti itu.
Namun kenyataannya tidak sama sekali.
‘Sekarang siapa sebenarnya yang tidak tau malu?’ Batin Ian sedikit kesal. Tapi kemudian dia sadar ‘Kalau pun dia malu, apa yang akan kulakukan dengan itu?’ Tanyanya pada diri sendiri. Keningnya mengerut heran, menyadari bahwa dia telah berharap Dewa untuk malu, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi.
‘Argh... jangan berpikir yang aneh-aneh’ Ian memperingati diri sendiri sambil menggoyang-goyangkan kepala seolah goyangan itu mampu mengusir pikiran anehnya. Sementara itu dibelakang Ian, sudut bibir Dewa sedikit tertarik hingga membuat sebuah senyum tertahan diwajahnya kala dia memperhatikan tingkah Ian dari meja makan.
Orang yang sedang membelakanginya saat ini terlihat tak hanya sibuk dengan pekerjaannya tapi juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Dewa beberapa kali menangkap wajah Ian yang mengerut seperti sedang memikirkan sesuatu dan itu terlihat lucu baginya. Hanya saja dia tidak sedikitpun menunjukkan keterhiburannya itu pada Ian. Dia kembali bersikap tak acuh begitu Ian berbalik dan membawakannya sarapan.
Hal itu terus berlanjut hingga dia meninggalkan apartemen. Hanya dia seorang yang tahu ada senyum tipis menghiasinya wajahnya untuk menggambarkan suasana hatinya yang seakan ditumbuhi bunga-bunga indah.
-End flashback-
Ian menunduk pasrah, semakin dia memikirkan masalah tersebut semakin bingung yang dia dapat. Oleh karena itu, dia lantas memfokuskan diri pada pekerjaan yang tengah dia lakukan sebelum kembali dipergoki sedang melamun.
Apapun yang terjadi diantara mereka biarkan hati mereka yang menjawabnya. Karena jawaban untuk setiap pertanyaan yang muncul bukanlah dengan mencarinya tapi dengan merasakannya.
Hujan mengguyur kota selama dua hari terakhir, hari ini pun sama, hanya saja sudah tidak sederas semalam namun, tetap tidak berjeda atau menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Tadi pagi Ian sendiri sempat sedikit basah ketika menuju apartemen Dewa. Orang itu sudah rapi dengan berkas-berkasnya diruangan tv ketika Ian tiba.
Seminggu sudah berlalu sejak malam dimana Dewa memeluk Ian dengan tiba-tiba. Reaksi yang Dewa tunjukkan selama seminggu itu tak jauh berbeda dari pagi setelah malamnya peristiwa itu terjadi. Tidak mengungkit, tidak juga menunjukkan gelagat aneh, semua berjalan normal hingga terasa tidak normal bagi Ian.
Dewa juga terlihat lebih tenang, bahkan terlalu tenang menurut Ian. Raut serius dingin mengintimidasi yang biasanya selalu Ian temukan pada wajah itu sekarang entah kemana perginya. Begitu juga dengan hawa menegangkan yang kerap kali menyerang Ian kala sedang berdekatan dengan Dewa, sama memudarnya. Dan lagi-lagi bukannya ikut merasa lega Ian justru dibuat kian gelisah dengan suasana yang tidak biasa tersebut.
Bagaimana tidak gelisah, kalau Dewa benar-benar bersikap diluar kebiasaannya memperlakukan Ian. Sehelai handuk yang Dewa sodorkan pada Ian saat dia sedang menyiapkan sarapan menjadi bukti kuat Dewa tidak pada sifatnya yang biasa.
“Keringkan rambutmu!”
Ian bahkah tidak bisa menerjemahkan kalimat itu sebagai perintah, saran atau justru perhatian. Dia hanya menerima handuk tersebut dengan kaku. Padahal dia sangat yakin kalau Dewa tadi tidak melihat padanya saat dia masuk, lalu bagaimana dia tahu Ian basah sampai memberinya sehelai handuk?
Ian sungguh merasa aneh. Dia sekilas melihat pada Dewa yang sekarang duduk dikursi menunggu sarapannya disiapkan. Tak ada yang berubah dari wajah itu, masih sama dengan yang terlihat selama seminggu ini. Ian sengaja mencari raut mengerikan yang pernah Dewa tunjukkan dulu tapi nihil, dia tidak menemukan raut itu setidaknya hari ini dan beberapa hari kebelakang.
Lalu saat mereka hendak berangkat Dewa dengan santai menawarkan tumpangan pada Ian.
“Diluar masih hujan sebaiknya kau ikut denganku”
“Huh? Oh, tidak perlu pak saya berangkat sendiri saja”
Dewa segera menatap Ian datar.
‘Sekarang saatnya, dia akan kembali seperti semula’ Tebak Ian dalam hati.
“Ayo! Kuantar kau ke restoran” Sekali lagi Dewa menawarkan tumpangan untuk Ian. Dan kali ini ada ungkapan ‘aku tidak mau jawaban tidak’ dalam kalimatnya.
Ian pun seperti mengerti dan menurut mengikuti Dewa masuk kedalam lift. Saat mereka hanya berdua dalam ruangan sempit itu Ian menutup rapat mulutnya dan berdiri kaku nyaris tak bergerak. Satu-satunya bagian tubuh yang bergerak hanyalah dadanya yang naik turun menandakan dia masih bisa bernafas.
Hal serupa juga terjadi saat mereka sudah dalam mobil menuju ketempat kerja masing-masing. Ian seperti anak kecil yang baru saja selesai dimarahi, duduk tenang namun tersudut dengan perasaan kalut. Sementara Dewa menyetir dengan tenang tanpa bicara sepatah kata pun,berkonsentrasi penuh pada jalanan basah yang terus disiram hujan setengah lebat.
Mobil kemudian berhenti tepat didepan restoran, Ian segera melepaskan sabuk pengaman dan mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil.
“Terima kasih pak. Maaf sudah merepotkan anda pagi ini”
Dewa tidak menjawab, dia hanya memberikan tatapan yang terlihat sebagai tatapan ‘tidak masalah’ bagi Ian.
Ian berlari menuju restoran namun tak langsung masuk kedalamnya. Dia berpaling sebentar lalu menganggukkan kepala kearah mobil Dewa sebagai ucapan terima kasihnya sekali lagi. Tidak tahu apa Dewa melihatnya atau tidak tapi yang pasti mobil tersebut baru melaju begitu Ian sudah masuk kedalam restoran.
Karena hujan yang masih mengguyur lumayan deras hingga siang, restoran pun menjadi lebih sepi dibandingkan biasanya. Tak banyak pegawai kantor yang singgah begitu pula dengan orang-orang biasa lainnya. Dan sekarang hanya tersisa beberapa pelanggan saja di dalam restoran sementara yang lain telah pergi meninggalkan restoran begitu mereka selesai.
Ian baru saja selesai membersihkan meja yang ditinggalkan pelanggan bersama Andi ketika, seorang wanita berdiri didepan restoran sambil memegang sebuah payung basah. Ian yang menyadari kedatangan wanita tersebut segera mendekat untuk menyapanya. Namun Ian justru kaget saat mengetahui siapa wanita tersebut.
“Mama!”
Serunya setengah tidak percaya tapi segera mengajak mama masuk seraya mengambil alih payung yang masih mama pegang.
“Mama kok disini? Sendiri lagi”
Tanya Ian sambil membimbing mama untuk duduk disalah satu meja.
“Mama mau ketemu kamu” Jawab mama tersenyum lembut.
“Ketemu aku, terus mama tau aku disini..?” Ian ikut duduk dihadapan mama setelah membantu beliau duduk terlebih dahulu.
“Gugun yang bilang kalau kamu bekerja disini sekarang” Mama berhenti sebentar untuk menatap wajah Ian dalam, kemudian menyentuh pipinya. “Mama khawatir sama kamu. Kamu
kelihatan kurus sekali waktu pulang tempo hari”
Ian tersenyum pelan, “Ian gak apa-apa ma!”
Mama mendengus pelan, beliau sudah menduga Ian akan menjawab demikian. Tangan yang membelai lembut pipi Ian beliau pindahkan untuk menggenggam tangan Ian.
“Mama juga ikut sedih dengan pekerjaanmu yang dulu”
Mata Ian sedikit melebar, dari pernyataannya mama seakan mengkonfirmasi kalau dia tahu tentang bagaimana Ian keluar dari pekerjaannya dulu.
“Kenapa kamu tidak beritahu mama?”
Ian hanya tersenyum dengan pertanyaan itu.
“Kamu tidak lapor polisi?”
Jika pernyataan tadi seakan mengkonfirmasi maka dengan pertanyaan kali ini mama benar-benar mengkonfirmasi bahwa beliau tahu bagaimana proses Ian keluar dari tempat kerjanya yang dulu. Gugun pasti sudah bercerita pada mama.
‘Seharusnya kamu tidak menceritakannya Gun’
“Tidak perlu ma. Dia mungkin punya alasan kuat kenapa melakukannya. Lagipula waktu akan menunjukkan siapa yang benar”
Mama menatap sayu wajah Ian “Butuh waktu lama jika kamu menunggu waktu melakukannya”
Ian tidak menjawab, dia tahu persis ucapan mama benar. Akan butuh waktu yang lama jika menunggu waktu melakukannya. Tapi masalahnya saat itu terlalu banyak masalah yang Ian hadapi dan peristiwa itu juga terjadi begitu tiba-tiba sehingga Ian tidak bisa berfikir. Pada saat bersamaan orang yang selama ini menjadi tempatnya bersandar telah berubah serta menjaga jarak dengannya karena menemukan yang lain, dan Ian pun tak memiliki tempat untuk berbagi.
karenanya Ian memilih mundur. Menganggap semua uang yang ia serahkan sebagai ganti rugi bukan rejeki untuknya.
“Semua sudah seperti ini ma, jadi akan lebih baik jika tetap seperti ini. Hanya akan memperburuk keadaan jika Ian mengungkitnya lagi”
Mama tersenyum diantara matanya yang berkaca-kaca. Tidak salah beliau menjadikan pria ini sebagai anaknya. Dan satu-satunya alasan mengapa beliau membiarkan Gugun bersama pria adalah karena Ian lah pria itu.
Setelah mendengar ucapan Ian mama mengangguk pelan dan berkata “Baik kalau itu mau Ian”
Ian tersenyum lega begitu pula mama.
“Eh lupa, mama mau makan? Biar Ian siapin”
Mama menoleh sebentar kesekitar “Tadinya mama mau ngajak kamu keluar dan makan tapi karna sudah disini mama makan disini saja. Kamu jam berapa selesai kerja?”
“Ian selesainya malam ma”
“Larut?”
“Tidak, tidak sampai larut” Jawab Ian cepat.
Mama terdiam berpikir. Ian melakukan hal yang sama. Mama sudah repot-repot datang kesini untuk menemuinya karena itu tidak mungkin dia tidak meluangkan waktu untuk menemani wanita yang sangat dia hormati itu. Tapi jika mereka keluar malam setelah Ian selesai bekerja pasti akan sangat melelahkan bagi mama untuk melakukannya, bukankah beberapa waktu lalu beliau sempat masuk ke rumah sakit? Tapi kalau menunggu besok takutnya mama menunggu terlalu lama dan bisa jadi mama sedang buru-buru pulang.
“Mama tunggu sebentar ya, Ian minta izin dulu supaya kita bisa keluar sekarang”
“Jangan, nanti pekerjaan kamu terganggu. Mama bisa nunggu kamu selesai kerja atau besok juga tidak apa-apa”
“Tidak apa-apa ma, kalau memang tidak diberi izin baru kita pergi besok. Ian coba dulu!”
Mama menatap Ian tidak enak.
“Tapi sebelum kita pergi mama makan dulu sedikit” Ujar Ian sebelum pergi, dan tidak bisa ditahan mama tersenyum karenanya.
---
Ian mendapat izinnya untuk pulang labih cepat hari ini tapi dengan konsekuensi selama seminggu dia yang melakukan pekerjaan mengepel lantai tanpa mengurangi pekerjaannya yang lain. Syarat itu dia sendiri yang mengajukan untuk menghindari ketidaknyamanan teman-temannya karena dia sering izin. Dan syarat tersebut disambut sorak ria dari mereka yang merasa terbebas dari pekerjaan mengepel selama seminggu kedepan.
Setelah berganti pakaian Ian segera menemui mama yang sempat dia tinggal sebentar untuk berganti pakaian. Sebelumnya Ian sudah membawakan makan siang untuk mama supaya beliau punya kegiatan saat menunggunya. Dan begitu Ian kembali mama belum menghabiskan separuh hidangan tersebut. Jadinya Ian balik menunggu sambil menemani mama makan.
Butuh waktu sedikit lama bagi mama untuk bisa menghabiskan makanannya, dan Ian menunggu dengan sabar. Sesekali Ian mengajak beliau mengobrol supaya mama bisa lebih santai dan tidak terburu-buru karena berpikir Ian sedang menunggu.
“Kita tunggu sebentar ya!” Ucap mama pelan begitu Ian kembali dari dapur. Tadi dia membawa piring bekas mama kesana karena akan sangat tidak enak jika sampai rekan lain yang melakukannya. Dia sudah pernah merasa sangat tidak enak pada salah satu rekannya karena membuat orang itu melayaninya, dulu, ketika peristiwa dengan Dewa. Karena itu kali ini dia memastikan hal itu tidak terjadi lagi.
“Tunggu apa ma?”
Mama sudah hendak menjawab namun matanya justru melihat
keluar jendela seperti melihat sesuatu. Beliau lalu tersenyum dan berkata seraya bangkit dari duduknya.
“Itu dia sudah datang. Ayo!”
Ian menoleh untuk melihat apa yang mama maksudkan dan saat itu juga sesuatu melesak masuk kedalam tenggorokannya kemudian mengisi penuh perut dan dadanya hingga dia merasa tercekat.
‘Jangan bilang Gugun akan ikut’ Batin Ian menolak.
“Ayo Ian!” Ajak mama lagi yang saat itu sudah berdiri dipintu restoran membuat Ian tidak punya pilihan lain selain ikut.
Diluar Gugun sudah menunggu didekat mobilnya dengan senyum merekah untuk menyambut kedatangan mama. Tak lupa dia juga membagi senyumnya untuk Ian yang dibalas senyum simpul oleh Ian.
Mama segera naik didepan disebelah Gugun, Ian membuka pintu belakang supaya bisa segera masuk kedalam mobil sehingga dia bisa menghindari tatapan Gugun yang sudah mengawasinya sejak dia keluar tadi.
Mobil yang mereka kendarai memasuki kawasan sebuah Mall besar dan elit, mama sendiri yang meminta untuk kesana karena mengingat hujan yang tidak memungkinkan mereka untuk berada diluar gedung. Selama dalam perjalanan tadi Ian lebih banyak diam, dia hanya menjawab jika mama bertanya atau mengajaknya bicara. Sedangkan Gugun dia hanya bicara dengan mama dan tidak sedikitpun berusaha bicara dengan Ian. Kejadian direstoran waktu itu masih menghalanginya, mengingatkannya agar tidak bertindak gegabah.
Memasuki Mall, mama menggandeng kedua lengan anak laki-lakinya menyebabkan Ian terposisi pada situasi canggung. Namun seperti merasakan kecanggungan Ian, mama melepaskan genggamannya pada lengan Ian setelah sebelumnya mengusap pelan punggung Ian untuk menenangkannya.
Saat sedang berbelanja, dimana Gugun tidak berada didekat mereka, mama menghampiri Ian dengan wajah khawatir.
“Ian, maaf mama tidak bilang kalau Gugun ikut. Kamu masih tidak nyaman?”
Ian sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut namun dia menggeleng pelan dan tegas. “Tidak ma, Ian tidak apa-apa”
Mama menunjukkan tatapan tidak yakin tapi beliau tidak berkata apa-apa lagi dan menerima jawaban Ian. Beliau melanjutkan acara belanja yang sempat menimbulkan pertanyaan Ian karena banyaknya jumlah yang dibeli. Ian jadi berpikir bagaimana mama membawa pulang semua ini, beliau kan datang seorang diri.
‘Apa Gugun akan mengantar mama pulang?’ Tanya Ian pada diri sendiri sambil mendorong troli dan mengikuti kemana mama pergi. ‘Sebaiknya begitu’
Selesai belanja disatu tempat mereka ketempat lainnya. Mama terlihat begitu bersemangat, beliau banyak bertanya ini itu pada Ian menunjukkan benar beliau ingin menghabiskan hari itu bersama. Dan karena terlalu asik berbelanja mereka sampai tidak menyadari kalau jam telah menunjukkan pukul delapan malam lewat. Mereka kemudian berhenti saat melihat mama sudah terlihat kelelahan karena acara belanja tadi. Mereka pun memutuskan untuk mencari tempat makan di Mall tersebut untuk istirahat serta makan malam.
Mereka memilih restoran ala jepang karena restoran tersebut menyediakan meja rendah sehingga mama bisa meluruskan kaki lelahnya. Begitu mereka sudah duduk, Ian tanpa aba-aba segera memijat pelan kaki mama sambil mengajukan protes kalau mama terlalu memaksakan diri hari ini. Protes yang hanya ditanggapi dengan santai oleh mama.
Mereka sedang menikmati hidangan masing-masing ketika ponsel Gugun berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gugun mengecek ponselnya dan menemukan nama Ogi sebagai pengirim pesan
Ogi :
-Kamu dimana?-
Gugun:
-Lagi dikantor-
Bohong Gugun dalam pesan balasannya.
Ogi:
-Oh, aku pikir kamu lagi makan direstoran
jepang sama mantan dan mamamu, soalnya
aku lagi disitu sekarang-
Mata Gugun melebar seketika dan reflek dia segera melihat ke sekitar. Hanya dua detik kemudian dia sudah menemukan Ogi yang duduk seorang diri tak jauh dari tempatnya sedang melihat padanya. Hanya beberapa detik, lalu Ogi kembali mengetik sesuatu pada ponselnya.
Ian yang sempat merasakan perubahan Gugun ikut melihat kearah pandangan yang membuat orang itu terkejut. Begitu tahu apa yang dilihat Gugun Ian mengalihkan pandangannya lagi pada Gugun yang masih terlihat terkejut atau lebih tepatnya ketakutan sekarang, sebelum akhirnya dia menunduk dan meneruskan makannya.
Ponsel Gugun kembali bordering
Ogi:
-Aku mau bicara-
Segera setelah pesannya terkirim Ogi meninggalkan mejanya menuju kamar mandi restoran. Gugun melakukan hal yang sama begitu dia sudah membaca pesan dari Ogi.
“Aku ke kamar mandi dulu” Pamitnya pada mama dan Ian.
Mama hanya menjawab sambil lalu sementara Ian mengantar Gugun dengan tatapannya hingga dia menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Didalam kamar mandi Ogi sedang mencuci tangannya di wastafel, dia memang tidak berniat untuk ke kamar mandi. Dia disana hanya supaya bisa leluasa bicara dengan Gugun. Dan perasaan gugup yang melandanya membuat dia tidak tahu harus melakukan apa hingga dia pun memilih mencuci tangannya yang tidak kotor sama sekali.
“Kamu kenapa disini?” Tanya Gugun dengan bodohnya sangking dia tidak bisa menemukan pertanyaan yang lebih pantas.
“Aku?” Tanya Ogi balik dengan nada sedikit mengejek. “Aku lagi makan malam, sendirian, soalnya pacarku lagi lembur jadi tidak bisa menemaniku. Dan aku gak tau kalau kantor pacarku itu sudah pindah ke restoran jepang sekarang”
Sungguh pukulan telak bagi Gugun mendapat sindiran keras dari Ogi.
“Maaf… aku…”
“Apa?” Kejar Ogi dengan tampang yang sangat tidak enak untuk dilihat.
Gugun menghela nafas panjang, dia bingung harus mulai menjelaskan dari mana.
“Kalu nggak ada yang mau kamu bilang sebaiknya kamu kembali karna sepertinya rapat mu belum selesai” Sindir Ogi lagi sebab Gugun tak kunjung memberi penjelasan atau justru dia yang terlalu tidak sabar menunggu.
Gugun lagi-lagi menghela nafas panjang sebelum menjawab.
“Mama baru datang kemarin dan tadi beliau memintaku untuk menemaninya belanja, aku tidak mungkin menolak permintaan mama ku sendiri”
“Lalu kenapa kamu bohong? Kamu tinggal bilang kan kalau kamu sedang bersama mamamu, gak perlu pakai acara bohong segala”
Gugun diam tidak menjawab, dia menyadari betul ketololannya tadi.
“Seharusnya kamu bilang kalau mamamu datang, aku kan juga mau berkenalan.” Ucap Ogi merajuk membuat Gugun jadi serba salah. Bagaimana mungkin dia mengenalkan Ogi ke mama, beliau pasti akan langsung tahu bahwa Ogi lah orang ke tiga antara dia dan Ian. Dia tidak mau hubungannya dengan mama yang baru beberapa waktu lalu menghangat, itu pun berkat Ian, akan kembali mendingin karna beliau bertemu Ogi.
“Belum saatnya, kalau saatnya tiba aku pasti mengenalkan kalian” Kata Gugun mencoba memberi pengertian.
Mendengar jawaban Gugun wajah Ogi merengut sebal. “Masih belum? Bahkan saat mamamu sudah disini kamu bilang belum saatnya. Lalu kapan saat itu tiba? Kamu tidak harus mengenalkanku sebagai kekasihmu”
Gugun terdiam tak berkutik.
“Dan Ian? Kenapa dia boleh bertemu dengan mamamu sementara aku tidak?” Ogi semakin menyerang Gugun dengan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan.
“Bukan begitu…”
“Apa Ian sedang mencari peluang untuk kembali denganmu dengan mendekati orang tuamu atau... justru kalian memang sedang bermain dibelakangku?” Tanya Ogi dengan suara bergetar.
Rasa cemburu telah mengikis toleransi yang selama ini dia miliki. Ogi yang dulu menyadari penuh posisinya sebagai selingkuhan dan berusaha mengerti keadaan, sekarang justru lupa dan menempatkan Ian pada posisinya dulu.
Gugun demikian tertegun dengan tuduhan Ogi, sesuatu yang sudah dia prediksi sebenarnya jika sampai dia ketahuan, tapi dia tidak menyangka jika reaksi Ogi akan seperti ini. Awalnya dia mengira Ogi akan cemburu lalu merajuk seperti biasa dimana dia tidak akan bicara dengan Gugun selama beberapa waktu. Dan Gugun sempat takut kalau Ogi akan merasa terkucilkan jika melihat dia sedang bersama mama dan Ian karena mengingat cara mereka menjalin hubungan dilakukan dengan cara yang tidak baik.
Namun yang terjadi malah diluar dugaan. Ada rasa tidak suka menyergap hati Gugun mendengar apa yang baru saja Ogi ucapkan padanya. Ucapan yang membuatnya ingat tentang perlakuannya terhadap Ian. Dan itu menyakitinya.
“Tidak ada yang bermain di belakang. Ian sudah dekat dengan mama jauh sebelum ada perasaan diantara kami. Dia sudah dekat dengan keluargaku jauh sebelum kami menjadi sepasang kekasih”
Entah sadar atau tidak, penjelasan yang Gugun sampaikan untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut justru lebih terdengar untuk membela Ian. Mendengar ucapan Gugun, Ogi hanya mampu terdiam karena tidak menyangka pacarnya akan membela Ian. Setidaknya itulah yag dia tangkap.
“Maaf aku harus kembali, mama menunggu”
Gugun tidak mengerti mengapa dia ingin pergi padahal pikirannya berulangkali mendorongnya untuk lebih menenangkan Ogi supaya dia tidak berpikir macam-macam. Namun, tubuhnya seakan mengontrol diri sendiri hingga perintah untuk tetap tinggal dan menenangkan Ogi pun diabaikan begitu saja.
Perasaan takut akan kehilangan dan juga ditinggalkan oleh Gugun menyerang Ogi tiba-tiba. Bukan tanpa alasan dia merasakan hal tersebut, sikap dan cara Gugun bicaralah yang menyebabkannya. Baru saja Gugun berpamitan dengan mimik seakan dia enggan berlama-lama dengan Ogi, dan dia pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
Di tempatnya, mama dan Ian terlihat asik bercengkrama hingga tidak begitu memperhatikan kedatangan Gugun. Berselang beberapa waktu setelah Gugun duduk Ogi menyusul, tapi dia tidak kembali duduk di mejanya melainkan segera pergi meninggalkan restoran setelah member sejumlah uang pada pelayan untuk membayar makanannya.
Gugun melihat sekilas pada Ogi lalu kembali menghadap hidangannya yang baru sedikit berkurang. Sebenarnya nafsu makannya sudah hilang tapi dia memaksa untuk makan dan bersikap biasa saja di depan mama. Namun Ian yang sempat melihat bagaimana tadi Ogi datang kemudian memandang penuh makna pada Gugun yang tidak melihat padanya sebelum akhirnya dia pergi, membuat Ian tahu apa yang baru saja terjadi. Ian memberikan tatapan minta maaf pada Gugun yang sama sekali tidak melihat karena fokus menghabiskan makan malamnya.
Selesai dari restoran, giliran Ian yang dalam masalah. Bagaimana tidak, mama meminta Ian untuk menunjukkan tempat tinggalnya. Ian berupaya keras menolak, tapi mama tidak mau sudah jauh-jauh datang namun tidak tahu tempat tinggal Ian yang baru. Dan dengan segala alasannya mama akhirnya menang karna Ian bersedia menunjukkan tempat tinggalnya.
Meski setuju tapi dalam hati Ian berulangkali merapal kalimat ‘Bagaimana ini?’.
Berbeda dengan Ian, Gugun justru berbinar begitu mendengar Ian mengalah. Itu yang dia tunggu selama ini. Tak bisa dia pungkiri ada rasa khawatir yang kerap mengganggunya setiap kali memikirkan dimana Ian tinggal. Meski dia hanya diam di belakang kemudi ketika mama dan Ian berargumen namun dia mendukung penuh dan berharap mama mendesak Ian. Dan hasilnya sesuai harapan Gugun, mama benar-benar mendesak Ian serta berhasil melakukannya.
Di depan sebuah kos-kosan Ian memberi aba-aba untuk berhenti. Hatinya kian kalut membayangkan reaksi mereka saat melihat kamar yang dia tempati.
“Jangan lupa barang-barangnya dibawa turun”
“Huh?” Ian menoleh terkejut. Perasaannya tidak enak. “Kenapa dibawa turun ma?”
Mama tidak menjawab, beliau malah meminta Gugun untuk membawa barang-barang belanjaan tadi. Sementara beliau sendiri menggandeng tangan Ian dibawah gerimis yang masih turun untuk masuk kedalam kosan.
Ian membuka kamar kecilnya untuk mama dan seketika itu
beliau tertegun kemudian menatap gelisah pada Ian.
“Ian…”
“Ini cuma untuk sementara ma, Ian akan segera pindah begitu menemukan kosan baru” Bohong Ian.
Mama jelas tidak percaya. Beliau begitu yakin kalau Ian sedang berbohong sekarang tapi beliau tidak menyanggah, beliau justru melihat pada Gugun yang sama tertegunnya dengan mama.
“Bawa masuk, letakkan saja di situ”
“Ma... Kenapa barang-barangnya dibawa kemari” Tanya Ian ikut gelisah walau dengan alasan yang berbeda.
Mama mendekat dan menyentuh pipi Ian “Itu semua untuk Ian”
“Ma...” Ian sudah hendak menjawab.
“Tolonglah, supaya mama bisa tenang waktu tiba kerumah. Tapi mama tidak yakin sekarang”
Ian menunduk lemah, mama memeluknya.
“Kalau ada apa-apa cerita sama mama” Ucap mama lembut lalu melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Ian. “Ingat, sampai kapanpun Ian itu anak mama”
Ian mengangguk cepat, bibirnya bergetar dan saat bersamaan cairan bening menetes dari matanya. Mama memeluk Ian lagi untuk menenangkannya. Gugun yang menonton ingin melakukan hal yang sama tapi sesuatu menahan kuat tubuhnya agar tidak bergerak dan diam di tempat.
Mama baru pamit pulang setelah sedikit menyusun barang belanjaan mereka pada tempat yang tersisa. Sebuah pelukan hangat diterima Ian sebelum mama ke luar dari kamar kecil dan sempitnya. Tinggal disana Gugun yang terus menatap Ian tanpa berkedip diikuti kaki yang perlahan melangkah mendekati Ian.
Satu langkah tersisa diantara mereka cukup untuk membawa kekakuan amat besar bagi keduannya. Tangan Gugun sudah akan menyentuh Ian jika saja ian tidak segera mengingatkan.
“Mama menunggu Gun, jangan sampai beliau menunggu terlalu lama.”
Gugun mengurungkan niatnya dan berbalik, “Aku pergi!” Katanya pelan.
“Mmm!”
Begitu suara pintu menutup Ian terduduk lemas diatas kasur tipis yang dibentang langsung di atas lantai. Malam itu menjadi salah satu malam terpanjang bagi Ian. Ditemani suara air hujan yang masih berjatuhan matanya tak kunjung terpejam sekeras apapun dia berusaha. Perasaan tidak enak mengganggunya dengan begitu gencar, entah mengapa dia merasa kalau setelah ini akan semakin sulit baginya untuk menjauhi Gugun.
Tok tok tok
Ian dibuat terkejut dengan ketukan pintu kamarnya tengah malam seperti ini. Dia melihat jam yang menunjukkan pukul dua malam lewat. Dia sudah cukup gelisah sebelumnya dan ketukan tadi kian membuatnya gelisah. Namun dia tetap berjalan kepintu karena bisa saja itu pak Agam yang sebenarnya sangat tidak memungkinkan untuk berada disana.
Wajah kusut dan basah Gugun lah yang menyambut Ian pada jam selarut itu. Tidak seperti tadi, kali ini Gugun tanpa ragu memeluk Ian dengan sangat erat. Mengabaikan bajunya yang basah karena sempat terkena air hujan, dia tidak peduli jika Ian akan menolak karena yang ingin dia lakukan saat ini hanyalah memeluk Ian.
Ketidaktenangan hatinya membawa dia kembali kemari, bahkan dia mengabaikan masalah antara dia dan Ogi dan memilih datang menemui Ian pada jam selarut itu.
“Aku tidak akan pernah keberatan jika kamu tetap tinggal dirumah itu. Jadi kembalilah kesana” Ada isak tersembunyi yang ditangkap pendengaran Ian dalam suara Gugun.
“Jangan menyiksa dirimu lebih parah lagi” Lanjut Gugun lebih mengeratkan pelukannya.
Bibir Ian bergetar dan sekali lagi matanya berair, 'Kenapa baru sekarang Gun? Kenapa baru sekarang kamu peduli?’Tanya Ian pilu tanpa suara.
Hanya dalam hitungan detik pertahanan keduanya runtuh, tak ada lagi yang perlu mereka ucapkan cukup tubuh dan hati mereka saja yang melakukannya. Ian tidak balas memeluk namun juga tidak menolak, dia membiarkan Gugun melakukannya sebagai ganti dia yang menyandarkan kepalanya di bahu Gugun. Sesuatu yang tidak sempat dia lakukan ketika ada begitu banyak beban yang harus dia pikul.
Hari ini langit terlihat cerah, tidak ada tanda-tanda hujan akan turun lagi seperti kemarin. Suasana jalanan pun masih lengang karena ini adalah hari libur. Hari dimana orang-orang akan bersenang-senang atau sekedar bersantai dari kesibukan mereka yang sudah berlangsung selama seminggu. Hari yang kemungkinan sudah ditunggu-tunggu oleh banyak orang kecuali Ian.
Tidak ada alasan baginya untuk menyambut bahagia hari itu karena, suasana hatinya jauh dari kata bahagia. Bukan karena dia tidak memiliki hari libur seperti yang lain sebab harus tetap bekerja. Tapi Gugun lah penyebabnya. Gugun telah begitu berhasil membuatnya gelisah hingga merasa takut. Dengan sikap yang Gugun tunjukkan sekarang bukan tidak mungkin Ian akan kesulitan untuk melupakan orang itu malah yang ada harapannya akan kembali tumbuh dalam hatinya. Wajah sendu dan kecewa Ogi saat meninggalkan pun bermain dikepalanya.
‘Ini tidak boleh terjadi!’ Tekan Ian pada diri sendiri berulang kali.
Hal tersebut menjadi fokus Ian hingga dia tiba di apartemen Dewa dan sedang menyiapkan sesuatu. Dewa yang muncul masih dengan rambut basah serta bathrobe yang membalut tubuhnya tidak banyak menarik perhatian Ian. Biasanya dia akan risih karena selalu teringat peristiwa Dewa memeluknya, namun tidak kali ini. Ian melakukan pekerjaannya dengan begitu fokus tanpa melirik pada hal lain. Dewa yang memperhatikan hal tersebut mengira kalau Ian sedang berusaha menutupi kerisihannya seperti beberapa waktu lalu.
Dia pun mengerutkan kening heran karena berpikir seminggu sudah berlalu namun mengapa Ian masih risih. Padahal dia sudah membantu Ian melupakan kejadian tersebut dengan bersikap dingin serta tidak mengungkit hal tersebut. Hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.
Sungguh!
Bersusah payah hanya demi orang lain agar tidak merasa risih bukanlah sifat Dewa selama ini, atau dia belum menunjukkannya karena belum menukan orang yang tepat? Hanya dia yang tahu. Namun yang pasti, saat ini dia sudah melakukannya untuk Ian.
Kembali kepada mereka, Dewa semakin yakin kalau Ian masih berusaha menutupi rasa risihnya karena dia menghindari kontak mata saat menghidangkan sarapan Dewa. Padahal yang sebenarnya Ian sedang memutar otak bagaimana caranya menghindari Gugun yang entah mengapa terpikir olehnya akan datang lagi ke kosan.
Dewa menghabiskan sarapannya dalam diam, tapi matanya tak luput memperhatikan Ian yang sedang sibuk melakukan sesuatu, apapun itu. Benar-benar terlihat seperti sedang menutupi kerisihan di mata Dewa. Dia pun tidak mengganggu Ian dan meneruskan makannya hingga tak ada sisa di piring.
Ketika Ian sedang mencuci peralatan bekas memasak tadi dia dibuat terkejut dengan kemunculan Dewa yang tiba-tiba sudah berdiri didekatnya dalam jarak yang sangat dekat. Dewa meletakkan piring bekasnya ke dalam bak cuci sambil mengawasi Ian.
“Buatkan aku kopi dan antar kekamarku” Katanya sebelum pergi.
Ian seperti kembali kealam sadar menjawab dengan gugup perintah tersebut.
Secangkir kopi dengan sedikit asap mengepul Ian bawa menuju kamar Dewa. Saat Ian masuk Dewa sedang berdiri didekat jendela kaca kamarnya sambil bersandar pada dinding yang berbatasan dengan jendela tersebut. Matanya menerawang memperhatikan keluar jendela seolah ada yang menarik di luar sana.
“Kopi anda pak!” Tegur Ian.
Dewa menoleh seraya mengulurkan tangan kirinya meminta cangkir di tangan Ian. Ian mendekat dan menyerahkan cangkir tersebut.
“Ada lagi yang anda perlukan pak?” Tanya Ian yang tidak langsung dijawab oleh Dewa karena, dia sedang menyeruput sedikit kopi yang sekarang ada ditangannya.
Setelah merasa cukup Dewa meletakkan cangkir tadi pada sebuah meja tak jauh dari tempatnya berdiri dan kembali ke tempat dia berdiri tadi.
“Kemarilah!”
Dia memanggil Ian untuk mendekat ke jendela. Ian mengerut bingung namun tidak menolak untuk mendekat. Dia berdiri tepat disebelah kiri Dewa dan melihat pemandangan kota dari ketinggian itu.
Untuk beberapa saat mereka tidak bicara satu sama lain, tapi kemudian Ian berpikir mengapa Dewa memanggilnya kemari? Mulai bisa merasakan gelagat aneh Dewa sesekali Ian menoleh pada orang itu.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya Dewa tiba-tiba.
“Huh?”
Dewa menolehkan kepalanya untuk melihat Ian dan mengulangi pertanyaannya dengan sabar.
“Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu, apa yang sedang kau pikirkan?”
Mata Ian sedikit membulat karena ketahuan sedang memikirkan sesuatu. Reaksi tersebut justru semakin meyakinkan Dewa tentang dugaannya.
Ian mengalihkan kembali pandangannya pada pemandangan kota di pagi hari.
“Hanya masalah pribadi?”
“Apa itu?” kejar Dewa
Ian mengerutkan kening karena merasa Dewa sedang memaksanya dan itu membuatnya jengah.
“Bukan masalah penting” Ian hendak pergi dari sana tapi Dewa menarik Ian dan sebelum Ian bisa berontak Dewa sudah mengurungnya dengan mendorong Ian bersandar pada jendela sementara kedua tangan Dewa mengunci Ian ditengah.
“Aku ingin tau apa masalah tidak penting itu? Apakah itu sesuatu yang berhubungan denganku?”
Ian tak sengaja menatap langsung mata Dewa karena terkejut, hanya beberapa detik, dia cepat sadar dan segera munundukkan kepalanya.
“Ini masalah pribadi dan saya bisa pastikan ini bukan mengenai anda. Maaf jika sikap saya membuat anda berpikir demikian”
Dewa mencerna setiap kata yang Ian ucapkan dan dia akhirnya sadar jika dia telah salah paham. Dia telah dengan sangat percaya diri berfikir jika Ian memikirkannya. Mengetahui jika dia telah salah, harga dirinya seketika membangun benteng pertahanan agar tidak diserang rasa malu.
Namun kemudian Dewa berpikir jika memang tidakannya yang seminggu lalu bukanlah penyebabnya lalu apa? Apa yang terjadi sehingga bisa mengalahkan tindakannya waktu itu untuk menempati pikiran Ian? Dewa menyelidiki setiap mili wajah Ian untuk menemukan jawabannya, tatapannya seakan sedang menginterogasi bagian-bagian tersebut dan meminta mereka menjawab jujur.
Namun usahanya sia-sia, bagian-bagian itu tak memberi jawaban untuknya. Oleh sebab itu, diantara kecewa dan harga diri yang turun mulutnya bergerak mengucapkan begitu saja kalimat yang masih ingin dia simpan untuk lain waktu.
“Jadilah milikku!” Dewa mengalihkan tatapannya dari wajah ke mata Ian saat mengatakan kalimat itu. “Jadilah kekasihku!” Lanjutnya.
Mata Ian melotot seakan mata itu ingin keluar dari tempatnya. Dan Dewa sama sekali tidak memperdulikan keterkejutan Ian, dia malah mendekat untuk memeluk Ian, menempatkan hidungnya dilekuk leher Ian, merasakan kembali detak jantung Ian serta menghirup dalam aroma pernah memenuhi penciumannya. Kali ini dengan aroma yang berbeda dari waktu itu, lebi segar dan lebih menenangkan. Meski tidak bisa Dewa pungkiri dia menyukai kedua aroma tersebut.
Waktu seakan berjalan begitu lambat, Ian yang akhirnya bisa menguasai diri mencoba mendorong tubuh Dewa menjauh. Tidak ada perlawanan dari Dewa, dia mengikuti dorongan Ian untuk melepaskan pelukannya. Tapi tidak membiarkan Ian mendorongnya hingga tercipta banyak ruang antara mereka. Dewa menjaga jaraknya dan Ian tetap dekat satu sama lain.
‘Apa yang sedang terjadi?’ Batin Ian bingung. ‘Mengapa dia bicara seperti tiu?’
Dewa tidak sedikitpun membiarkan tatapannya berpaling dari Ian, menunggu jawaban untuk pertanyaannya. “Apa jawabanmu?” Tanya Dewa kemudian sebab Ian tak kunjung menjawab.
“Sa-saya...sa..ya..”
“Tidak perlu terburu-buru, tapi sebagai gantinya kau harus tinggal disini bersamaku”
Belum reda rasa terkejut yang dia dapatkan barusan, dia sudah dikejutkan lagi oleh kalimat Dewa selanjutnya.
Ian menundukkan kepalanya bingung sambil menggeleng lemah. Kelabat bayangan Gugun muncul, ‘Tinggal disini?’ Dua kata tersebut seakan menjadi jalan keluar yang dia cari untuk bisa menghindari Gugun.
‘Bisakah aku berlindung padanya?’ Tanya Ian bimbang pada diri sendiri. ‘Tapi... jika aku melakukannya berarti aku memanfaatkan dia’
‘Lalu apa yang harus kulakukan? Aku harus menghindari Gugun...haruskah kuterima tawaran ini? Tapi jika tidak ini, tidak ada cara lain’
‘Bagaimana...?’
Nafas Ian memburu memikirkan hal itu. Kebimbangan menguasainya dan saat seperti itu dia menjadi orang yang mementingkan diri sendiri.
“Baik, saya akan tinggal disini” Jawab Ian dengan mata memerah dan berair.
Dewa menatap datar wajah Ian sebelum akhirnya memeluk pria itu erat yang segera dibalas Ian karena rasa takut, bimbang serta bersalah yang dirasanya.
‘Maafkan aku.... kumohon maafkan aku!’ Pinta Ian dalam hati yang sudah jelas tidak didengar oleh Dewa.
----
maaf lama, semoga masih berkenan dan mohon bimbingannya
terimakasih, salam Nara!