It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Locky lanjut
Tapi Minggu kali ini sedikit berbeda di rumah. Setidaknya dari jumlah kepala yang bertambah dua orang. Maksud gw kedua kakak gw bawa pasangannya ke rumah. Mbak Alina dan Mas Geri dan Bang Albert dan Mbak Vida. Sementara gw? Jangan ditanya.
Kami sekeluarga makan malam bareng dua calon kakak ipar gw itu. Tapi gw nggak lama ngumpul bareng mereka. Habis makan langsung ngibrit ke balkon, takut kalau ditanya sama Mbak Vida atau Mas Vito kenapa nggak bawa pasangan juga. Kalo sampai pertanyaan itu terlontar, bisa membuat awkward suasana yang begitu menyenangkan tadi. Setidaknya menyenangkan bagi mereka, bukan gw.
“Kok sendirian disini? Kenapa nggak gabung sama kakak-kakak kamu?”
Gw menoleh. Papa mendekat sambil tersenyum.
“Nggak ah, Pa. takut ganggu.”
“Takut ganggu atau ada alasan lain?” Papa duduk di bangku samping gw.
Gw tersenyum samar.
“Kamu kapan bawa pacar kamu ke rumah?”
Hhh. Akhirnya gw dapat juga pertanyaan ini. Pertanyaan ini bobotnya jadi makin berat kalo Papa yang nanya.
“Papa pengen kenal sama pacar kamu sebelum umur pacaran kalian makin lama.”
“Papa kan tahu kalo Al---“
“Cowok lho. Masa nggak punya?”
“Hah?”
“Kenapa? Belum punya juga?”
Gw nggak pernah kepikiran sama sekali Papa bakal nanya tentang ini.
“Kamu kan cakep, pinter, baik, menyenangkan. Masa nggak ada cowok yang nyantol? Papa dengar dari Abang kamu, cewek aja banyak yang terpikat. Atau nyari cowok lebih sulit ketimbang nyari cewek ya?”
Astaga!!! Papa apa-apaan sih!
“Ya udah. Kalo ntar kamu punya pacar, entah itu cewek atau cowok, langsung laporan sama Papa ya? Papa harus nilai dulu dianya. Pantas nggak sama kamu…” pungkas Papa sambil bangkit dari duduknya.
Gw ternganga. Gw nggak salah dengar nih?
Yang ngomong tadi Papa gw kan???
Gw langsung menoleh ke arah tangga setelah melongo sekian lama. Tapi sosok Papa udah nggak kelihatan lagi.
Gw buru-buru berlari menuruni tangga.
“Papa dari mana?” terdengar suara Mama dari bawah. Gw yang hampir menyentuh lantai langsung berhenti.
“Dari atas.”
“Ada Al ya di sana?”
“Ya.”
“Ngapain dia?”
“Melamun.”
Ish! Boong banget! Protes gw dalam hati.
“Ngelamunin apa?”
“Ngelamunin kapan punya pacar, haha..” jawab Papa santai.
Ugh! Papa mengada-ada.
“Papa tanya kenapa pacarnya nggak dibawa ke rumah juga kayak kedua kakaknya.” Terang Papa lagi.
“Emang dia udah punya pacar?”
“Katanya belum. Kalo pun ada nggak mungkin dia berani bawa pacarnya ke rumah…”
“Kenapa? Kita kan perlu tahu anak-anak lagi dekat sama siapa…”
“Kalo pacarnya lanang, emang Mama ngebolehin dia bawa ke rumah?”
“Dia udah punya pacar?? lanang???!” suara Mama kaget.
“Tuuh, tuuh, kalo Mama masih kagetan gitu, gimana Al mau bawa pacarnya ke rumah…”
Nggak ada timpalan dari Mama.
“Emang Papa serius nggak kepikiran sama Al? papa nggak apa-apa kalo Al suka sejenis?” setelah beberapa lama nggak ada suara diantara keduanya, Mama yang buka suara.
“Menurut Mama? Apa Papa pernah mempermasalahkan hal itu?”
“Pa! papa itu gimana sih? Otak Papa itu ditaruh di mana siiihhh?” Mama geregetan.
“Kita punya tiga anak. Dua-duanya suka lawan jenis, berarti kalo---“
“Nggak lucu, Pa! sejak kapan boleh begitu? Mau punya tiga, empat, sepuluh bahkan seratus anakpun, harus suka lawan jenis!” potong Mama.
“Kalo kenyataan berkata lain gimana?”
“Pasti ada cara, Pa. Suatu penyakit datang, pasti dibarengi dengan penawarnya.”
“Al nggak sakit, Mamaaa…”
“Tapi bagi Mama itu penyakit.”
“Yang beda dari Al itu cuma orientasi seksualnya aja. Yang lain nggak ada yang beda. Bahkan dia jagoan kita yang luar biasa. Dia tampan, pintar, baik, iya kan? Bahkan sebelum dia ketahuan gay, dia jadi anak kesayangan Mama?”
Gw terenyuh dengar pembelaan Papa barusan. Gw juga sedih setelah tahu kalo gw adalah anak kesayang Mama. Pantas Mama Nampak sangat terpukul setelah tahu gw nggak seperti yang dibayangkannya.
“Hanya karena dia gay lantas Mama jadi mengabaikan dia?”
“Mama nggak bermaksud begitu.”
“Tapi sikap Mama menunjukkan itu.”
“Mama berat buat terima ini, Pa. apa yang salah dari didikan Mama selama ini?”
“Nggak ada yang salah. Kita membesarkan Al sama seperti kedua Kakaknya.”
“Apa karena kita terlalu menyayanginya? Mama, Papa, Alin, semua suka memanjakan dia…”
“Nggak ada hubungannya, Ma. Itu bentuk kasih sayang. Lagi pula semuanya masih dalam taraf wajar. Buktinya dia nggak jadi anak yang manja dan kolokan. Cuma mungkin saja ada yang luput dari pengawasan kita yang membuat Al jadi gay. tapi itu nggak mengurangi kebanggaan kita buat dia kan?”
“Ada yang terasa beda, Pa. kalo bisa memilih, Mama lebih memilih nggak tahu tentang ini. Biar itu jadi rahasia dia.”
“Papa nggak bisa maksa kalian untuk bersikap kayak Papa. Tapi Papa berharap kita semua tetap mendukung Al.”
Gw tercenung mendengar percakapan Papa dan Mama.
Seharusnya ada Father day, iya Father day. Gw menyusut air mata pelan sambil kembali menaiki tangga menuju balkon.
***