BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Bukan Lawan Jenis [TAMAT]

13567221

Comments

  • edited May 2014

    "Oke!" balas gw.

    "Sudah, sudah. Ngapain sih ngurus orang lain?" lerai Mbak Alina.

    "Gw cuma mau tahu aja kebenarannya," jawab Bang Albert.

    Beberapa saat semua hening.

    Oh My God, mimpi apa sih gw semalam?? Perasaan gw gak ada mimpi yang aneh-aneh deh...

    "Al..."

    Gw menahan nafas mendengar panggilan Papa itu.

    Gw mengangkat wajah.

    "Punya siapa?" Papa menunjuk kertas di tangan gw itu.

    "Teman..." gw jawab dengan hati ketar ketir.

    "Serius lu?! Kalo ketahuan boong---"

    "ALBERT!" bentak Mbak Alina ketika si abang laknat itu mulai mengintervensi.

    Bang Albert langsung diam. Tapi mulutnya mangut-mangut.

    "Bisa diam dulu nggak sih kamu?!" omel Mbak Alina.

    Rasain! Ucap gw dalam hati. Gw juga udah empet banget sama dia. Lihat aja ntar, bakal gw bales!!! Tekad gw dalam hati.

    "Punya kamu apa teman kamu?" Papa menekankan sekali lagi.

    Duh, gimana nih? Gw jawab jujur atau nggak ya?

    "Kejujuran terkadang pahit, Al. Tapi kalo kamu bohong, maka kamu bakal bohong lagi buat menutupi kebohongan itu. Kamu bakal bohong terus menerus. Kamu sendiri yang bakal tersiksa..." Mbak Alina angkat bicara.

    "Kalo nyimpan sesuatu yang salah, dan nggak dikasih tahu ke yang lain, gimana orang bisa bantu membenarkan," sambung Papa.

    Hati gw berkecamuk. Gw dilema. Satu sisi gw pengen jujur, karena itu waktu yang tepat buat come out. Tapi di sisi lain, gw ketakutan sama reaksi mereka kalo gw ngaku tentang orientasi gw ini. Gimana kalo mereka marah dan ngusir gw? Well, meskipun gw rasa tindakan pengusiran itu terlalu ekstrem. Keluarga gw gak setega itu. Cuma palingan kalo mereka tahu gw gay, mereka bakal memperlakukan atau memandang gw gak kayak dulu lagi. Itu yang gw gak sanggup.

    "Oke, Papa udah tahu jawabannya..." tiba-tiba Papa membuyarkan diskusi di benak gw.

    "Maksud... Pa-pa...?"

    "Itu punya siapa?"

    Ish! Papa kok balik nanya pertanyaan itu lagi sih???

    "Lama amat! Udahlah, itu pasti punya Almer lah!" timpal Bang Albert.

    "Benar, Al?" tanya Mbak Alina.

    Gw menghela nafas berkali-kali. Oke, gw harus ambil keputusan...

    Gw menegakkan kepala. "Iya. Itu punya gw-Al," gw membuat pengakuan dengan bibir bergetar.

    Hening.

    Gw kembali menunduk, tapi gw terus mengawasi mereka dari ekor mata gw.

    Bang Albert meremas-remas jemarinya terus mengepalkan tangannya...

    Mbak Alina mengatupkan mulutnya rapat-rapat...

    Papa masih bersikap biasa, penuh wibawa sambil mengusap-usap bibir dengan jempol tangannya...

    Mama diam tanpa ekspresi menatap layar teve, dan... Bangkit!

    Gw dan yang lain langsung mengarahkan pandangan ke beliau. Sebelum Mama berlalu, sekilas gw menangkap mata beliau berkaca-kaca.

    Pundak gw langsung merosot seketika.

    Gw harus berbuat apa? Apa gw harus kayak di film-film, ngejar Mama dan minta maaf sambil bersimpuh di kaki beliau?

    Oke, gw gak mungkin diam aja kan???

    Gw bangkit, tapi Papa tiba-tiba ngasih isyarat pake tangan supaya gw tetap duduk.

    Gw kembali duduk. So?

    Saat gw duduk, Papa yang bangkit dan melangkah pergi.

    Lha?? Gimana sih ini?

    Gw kebingungan. Curi-curi pandang ke arah Mbak Alina dan Bang Albert. Gw kira mereka akan angkat kaki juga, tapi ternyata tetap duduk di tempat.

    Kami bertiga hanya diam. Tapi sumpah, rasanya tegang banget. Dada gw gak berhenti bergemuruh.

    Beberapa saat kemudian, Bang Albert menghela nafas sambil bangkit.

    "Mau kemana?" tanya Mbak Alina.

    "Ke kamar."

    "Ntar dulu."

    "Kenapa?"

    "Masih nanya kamu?!"

    "Apa lagi sih, Mbak?"

    Mbak Alina ikutan bangkit.

    "Ikut!" Mbak Alina menggamit lengan Bang Albert.

    Bang Albert menghela nafas dengan muka bosan. Ia berjalan mengikuti Mbak Alina.

    Eng... Terus gw? Gw gimana dong?

    Gw menyandarkan tubuh ke sandaran kursi sekadar mengendurkan tubuh gw yang terasa kaku. Gw memejamkan mata dan meratap.

    Ya Allah... Kok bisa jadi gini sih... Desis gw dalam hati.

    Ini salah satu kejadian paling buruk dalam hidup gw.

    Gw membuka mata. Menatap seisi ruangan yang membisu. Semuanya mendadak terasa asing.

    Gw melirik jam dinding. Jadi gimana ini kelanjutannya? Gimana nasib gw? Mereka bakal nemuin gw lagi gak nih?

    Gw berusaha nunggu barang beberapa menit lagi sambil menonton acara teve, meskipun apa yang gw tonton gak bisa gw nikmati sama sekali.

    Beberapa menit berlalu. Oke, kayaknya gw mesti cabut juga dari ruang "sidang" ini.

    ***

    Gw bermaksud ke kamar mandi sejenak buat cuci muka dan buang air kecil sebelum kembali ke kamar, saat gw dengar suara orang ngobrol di meja makan.

    Gw refleks memelankan langkah kaki dan menajamkan pendengaran.

    "Lain kali, kalo antara kita bertiga ada masalah, jangan langsung libatkan orang tua. Apalagi masalah kayak gini. Kita udah gede, bisa dong membedakan mana yang harus dikasih tahu sama orang tua atau nggak?" gw pastikan tadi itu suara Mbak Alina.

    "Mbak, ini bukan masalah sepele. Almer... Ho-mo."

    "Justru itu, Albert! Kamu nggak kasihan sama Al, eh? Seharusnya kamu bilang dulu sama Mbak, kita diskusikan dulu berdua. Kita tanya dulu ke Al, bukan langsung main ngadu ke Papa - Mama gini.Tuh kamu lihat tadi reaksi Mama gimana??? Ini masalah sensitif banget tauk!" suara Mbak Alina terdengar jengkel.


    Nggak kedengaran suara jawaban Bang Albert.

    Gw tersenyum kecil. Jujur, setelah dengar omongan Mbak Alina barusan, gw jadi terharu.

    Ya. Emang itu yang gw harapkan. Seharusnya Bang Albert nggak main ngadu gitu aja ke Papa - Mama. Dia jahat banget sama gw.

    Gw mendesah. Huhhhffff... Gw bersandar ke dinding.

    "Terus gimana?" suara Bang Albert memecah kebisuan.

    Gw kembali menajamkan pendengaran.

    "Ntar Mbak akan ngomong sama Mama..."

    "Sip. Ntar gw yang ngomong sama Al."

    "Nggak usah! Biar Mbak aja!" bantah Mbak Alina cepat.

    "Lho kenapa?"

    "Yang ada kamu bikin kacau lagi."

    "Lagian Almer ini, gw gak habis pikir kenapa jadi homo sih?! Apa juga gw bilang selama ini, dia itu aneh Mbak!"

    "Udah, udah."

    "Awas aja kalo dia macam-macam sama gw!"

    Gw refleks mengepalkan tangan mendengar omongan Bang Albert barusan. Setelah malam ini, semakin jelas alasan dia buat ngebenci gw!

    ***

    Gw terbangun dari tidur dan sialnya langsung diingatkan sama kejadian semalam. Gw langsung mendesah berat.

    Gw langsung bangun dan mandi setelah itu ganti baju. Saat lagi mematut diri di cermin, terdengar suara ketukan di pintu.

    "Al...! Bangun...!"

    "Sudah, Mbak."

    "Sarapan!"

    Gw gak menjawab. Gw seketika mematung di depan cermin. Gw bisa ngerasain nada suara Mbak Alina terdengar dingin.

    Itu baru Mbak Alina. Gimana sama sikap Mama, Papa dan Bang Albert???

    Gw mutusin untuk nggak sarapan di rumah pagi ini. Gw gak sanggup nerima respon mereka ke gw nanti.

    Gw langsung menyambar tas dan mengenakan sepatu. Mumpung mereka semua lagi sarapan, ini saatnya gw pergi ke kampus.

    Tapi sampai di garasi, ada sesuatu yang mengganjal benak gw. Rasanya nggak afdol kalo pergi tanpa pamit. Itu sama aja gw buat kesalahan berlapis.

    Gw harus pamit! Ya. Apapun konsekuensinya. Ini emang resiko yang harus gw ambil.

    Gw kembali masuk dan menuju ruang makan. Tapi beberapa langkah lagi dari ambang pintu, dada gw berdegup kencang. Di dalam mereka sarapan tanpa suara. Bikin nyali gw makin ciut.

    "Al mana? Udah dikasih tahu?"

    Itu suara Papa!

    "Udah, Pa," jawab Mbak Alina.

    "Terus mana dia?"

    Gw memegang dada gw, takut degup jantung gw kedengaran sama mereka.

    "Biar aku panggil lagi, Pa!" Bang Albert angkat bicara.

    Waduuhh! Gimana nih?!

  • ayo dilanjuuuut,,,
    apa perlu gue yang lanjutin..?
  • edited May 2014
    Gw celingak celinguk nyari tempat yang pas buat sembunyi. Di balik pintu, atau di samping lemari atau di belakang kursi...

    Oke, cuma ketiga tempat itu yang memungkinkan, sekaligus di rekomendasikan dalam film atau sinet---

    Gw langsung menepuk jidat karena mulai ngelantur!

    Sementara itu, terdengar suara kaki kursi bergeser dari tempatnya. Gw tebak itu pasti suara Kursi Bang Albert saat dia bangkit dari duduknya.

    Pikiran gw kembali terpusat ke pintu, lemari, kursi...

    No!

    Sampai kapan gw mesti main kucing-kucingan sama mereka? Mereka udah tahu rahasia gw, jadi buat apa gw menghindar?

    Plis, jangan jadi orang pengecut, Al... Bisik gw dalam hati.

    Gw menghela nafas demi mengurangi ketegangan.

    Sebaiknya gw yang nyamperin mereka deh.

    Satu...

    Dua...

    Gw mulai melangkah dan...

    Gw hampir tabrakan sama Bang Albert di ambang pintu. Pas lihat gw, dia langsung mengernyitkan kening.

    "Makan!" cuma satu kata itu yang keluar dari mulut Bang Albert buat gw sebelum ia berbalik ke kursinya.

    "Ya..." jawab gw pelan.

    "Sarapan, Al..." ajak Papa.

    "Ya, Pa..." balas gw sambil menarik kursi di samping Mbak Alina dengan canggung.

    Gw menghela nafas lagi sambil diam-diam melirik Mama. Oh, God... Beliau nampak menekuk muka. Gw nge-drop lagi. Alhasil, sarapan gw terasa hambar.

    Kelar makan, gw langsung pamit ngampus.

    "Kelar kuliah langsung pulang, Al," pesan Papa.

    "Hah? Oh, iya..." jawab gw sembari bertanya-tanya dalam hati apa yang akan gw hadapi nanti siang.

    Hadeeehhh...


    Gak tahu kenapa yah, kalo kita lagi takut atau something trouble, waktu itu jalannya cepat banget.

    Seperti hari ini, gak kerasa waktu udah jam dua aja. Dan itu artinya jam perkuliahan habis! Padahal perasaan gw baru aja gw duduk di kursi ini dengar dosen ngoceh. Gak kayak hari-hari sebelumnya, gw berasa ampe lumutan nunggu jam kuliah habis, tapi jarum jam jalannya ngesot. Tapi khusus buat hari ini, sumpah, jarum jam lari sprint cuy!

    Gw narik nafas berat. Gw masih pengen ngampus. Gak apa-apa deh dengar dosen ngoceh. Justru gw dengan senang hati dan lapang dada dengar semua ocehan para dosen, dari pada gw harus balik ke rumah.

    Bayangin rumah aja gw udah mules. Gw ketar ketir mikirin apa yang bakal Papa omongin sama gw ntar sore. Oh God, gw bakal menjalani sidang kedua lagi ya???

    "Woy, gak balik lu?" tegur Nandra sambil noyor bahu gw.

    "Balik kok."

    "Terus kenapa belum berdiri juga?"

    Gw bangkit dari duduk sambil pake tas.

    "Lu bawak tenda ya?"

    "Lu kali. Kan lu yang mau nginap di sini!" jawab gw.

    Nandra ngakak.

    "Udah yuk, pulang!" ajak gw.

    "Yoi, Brooo..." Nandra ngerangkul pundak gw.

    Kita berdua keluar kelas berbarengan.

    ***

    Sesampai di rumah, ternyata ada Kak Fredo di rumah. Dia lagi sama Bang Albert sedang ngobrol di ruang tengah sambil nonton teve.

    "Baru pulang, Al?" sapa Kak Fredo.

    "Iya, Kak," jawab gw.

    Bang Albert natap gw sekilas dengan muka dingin.

    Gw langsung menuju kamar. Tapi di depan pintu kamar gw berpapasan sama Mama.

    "Sudah pulang?" tanya Mama sambil lalu tanpa natap gw.

    "Ya..." desis gw. Gw berdiri di depan pintu sambil terus natap punggung Mama yang menghilang di balik tembok.

    Ya Allah, kenapa gw ngalamin hal kayak gini sih??? Ratap gw dalam hati. Gw mendongak menatap langit-langit mencari jawaban.

    Tak ada apapun di sana. Hanya ada langit-langit tinggi yang bikin perasaan gw makin gamang.

    "Buruan makan, Al..." tiba-tiba aja Mbak Alina udah berdiri di samping gw.

    Gw yang sedikit terkejut langsung menoleh. "I...iya," jawab gw gelagapan.

    Mbak Alina tidak mengatakan apa-apa. Ia langsung berlalu.

    Ya Ampuuunnn, semuanya bersikap dingin ke gw.

    Gw masuk kamar, taruh sepatu sama tas dan duduk di pinggir ranjang dengan malas.

    Jujur, gw kacau! Gw bingung mesti ngapain. Otak gw berputar cepat.

    Kenapa gw harus jadi gay sih? Kenapa gw jadi gay?! Kenapa gw bisa suka sama cowok??? Gak ada satupun alasan logis yang bisa gw maklumi dan pahami! Gw nggak pernah dilecehkan, masa kecil gw normal, punya keluarga bahagia, berlimpah kasih sayang... Tapi gw jadi gay! KENAPA?!

    Arrrggghhh...! Ini nggak adil!

    Gw nggak mau jadi gay! Gw nggak mau!!!

    Gw harus berubah! Bagaimanapun caranya gw harus suka cewek! HARUS!!!

    Gw mengambil print-out cerita gay di tumpukan buku dan membuangnya ke lantai.

    Gw mengambil flash disk berisi file foto-foto cowok dan blue film genre gay, lalu melemparnya ke lantai.

    Apa lagi?! Apa lagi semua barang-barang yang berkaitan dengan gay yang gw punya???

    Majalah! Iya. Mana? Mana?!

    Gw membuka lemari dan membongkar semua isinya. Barang-barang berhamburan keluar.

    Mulai saat ini, gw gak akan berhubungan dengan semua apapun tentang homo!

    Setumpuk majalah gay terbitan Thailand yang gw pesan dari teman gw jatuh berserakan di lantai.

    Bukan hanya majalah gay, tapi beberapa pin up cowok-cowok seksi berkancut doang dari majalah Cosmopolitan ikut berserakan di lantai.

    Gw ambil dan gw kumpulin semua koleksi-koleksi gw itu. Bakal gw musnahkan!

    ***


    ***

    Semua barang yang berhubungan sama gay udah gw masukin dalam satu kardus. Korek api udah di tangan. Cukup dengan satu sulutan api, maka semuanya bakal musnah.

    Tapi kok rasanya berat ya buat ngelakuin ini???

    Perjuangan gw buat ngedapetin semua barang-barang itu melintas dan berputar di benak gw. Nggak mudah buat ngedapetin semua koleksi itu, terutama majalah-majalah terbitan Thailand itu.

    Hmmm... Gimana yah?

    Ah, bumihanguskan aja semua barang-barang ini, kecuali majalahnya, hati gw membuat penawaran.

    Ya, majalahnya jangan dibakar. Disimpan aja. Toh selama ini gw jarang, bahkan hampir udah gak pernah ngubek-ngubek tuh majalah. Jadi gak ada efek buruknya dong mau majalah itu tetap ada atau nggak?

    Ya, majalahnya jangan dibuang, gumam gw dalam hati sambil memisahkan semua majalah dari kardus.

    Tinggal pin up, flash disk dan print-out cerita gay sekarang.

    Mata gw tertuju sama pose cowok naked yang anu-nya cuma ditutupi sama bola rugbi doang.

    Aduuuh, Mike Lewiiisss...! Ini gw dapat dari majalah Cosmo edisi 2000. Jujur, gw gak rela buat bakar lu, Mike. Mana senyumnya manis bingit lagi!

    Mike-Cosmo.jpg

    Gw membuka pin up di bawahnya.

    Ada Boy Hamzah!!!

    2013_08_29.jpg

    Gw buka lagi tumpukan di bawahnya. BANYAK!!!

    Hmmm... Semua pin up ini gw maling dari cosmo-nya Tante, Mama dan Mbak Alina. Semuanya edisi lama, gak bakal terbit lagi dan gak bakal gw dapetin lagi.

    Jangan dibakar deh. Ntar gw nyesel lagi. Siapa tahu kapan-kapan gw mau lihat Mike atau Boy atau Joe Taslim atau man manual Cosmopolitan lainnya dah!!!

    Oke, sisihkan juga, hati gw kembali membuat kompromi.

    Flash disk. Hmmm, di dalam flash disk ini begitu banyak data yang udah gw kumpulin. Semuanya image dan video blue film favorit gw. Ada dua flash disk. Masing-masing berkapasitas 8 GB dan 32 GB. Flash disk 8 GB adalah flash disk pertama gw. Semua isinya images dan blue film paling fave dari semua yang gw favoritkan. Isinya hasil sortiran ketat. Kalo gw musnahkan, kan udah banyak situs tempat gw ngunduh file itu yang udah dibanned sama kominfo. Oh iya! Situs gay tempat gw download kebanyakan video berekstensi 3gp ini ada yang udah gak bisa dibuka, ada yang udah gak beroperasi lagi dan ada juga yang udah crush. Gw baru aja cek beberapa hari yang lalu. Kalo suatu hari gw kangen pengen lihat aksi Harry Louise atau Adam Killian semisalnya, sementara videonya udah gak ada dan situsnya udah nggak nyediain lagi tuh video gimana dong???

    Ah, gw galau!

    Jadi gimana nih?

    Gw menimang-nimang dua flash disk di tangan.

    Musnahkan... Nggak. Musnahkan... Nggak.

    Nggak... Musnahkan. Nggak... Musnahkan.

    Aduuuhhh...!

    Kembali gw teringat semua sikap orang di rumah ini.

    Gw makin galau.

    Musnahkan aja deh. Anggap aja ini pengorbanan.

    Gw mengeluarkan print out cerita gay dari kardus ke tong sampah. Gw juga melempar flash disk ke sana lalu menyulut korek api. Dengan gerakan dramatis gw lempar sebatang korek api yang menyala ke arah tumpukan kertas. Perlahan api mulai membakar kertas.

    Gw menghela nafas, seiring dengan hati kecil gw bergumam: "Harry Louise jadi bottom... Hot banget."

    Tatapan gw langsung tertuju ke flash disk di dalam tong sampah.

    "Si Harry udah nggak jadi pemain bokep lagi. Jadi pasti bakal susah nyari video dia, apalagi yang bottom..." setan di hati gw kembali bicara.

    HAP!

    Gw langsung nyambar dua flash disk yang masih aman dari amukan api.

    "Jangan dibakar. Mendingan gw format aja. Kan flash disk-nya bisa buat nyimpan data yang lain..." gumam gw.

    Gw kembali memasukkan majalah dan pin up ke dalam kardus. Dari semua benda yang tadinya pengen gw musnahkan, cuma print-out cerita yang sukses dibakar. Selebihnya? GAGAL!!!

    Sekembalinya ke kamar, gw langsung nyalain laptop dan nyolokin flash disk. Dilayar semuanya terpampang begitu banyak folder. Semua foldernya tersusun rapi.

    Folder dengan nama Harry Louise, folder Adam Killian, folder Brent Corrigan, folder Jacub Stefano, dan masih banyak lagi.

    Sumpah, gw gak nyangka gw segitu "gila". Shit! Gw benar-benar terlahir sebagai gay sejati sepertinya.

    Gw buka folder satu persatu.

    Setelah gw buka folder-folder itu, semakin berat rasa hati gw buat nge-format flash disk gw. Semua file-file itu, cuma gw lihat dan gw tonton sekali doang. Habis itu nggak pernah gw sentuh-sentuh lagi. Tapi tetap aja gw gak rela menghapus semuanya. Butuh banyak waktu dan paket data internetan gw mendapatkan semua file ini.

    Maafin gw Ma, Pa, gw gak bisa buang semua benda ini. Ini identitas gw, ini dunia gw. Seandainya kalian di posisi gw, kalian pasti bakal tahu rasanya kayak apa. Gak ada yang mau terlahir kayak gini...

    ***


    Gw tengah beresin kamar yang abis gw berantakin saat Bang Albert ngomong dengan gaya membentak dari luar.

    "Dipanggil!"

    Gw mendelik kesal ke arah pintu kamar yang tertutup.

    Gak jelas banget sih. Dipanggil siapa?

    "Semoga aja lu juga dipanggil secepatnya. Dipanggil Yang Kuasa!" geram gw dalam hati.

    Gw melanjutkan beresin kamar. Dikit lagi kok. Habis itu baru memenuhi panggilan entah siapa itu.

    Gw lagi nyusun majalah-majalah rahasia gw di tempat rahasia juga di dalam lemari, sewaktu teriakan kedua kembali menyapa gendang telinga gw.

    "ALMER! LU DIPANGGIL!"

    "BENTAR!" balas gw. Emosi gw. Dengan langkah cepat dan hati bergemuruh gw buka pintu kamar.

    "Siapa yang manggil?!"

    Bang Albert yang udah ninggalin pintu kamar gw beberapa langkah langsung balik badan.

    "Lihat aja sendiri!"

    Gw menghela nafas perlahan. Gw menutup pintu kamar sepelan mungkin. Gw gak mau daun pintu ini berdebam keras, karena gw harus kelihatan tenang di situasi kayak gini.

    "Thanks..." jawab gw saat melintasi Bang Albert.

    Dia nggak jawab. Tetap mematung di tempatnya. Setelah gw berjalan beberapa langkah, baru ia jalan juga ngikutin gw.

    Gw menuju ruang tengah. Yang manggil gw pasti papa.

    Dan ternyata benar. Di ruang tengah bukan hanya beliau, ada juga Mama dan Mbak Alina.

    Gw kembali tegang, tapi gw berusaha nampak tenang. Apapun yang terjadi, terjadilah. Semuanya udah di atur sama Yang Diatas.

    "Al sudah disini Pa," gw membuka percakapan sedetik setelah gw duduk di sofa. Gw pengen semua cepat kelar.

    "Ohh..." Papa mengubah posisi duduknya sedikit.

    "Mama mau ngomong," kata Papa.

    DEG!

    "Oh...?" jujur, gw deg-degan. "Oke..."

    Mama menghela nafas. "Mama masih nggak percaya sama yang terjadi semalam. Kamu... Apa yang salah? Apa kita salah mendidik kamu? Kenapa kamu menyimpang kayak begitu? Kamu tahu ini nggak benar?"

    Gw diam. Gw masih menimbang-nimbang, harus jawab atau tetap bungkam.

    "Sudah berapa lama, Al?"

    "Nggak tahu," jawab gw. Gw males ngungkit-ngungkit lagi.

    "Nggak tahu gimana? Kapan kamu mulai menyimpang?"

    Menyimpang? Kenapa sih orang mudah banget ngasih stempel pada seseorang?

    "Kamu harus diterapi!"

    Dengar kata terapi, gw langsung angkat kepala.

    "Terapi?"

    "Iya. Terapi supaya kamu nggak nyimpang lagi! Buat ngelurusin pikiran rusak kamu itu!" jawab Mama.

    "Gw kayak orang sakit aja..." desis gw.

    "Emang sakitkan? Kamu nggak sadar kalo kamu itu sakit? Sakit mental."

    "Sakit mental? Gila???" emosi gw bergejolak.

    "Mama nggak bilang kamu gila. Nggak semua sakit mental itu gila, Al."

    "Gw nggak mengindap sakit mental apapun!" bantah gw tegas. "Gay itu bukan penyakit."

    "Gilaaa... Jadi selama ini lu nggak sadar kalo lu itu sakit?" celetuk Bang Albert.

    "Kenyataannya emang gitu kok!" gw melototi Bang Albert.

    "Al! Kamu menyimpang. Nggak ada yang membenarkan tindakan homo," Mama menekankan setiap kata-katanya.

    "Tapi gay itu bukan penyakit!"

    "Jadi maksud lu apa?!" bentak Bang Albert. "Lu mau kita diam aja gitu sama kehomoan lu, eh?!"

    "LU PIKIR GW MAU JADI GAY?!" Emosi gw terus memuncak.

    "Makanya berubah dong! Nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhin. Jangan diam aja! Selama ini lu udah usaha apa aja supaya jadi cowok tulen, eh?!"

    "Maksud lu apa, Bang??? Gay itu cowok tulen!"

    "Mana ada cowok tulen suka sama cowok!"

    Gw mendengus sinis. "Jangan sotoy lu! Jangan sok tahu sama kehidupan orang lain!"

    "Almer!" potong Mama.

    Gw menatap mama.

    "Abang kamu benar. Sejak awal seharusnya kamu menekan perilaku menyimpang kamu itu. Kenapa kamu diam aja? Kenapa nggak bilang sama kami?"

    "Nggak ada gunanya juga..." desis gw.

    "Nggak ada gunanya? Bego! Kalo dari awal lu tuh bilang, pasti kita bisa ngasih solusi," timpal Bang Albert.

    "Gw emang bego..." desis gw.

    "Jelas!" balas Bang Albert.

    Gw diam aja, meskipun lidah gw gatal banget pengen balas dia.

    Hening. Nggak ada yang angkat bicara lagi.

    "Diterapi!" Mama angkat bicara setelah keheningan beberapa menit tercipta.

    Terserah, desis gw dalam hati.

    ***

  • kok aku ga dimention?
  • Overall, i love the story cman updatetannya kurang panjang..
    Btw,kalo udah up jangn lupa mention me yah..
  • Iss gw ga dimention ,, ts nya somboooong :D
  • balik jga @locky mensyen ya om....
  • @locky, wew bikin cerita gk manggil2...
  • Iss ini gw lock rafi,opung .. Masa lu lupa sih,,
  • ceritanya keren, lucu..
    hahahahahha
    tp emg updateny dikit2 banget..
  • Setor muka!
  • dimention ya klo ada update
  • edited May 2014

    Gw menghitung detik demi detik yang udah berlalu. Setelah Mama bilang "diterapi" tadi nggak ada yang angkat bicara lagi.

    "Masih ada yang mau diomongin?" tanya gw akhirnya.

    Mbak Alina noleh ke Mama. Sementara Mama noleh ke Papa. Tapi Papa diam aja.

    "Kalo nggak ada, gw mau ke kamar. Silahkan tentuin jadwal terapinya!" gw bangkit.

    "Nyolot banget sih lu?!" timpal Bang Albert.

    Gue milih nggak jawab, melainkan melangkah pergi.

    Baru aja melintasi ambang pintu, tangan gw dicengkeram kuat.

    "Hey! Lu yang salah, kok lu yang nyolot? Orang belum selesai ngomong!" bentak Bang Albert.

    "Gw udah tanya kan tadi?"

    "Lu nggak liat apa yang udah lu lakuin eh? Lu gak liat gimana sedihnya Mama?"

    "Oh ya? Seharusnya sebelum lu berlagak sok pahlawan, lu pikirin semua kemungkinan itu!" balas gw.

    "Maksud lu apa?!" Bang Albert nekan badan gw ke tembok.

    "Gw nggak mau peduli apapun sekarang. Gw ini cowok sakit yang nggak bisa diandelin! Gw homo, Bang! Homo! Mulai saat ini gw mungkin nggak akan bisa buat senyum di bibir Mama, di bibir seluruh anggota keluarga ini! Tugas lu buat ngebahagiain Mama, bikin bangga keluarga ini dengan status cowok tulen lu itu!" gw menekan dada Bang Albert pake telunjuk.

    "Bego!" semprot Bang Albert di depan muka gw.

    "Iya, gw bego. Kalo gw nggak bego, gw nggak mungkin bisa suka sama cowok, right?!"

    Bang Albert melepaskan tangannya dari bahu gw.

    "Sekarang gw tanya, apa bedanya kalo gw gay atau nggak? EMANG GW YANG MAU KAYAK GINI?! DIPIKIR GW NGGAK TERSIKSA APA?! DIPIKIR GW SENANG APA?!" gw berada di puncak kemarahan dan kesedihan gw.

    "Apa karena gw gay, terus hidup gw nggak guna gitu? Gw mempermalukan keluarga gitu?" lanjut gw karena gak ada yang nanggapin emosi gw. "Gw rasa selama ini, gw sudah hidup sebaik mungkin! Gw nggak pernah macem-macem, gw anak baik-baik, gw berprestasi..." gw terus nyerepet. "Tapi kalo cuma karena gw gay, terus semua itu gak ada artinya, gw mohon maaf. Selama ini, gw udah berusaha semampu gw untuk mengendalikan diri gw..." ucap gw penuh kepasrahan.

    Gw pengen nangis, sumpah! Tapi sekuat tenaga gw tahan.

    "Terapi. Aku nggak punya penyakit, aku bukan pecandu. Ini bagian dari diri aku. Aku sendiri nggak tahu kenapa aku jadi gini. Aku nggak punya trauma ataupun alasan lain yang bisa bikin aku kayak gini," emosi gw mulai turun. "Memaksa aku untuk nggak suka cowok, sama aja dengan memaksa aku untuk jadi orang lain. Dan itu nggak mungkin..."

    "Nggak ada yang nggak mungkin kalo mau!" celetuk Bang Albert.

    "Kalo lu dipaksa suka sama cowok, apa lu bisa?"

    "Hah? Amit-amit!" jawab Bang Albert dengan nada jijik.

    "Nggak bisa kan lu? Gitu juga gw. Ngebayanginnya aja susah, apalagi prakteknya. Lu pikir merubah orientasi seseorang itu segampang congor lu ngomong?!"

    Semua hening.

    "Kalo Mama, Papa, Mbak sama Bang Albert maksa gw buat suka cewek, oke. Gw bersedia. Tapi tolong, posisikan diri kalian sebagai gw dulu. Kalo kalian yang dipaksa merubah orientasi seksual kalian buat jadi lesbi atau gay, mungkin nggak?"

    Gak ada yang jawab.

    ***

    Seingat gw, seumur-umur gw gak pernah se-down ini. Hati gw terkoyak maksimal. Rasanya gw pengen pergi menghilang dari muka bumi ini, menuju pantat bumi. Di tempat di mana gw gak bakal pernah ketemu sama keluarga yang udah tahu siapa sebenarnya gw.

    Gw sadar betul, pembelaan gw barusan mungkin terdengar konyol. Tapi cuma itu yang bisa gw lontarkan untuk mendapat sedikit pemahaman dari mereka. Gw pengen mereka gak berubah ke gw. Gay atau tidak, gw tetap Almer. Almer yang sama.

    Dan akhirnya... Air mata gw jatuh. Mengalir menuruni pipi bercampur ingus yang ikut-ikutan keluar dari hidung gw.

    Shit! Nangis diam-diam gw bisa tahan, tapi membiarkan ingus meler, mana tahaann?? Gw gak bisa nggak menyentak atau menghisap ingus ini ke dalam lagi. Kalo didiemin bisa masuk mulut dah. Tapi jika itu gw lakukan, "slurup-an"-nya pasti kedengaran dan gw ketahuan sedang nangis.

    Oke, lupakan soal ingus. Gw lagi sedih, you know?!

    Gw memainkan jempol kaki kanan gw di lantai. Membuat lingkaran kecil dan itu lumayan menenangkan gejolak hati gw.

    "Al..." tiba-tiba Papa manggil gw.

    Beneran nih?

    "Almer."

    Beneran manggil gw. Tapi bibir gw berat banget untuk berucap.

    "Albert!"

    "Iya, Pa?" jawab Bang Albert yang tengah bersender di ambang pintu.

    "Al tadi mana?"

    "Almer!" seru Bang Albert tanpa noleh ke gw.

    Gw menyeret langkah dengan enggan dan tanpa bicara menuju ruang tengah lagi.

    "Albert kamu juga!" kata Papa saat melihat kemunculan gw.

    Bang Albert membuntuti gw. Kami lalu mengambil posisi tempat duduk masing-masing.

    Setelah semua kumpul, Papa berdehem seraya menegakkan badannya. Kami semua menunggu apa yang akan terlontar dari mulut beliau.

    "Ma, masih ada yang mau diomongin?" Papa noleh ke Mama.

    Mama menggeleng.

    "Mbak?" Papa beralih ke Mbak Alina.

    "Nggak ada," jawab Mbak Alina disertai gelengan.

    "Bang?"

    Bang Albert menggeleng cepat.

    "Oke, kalo gitu sekarang gantian Papa yang ngomong..."

    Eh? Kok gw gak ditanya? Ya sudahlah...

    "Berantem-berantemnya udah, Bang? Dek?"

    Gw dan Bang Albert gak jawab. Tapi pas Papa masih manggil gw dengan sebutan "Dek" itu ada sedikit kebahagiaan melingkupi hati gw. Itu artinya Papa masih sayang gw.

    Perlu diketahui, Papa dan Mama kerap panggil "Mbak" untuk Mbak Alina, "Abang" untuk Bang Albert dan "Adek" untuk gw, sebagai ungkapan kasih sayang, cinta dan kedekatan antar kami sekeluarga.

    Dari panggilan itu juga kami sadar posisi kami dalam keluarga. Mbak Alina yang selalu dipanggil Mbak, jadi dia selalu ingat bahwa dia harus jadi kakak perempuan yang jadi panutan, keibuan dan pandai menjaga rumah dan menjaga nama baik keluarga. Nggak pantas bangetkan kalo seorang yang dipanggil "Mbak" tapi klemar-klemer, manja dan nggak bisa ngurus rumah. Begitu juga dengan Bang Albert. Dia sebagai Abang alias Kakak laki-laki. Meskipun dia nyebelin, tapi dia bisa diandalkan. Kalo ada apa-apa pasti dia yang maju duluan. Tugas-tugas berat dia yang ngemban. Dia yang menjaga Mbak Alina dan gw. Dan terakhir gw sendiri. Gw dipanggil Adek (terkecuali Bang Albert. Seingat gw, dari dulu dia manggil gw Al atau Mer mulu). Gw anak bontot dan butuh banyak bimbingan dari mereka semua. Gw boleh agak-agak manja sama mereka, tapi bukan berarti gw boleh injek kepala mereka. Gw harus tetap jadi anak yang nggak menyusahkan saudara-saudara gw dan harus menghormati mereka.

    Yah, penjelasan gw kepanjangan. Oke, kita fokus ke apa yang mau diomongin Papa lagi sekarang!

    "Papa gak pernah menyangka dan membayangkan keluarga kita akan menghadapi ini. Selama ini kita berpikir bahwa semuanya baik-baik saja.
    Sangat sulit untuk mempercayai kalo salah satu jagoan Papa ternyata, yahhh..." Papa melirik gw.

    "Papa kepala keluarga di rumah ini. Papa nggak mau masalah ini berlarut-larut. Untuk Mama, Papa tahu Mama sangat sedih, tapi Papa minta sama Mama jangan terlalu dipikirinlah..."

    "Papa ingin Mama gimana?" timpal Mama. "Siapa yang nggak kecewa punya anak-"

    "Sssttt...!" potong Papa. "Udah. Nangis sampai nggak tidur semalaman apa nggak cukup, eh?" Papa nyengir, nadanya menggoda.

    Mama tetap pasang tampang masam.

    My God, jadi semalam Mama nangis...

    "Tuuhhh, Mata indah Mama udah bengkak. Mama pikir kalo nangis terus, Al bakal jadi suka cewek?"

    "Biar dia mikir, Pa!" celetuk Bang Albert.

    "Lho, kelakuan Mama bakal bikin Al tambah nggak suka cewek lho. Ntar dia mikir punya cewek nangis mulu kerjaannya, kan bikin capek hati..." kata Papa.

    "PAPA!" teriak Mama.

    "Benerkan??? Makanya kasih contoh dong, jadi Mama yang baik itu kayak gimana... Tunjukin gimana sifat lembut, sabar dan penyayangnya perempuan itu seperti apa, supaya Al-nya ngebet pengen punya cewek..."

    Mama mangut-mangut.

    "Gimana, Papa benerkan, Mbak?"

    Mbak Alina senyam-senyum.

    "Masa lebih woles si Mbak dari pada si Mama..." ledek Papa.

    "Papa nggak tahu rasanya kayak apa. Ibu mana yang nggak---"

    "Sudaaahhh," potong Papa. "Mama itu harusnya support anaknya, bukan justru buat dia down."

    "Support? Yang benar aja...!"

    "Kenapa? Mama itu punya tiga anak. Dari Mbak, kita bakal dapat mantu laki-laki, dari Abang kita bakal dapat mantu perempuan. Pas toh? Jadi nggak apa-apa kalo si Adek bebas mau ngasih kita mantu laki atau perempuan?"

    "PAPA!!!" teriak Mama, Mbak Alina dan Bang Albert berbarengan.


    "Kenapa? Papa salah ya???"

    "Papa itu ngomong apa?! Ngawur!" seru Mama.

    "Lho? Kok ngawur?"

    "Sudahlah!" Mama mengibaskan tangannya di udara sembari berdiri.

    "Lho? Ma...? Ma..." panggil Papa.

    Mama nggak memperdulikan panggilan Papa.

    "Mama kalian kenapa sih?" Papa nanya ke kita bertiga.

    "Papa juga sih ngomongnya gitu...!" timpal Bang Albert dengan rahangnya yang bergerak-gerak.

    "Come on, guy. Jangan tegang gitulah..." balas Papa.

    "Papa beneran mau kalo dia ngasih keluarga kita menantu cowok?!" Bang Albert mengerling ke gw dengan pandangan tajam.

    Papa terdengar menghela nafas. "Hidup ini adalah pilihan. Sebagai orang tua, tentu papa pengen semua anak-anak papa berada di track yang bener semua..."

    Gw menelan ludah setelah mendengar omongan Papa.

    "Sesuai kodratnya, pria sama wanita, begitu juga sebaliknya. Papa mengharapkan kalian mengikuti itu. Tapi kita nggak bisa menuntut seseorang dan memaksakan kehendak. Rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala semua orang beda. Ada yang hitam, putih, abu-abu... Tolong, hargai perbedaan."

    "Pa! Dari semua perbedaan itu, ada yang bisa kita maklumi, dan ada yang nggak! Sesuatu yang salah nggak bisa dibiarin..." protes Bang Albert.

    Papa mengangguk-anggukan kepala.

    "Mau dibawa kemanapun, semua pasti nggak akan membenarkan tindakan Papa yang menganggap masalah ini hanya persoalan sepele. Ini menyangkut tanggung jawab Papa sebagai orang tua dan kepala keluarga. Apa jadinya kalo justru orang tua sendiri yang membiarkan anaknya mengalami perilaku menyimpang?!"

    Gw menatap Papa dengan pandangan risau dan cemas. Menunggu gimana reaksi Papa atas ucapan Bang Albert yang berapi-api.

    Papa tersenyum penuh wibawa.

    "Bang, Papa ini Papa kalian. Papa tahu bagaimana menyikapi semua persoalan kalian, tanpa harus melukai kalian. Percaya, oke?"

    Bang Albert diam.

    "Almer, silahkan belajar lagi. Ada tugas?"

    Gw geleng kepala.

    "Ya udah. Belajar buat besok."

    Gw mengangguk, tapi tetap duduk di kursi dengan hati terus bertanya-tanya, "Jadi cuma segini nih? Keputusan sidangnya apa? Gantung banget...!"

    "Al, silahkan kalo mau balik ke kamar," tegur Papa.

    "Iya, Pa," jawab gw sambil bangkit.

    Gw langsung berjalan menuju kamar. Tapi baru beberapa langkah melewati ambang pintu terdengar Papa ngomong lagi, "Mbak dan Abang jangan pergi dulu."

    Hmmm, Papa mau ngomongin apa sama mereka ya? Rasa kepo gw langsung menggelitik.

    Ah, nguping dulu deh. Siapa tahu Papa mau bahas tentang gw sama mereka...

    ***

    Beberapa detik suasana hening. Saking heningnya bunyi nafas gw yang keluar dari hidung kedengarannya kencang banget.

    Aduuhhh, kok Papa belum ngomong-ngomong juga sih??? Penasaran nih gw.


    "Mbak, Bang..." Nah, Papa mulai ngomong! Gw langsung mempertajam fungsi indra pendengaran gw.

    "Disaat-saat seperti inilah untuk melihat apakah kita ini keluarga yang kompak atau tidak, saling support atau tidak. Bukan disaat-saat bahagia. Ketika tengah gembira, semua orang bisa begitu muda kompromis, tapi disaat duka dan ada masalah apakah kita bisa tetap menjaga rasa saling sayang dan mendukung satu sama lain?"

    Gw mengangguk-angguk setuju seratus persen sama pendapat Papa. "Bener banget!" gumam gw.


    "Memang sulit untuk terima kalo adik kalian itu ternyata sukanya model yang berkumis, ketimbang yang berlipstik--"

    Shit! Muka gw langsung panas dengar omongan Papa barusan. Maluuuu...!

    "Nyentrik banget dia..."

    "Mengerikan, Pa. Bukannya nyentrik!" protes Bang Albert.

    Gw langsung menggertakkan gigi dengar nada sarkatisnya.

    "Adikmu itu cakep lho... Mengerikan dari mananya?"

    "Percuma cakep, Pa, kalo gak dimanfaatin! Cakep-cakep sukanya sejenis..."

    Papa terkekeh.

    "Jangan terlalu dipusingkan, Bert. Kok kesannya kamu yang bermasalah toh? Sementara Adekmu santai-santai aja..."

    This! Gw yang gay, malah dia yang kek cacing kepanasan! Emosian tingkat tinggi! Dasar gila!!!

    "Gw ngeri lah, Pa. Si Al suka sama cowok. Gimana kalo dia suka sama gw?! Iiiiwwww..."

    What?! Picik banget tuh orang?! Astaga! Gw gak pernah kepikiran naksir, apalagi nafsu sama dia!

    "Kepedean banget, kamu! Narsis banget..." kali ini Mbak Alina yang angkat bicara.

    "Siapa tahu aja kan, Mbak? Selama ini dia suka sama gw, iiwww...!"

    "Emang kamu udah pernah diapain sama dia, eh???"

    "Belum ada sih. Lagian mana berani dia?! Mau cari mati!!!"

    "Sudah, sudah," potong Papa. "Jangan berprasangka buruk seperti itu, Bert."

    "Tapi siapa tahu--"

    "Papa yang akan turun tangan kalo emang beneran gitu."

    Waduuuwww! Gw langsung nelan ludah. kira-kira Papa bakal bertindak apa ya kalo emang kejadian??? Amit-amiiitt!!! Gw langsung getok-getok jidat.

    "Jadi Bert, Papa mau kamu jangan kasar-kasar lagi sama Al. Kamu boleh menyuarakan ketidaksetujuan kamu, tapi dengan cara yang baik dong. Penolakan dengan disertai kemarahan hanya memuaskan hati kamu saja, faedahnya nggak ada, masalahnya nggak selesai, justru hanya akan menyakiti..." terang Papa panjang lebar.

    "Aku juga udah kasih tahu ke Albert, Pa. Tahan emosi, tahan omongan," kata Mbak Alina. "Aku udah bilang si Al itu butuh dukungan. Jangan tambah bebani dia sama kita. Karena dengan respon Mama yang kayak sekarang, bisa buat Al-nya depresi. Apalagi kalo kita semua memojokkan dan menjudge dia..."

    "Tuh, Mbak kamu benar, Bert. Pikirkan psikis-nya si Al. Papa tahu tujuan kamu baik. Tapi apa harus menjatuhkan dan menyakiti hatinya dulu untuk menyadarkan adek kamu?"

    Oh God... Perlahan mata gw terpejam dengar percakapan mereka di dalam. Darah gw berdesir dan dengan suka rela air mata gw merembes jatuh melewati kelopak mata gw yang tertutup.

    Gw seringkali marah dan mengutuk keadaan gw yang kenapa harus berbeda. Tapi saat ini, detik ini, di tempat ini juga, gw bersyukur punya seorang Ayah dan seorang kakak perempuan yang sungguh luar biasa bijaksananya.

    Pa, Mbak... selagi kalian ada untuk gw, mengerti dan memaklumi gw, selama itu juga gw akan bertahan. Gw janji!

  • seru ni klo sampe beneran :P
Sign In or Register to comment.