It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hidupku rasanya kembali normal. Normal dalam artinya aku memiliki segalanya sekarang. Aku punya keluarga yang masih tetap sama seperti sebelumnya, sibuk dengan urusan masing-masing, bagiku itu normal. Aku punya pacar yang selalu perhatian dan sayang padaku. Dan kini hidupku seperti semakin lengkap sejak adanya Rifka, karena dia menjadi teman curhatku dimana aku bisa cerita segalanya, bahkan tentang cowok.
Aku merasa sempurna, tidak ada yang bisa merusak hari-hariku sekarang. Tiap pagi aku bangun dengan segar dan mendapati BBM dari Rakha yang isinya sapaan pagi penuh kasih sayang. Kalau aku bangun lebih dulu, biasanya aku yang mengiriminya hal seperti itu. Di kampus, pergaulanku dan tingkah lakuku dan Rakha sama saja seperti sebelum kami pacaran. Ini termasuk hal yang kami sepakati untuk menutupi hubungan kami berdua. Dan kadang saat malam ada saja ajakan dari Rifka untuk sekedar nongkrong di cafe atau makan malam.
Rencanaku dengan Rifka berjalan mulus. Tidak susah untuk mendapatkan izin mama untuk pergi ke Kuala Lumpur. Begitu aku mengatakannya pada mama, dia langsung menelpon mamanya Rifka seolah ingin memastikannya. Dan begitulah bagaimana mama mengizinkanku untuk pergi.
Awalnya kurasa aku sudah tidak terlalu dikekang lagi oleh mama sekarang. Kupikir aku sudah mendapatkan kembali kepercayaan dari mama untuk menentukan jalan sendiri. Tapi ternyata aku salah, mama benar-benar tidak bisa kutebak.
Hari Minggu pagi, saat aku sedang berkemas untuk pergi ke Jogja besok, mama tiba-tiba datang ke kamarku dengan beberapa lembaran brosur berwarna biru langit. Mama meletakkan brosur itu di meja belajarku dan menatapku yang dari tadi bingung. Aku menghentikan pekerjaanku sebentar.
“Itu brosur Universitas Tarumanegara. Rifka kuliah disana. Jadi kalau kamu pindah kesana, kamu sudah punya teman,” kata mama menjawab tatapan seribu pertanyaanku.
“Maksud mama? Aku pindah kuliah?” tanyaku tidak percaya.
“Ya. Kamu bilang masalah kamu kan tentang adaptasi di lingkungan kampus baru. Dengan adanya Rifka, mama yakin kamu bisa lebih mudah beradaptasinya,” katanya.
“Ibel gak mau pindah kuliah, Ma,” tolakku mentah-mentah. Terlintas di benakku apa saja yang akan lenyap dari hidupku bila aku pindah kuliah. Teman-temanku, dosen-dosen yang sudah kukenal, dan yang terpenting, Rakha. Aku tidak akan bisa menemuinya setiap hari lagi bila aku pindah kuliah.
“Kenapa?” tanya mama.
“Karena Ibel sudah merasa nyaman di kampus yang sekarang. Ibel gak mau pindah,” kataku bersikeras.
“Ibel,” aku tahu mama sedang menjaga nada suaranya supaya tidak terdengar sedang marah, dia sering melakukannya. “Mama ngelakuin ini semua karena mama sayang sama kamu. Mama ingin yang terbaik buat kamu, dan menurut mama kuliah jauh-jauh gak baik buat kamu.”
“Yang terbaik buat Ibel, Ma?” tanyaku dengan suara keras. “Yang mama lakuin selama ini cuma yang terbaik buat mama! Mama gak pernah mikirin Ibel sama sekali, gak pernah Ma!”
“Ibel!” bentak mama karena tidak suka dengan nada bicaraku yang menurutku sendiri memang tidak sopan. Tapi mau bagaimana lagi, aku lelah terus disetir oleh mama. Aku ingin bisa memilih untuk hidupku sendiri. Bukannya itu juga bagian dari menjadi dewasa?
“Selama ini Ibel udah ngelakuin apa aja yang mama pengen. Tapi hasilnya apa, Ma? Apa mama ngeliat Ibel bahagia? Gak kan?”
“Ibel!!!” seru mama lagi.
Aku memejamkan mataku. Hatiku panas sekarang. Mungkin memang sekarang sudah saatnya aku meledak, meluapkan semua kekesalanku pada mama dan apa yang telah dilakukannya kepadaku. Sekarang saatnya untuk bersuara supaya mama tahu bahwa yang selama ini aku sama sekali tidak bahagia karenanya. Aku jadi kesepian dan mencari pelampiasan yang tidak tepat.
“Ibel jadi gay karena mama,” kataku pelan.
“Cukup Ibel!!” pekik mama keras. Kalau ada papa di ruang makan di lantai bawah, pasti papa bisa mendengar suara mama barusan. Bentakan terakhir mama sukses membuatku langsung membisu. Hening. Aku menundukkan kepalaku sama sekali tidak berani untuk menatap mama.
Kudengar mama mendesah kesal. Dia berkacak pinggang di tempatnya berdiri, beberapa langkah dariku. “Kalau IPK kamu semester ini tidak turun dari semester kemarin, kamu boleh tetap kuliah di kampus kamu sekarang,” kata mama dengan tegas, lalu dia berjalan menuju pintu kamarku seolah kami berdua sudah sepakat atas perjanjian singkat itu.
“Tapi, Ma? UAS-nya sudah selesai kemarin,” kataku mencoba bernegosiasi.
“Kalau IPK kamu gak turun, itu artinya kejadian di Singapura gak mempengaruhi kamu, dan mama akan membiarkan kamu dengan jalan yang kamu pilih,” ujarnya tanpa menoleh sedikitpun padaku. Kemudian mama keluar dan menutup pintu kamarku.
Aku langsung bersimpuh di lantai. Kukira aku sudah mendapatkan semuanya, tapi nyatanya aku salah. Aku masih belum mendapatkan kebebasan dari mama. Aku masih terkekang dengan aturan-aturan mama yang semakin mengikat sejak dia tahu kalau aku gay. Entah apalagi yang mama ingin aku lakukan untuk memperbaiki semua ini, karena menurutnya aku benar-benar salah telah mencium anak cowok dari sahabatnya.
Aku pasrah, tapi aku masih mengharapkan ada jalan keluar lainnya supaya aku tidak harus pindah kuliah. Aku tidak yakin dengan IPK-ku semester ini. Nilai ujian akhir semester sangat menentukan, dan keadaanku saat minggu pertama UAS sangat kacau karena kejadian di Singapura. Aku benar-benar terpengaruh oleh ciuman itu yang mengganggu pikiranku beberapa hari setelah pulang ke Jakarta. Aku pasrah.
Kalau aku nantinya pindah kuliah, apa yang akan terjadi dengan hubunganku bersama Rakha? Apa aku bisa melanjutkannya di saat kami tidak bisa setiap hari bertemu? Aku mengerang sendiri. Kenapa hidupku selalu terjebak dalam pilihan menjalani hubungan jarak-jauh? Aku kesal sekarang.
Pertengkaran kecil namun berarti dengan mama tidak mengubah rencanaku untuk berangkat ke Jogja besoknya. Rifka dan temannya menjemputku dengan taksi dan mengantarku ke stasiun Senen dimana Rakha sudah menunggu.
“Thanks ya, Bel,” kata Rifka sebagai kalimat perpisahan setelah menurunkanku di depan stasiun. Kemudian taksinya langsung melaju menuju bandara karena Rifka harus mengejar pesawatnya.
Aku dan Rakha naik kereta pagi di Jogja yang artinya kami akan sampai disana malam hari. Rencananya sampai disana kami langsung istirahat dan mulai jalan-jalan besoknya. Selama di taksi tadi aku berhasil menutupi wajahku yang murung memikirkan soal pindah kuliah karena aku duduk di depan sementara Rifka dan temannya duduk di belakang. Tapi aku tidak bisa menutupi raut mukaku yang semrawut dari Rakha yang akan duduk di sampingku sampai hampir delapan jam ke depan.
“Kamu kenapa sih, Bel?” bisik Rakha, dia duduk di hadapanku karena kursi itu tidak ada yang menempati. Gerbong kami tidak terlalu penuh.
“Kenapa apanya?” aku bertanya balik.
“Muka kamu. Kok pucat gitu? Belum sarapan ya?” tanya Rakha sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
“Masa sih? Gak ah,” aku mengelak, padahal aku sudah tahu maksud Rakha. Hanya saja aku masih belum mau menceritakan masalah ini dengan Rakha. Ini saatnya kami berdua jalan-jalan, saatnya melupakan sejenak masalah yang ada.
“Jangan bohong, Bel. Aku kenal kamu. Ada masalah apa?” tanya Rakha dengan lembut. Dia hampir saja menyentuh tanganku yang kuletakkan di atas meja kecil, namun tidak jadi karena lokasinya tidak tepat.
Aku diam, tidak menjawab pertanyaan Rakha yang terus memandangiku menunggu jawaban. Baiklah, mungkin aku bisa menceritakannya sekarang. Dan aku harap hal ini tidak akan merusak mood-nya untuk jalan-jalan denganku.
“Mamaku minta aku untuk pindah kuliah,” kataku datar.
Rakha mendelik seperti tidak percaya dengan jawabanku barusan. “Pindah universitas maksudnya?”
Aku mengangguk tidak semangat. Kualihkan pandanganku pada hamparan sawah hijau yang mulai membentang setelah melewati Bekasi tadi.
“Kemana? Kalau ke kampus sebelah sih gak pa-pa,” katanya sambil terkekeh sendiri. Eh ini bukan saatnya untuk becanda kali, Kha. Lagi serius nih. Gerutuku dalam hati.
“Ke Universitas Tarumanegara, lebih deket dari rumahku,” kataku memastikan bahwa dia salah. Rakha memainkan bibirnya seperti sedang berpikir. Ya, pikirkanlah. Aku sudah memikirkan hal ini semalaman dan aku tidak menemukan jalan lain selain jalan buntu.
“Harus ya?” tanya Rakha kemudian, di wajahnya nampak jelas dia kecewa. Aku juga.
Kemudian aku menceritakan padanya apa yang kusepakati dengan mamaku. Tentang IPK-ku yang tidak boleh turun supaya aku boleh tetap kuliah di kampus sekarang. Tapi aku menghilangkan bagian tentang Singapura karena hal itu akan kubiarkan menjadi rahasia yang tidak akan kuceritakan pada Rakha. Mungkin juga pada Rifka nantinya.
Rakha mengela nafas panjang setelah aku selesai menceritakannya. Dia memandang kosong ke pemandangan sawah lewat jendela kereta yang sedang melaju 80 kilometer per jam ini.
“Kita pikirkan masalah ini setelah pulang nanti saja ya,” kata Rakha sambil tersenyum dengan senyuman andalannya. “Sekarang yang harus kita pikirkan adalah, besok pagi kita akan kemana dulu?” tanyanya sambil nyengir, mencoba menghiburku.
Ya, mungkin dia ada benarnya. Aku benar-benar harus melupakan masalah ini untuk sementara waktu. Yang terpenting sekarang adalah menikmati setiap detik yang bisa kulalui bersama Rakha. Menikmati setiap kepingan kebahagiaan yang bisa mengobati luka di hatiku. Aku tersenyum membalas senyuman Rakha.
“Terima kasih ya, sayang,” kataku lirih.
“Ssshh,” Rakha langsung memperingatkanku. Hehe, keceplosan. Lalu kami berdua tertawa.
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menikmati pemandangan yang tersaji lewat jendela. Kalau aku memilih naik pesawat, pasti aku tidak akan bisa menikmatinya.
Rakha benar, lebih menyenangkan naik kereta api. Dan mungkin karena sudah biasa naik kereta api, tidak masalah baginya untuk melewatkan pemandangan yang spektakuler ini. Hamparan sawah. Deretan rumah-rumah kampung, dan kadang melewati perlintasan kereta dengan kecepatan tinggi memberikan efek suara angin yang keras. Rakha sekarang sudah tertidur pulas di sampingku dengan kepalanya bersandar di bahuku. Awalnya aku menolak, tapi katanya tidak apa-apa. Hal ini masih dianggap normal. Bromance. Aku hanya mengangguk saja saat dia berkata demikian. Setelah itu senyumanku tidak hilang sedikitpun begitu aku sadar betapa beruntungnya aku memilikinya.
**
“Aku buka baju ya,” bisik Rakha yang kini duduk di sampingku. Kami baru sampai dua jam yang lalu dan di jemput oleh abangnya Rakha di stasiun Tugu Yogyakarta dengan mobil. Aku tidak terlalu memperhatikan jalan sehingga aku tidak tahu kemana arah rumah Rakha dari kawasan Malioboro. Lihat besok saja lah.
Rumah Rakha disini merupakan rumah sederhana yang memiliki halaman depan cukup luas. Beberapa petak rumah berada di sampingnya dan setelahnya hanya terlihat gelap olehku, mungkin disana ada sawah. Karena terlalu lelah akibat perjalanan jauh di kereta, aku dan Rakha memutuskan untuk langsung tidur, di kamar asli Rakha.
Kamarnya sederhana dan semuanya terlihat tersusun rapi. Mungkin karena ditinggal yang punya, sehingga tidak ada yang berantakin. Dan di kamar ini ada satu ranjang untuk dua orang yang tentunya lebih lebar dari kasur di kamar kost.
“Jangan ah,” balasku malas, aku masih terbaring dibalut selimut. Sedetik kemudian aku menguap karena suasana kamar yang remang-remang dan udara yang hangat membuatku sangat mengantuk.
“Gerah nih,” bisiknya lagi.
“Kalau kamu buka baju, aku pindah ke sofa di luar nih,” kataku mengancam, mataku masih terpejam. Badanku berputar sehingga kini aku memunggungi Rakha.
“Dih. Kok kejam sih sama suami?” rengeknya. Lalu terdengar grasak grusuk dari balik punggungku. “Duh sekarang malah jadi dingin. Aku peluk ya,” tiba-tiba Rakha memelukku dari belakang. Aku mengenakan kaos tidak berlengan, sehingga aku bisa dengan mudah merasakan kulit tubuh Rakha mengenai lenganku.
“Tuh kan. Modus nih!” erangku lalu menggebuk wajah Rakha dengan bantal yang sebelumnya menopang kepalaku.
Dia malah tertawa pelan dan makin beringas memelukku, bahkan menggelitiku. Asem. Bukannya aku tidak mau, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Aku benar-benar ingin istirahat. Capek.
Aku memutar badan menjadi terlentang dan tanganku menahan kedua tangan Rakha. Wajah Rakha terlihat samar-samar karena lampu kamar dimatikan. Tapi yang kutahu pasti, dia sedang menatapku dengan lembut. Perlahan dia menurunkan kepalanya dan mencium bibirku.
“Bau, belum mandi, langsung main cium-cium aja,” ledekku setelah ciuman sesaat kami selesai.
“Tapi kamu nerima aja,” balasnya lalu langsung merebahkan badannya di sampingku. Kulihat dia menatap kosong ke langit-langit yang gelap. Rakha mendesah pelan. “Aku masih gak nyangka, Bel. Kita bisa jadi seperti ini,” katanya sambil menoleh kepadaku.
“Jadi orang maksudnya?” kataku pura-pura tidak mengerti.
“Bukan sayang. Maksudnya bisa jadian kayak sekarang. Aku masih gak nyangka aja hal seperti ini bisa terjadi. Seperti mimpi, Bel,” kataku pelan, lalu tangan kanannya memegang tangan kiriku yang posisinya di tengah-tengah kami berdua. Dia membelai tanganku pelan.
“Kamu latah sih. Ikut-ikutan aku jadi gay,” ledekku.
“Kamu yang ngikutin,” balas Rakha tidak terima.
“Sini kasih lihat STPG-nya. Duluan siapa tanggal cetaknya.”
“STPG apaan?”
“Surat Tanda Pengakuan Gay!” jawabku lalu tertawa pelan. Rakha memandangku aneh seolah candaanku barusan jayus, garing. Eh, memang sih.
“Ngarang!” lirihnya. “Udah ah, aku mau tidur. Jangan ganggu-ganggu aku lagi,” tuturnya lalu meunggungiku.
“Dih, dari tadi siapa yang gangguin coba? Kamu kan?” kataku berargumen meskipun aku tahu dia hanya becanda.
“Kamu ah,” ujarnya.
Tidak terima, aku bergeser mendekekatinya. Lalu kedua tanganku sudah siap untuk melakukan aksi balas dendam. Tiga. Dua. Satu! Jemariku dengan cekatan menggerayangi pinggang dan perut Rakha dari belakang membuat Rakha menggeliat kegelian.
Rakha tertawa dan aku makin menjadi menggelitikinya, sampai dia berkata, “aduh, Bel. Udah dong, Bel. Aduh. Enak, Bel. Aduh. Bel. Enak.”
Illfeel. Aku langsung menghentikan gerakan jemariku dan menarik kedua tanganku. Tapi Rakha menahannya dan memposisikan tanganku tetap memeluknya dari belakang. “Nyaman banget Bel dipeluk kamu,” ujarnya dengan lembut.
Aku tersenyum. Itu kalimat terakhir yang terucap malam ini antara kami berdua. Aku tetap memeluk Rakha dan mencoba menutup mataku untuk tidur. Memang nyaman sekali rasanya. Meski terasa aneh saat kulit lenganku bersentuhan langsung dengan kulit tubuh Rakha, tapi hal itu malah menambah kenikmatan yang kurasakan. Aku tidak pernah merasa senyaman ini dalam hidupku. Aku merasa aman, tentram, damai, dan bahagia pada saat yang bersamaan.
Aku juga merasa ini seperti mimpi yang tidak pernah terbayangkan bisa terwujud. Siapa sangka ternyata Rakha juga gay, dan siapa sangka ternyata dia juga menyimpan perasaan yang sama padaku. Double level hope: Passed! Aku berhasil untuk tidak jatuh dari level manapun. Aku berhasil mendapatkannya dan dia adalah hadiah terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.
Aroma rambut Rakha menjadi pengantar tidurku setelah aku mencium pundaknya beberapa kali. Rakha pun sepertinya sudah terlelap.
Besoknya, setelah paginya aku berhasil memaksa Rakha untuk jalan-jalan dan foto-foto di sawah dekat rumahnya, aku dan Rakha naik motor ke destinasi pertama kami. Awalnya dia takut aku keberatan bila harus naik sepeda motor, namun aku malah lebih senang naik motor karena pandanganku bisa lebih bebas.
“Kamu pengertian banget deh,” puji Rakha yang malah terdengar seperti ledekan di telingaku.
Kudorong pelan helm Rakha. “Lebay ah. Kayak waktu di kosan kita gak pernah naik motor berdua aja,” kataku dan hanya tawanya yang bisa kudengar.
Aku sudah pernah beberapa kali ke Jogja, terakhir dengan teman-teman SMA-ku untuk perpisahan dan menginap di hotel di kawasan Malioboro dan sepertinya rumah Rakha jauh dari sana. Bahkan aku masih belum berhasil mengenali lokasiku saat ini meskipun daritadi clingak-clinguk mencari petunjuk.
Ketemu. Bandara. Oh, berarti rumah Rakha dekat dengan bandara dan dilihat dari arah laju motor yang menjauhi pusat kota Jogja, aku pun dapat gambaran kemana tujuan pertama kami hari ini.
“Ke Prambanan?” tanyaku memastikan. Tadi Rakha menantangku untuk menebak tujuan kami dan menjanjikan hadiah yang entah berwujud apa.
“Betul sekali!” seru Rakha. “Satu ciuman buat kamu,” katanya kemudian.
“Hadiahnya ciuman? Ah itu mah aku sering dapet dari pacarku. Tanpa diminta biasanya dia yang nyosor duluan malah. Yang lain dong,” kataku menolak.
“Wuihh asik dong pacarnya tukang nyosor. Emang siapa pacarnya?” tanya Rakha.
“Bebek!” kataku tegas dan Rakha kembali tertawa keras seolah tidak peduli dengan pengendara motor lainnya yang berdekatan dengan kami. Mendadak aku ingin cari koran buat nutupin muka. Punya pacar kok kelakuannya gini banget yak? Tepok jidat lagi.
Tapi memang disitu serunya. Rakha suka meledekku dengan hal-hal yang aneh dan ketika aku menggerutu atau ngambek karenanya, dia malah tertawa dan akhirnya aku juga ikut tertawa meskipun nyatanya aku menertawakan diriku sendiri. Awalnya menjalani hubungan ini memang kaku, tapi lama-lama kami mulai terbiasa dan kami kembali ke gaya bercanda kami saat masih berteman. Jadi pacar bukan berarti menghilangkan kebiasaan-kebiasaan seru saat masih menjadi teman kan?
Saat sampai di komplek Candi Prambanan aku dan Rakha langsung masuk setelah mengenakan kain batik yang disediakan oleh pihak pengelola. Aku langsung minta foto karena seumur-umur aku belum pernah ke Prambanan. Dulu ke Jogja seringnya ke Beringharjo sama Borobudur saja. Prambanan selalu dijadikan pilihan terakhir seolah dianaktirikan yang ujung-ujungnya selalu batal. Hehe.
“Norak. Setiap sudut minta foto,” sindir Rakha saat aku menemukan posisi lain yang lumayan bagus untuk foto.
“Kan buat koleksi kamu juga,” balasku sambil mengedipkan mata. Dia memandangku malas lalu memberikan kode supaya aku bersiap-siap di posisi.
“Kalau nyari foto buat koleksi, mending aku ke pantai Indrayanti aja deh,” ujarnya saat kami berdua sudah berjalan bersisian lagi memutari komplek candi ini. Luas banget deh ini.
“Pantai Indrayanti?” aku tidak pernah mendengar nama pantai itu ada di Jogja atau pantai selatan. Yang sering kudengar hanya pantai Baron saja.
“Iya. Deket pantai Baron kok. Belum pernah denger?”
Aku menggeleng.
“Ya sudah, besok kita kesana kalu gitu. Lusa baru ke Borobudur,” ujar Rakha membeberkan rancana kami.
“Trus hari ini cuma ke Prambanan?” tanyaku, kok rasanya aneh kalau hanya ke Prambanan ya. Padahal hari masih panjang.
“Ya kalau mau sekalian ke Ratu Boko gak apa-apa,” ujarnya.
Aku pun mengiyakan. Setelah hampir setengah jam berputar-putar di pelataran candi dan bosan, kami berdua pun memutuskan keluar untuk mencari makan. Cuaca mulai mendung saat aku dan Rakha sedang memesan makanan. Dan benar saja, tidak lama kemudian, hujan deras langsung mengguyur area candi Prambanan ini. Huft, untung sudah di tempat makan.
Selesai makan, hujan masih belum juga reda. Aku dan Rakha menghabiskan waktu dengan memandangi hujan yang menyirami rerumputan disini. Bau hujan terasa kental di hidungku. Sudah lama tidak mencium aroma menyejukkan seperti ini.
Jam tiga sore hujan mulai mereda, dan ini membuat rencanaku ke Candi Ratu Boko pun gagal. Rakha mengajak pulang saja untuk beristirahat mengingat besok perjalanan ke pantai akan cukup jauh. Aku menurut saja pada yang punya kota. Seingatku terakhir Rakha pulang saat liburan lebaran kemarin. Mendadak aku deja vu dan teringat pada seseorang. Perjalanan dengan seseorang yang juga tuan rumah di kotanya.
Buru-buru aku memikirkan hal lain. Jalanan cukup sepi dan langsung saja aku memeluk Rakha untuk mengaburkan pikiran di otakku dari bayangan seseorang yang sangat ingin kulupakan. Kupeluk Rakha dari belakang dengan cukup erat. Tidak peduli lah bila ada yang melihat, aku hanya ingin mengusir pikiran dan rasa yang tiba-tiba muncul ini.
“Kenapa, Bel?” tanya Rakha, dia terdengar khawatir.
“Dingin,” kataku lirih. Rakha tidak bersuara lagi. Salah satu tangannya membelai lembut tanganku yang mendarat di perutnya. Sedikit banyak usahaku berhasil. Aku memfokuskan diri untuk tetap berada di Jogja, aku ada disini dan apa yang telah terjadi hanya masa lalu. Aku tidak ingin mengingatnya meskipun semua perjalanan ini mungkin akan membuatku deja vu terus menerus.
Aku punya Rakha. Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Aku tidak ingin kehilangannya, dan aku tidak akan mengkhianatinya. Kuulang terus kalimat-kalimat tersebut seolah kalimat-kalimat itu adalah obat yang sedang bekerja menangkal virus yang hendak masuk ke dalam relung hatiku.
Aku tidak ingin kehilangannya. Bagaimana kalau aku kehilangannya? Pertahananku jebol. Hatiku menjerit seperti sedang digerogoti perasaan galau dan takut kehilangan yang kronis. Apa yang mungkin terjadi sehingga aku bisa kehilangan Rakha? Aku tidak bisa memikirkan satu pun kemungkinannya. Sama seperti saat aku kehilangan dia, bahkan aku tidak menyangka aku bisa kehilangan dia.
Kelvin. Aku mencintainya. Dan aku kehilangannya.
Seharusnya aku berusaha melupakan Kelvin terlebih dahulu sebelum memutuskan jalan-jalan dengan Rakha yang sekarang menjelma menjadi sepertinya. Seseorang yang punya kota dan menjadi tour guide-ku. Atau seharusnya aku dan Rakha pergi ke tempat lain dimana kami berdua sama-sama turis.
Kupeluk Rakha lebih erat, mataku terpejam mencoba membuang perasaan kalut di hatiku.
**
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
.....#eeeeerrr
ibel kagak bersyukur nih udah rakha jg masih mikirin kelvin.
happy ending kan nih cerita ?
Lanjut eaaaa....