It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ini pas banget ada cerita lain.
@Lebes
iya, ketauan dari komentar2nya kok.
Wow @inibudi
Sounds like you have found your niche!
Emang sih sebenernya banyak straight di luar yang enak buat temen nongkrong dan ngobrol. Tapi kalau dengan temen2 sehati yang punya background sama - pastinya lebih banyak pendapat yang bisa nyambung dan bikin pembicaraan lancar dan menyenangkan.
Perasaan bahwa orang lain tahu lebih banyak dari kita pasti selalu ada. Gw aja udah setua ini kalau ngobrol sama orang lain pasti banyak hal yang gw belum tahu dan dia lebih tahu dari gw.
Jangan jadiin ini issue - justru opportunity buat kita jadi tahu lebih banyak informasi baru. Bisa jadi good lead buat bertanya pada ybs "Wah gw belum tahu nih - bisa educate gw soal ini?"
Dan pembicaraan akan berlangsung lancar dan enak, ybs bisa punya chance to self-actuate buat share his/her knowledge, dan elo belajar hal baru.
Bagus banget elo sama Bibi @UrsaMayor mau split dan mingle dan socialize sendiri2. Jadi masing2 bisa be himself, dan dapet informasi dan bahan diskusi dari sumber yang berbeda2.
Good for sharing session antara kalian berdua - bikin subject for more open communication and discussion so it will never be boring!
Bagus juga kalau sekali2 mingle as a couple - jadi kalian bisa langsung denger dari sumbernya, dan bisa ngerti bahwa biarpun berdua denger dari sumber yang sama, persepsi of what's going on bisa berbeda2.
Good to hear that! I just wish that type of community can exist here in Boyzforum dan can extend to gatherings, biar bisa adding value and more meaningful buat members.
Takutnya mata mata, lalu kelompok kami terancam bubar. Nah makanya, jadi aku cuma berharap temen temen boyzforum bisa punya kelompok yang kurang lebih sama dengan kelompok pertemananku, tapi belum bisa ngundang salah satu atau beberapa dari mereka ke sana.
Plus, hampir sebagian besar dari kami udah "out" sebelumnya (dalam artian, keluar kumpul kumpul ke sesama teman teman LGBT, walau beberapa sih cuma ke sesama gay atau ke sesama lesbian), dan, menurut levelnya masing masing, ngerti bahwa berkumpul kayak gini ini penting. Lebih dari sekedar berteman, lebih dari sekedar 'siapa tau dapet jodoh'. It's beyond that!
Jadi lebih mudah bagi kami untuk blending.
Bahkan satu dua teman teman aktivis yang juga join pun nyaman di situ karna gak ada hierarki. Semuanya setara. Literally!! Mereka seringkali juga join obrolan yang serius, mengedukasi, tanpa terasa menggurui. Malah obrolan seriusnya bukan mereka yang mulai.
Soal perbedaan 'pengetahuan', aku pun juga masih berpikiran kayak yang om Adrian bilang kok. Aku merasa ini kesempatanku juga untuk tau lebih banyak dengan cara yang lebih mudah.
Soal my LGBT friends is better than my straight one, sebenernya kerasa banget sih. Terutama karna banyak temen temen straightku yang apatis terhadap.... apa pun.
Masih seneng seneng aja sih, karna masih lumayan enak diajak becanda haha hihi, tp terkadang kebanyakan haha hihi lumayan melelahkan buatku.
Belum lagi temen laki laki yang sexist dan misogynist.
Dan buatku ini sangat mengganggu.
Ya memang beberapa temen temenku yang gay dan lesbian juga masih ada yang begitu, tp gak sebanyak mereka yang straight.
Ya gitu. Kerasa perbedaannya. Kerasa bahwa temen temen queer lebih baik.
@Adrian69
Jujur ada rasa rasa bangga dan senang karna kami gak harus selalu bareng.
TAPI, di sisi lain aku masih sering banget manja. Kadang masih minta dia nginep bukan di hari yang 'dijadwalkan', atau bahkan ngeluh karna ketika udah masuk hari libur, selalu aku yang nanya duluan mau ketemu jam berapa, ketemu di tengah tengah atau di jemput.
Masih sering merasa kebersamaan kami kurang.
Maunya lebih lama lagi.
Dan aku selalu mengekspresikan itu dengan cara yang kurang menyenangkan.
Di satu sisi, aku merasa dewasa, di sisi lain aku merasa aku kayak 'stereotypical' cewek SMP.
@Adrian69
Tuh @Lebes sedikit cerita perkembangan pacaran akuuuu
Nggak usah terlalu jauh2an, dan sekali2 perlu dong hanging out as a couple.
Kamu sama Bibi kan sama2 adult yang punya responsibility dan kegiatan sendiri2.
Kalau memang pengen nambah waktu bersama, ya bilang dong. Merajuk sama manja awal2 mungkin cute, tapi lama2 kan bisa bikin capek juga buat Bibi kalau dia nggak ngerti apa kamu mau.
On the other hand, kamu juga sebaiknya bisa mengerti kegiatan Bibi, apa dia emang punya cukup waktu buat hang out atau dia lagi sibuk, dan adjust sama schedule dia juga.
Communication is key biar kalian bisa langgeng.
Dalam artian, aku tau jadwal dia, aku tau jadwalku, lalu aku nentuin kapan waktu yang baik buat ketemuan.
Terakhir 'berantem' itu, karna aku terus yang begitu.
Aku bilang bahwa aku lelah begitu terus dan pengen gantian dia yang sering.
Untuk nunjukin, bahwa bukan cuma aku aja yang excited dalam hubungan kami.
Bahwa bukan cuma aku aja yang kesannya lebih menginginkan dia.
Trus dia bilang bahwa dia pacaran sama aku selama hampir 6 bulan, bukannya sama orang lain, itu juga sebenernya kan udah pertanda bahwa dia juga excited dan menginginkan aku
Aku percaya banget sih dan aku pun berpikiran ke arah sana juga. Tapi aku bilang bahwa aku pengen dia juga mengekspresikan itu lebih sering lagi. Setidaknya di saat kami janjian mau ketemu lah.
Kurangnya dia di situ sih.
Agak kurang ekspresif dan kurang inisiatif.
Aku selalu obrolin apa yang aku rasain.
Komunikasi kami oke.
Semua yang aku ceritain ke orang, atau ke forum ini, pasti udah pernah aku obrolin duluan semuanya sama dia.
Tapi, beberapa kali masih agak sering balik ke situ situ lagi masalahnya.
@Adrian69
"When you love someone, you accept him/her unconditionally (which you think it's easy).
When you're in relationship, you still do, but at some point you have to compromise, make adjustments and discuss so many things in order to grow." - Budi, 2017.
Saya memang seorang yang begitu mengagumi romantisme (mendambakannya, dan mengharapkannya terus muncul secara konsisten), tapi sejujurnya, saya masih belum memahami bagaimana ketika seseorang sedang merasa jatuh cinta, dia akan mulai... seperti saya (di masa lalu, dan mungkin juga masih sampai sekarang tapi dengan intensitas yang berbeda).
Bahkan ketika keadaan menjadi sulit (misalnya karna tak berbalas, atau karna menjadi merasa tidak pantas), orang mencoba positif juga dengan menggunakan romantisme.
Mencoba menghibur dengan berkata bahwa suatu saat akan ada yang menerima dia (atau mereka) apa adanya. Mereka yakin mereka akan mendapatkan cinta tak bersyarat (bahkan mungkin tanpa memaknai secara mendalam apa itu cinta tak bersyarat).
Belakangan, setelah saya bertemu dan menjalin relasi dengan orang yang menerima saya lebih dari diri saya menerima diri sendiri, saya merasa bahwa pemikiran romantis mereka (bahkan juga saya sebenarnya) itu... tidak sehat.
Cinta 'tak bersyarat' ini sesungguhnya punya batasan batasan. Kamu bisa jatuh cinta tanpa syarat. When you fall in love, the only reason why is because this person, and this person only. Tanpa alasan dan seolah tiba tiba. Kalau coba dijelaskan lebih detail lewat kata, rasanya seolah olah semua kata yang ada kurang pas (at least that's what happen to me).
Tapi saya kira itu wajar. Namanya juga jatuh. When you fall, you just fall. You don't have plan for it, and you don't really have any reason. Kamu mungkin berhati hati dengan terus melihat ke bawah. Ujung ujungnya kepentok ranting pohon lalu jatuh.
Kamu mungkin percaya diri dengan terus menengadah ke atas sambil terus berjalan. Ujung ujungnya tersandung batu lalu jatuh.
Cinta itu, sesuatu kamu bilang tai, tapi saat ada ya dicium cium juga.
TAPI saat saat setelahnya bisa jadi... tidak mudah. Kita kemudian pastilah menginginkan 'ikatan'. Silakan hujat istilah ini, tapi kamu yang menolak keras ikatan pun dalam tingkatan tertentu juga sebenarnya terikat. Selama masih hidup, kita adalah manusia yang terikat. Dan itu tidak (selalu) buruk.
Ikatan bernama pacaran ini salah satu yang (bisa jadi) tidak buruk. Indah malah. Tergantung polanya tentu saja.
Nah tapi, dalam relasi pacaran ini (yang akhirnya saya alami setelah melajang 24 tahun), saya yang... terpapar romantisme mencintai apa adanya lewat media apa pun, yang secara tak sadar memaknai bahwa Cinta dan romantisme adalah selalu sama, mengalami banyak "kejutan". Saya jadi melihat, dalam tahap menjalin ikatan ini lah, cinta tak bersyarat mengungkapkan batasan batasannya.
Pacar saya tidak se-ekspresif waktu kita awal awal masa pendekatan dan pacaran. Romantisme yang saya rasakan berbeda. Berubah bentuk saja sebenarnya tapi terasa berkurang (padahal sebenarnya tidak).
Lalu apa artinya dia tidak mencintai saya apa adanya seperti dulu? Tidak sebesar dulu? Walau lewat kata kata saya tidak berani mengatakannya, saya mengucapkannya lewat tingkah laku saya. Saya bertingkah seolah rasa cinta dia tak lagi sama.
Padahal, sebenarnya lebih besar. Dan dia sangat sering mengingatkan saya. Dia yang setiap weekend menghabiskan waktu bersama saya. Dia yang, kalau saya libur weekday, juga menemani saya di malam hari, dan mau menerima tawaran saya untuk mengantarkannya ke tempat kerja. Dia yang menceritakan cerita pribadinya paling banyak ke saya. Dia lah orang yang saya peluk. Dia lah orang yang memeluk saya. Dia lah yang mencium saya. Dia lah yang saya cium. Dia lah yang mengkhawatirkan dan peduli pada saya. Dia lah yang berusaha keras untuk mewujudkan yang saya mau dan berhasil.
Paparan romantisme yang saya terima, (yang sebelum pacaran, sebenarnya sudah sedikit saya kurangi) sangat saya yakini berpengaruh pada rasa tidak puas.
di dunia sana, berapa kali saya baca kutipan yang kurang lebih berbunyi "tidak ada yang namanya terlalu sibuk. Yang ada adalah apakah dia jadi prioritasmu atau tidak" dan sedihnya (iya, belakangan ini saya sedih kalau menemukan kutipan itu) banyak orang setuju dengan kutipan itu, dan saya KADANG menyetujuinya.
Nah kamu yang terpapar oleh kisah romantisme (terutama yang kekinian dan berasal dari teman temanmu), apa sanggup kalau whatsapp mu baru dibaca lebih dari sejam dan belum tentu langsung dibalas? Oh kadang saya sanggup, tapi kadang saya gak. Ini pun proses. Karna saya tau betul (sebenarnya) bagaimana kebiasaan pacar saya soal telpon genggamnya dan itu sangat wajar dan bisa dimaklumi, namun di sisi lain, saya sering merasa ingin diberi perhatian lebih (walau agak kurang masuk akal).
Apakah pacar saya yang sibuk sampai slow respon itu pertanda dia tidak mencintai saya apa adanya? Apakah ketika saya menuntut, karna saya tidak mencintai dia apa adanya?
Apa pula itu "apa adanya"?
"Apa adanya" yang kamu lihat dari si dia hanya pada saat ini saja? Atau selama beberapa waktu? Selama berapa lama? Seminggu? Sebulan? 3 bulan? Setahun?
Dalam berelasi, saya baru baru ini tercerahkan bahwa ini bukan perkara mencintai "apa adanya" (seperti yang umumnya kita tau), apalagi mencintai lewat ekspresi romantis.
Namanya juga relasi. Dalam relasi pacaran monogami, ini antar 2 orang. Saya kira nyaris mustahil kamu bisa 100% mencintai pasanganmu "apa adanya". Kamu tak akan pernah bisa jadi segalanya buat dia, begitu pun sebaliknya. Cobalah untuk terus berpikir dan berusaha begitu, you will fail !! Tapi bukan berarti kamu bisa 'gitu gitu aja' dalam artian benar benar hanya menjadi dirimu. Ini hubungan antar 2 orang. 2 kepribadian, 2 pikiran, 2 hati, 2 tubuh, 2 selera, 2 kantor, 2 waktu, 2 kehidupan. Untuk menyatukan yang 2, butuh penyesuaian, kompromi, diskusi.
Yang mana, hal hal esensial ini akan kabur kalau kita terus menerus tenggelam dalam romantisme.
Penyesuaian, kompromi, dan diskusi ini lah, sebenarnya, cara kita untuk mencintai apa adanya.
Karna satu satunya yang keberadaanya pasti di dunia ini adalah perubahan.
Orang pun berubah. Setiap waktu. Setiap detik (sungguh!).
Mau mencintai seseorang apa adanya? Cintailah perubahannya. Caranya melalui penyesuaian, kompromi, dan diskusi.
Tapi bagaimana jika masih lajang? Dengan siapa kita menyesuaikan diri, berkompromi, dan berdiskusi? Ya tentu dengan diri sendiri. Tubuh, pikiran dan jiwa. Ketiganya harus melakukan tiga hal tersebut.
Falling in love is easy.
Having relationship is challenging.
Tidak selalu indah, tapi di situlah estetikanya.
Bagus banget kamu udah mengerti bahwa sesudah jadi relationship (instead of "awal pacaran") bentuk perhatian berubah, bukan berkurang.
Adaptasi itu harus. Kita nggak bisa keep a relationship kecuali kita adapt to what's happening.
You're getting stronger, and keep on going!
Aku pikir sulit bagiku untuk sampai ke pemikiran ini karna aku dulu orangnya hopeless romantic.
Bahkan ketika sudah nyaman dan independen as a single gay man, trus berubah jadi manja pas pacaran.
And it's my first relationship ever
Transisi dari romantisme masa pendekatan dan awal pacaran menuju pacaran "gaya" casual itu gak mulus.
Jadi aku kaget.
And sometimes my boyfriend is not really good at explain things even when he is, I'm not good at listening and understanding him
Tapi.... Setelah berantem yang terakhir, beberapa hari setelahnya ngobrol, and my meditation back on track, things feels different and so good.
I even surprise about myself.
Tinggal dijaga aja biar stabil
Sementara itu, berapa kali aja aku menemukan pertanyaan semacam “ada gak sih gay yang gak cuma mikirin seks doang?”
Terakhir aku menemukan pertanyaan ini di sebuah grup Facebook, yang kemudian dikomentari banyak orang “gak lah. Aku pun juga cari yang bisa diajak komitmen” something like that.
Pertanyaan beserta jawaban ini sering ku temui. Ini berarti jelas banget bahwa BANYAK gay yang juga menginginkan hubungan romantis jangka panjang. Yang kemudian aku lihat 'bermasalah’ adalah ketika orang-orang ini jadi hopeless romantic. Jadi halu banget, mudah terobsesi, dan terburu buru banget dalam melangkah. Jadi stalker, susah untuk casual, texting selamat pagi, siang, malam, nanya udah makan atau belum, gampang kesel kalau chat gak dibales atau dibales tapi lama, nanya hal-hal yang terlalu personal, berusaha jadi juru selamat ketika dapet jawaban “I don't feel so good” instead of giving some space, mengungkapkan rencana yang diinginkan dalam hubungan jangka panjang, daann lain lain. Semuanya terjadi di awal awal, ketika belum deket (bahkan baru banget mulai mengenal).
Sebenarnya menjadi orang yang aktif secara seksual atau mengharapkan romantisme itu gak salah. Sah-sah aja orang berkali-kali melakukan recreational sex. Yang penting konsensual. Sah-sah aja orang melakukan hubungan seks di pertemuan pertama lalu gak pernah berkabar apalagi ketemu lagi. We and someone we had sex with doesn't know each other AT ALL anyway! Jadi kita gak punya hak menuntut “pasangan seks” kita untuk menghubungi kita lagi atau merespon pesan WhatsApp dari kita. Kalau mau bagus, kalau gak ya udah. It’s totally okay if YOU want to have sex after you and someone you know have connections first, tapi gak lantas orang yang bisa berhubungan seksual di pertemuan pertama nilainya jadi rendah.
Mengharapkan romantisme juga hal yang baik, tapi monmaap niiihhh kelakukannya bisa dong yaaa dikondisikan! Coba diatur supaya jangan sampai (keliatan) hopeless. Personally, I feel scared when people write in their bio on dating apps that they want a relationship. Apalagi kalau tabiatnya udah kayak yang aku tulis di atas tadi. I mean, relax gurl! Pelan-pelan dulu dong! Pertama, sadari dan terima dulu kenyataan bahwa kamu itu hopeless romantic. Salah satu slogan yang diamini oleh orang-orang hopeless romantic adalah “jodoh gak akan ke mana” kan? Jadi ya pelan-pelan aja. Gak usah takut keburu diembat orang. Kalau emang orang yang ditaksir keburu sama orang lain, itu bukan karena kita pergerakannya lambat. It’s just not meant to be, or the chemistry is not there. Ada satu dua hal lagi yang salah itu mungkin. Mungkin banget! Tapi itu bukan karena pergerakan kita lambat. Relationship is a process, not a race!
Orang-orang hopeless romantic banyak yang terpengaruh oleh film (atau karya karya lain seperti buku, musik, dsb). Well, gak cuma dalam kisah percintaan sih. Soal acceptance dan coming out juga, but let's not go there for now.
Anyway, seringkali ketika kita nonton film, yang kita lihat itu yang bagus bagusnya aja. Kita berfokus pada akhir atau hasil yang indah-indah. Trus kita jadi halu dan menginginkan hal serupa. Kita lupa gimana kisah indah tersebut berawal. Atau kalaupun kita ingat, itu karena dalam film-film tersebut, ceritanya emang udah indah dari awal. Kita gak banyak mengingat tontonan (atau kisah nyata dari teman sendiri) soal hubungan romantis yang berproses dalam jangka waktu tertentu, dan bagaimana orang-orang yang terlibat di dalamnya bersikap sesuai porsinya ketika berproses. Kita sering lupa, bahwa untuk menuju hal yang indah-indah, kita harus berhadapan pada sampah-sampah kehidupan.
Speaking about process, I think that we can learn from American people like we see in the movie or tv series. Sejujurnya aku adalah orang yang hopeless romantic. di saat yang sama, aku juga sexually active yang bisa banget melakukan hubungan seksual satu kali trus udah gak ketemu ketemu lagi gak ngobrol ngobrol lagi. Tapi karena menginginkan proses kayak orang-orang Amerika yang ku maksud di atas, I feel like I’m somewhere in between.
Proses yang ku maksud adalah, kasual, pelan-pelan, lalu kalau cocok dan chemistry-nya oke, barulah berpacaran. Berawal dari kenalan, lanjut dating, lalu mungkin having sex setelahnya. Kalau kencan pertama bagus, maka ada kencan kedua, ketiga, dst. Kalau kencannya gak bagus, entah di kencan pertama atau malah di kencan ke sekian, ya udah gak lanjut. Dan ketika belum berpacaran, di antara kencan-kencan itu, maka berhubungan seksual atau kencan dengan orang lain adalah sah. Bukannya malah terlalu obsessed atau ganggu banget dengan texting gak penting di awal awal.
Aku belakangan ini nonton serial Sex and the City. Dan jujur aku setuju ketika di salah satu episode Mr. Big bilang “it’s not like we're exclusive, right?” ketika Carrie melihat cowok itu kencan dengan orang lain lagi.
Mungkin ini pembenaran aja (well, people do that all the time anyway), tapi aku merasa bahwa jadi single dan mulai bermain di dunia kencan itu sulit, maka mengikuti gaya kencan orang-orang Amerika (at least kayak yang di film atau serial) itu adalah cara yang bikin kencan jadi mudah. Sometimes I feel “I like this guy. Ofcourse I don't know if he feels the same way and I wanna find out, but this new guy is also interesting and he probably likes me already”. Trus aku jadi bingung sendiri. Masa aku harus pilih salah satu? Bukankah “coba” dua duanya itu harusnya sah sah aja? Apalagi ketika yang satunya gak memberikan respon ke arah yang aku harapkan. Apalagi status ku masih lajang. Aku belum memiliki niat untuk berpacaran dengan orang tertentu (bahkan kalaupun ada, jika respon dari orang yang ingin ku pacari masih gitu gitu aja, it’s not a sin if I’m seeing someone else).
Apparently, ide ini seperti masih asing. Terutama mungkin di kalangan orang-orang seumuran ku (which is 26). Atau mungkin gak juga, tapi karena aku berpikir demikian, aku merasa bersalah saat aku tertarik dengan “cowok B”, ketika aku sudah tertarik dengan dan mencoba mendekati “cowok A” bahkan ketika sudah jelas bahwa dia gak memiliki ketertarikan yang sama kepadaku. I’m always wondering “is this okay?” atau malah “why do I feel like this is not okay? I mean, he’s obviously not into me, aku mencoba membuatnya tertarik dan sebenarnya mulai lelah, but I feel guilty when I’m seeing someone else!”
Sure, obviously I’m still hoping he will likes me back but… my energy is draining already. But at the same time I'm actually want to see someone else.
Maka dari itulah, I try to not think about it too much and I do feel a bit better right now. Cuma mikir bahwa aku punya kemampuan untuk lebih fleksibel. Aku memang sering melakukan one night stand, aku juga sangat suka ketika bisa klik ngobrol beberapa orang sekaligus dan sesekali flirting ke mereka tanpa perlu merasa bersalah. It’s just flirting anyway. I'm still single anyway.
Tapi aku juga tetap menginginkan hubungan monogami jangka panjang. I definitely can stop once I feel REALLY close to someone. Because I did stop when I had a boyfriend not too long ago and I believe I can do it again. Meanwhile, yaaahh nikmati aja dulu previlege ku sebagai seorang pria lajang.
But ofcourse it’s all easier said than done (obviously!). Aku percaya aku bisa melakukan hal-hal tersebut di atas. But some people are just unique. Selalu saja ada satu dua orang yang entah bagaimana bisa aja bikin segala rencana dan pertahanan kita jadi runtuh. Aku orang yang hopeless romantic, yes, tapi aku bukan orang yang halu. Ketika aku single, aku gak mikir aku ingin punya pacar yang begini begitu, ingin menikah suatu saat nanti, ingin punya suami dan ingin melakukan peran ini itu, ingin punya binatang peliharaan, I never have those kind of wish. Aku selalu berpikir one step at a time. Sure, I’m hopeless romantic, tapi yha ngapain mikir gituan kalau masih single?! Yah bahagia aja sendiri aja dulu. Kalau lagi niat, cari gebetan. Kalau lelah, istirahat. Kalau udah dapet gebetan, kencan kencan aja dulu, kalau udah beberapa kali kencan lalu klik, baru lah mikirin pacaran, kalau udah pacaran lama, baru lah pelan-pelan mikirin hal lain yang lebih serius. Well, idealnya sih begitu.
Tapi, seperti yang ku bilang, ada aja orang-orang unik yang bikin segala macam idealisme di otak jadi kacau. Aku gak mudah untuk tertarik sama orang. Apalagi karena mereka yang mendekati ku mencoba melakukan “small talks”. Basa basi mungkin kalau dalam Bahasa Indonesia. I am TERRIBLE at doing that. Ini bukan berarti aku sukanya ngobrol berat, pinter, paripurna juga sih. Biasanya aku gampang ngomong kalau obrolannya “bertema”. Kayak ngobrol soal TV series, film, musik, buku, K-Pop, atau cerita personal (but not too personal). Yaahh sesekali ngobroling isu terkini, homoseksualitas dan gender gitu juga oke oke aja.
NAH ketika aku ketemu orang yang diajak ngobrol enak, interaksi berjalan sangat smooth, sangat kasual, aku kemudian mulai halu. The moment when someone said yes when I asked him out after some casual smooth conversations, pikiranku udah mulai ke mana mana. Apalagi kalau udah ngobrol panjang berdua sampai pagi. Jujur aja, bahkan udah sampai membayangkan kalau pacaran sama dia gimana, kalau nanti serumah sama dia gimana. HAHAHAHAHAHA. But ofcourse, I still behave. Pikiran boleh going crazy, but we must have some self-control.
Tentu saja, momen yang terakhir ku ceritakan itu jarang terjadi. Pertama; karena kadang ternyata chemistry nya lebih klik sebagai seorang teman baik, kedua; karena orang tersebut di atas itu gak banyak. Like I said in the beginning, gay men are either sexual or hopeless romantic (yang sampai halu dan “losing control”). Tapi sesungguhnya aku paham. di saat kita masih muda belia, banyak di antara kita yang masih bingung; mengapa kita, laki-laki, tidak memiliki ketertarikan kepada perempuan? Mengapa kita tertarik pada sesama laki-laki? Banyak di antara kita yang bahkan merasa bersalah dan berdosa. Sementara itu, teman-teman hetero kita sudah mulai berpacaran. Bahkan beberapa kali. Banyak di antara kita yang bisa mulai berdamai dengan jati diri kita sebagai seorang gay (atau lesbian, atau biseksual, atau transgender) ketika usia kita sudah dewasa. Kita kemudian mulai mencari-cari pasangan. Tapi kita tidak pernah punya pengalaman mencari pasangan di masa remaja karena fokus pada perjuangan penerimaan diri. Maka tidak heran sebenarnya melihat banyak LGBT yang bertingkah seperti remaja ketika melakukan proses pencarian pasangan romantis dan terus begitu sampai ketika sudah mendapatkan. Lagipula, bagaimana pun being out as LGBT is so hard. By out I mean visible. Ketika kita gak begitu “visible”, lalu somehow kita bisa kenal dengan yang sesama gay yang menarik perhatian kita, yang terlihat casual and chill, bukan yang sexual or hopeless romantic, itu bisa jadi hal yang overwhealming karena nemu seseorang yang one of a kind.
Tapi, hanya karena ini sering terjadi, gak berarti ini bisa dimaklumi terus menerus. Sebagai LGBTIQ, kita harus bekerja 2 kali lebih keras dibanding teman-teman heteroseksual dalam banyak hal. Dalam bekerja, kalau kita openly gay, kita harus bekerja lebih keras supaya bisa naik jabatan (karena ada kasus kasus di mana orang sulit naik jabatan hanya karena mereka homoseksual, walau perusahaan mengklaim mereka toleran). Dalam percintaan, kita harus sudah berpikir dan bertingkah dewasa di usia dewasa. Gak ada alasan kita bertingkah seperti remaja karena di masa remaja kita gak mengalami fase halu, gak masuk akal, kekanak-kanakan, dll dalam proses pencarian pasangan. We have to skip that phase. Gak ada alasan “nyari yang sebaik dia itu susah”. Well, it is hard! But it even harder if we misbehave! So gain some self-control, honey.
Tapi pada akhirnya, di kategori mana pun kita berada; sexual atau hopeless romantic, atau kategori lain, atau berpindah pindah tergantung situasi, semuanya baik asal kita bisa mengendalikan diri, baik pikiran maupun perbuatan. Asalkan kita bisa sadar ketika melakukan kesalahan dan memperbaikinya, entah segera atau pelan-pelan. Asalkan kita gak menganggap kategori yang satu lebih baik dari yang lain. Karena ada pelajaran yang bisa didapatkan di kategori mana pun kita berada. Pelajaran yang bisa membuat kita berkembang, if we choose to do so.
diambil dari blog gue pribadi; queermanstories.com
terakhir cerita masih tentang problematika berpacaran.
sekarang begitu balik sini, udah single lagi.
long story short, me and Bibi broke up.
putusnya baik baik, and since I never had an ex before I don't know how to behave.
but... well, I don't care enough to try being casual, so... I'm fine we're being like strangers to each other.
the first few months I was SO miserable!
now, everything's fine.
I'm back to dating games, hooking up with some guys and already lose count again, bahkan udah (dan sedang) baper dengan orang lain lagi.
singkat cerita, me and this guy... it's not gonna happen (at least until the near future).
tapi yaudalaya