It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
Kukendarai mobil sedanku di tol lingkar luar Jakarta dengan satu pikiran yang tidak ada habisnya dari tadi. Apa yang akan kukatakan pada semuanya, khususnya Rakha, bahwa aku akan hengkang dari tempat kos. Otakku berputar-putar mencari alasan yang tepat dan masuk akal sehingga tidak ada pertanyaan-pertanyaan aneh yang malah menyudutkanku nantinya.
Aku teringat waktu aku baru pindah kesana. Minggu kedua setelah perkuliahan semester satu dimulai. Bukan kesengajaan aku bisa satu rumah kos dengannya. Semuanya terjadi begitu saja karena aku tidak menceritakan pada satupun teman kuliah bahwa aku akan kos di dekat kampus. Dan juga aku baru diizinkan mama untuk ngekos setelah mengucapkan berbagai janji aku tidak akan bertindak macam-macam selama ngekos.
Saat itu aku berjalan di salah satu jalan kecil dekat kampus setelah pulang kuliah, sendirian. Kepalaku sibuk menengok ke kanan dan ke kiri melihat-lihat sederetan rumah, mencari plang atau tulisan yang mengatakan salah satu rumah itu adalah rumah kos.
“Ibel!” panggil seseorang dari arah belakangku. Aku langsung menoleh dan melihat sosoknya di depan pagar.
Aku berbalik dan menghampirinya.
“Lu ngapain Bel jalan sendirian disini?” tanya Rakha lalu berjalan menuju teras rumah, aku mengikutinya dari belakang.
“Gue lagi nyari kosan,” jawabku singkat. Saat itu aku masih canggung berada dekat dengannya, mungkin karena kami berdua belum terlalu akrab.
“Disini ada yang kosong. Disini aja, jadi gue enak deh ada temennya. Haha,” katanya dengan santai, berbeda 180 derajat denganku yang terus berusaha menjaga tingkah lakuku.
“Lho, ini bukan rumah lu?”
“Bukan lah, ini rumah kos. Lu gak lihat tulisan di depan tuh?” katanya sambil menunjuk plang putih dengan tulisan ‘Terima Kos Putra’ berwarna putih di tembok samping. Posisinya yang seperti itu tentu membuatku tidak dapat melihat plang itu sehingga melewatkan rumah ini.
“Oh,” canggung membuatku tidak bisa berkomentar panjang.
Selanjutnya tanpa ragu Rakha mengajakku bertemu dengan ibu kos, dan semua urusan masalah pembayaran dan fasilitas yang kudapatkan di rumah kos ini berlangsung dengan lancar dengan Rakha sebagai makelarnya. Ya, dia yang membuatku ngekos disana. Dan dia juga yang mengisi hari-hariku yang indah selama di kosan itu.
Saat kutanya apa yang lainnya juga ngekos, Rakha bilang Inu dan Dias memang kos, tapi rumah kosnya letaknya lebih jauh, sedangkan Romi kuliahnya pulang pergi karena rumahnya tidak terlalu jauh dari kampus.
“Kenapa lu gak ngekos bareng Inu sama Dias aja? Kan enak jadi ada barengannya,” tanyaku.
“Disana kurang asik tempatnya, cari makan jauh, enakan disini,” jawab Rakha.
“Terus kenapa mereka milih kos disana? Lebih jauh dari kampus juga kan?”
“Disana gabung Bel, putra-putri. Lu tahu lah maksud gue?” katanya sambil memicingkan mata menatapku.
Aku tertawa kecil. Aku tahu maksudnya, dan sepertinya hal itu bukan masalah. Bagiku tentu lebih menyenangkan ngekos di rumah kos khusus cowok. Hehe.
Kutepikan laju mobilku menuju pintu keluar tol. Sebentar lagi sampai dan aku masih belum menemukan alasan yang jitu. Pikiranku seolah terganggu oleh bayangan-bayangan di Singapura yang tidak bisa lepas dengan mudah.
Aku butuh pengalih perhatian, makanya aku memaksakan diri berangkat hari ini ke rumah kos setelah kemarin aku tidak melakukan apa-apa di rumah. Aku juga ingin memastikan apakah aku masih ada rasa padanya atau tidak, mungkin dengan melihatnya aku bisa menilai kembali posisi Rakha di hatiku setelah semua kejadian ini.
Kondisi jalanan siang ini tidak terlalu macet sehingga dalam lima belas menit setelah keluar tol aku sudah parkir di tempat biasa aku parkirkan mobil di dekat rumah kos. Kuraih kantong plastik berisi oleh-oleh di kursi sebelahku. Aku menghela nafas panjang sebelum keluar dari mobil. Aku membuka bagasi mobil dan mengambil koper kosong yang nantinya akan diisi dengan baju-bajuku yang masih tertinggal di kamar kosku.
Entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat dari biasanya dan semakin cepat seiring dengan langkah kakiku semakin dekat ke rumah kos. Sebentar. Aku tidak sempat bertanya apa dia ada di kosan atau tidak sekarang. Tidak mungkin aku pergi meninggalkan kosan ini tanpa pamit padanya meskipun hari Senin depan aku akan bertemu dengan dia di kampus. Tapi tetap saja, aku harus mengatakan secara langsung padanya kalau aku tidak akan ngekos lagi.
Kubuka pintu pagar rumah kos dan langsung masuk ke dalam. Ada beberapa anak yang sedang nongkrong di teras rumah kos, aku hanya menyapa mereka sekedarnya saja. Aku memilih untuk menuju kamarku lebih dulu, membereskan semua pakaianku lalu baru mengucapkan perpisahan pada Rakha.
“Bel!” sebuah suara langsung mengisi seisi ruangan kamarku saat aku baru memasukkan beberapa baju ke dalam koper. “Kapan sampe?” tanya Rakha.
“Barusan kok,” kataku.
“Itu oleh-oleh buat gue ya?” tanya Rakha begitu melihat kantong plastik tadi yang kuletakkan begitu saja di atas kasur.
“Yup,” kataku tanpa menghentikan pekerjaanku membereskan isi lemari.
Rakha langsung menyerbu kantong itu. “Wah banyak bener. Buat gue semua?” tanya dia bersemangat.
Aku menoleh padanya. “Eh, kagak lah. Itu buat Inu sama Dias juga, mereka kan kalau balik dari kampung biasanya mampir kesini dulu. Jadi gue bawa semua kesini,” kataku langsung menarik kantong plastik itu dari Rakha.
Kukeluarkan sebuah kantong warna ungu yang sengaja sudah kupisahkan sebagai oleh-oleh buat Rakha. “Ini ada kaos Singapura juga di dalamnya,” kataku sambil menyerahkan kantong itu padanya.
“Kaos? Ogah ah, gue gak mau nerima. Ntar kita cepet putus, Bel!” katanya.
“Anjrit. Sejak kapan gue jadi pacar lu?” cibirku sambil menepuk jidat. Padahal dalam hati sebenarnya aku ingin hal itu terjadi.
Ah ternyata memang rasa yang kupunya untuk Rakha belum hilang. Aku masih suka dengan candaannya yang spontan yang tidak dapat ditebak seperti barusan. Dia seperti tidak peduli apa kata orang dengan kelakuannya. Dia bebas dan bisa mengendalikan dunianya sendiri. Hal itu lah yang tidak kupunya dan membuatku jatuh cinta padanya. Ya selain lesung pipitnya yang sangat manis tentunya.
“Putus kan gak cuma pacar, Bel. Bisa juga sahabatan atau sodara,” katanya. Oh. Lagi-lagi aku kecewa karena kalimatnya barusan terasa anti-klimaks sekali.
“Dih kayaknya lu pengen banget sodaraan sama gue?” balasku.
Rakha tertawa keras. Lalu tiba-tiba seperti teringat sesuatu dia meletakkan kantong plastik ungunya ke kasur begitu saja. “Lu bawa mobil kan kesininya?”
“Iya. Kenapa?” aku bingung dengan perubahan sikapnya.
Dia merogoh saku kiri depannya dan mengeluarkan dua tiket warna kuning yang kutahu itu tiket bioskop. Aku menatap Rakha dengan penuh tanda tanya. “Mau nonton gak? Sayang nih daripada gak kepake,” ujarnya.
“Hah?” Itu satu kata dariku yang mewakili puluhan pertanyaan yang melintas begitu saja di otakku.
“Udah yuk buru. Jangan sampai ketinggalan filmnya. Ntar gue ceritain di jalan,” kata Rakha lalu langsung menarik tanganku keluar dari kamar kos. Ini kali pertama dan aku menyadari itu. Sebelumnya Rakha tidak pernah menarikku seperti ini. Bahkan aku tidak pernah membayangkannya sama sekali.
Setelah kukunci pintu kamarku, kami langsung menuju parkiran. Saat sudah di mobil dan sudah melaju perlahan keluar dari jalan kecil ini, aku langsung menginterogasi Rakha.
“Gue putus sama Nicky,” jawab Rakha saat aku menanyakan apa yang sedang terjadi. Nada bicaranya biasa saja seperti tidak ada hal besar yang terjadi.
“Lho? Bukannya baru jadian minggu kemarin?” pertanyaan kedua dariku, masih ada beberapa lagi yang tadi terlintas di otakku.
Rakha mengangkat bahu saat aku menoleh padanya. “Cewek itu kadang susah ditebak, Bel.”
“Coba jadian ama cowok sana,” balasku dengan niatan meledek. Tapi rasanya aku sedikit kelewatan, bisa-bisa dia curiga. Aku langsung menatap lurus ke jalan, tidak mau menengok ke arah Rakha untuk sementara.
“Lu nya gak mau sih, Bel,” katanya, dan dia langsung tertawa menandakan dia sama sekali tidak serius mengatakan hal barusan. Padahal kalau dia menyadari, mukaku saat ini sedang merah padam karena jawabannya yang tidak terduga itu.
“Sodaraan ama lu aja ogah, apalagi pacaran,” kataku lalu melewe padanya. Rakha hanya tertawa kecil.
Lalu dia menceritakan padaku kenapa dia putus. Katanya Nicky pindah ke Manado dan memilih untuk putus begitu saja dengan Rakha. Mendadak aku teringat pada Kelvin yang mengatakan padaku bahwa dia rela berjuang untuk hubungan jarak jauh denganku. Tapi nyatanya, sampai detik ini dia sama sekali belum menghubungiku. Sementara aku tidak tahu harus menghubunginya kemana. Tidak mungkin aku meminta nomor tante Rita pada Mama. Aku tidak akan mendapatkannya. Aku tahu itu.
Ah kenapa jadi kepikiran Kelvin gini sih? Ada Rakha di sampingku, kami akan nonton dengan tiket bioskop yang sudah dibeli Rakha kemarin yang rencananya untuk dia dan Nicky. Tapi karena tadi pagi Nicky pergi, semua rencana Rakha jadi berubah. Dia berkata awalnya dia ingin membakar saja tiket itu. Tapi begitu melihat mobilku di parkiran, dia langsung ingin mengajakku pergi berdua.
Kukesampingan sedikit banyak bayangan Kelvin seperti saat aku melupakan Rakha untuk sementara waktu ketika aku bersama dengan Kelvin. Entah kenapa semuanya terbalik sekarang. Kelvin menjadi Rakha dan Rakha menjadi Kelvin. Apa mungkin karena sekarang Kelvin lah yang jauh sementara Rakha sangat dekat?
Tidak lama, aku dan Rakha tiba di Margo City. Tidak terlalu sulit mencari tempat parkir karena sekarang masih jam kerja. Tapi tetap saja mal ini terlihat ramai. Kami langsung menuju bioskop dengan tergesa-gesa karena filmnya sebentar lagi mulai. Aku sih santai saja karena bukan aku yang beli tiketnya, sementara Rakha terlihat seperti tidak mau rugi dengan kehilangan menit-menit awal film. Dasar anak kos!
“Frozen? Ini kan film bocah cewek, Kha,” keluhku. Aku baru tahu film yang akan kami tonton saat masuk ke dalam studionya.
“Nicky yang minta nonton film ini. Terima aja. Gratisan juga kan lu,” katanya sedikit berbisik karena filmnya ternyata sudah mulai.
Tanpa bermaksud munafik, setelah duduk dan menyaksikan, aku langsung masuk dalam alur film. Aku dan Rakha sama sekali tidak bersuara selama film berlangsung.
Ada bagian film dimana aku merasa ceritanya tentang diriku. Saat si ratu ketahuan mempunyai ilmu sihir yang selama ini dia sembunyikan. Dan aku merinding saat dia bernyanyi sendiri di gunung es, berkata ‘Let it go!’ Dia melepaskan semuanya. Dia membebaskan hatinya dari segala rahasia yang nyatanya malah menggangunya selama ini. Aku merasa seperti dia. Seperti saat mama tahu kalau aku gay. Film ini seperti mengajariku bahwa tidak baik untuk menahan segalanya seorang diri. Aku sudah ketahuan oleh mama, lalu apa? Biarkan saja mama tahu, nyatanya memang ini aku apa adanya.
Aku menengok ke Rakha yang tidak melepas pandangannya dari layar. Hatiku terusik oleh pertanyaan apakah aku harus memberitahunya bahwa aku menyukainya sebelum semuanya jadi berantakan? Atau kubiarkan dia tahu sendiri dan aku akan menanggung rasa sakit yang lebih besar?
Setelah nonton Rakha mengajakku untuk makan dulu di salah satu resto. Acara kencannya dengan Nicky yang batal seperti dialihkannya kepadaku. Tapi aku bertindak biasa saja. Kami bukan pasangan, meskipun aku mengharapkan hal itu, tapi tetap saja aku dan dia hanya sahabat yang sedang jalan-jalan bersama. Tidak peduli orang lain memandang apa.
“By the way, kok lu balik ke kosan gak bilang-bilang sih? Kan jadinya gue belum bersihin kamar lu, Bel,” tanya Rakha yang duduk di hadapanku.
“Gue lupa. Eh berarti lu gak boleh dapet oleh-oleh dari gue donk,” balasku.
“Lah kagak bisa, Bel. Lu yang salah kagak ngomong-ngomong sama gue kalau lu mau balik ke kosan hari ini,” dia membela diri, dan bodohnya hanya untuk sekanton oleh-oleh. Aku menertawakannya dalam hati.
Sedetik kemudian aku sadar bahwa aku belum memberitahu dia bahwa maksud dan tujuanku ke kosan hari ini bukan untuk kembali, melainkan untuk pergi. Hengkang. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk megatakannya.
“Hmm sebenernya...,” Rakha langsung menatapku lekat-lekat, menantikan kata-kata berikutnya, “gue ke kosan buat beres-beres.”
“Hah? Maksudnya?”
“Gue mau cabut. Gak ngekos lagi,” kataku sambil nyengir bodoh.
Rakha menunjukkan ekspresi bingung. Dia menatapku seolah aku bicara bohong dan hanya mengerjainya. “Tapi bukannya tadi lu lagi buka koper?” mendadak dia diam setelah mengatakannya.
Sepertinya dia salah sangka tadi, menganggapku sedang mengeluarkan isi koper padahal sebenarnya aku sedang melakukan hal sebaliknya. Aku hanya nyengir lalu Rakha membuang muka.
“Nyokap minta gue buat tinggal di rumah karena bisnis dia sekarang bisa dikontrol dari rumah. Dan dia ingin ngeliat anak kesayangannya setiap hari,” aku menjelaskan tanpa diminta, dan tentu saja penjelasan bohong.
“Yaah gue sendirian donk?” tanya Rakha kecewa.
“Mungkin gue bisa minta Inu atau Dias pindah ke rumah kos kita jadi lu gak sendirian,” usulku tanpa pikir-pikir dulu.
Rakha tertawa, “haha mana mau mereka, Bel?” aku hanya mengangkat bahu menanggapinya. “Hari ini hari yang paling menyebalkan bagi gue, Bel,” kata Rakha datar. Aku menatapnya bingung.
“Kok?”
“Ya karena gue ditinggal pacar sama sahabat gue di hari yang sama. Lu harus ngasih gue sesuatu buat perpisahan hal yang lebih spesial dari sekedar nonton sama makan nih, Bel,” mendadak dia menuntut.
“Lah. Gue kan cuma gak ngekos lagi. Itu aja. Kita kan masih ketemu di kampus,” bantahku, sepertinya Rakha terlalu melankolis menanggapi kepergianku. Dan hatiku merasa tersanjung karena hal itu.
“Mau banget ketemu gue di kampus?”
Kulempar sedotan yang masih terbungkus di sebelah gelas minumanku ke arahnya. Ngaco nih anak ngomongnya. “Kita sekelas dodol, mana bisa gak ketemu hah?” cercaku. Rakha tergelak lagi. Huh.
Setelah makan aku memutuskan untuk kembali ke kosan karena aku masih belum selesai membereskan baju-bajuku. Bahkan aku belum bicara dengan ibu kos bahwa aku ingin pergi. Sesampainya di kosan, Rakha dengan sukarela membantuku, meskipun juga sedikit mengganggu dengan mengatakan beberapa bajuku sepertinya pas dengannya.
“Katanya kalau ngasih baju ntar cepet putus,” ledekku saat dia sedang berkaca dengan kemejaku ditempel di depan badannya.
“Hehe. Kan udah putus, buktinya lu pergi ninggalin gue, Bel,” balasnya. Dalam hati aku meronta-ronta, ini anak pikirannya seperti apa sih? Kok gak bisa ditebak sama sekali. Selalu memberi kejutan dalam setiap tingkah lakunya.
“Iya deh. Ambil aja baju itu. Gue udah beli banyak kemeja di Singapura kemarin,” kataku pura-pura acuh.
“Lu beli banyak kemeja dan ngasih gue kaos sablonan gambar merlion doang” tanya Rakha, terdengar menuntut dari rasa ketidakadilan.
“Gak mau? Sini balikin, biar gue kasih ke anak yatim aja,” aku mencibir.
“Gak boleh, barang yang udah dikasih gak boleh diminta balik. Lagipula gue juga anak yatim,” balas Rakha. Aku kembali menepuk jidat karena baru sadar cibiranku salah sasaran.
Setelah selesai dengan barang-barangku, Rakha menemaniku menemui ibu kos. Memberikan berita baik dan oleh-oleh dari Singapura untuknya, dan mengabari berita kurang baik bahwa aku tidak ingin ngekos disini lagi. Semoga coklat-coklat itu bisa melunakkan hatinya dan merelakan kepergianku. Haha.
Rakha mengantarku sampai parkiran mobil. Setelah meletakkan koper di bagasi, dia berdiri di samping pintu depan mobil.
“Hati-hati di jalan, Bel,” katanya.
“Dih lebay banget sih. Hari Senin kan kita ketemu lagi kali, Kha,” balasku sambil menahan tawa. Gayanya terlihat serius sekali.
“Semoga gue kuat menahan kangen sampai hari Senin, Bel,” ujarnya, masih sok dramatis.
“Anjrit. Gaya lu tengil banget, Kha,” dan aku tertawa, dia juga. Lalu aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Kubuka jendela dan Rakha menunduk untuk melihatku. “Jangan nakal-nakal lu! Jangan bawa cewek sembarangan ke kamar mentang-mentang gue udah gak ada!” pesanku, yang lebih terdengar seperti perintah.
“Siap, Pak!” serunya lalu nyengir sehingga menampakkan lesung pipitnya yang tidak ada tandingan itu.
Kemudian aku langsung melajukan mobil meninggalkan tempat parkir dan Rakha yang masih terus menatap kepergianku sampai aku hilang dari pandangannya di tikungan pertama.
Aku merasa ada sedikit perbedaan pada Rakha sekarang, setelah hampir dua minggu tidak bertemu. Atau mungkin hanya perasaanku saja karena aku sering sengaja melupakannya selama di Singapura? Karena ada Kelvin.
Begitu ingat Kelvin, aku langsung melihat ke ponselku. Sudah terjadi beberapa kali. Dan aku teringat lagi pada harapanku yang mengatakan dia akan menelponku, karena dia punya nomorku.
Pikiranku kembali kacau karena dualisme cowok di hatiku sekarang. Aku bertanya pada diriku sendiri apa kata-kata Kelvin masih bisa dijaga? Nyatanya sekarang sepertinya dia lah yang memberiku ketidakpastian. Jalan berdua dengan Rakha tadi mengingatkanku pada posisiku yang sebelumnya hanya menginginkan menghabiskan waktu berdua saja bersama Rakha bila ada kesempatan. Bukan kepastian status atas hubungan kami.
Saat terjebak macet, aku termenung. Akan kubawa kemana cinta yang ada di hati ini?
**
aq #TeamRakha aja, kayaknya ada feeling dg Ibel
kenapa sih orang kalo udah jatuh cinta kaga ada yg bisa tegas
ane lanjut baca lagi. ntar kalo update tarik ane ya bang
So, itu ya, hmm.. Keren, dan excited banget ada film frozen di sana.. Haha
#pundungdipojokan
nyesek banget jadi ibel.
Bikin galau trus tiap chapternya.
Kayaknya TS gak suka hppyending nih...
mending sama kelvin yang udah pasti ada