It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
jd judul when holiday greets ini mncritakan btapa liburan rakha dan ibel saat ke jogja nanti bakalan jd liburan yg indah dan mngesankan..dan suatu saat nanti mereka akan berpisah, lalu mereka akan mngenang kisah liburan saat mereka brsama dulu yg sgt indah.. *sotoy bgt ya gue *
lanjuuutttt mas..critanya keren
tp kyknya rifkha asyik tu kalo jd temen curhat ibel
U,u kasian amat para cewek , sekarang itu para cowok ganteng banyak y belok,,, mereka kebagian y jelek2 j deh #wkwkwkwk
lanjut
Bergaul dengan Rifka nyatanya berhasil membuat hubunganku dengan mama kembali normal. Seolah kejadian di Singapura sudah dilupakan oleh mama sepenuhnya. Setelah pertemuan di pesta pernikahan itu, aku dan Rifka tetap saling kontak sebagai teman, karena kami berdua tahu hubungan kami tidak bisa mengarah ke saling tertarik.
Rifka setuju untuk merahasiakan kalau dia sudah tahu kalau aku gay dari mamanya. Dia juga ingin sendiri dulu tanpa terus dicomblangi oleh mamanya pada setiap cowok yang seumuran dengannya, anak teman mamanya. Dia bilang lebih asyik jalan dan ngobrol denganku daripada dengan teman-teman ceweknya karena obrolan kami tentu memiliki topik yang berbeda. Aku tidak berpikiran macam-macam apakah ada maksud tertentu saat Rifka mengatakan hal itu.
Kekangan mama kepadaku sedikit berkurang. Pada hari kamis, pak Iman tidak bisa mengantarku ke kampus dan aku diperbolehkan untuk membawa mobil sendiri. Itu artinya aku bisa pulang jam berapa saja tanpa harus merasa kasihan pada orang yang selalu menungguiku. Artinya lebih lama bersama Rakha sore ini.
“Inu tadi pagi kesini, nyamperin aku,” kata Rakha sambil membelai lembut kepalaku yang bersandar di dadanya. Kami berdua sedang tiduran di kasur di kamar kos Rakha sambil sama-sama menatap langit seperti sedang meneropong masa depan kami berdua.
“Tumben,” kataku sambil mendongak untuk melihat wajah Rakha.
“Iya, dia ngasih tahu kalau di rumah kosannya ada kamar kosong, di sebelah kamarnya dia,” jawabnya sambil tangannya terus memainkan rambutku.
“Terus kamu mau pindah kesana?” tanyaku.
“Kalau boleh. Bosen juga disini sendirian, kalo malem lagi bosen gak ada yang bisa digangguin,” jawabnya sambil terkekeh. Aku tahu bahwa akulah yang dimaksud. Dia memang sering ke kamarku malam-malam dengan alasan yang beragam, tapi itu dulu.
“Hmm boleh gak ya,” kataku sok mengulur-ulur waktu.
“Ayolah sayang,” rayunya lembut. Hatiku berdesir saat dia memanggilku begitu. Meskipun bukan kali pertama, tetap saja setiap desiran itu selalu aku nikmati. Syahdu.
“Ada syaratnya,” kataku sambil bangkit lalu duduk di samping Rakha.
“Apa pun untuk kamu,” ujarnya sambil mengangkat kepalanya, tangan kanannya meraih leherku dan dia mencium bibirku dengan lembut.
Setelah dia melepas ciumannya, aku memandangi seantero kamar mencari benda yang seharusnya ada di kamar ini. Itu dia, tergantung di samping lemari baju kecil milik Rakha. Sebuah gitar yang bersejarah yang tiba disini tanpa senar satu pun.
“Aku mau kamu nyanyi, pake gitar,” kataku sambil menunjuk tempat gitarnya tergantung.
Rakha mendelik ke arah gitar dan memandangku tidak semangat. “Kamu yang main gitarnya ya?”
Aku menggeleng cepat. “Gak mau. Kan syaratnya buat kamu. Aku mau kamu nyanyiin satu lagu buat aku, diiringi gitar itu,” aku bersikeras.
“Tapi kan kita sama-sama tahu kalo kamu yang lebih jago main gitarnya,” elak Rakha.
“Jangan-jangan sejak aku hengkang dari sini, gitar itu udah gak pernah kamu sentuh ya?” aku menatap Rakha dengan tatapan menyelidik.
Dia menyeringai bodoh. Ternyata benar dugaanku. “Iya aku kan bawa gitar itu biar ada modus ke kamu, sayang,” katanya merajuk. Duh, kadang gak kuat kalau Rakha mulai merayu seperti ini. Entah kenapa aku bisa dengan mudahnya luluh dalam setiap rayuan gombalnya.
“Pokoknya gak boleh pindah kalau belum nyanyi,” aku berusaha keukeuh.
Rakha menghela nafas sebentar. “Iya deh,” ujarnya malas lalu beranjak dari kasur dan masih sempat-sempatnya tangan kanannya mengacak-acak rambut di kepalaku.
Tidak lama dia sudah kembali duduk di tepian kasur dengan gitar dalam pelukannya. Aku bergeser untuk duduk tepat di sampingnya. “Mau dinyanyiin lagu apa?” tanya Rakha.
“Surprise me!” seruku.
“Oke. Kalau gitu aku nyanyiin nina bobo,” katanya sambil terkekeh sendiri.
“Ih kagak mau ah!” aku menolak. “Yang lain, romantis sedikit kenapa?” gerutuku.
Rakha tertawa melihat tingkahku. “Hahaha. Sebentar aku pikirin dulu. Pembendaharaan lagu aku kan ga sebanyak kamu, Bel,” celotehnya. Iya deh. Aku mengangguk dan menunggu.
Kemudian jemari tangan kiri Rakha mulai bergerak membentuk formasi satu kunci nada. Kunci C. Tangan kanannya mulai memetik senar gitar perlahan. Dia duduk agak serong sehingga bisa sedikit menghadap ke arahku. Sebelum mulai menyanyikan liriknya, dia melemparkan senyuman andalannya kepadaku.
Percayakah kau akan pujangga
Menggoreskan tinta akan kata-kata indah
Terbangkanmu ke awan
Aku terus memandangi Rakha dengan sejuta rasa kagum. Bukan karena permainan gitarnya yang sudah lebih baik, tapi karena suaranya yang cocok dengan lagu yang sedang dibawakannya. Ah aku lupa lagu siapa dan apa judulnya.
Percayakah kau akan penyair
Memujamu dengan seribu kata-kata anggun
Menyejukkan harimu
Mata Rakha tidak lepas memandangiku. Tiba-tiba dia menciumku dengan kecupan lembut. Pipiku memerah. Kalau dia sampai kelewat romantis, bisa-bisa aku terbang nih. hehe.
Bila kau tak inginkan puisi oh tak apa
Bila kau tak percaya penyair pun tak apa
Ah aku ingat. Lagu Lyla, judulnya Percayakan. Seingatku aku dan Rakha tidak pernah memainkan lagu ini. Itu artinya dia mempelajarinya sendiri. Hebat.
Tapi percayakan hatimu padaku
Bila kau inginkan aku akan slalu menjaganya
Percayakan aku untuk jadi bingkai hatimu
Rakha mengakhiri petikan gitarnya. “Sudah?” tanyaku. Penonton kecewa.
Dia nyengir lebar. “Kan yang penting udah kunyanyiin. Sisanya kan diulang-ulang doang,” kata Rakha beralasan.
“Ah gak asik,” keluhku.
“Yang asik ini,” kata Rakha dan dia mencium bibirku lagi. Cukup lama kali ini kami berciuman, aku menikmati setiap gerakan bibir Rakha seperti biasanya. Dan seperti biasa pula, aku yang selalu mengakhiri ciuman kami.
Rakha menyandarkan gitar di dinding samping kasur. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku tajam. “Bel, aku merasa beruntung banget bisa jadi pacar kamu,” katanya.
“Iya, aku juga,” balasku.
“Kamu sudah bilang sama mama kamu tentang rencana ke Jogja?”
Aku langsung nyengir bodoh. “Belum,” jawabku sambil terkekeh sendiri.
“Nanti kalau gak diizinin gimana?” wajah Rakha berubah menjadi khawatir.
“Pasti diizinin kok. Kamu tenang aja ya,” kataku. Rakha tersenyum lagi.
Selanjutkan aku memutuskan untuk pulang. Sekarang sudah hampir magrib dan aku tidak ingin terlalu larut sampai di rumah. Seperti biasa Rakha mengantarku sampai lapangan tempat aku parkir mobil. “Hati-hati di jalan,” katanya sebelum aku menutup jendela mobil. Aku hanya mengangguk membalasnya.
Di tengah perjalanan ada sebuah BBM masuk. Begitu berhenti di lampu merah, kubuka pesannya. Awalnya kukira BBM dari Rakha, ternyata dari Rifka. Dia mengajakku untuk makan di salah satu resto di depan komplek perumahanku. Aku setuju untuk ikut dan mengatakan bahwa kemungkinan aku bisa tiba satu jam lagi.
Ini bukan kali pertama dia mengajakku pergi keluar. Setelah pesta pernikahan kami sudah beberapa kali bertemu karena memang rumah kami ternyata satu komplek. Dan tempat bertemu kami hanya sekitaran komplek saja.
Begitu sampai di resto yang dimaksud, aku bisa melihat tempat duduk Rifka dari pintu masuk. Dengan santai aku berjalan menuju mejanya.
“Udah pesen?”
“Udah. Lu lama banget sih,” gerutunya.
“Hehe. Macet, Rif. Ada kecelakaan tadi di tol,” aku menjelaskan. “Ada apaan?”
“Ada mie ayam, ada bakso, ada nasi goreng juga. Liat aja tuh di menunya,” jawab Rifka, tapi bukan jawaban seperti itu yang kuharapkan.
“Bukan itu dodol. Maksud gue ada apaan lu ngajak gue makan malem ini?” kataku meluruskan.
Dia terkekeh lalu garuk-garuk kepala sendiri. “Pertanyaan lu ambigu sih, Bel,” kilahnya. “Gini, gue kan mau ngajak lu pergi ke Kuala Lumpur, Bel. Sama temen-temen gue. Tiket pesawatnya gue beliin deh,” kata Rifka kemudian. Wah tawaran yang menarik.
“Kapan?” tanyaku tertarik.
“Minggu depan sih rencananya. Lu ada paspor kan? Oh iya lu kan baru balik dari Singapura masa gak ada paspor. Hehe. Gimana, Bel?” Duh nih cewek nyerocos aja sih tanpa ngasih sela buat orang ngomong. Keluhku dalam hati.
“Minggu depan?” aku memastikan dan Rifka mengangguk mantap. Dia menatapku penuh harap supaya aku bisa ikut. “Gue udah ada rencana ke Jogja, Rif,” kataku dan wajah Rifka langsung kecewa.
“Yahh. Gak bisa ditunda ya ke Jogjanya? Emang sama siapa sih?”
“Lu mau gue jawab pertanyaan yang pertama dulu apa yang kedua dulu?” gerutuku kesal karena Rifka membombardirku dengan pertanyaan berantai yang sepertinya terus muncul dalam benaknya.
“Hehe. Yang pertama terus kedua,” katanya.
Aku menepuk jidat. Sama aja itu mah. “Pertama, gak bisa. Karena cuma minggu depan dimana gue libur kuliah gue bisa kesana. Kedua, gue perginya sama pacar gue,” kataku jelas.
“Yah ampun,” keluh Rifka.
“Kenapa sih emangnya?” tanyaku penasaran.
“Gue sama temen gue mau kesana, berdua doang. Tapi nyokap gue gak ngizinin kalau gak ada cowok yang ngikut. Dan lu satu-satunya cowok yang bisa gue harapin buat ikut dan pasti nyokap gue izinin, Bel,” tutur Rifka.
“Satu-satunya?”
“Iya, Bel.”
“Duh gue merasa spesial,” kataku tersanjung.
“Eh kampret. Serius nih gue. Please banget, Bel. Ikut yuk ke Kuala Lumpur. Lumayan lho tiket pesawat gratis. Kalau gue komporin nyokap karena lu yang ikut, siapa tahu bisa ditambahin duit buat hotelnya juga,” katanya merayu sambil mengedip-ngedipkan mata cepat.
Aku berpikir sebentar. Lumayan juga sih tawarannya. Apalagi aku juga belum pernah ke Kuala Lumpur. Ah, rasa ingin ke Jogja dengan Rakha lebih dahsyat daripada tawaran Rifka. Aku tetap akan menolaknya biarpun dia menawarkan kamar hotel bintang lima sekalipun. Jalan-jalan itu bukan hanya tentang tujuannya, tapi juga tentang dengan siapa kita pergi kesana. Itulah yang membuat sebuah cerita menarik.
“Oke gue ikut, tapi gue gak ke Kuala lumpur,” kataku kemudian.
“Maksudnya?”
“Gue mau ke Jogja sama pacar gue dan kemungkinan bakal susah juga dapet izinnya. Jadi, biar win-win solution, kita anggap gue ikut lu ke KL meskipun sebenarnya gue ke Jogja. Nanti tinggal janjian aja pas berangkat sama pulangnya. Gimana?”
Rifka terlihat sedang berpikir sebentar. “Boleh juga. Tapi kalau nanti nyokap gue nelpon dan tiba-tiba minta ngomong sama lu gimana?”
“Ya bilang aja gue lagi di toilet cowok, jadi lu gak bisa ngasih hape-nya ke gue. Kalau perlu suruh nyokap lu telpon langsung ke gue...”
“Dan nyokap gue bakal nelpon lu yang sebenernya lagi di Jogja,” Rifka meneruskan. “Wah, ini akal bulus paling besar yang pernah gue rencanakan. Maafkan Rifka ya mama,” imbuhnya bergaya seperti sedang berdoa lalu mengusap tangannya ke wajah.
“Lu yang dosa, gue sih enggak,” kataku sambil terkekeh sendiri.
“Gue ikhlas kok Bel bagi-bagi dosa ke lu,” katanya sambil tertawa sendiri.
“Ogah. Mending bagi bakso tuh, enak kayaknya. Dan gue udah laper banget,” kataku begitu sadar dari tadi aku belum memesan apa-apa.
Rifka memanggil pelayan yang kemudian menuliskan menu yang kami pilih.
“By the way, gue liat foto pacar lu dong. Penasaran juga nih jadinya,” kata Rifka setelah pelayan tadi meninggalkan kami berdua.
“Ah entar lu envy lagi,” kataku meledek.
“Bisa jadi, haha.”
Aku pun mengeluarkan ponselku. Mengutak-atiknya sebentar untuk mencari foto Rakha yang paling bagus yang ada di ponselku. Ketemu, foto dia seorang diri di depan gedung fakultas. Sebenarnya ada foto kami berdua di kamar kos Rakha, tapi itu masuk kategori foto pribadi yang tidak boleh dilihat siapa-siapa selain aku dan Rakha. Lalu kuserahkan ponselku pada Rifka.
“Ihh. Kok bisa ganteng banget sih??” pekik Rifka begitu melihat foto Rakha.
Aku tersenyum sumringah. Waktu pertama kali melihat Rakha juga aku menilainya ganteng banget. Ya meskipun lama-lama jadi biasa dengan kegantengannya, sekarang jadi seperti biasa saja. Tapi tetap saja dia pacarku yang otomatis dapat predikat cowok paling ganteng di dunia. Haha.
“Tuh kan, lu jadi envy,” kataku meledek.
“Yakin ini fotonya? Bukan foto orang yang lu ambil dari internet?” Rifka menatapku dengan tatapan menyelidik.
“Kagak lah. Liat aja itu ada di folder kamera, fotonya asli diambil dari hape ini,” kataku tidak terima dibilang foto itu hasil download dari internet.
“Kalian curang. Yang ganteng-ganteng diembat semua,” gerutu Rifka.
“Dih siapa yang ngembat? Dari sononya udah begini ya mau diapain lagi?” aku berkilah.
“Iya deh, Bel,” Rifka menyerah. “Eh tapi kalau kalian berdua udah putus, kasih tahu gue ya. Siapa tahu dia bisa gue gebet,” imbuhnya sambil menatap nakal padaku.
“Sialan!” aku melempar sebuah sedotan plastik pada Rifka dan dia tertawa lepas. Ya kalau dia bisa sih silakan, paling hanya jadi korban kamuflase Rakha karena sebelum jadi pacarku, Rakha sudah kucap playboy cap kosan. Haha.
**
bahkan penulisnya jadi keblinger sendiri saking banyaknya mantannya si Rakha. x_x
lagi bagian anteng bro. tunggu aja ya. )