It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kenapa gw di panggil mas-mas? Gw mbak-mbak yang gk punya batangan! *ups!*
haha nevermind buat tadi. Yang penting cerita lanjut
akan tumbuh dan kepada siapa cinta itu
tertuju?? Tidak ada. Cinta ya cinta. Datang
begitu saja.........
Suka ma kalimat ini
Dirga menyodorkan secangkir teh untuk Papanya. Kemudian didorongnya cake keju menjadi beberapa bagian kecil, diambilnya sepotong, lalu diletakkannya di sebuah piring kecil. Ia menyodorkan pada Papanya.
“ Hm, lezat. Siapa yang buat?? “ tanya Dr Poernomo setelah mencicipi cake tersebut.
Dirga tersenyum,, “ Fani “,,
“ Oh Papa kira kamu belajar masak,,” sahut Dr. Poernomo sembari tertawa lebar.
Dirga meringis malu,,, “ Hehehehe,, Aku kan cowok Pah,,”
“ Memang laki-laki tidak boleh memasak?? Koki terkenal justru banyak laki-laki nak,,Jam berapa mengantar Reza ke airport tadi?? ”
“ Tadi jam sepuluh,,” sahut Dirga sambil sibuk mereka-reka sesuatu dibenaknya. Beberapa hari ini ia sudah berpikir masak-masak. Apalagi kedatangan Reza semakin menguatkan keputusannya. Mungkin tidak akan mudah dan Papa juga pasti tak setuju, tapi Dirga tak ingin menyerah. Kenapa Dirga tak bisa seperti itu??
“ Papa....” panggil Dirga lirih. Dr. Poernomo menoleh. Setengah tertunduk ia menatap wajah putranya. Ketika melihat raut muka Dirga yang tegang dan serius. Lelaki itu segera menutup bukunya. Tanpa menjawab, dipandangnya wajah Dirga dengan tatapan lembut.
Dirga menelan ludah yang terasa menyangkut di kerongkongan. Tatapan lembut Papanya semakin membuatnya salah tingkah.
“ Pa, Dirga mohon maaf hingga saat ini Dirga belum bisa berubah. Dirga sedang jatuh cinta dengan lelaki Pah. Tapi kalau misalnya lelaki pilihanku ternyata seorang HIV positif, apakah Papa akan menyetujuinya?? “ tanyanya pelan.
Raut wajah Dr. Poernomo sama sekali tak bereaksi kecuali hanya sebuah senyuman.
“ Sama seperti dulu ketika kamu mengaku gay ke Papa nak, Papa hanya berharap kamu bisa berubah. Tapi ini hidupmu, kalau kamu sendiri sudah mengerti betul segala konsekuensinya, kenapa Papa harus melarangnya?? “ Dr. Poernomo balik bertanya.
Dirga terdiam.
“ Apa Papa tidak marah atau kecewa?? Atau malah malu memiliki menantu seorang laki-laki dan juga seorang HIV positif?? “ cetus Dirga pelan.
Dr. Poernomo bangkit dari tempat duduknya dan pindah disebelah putranya. Sebelah tangannya terangkat memeluk bahu Dirga.
“ Dirga, Papa menganggapmu sudah dewasa dan mampu mengambil keputusan sendiri serta dapat mempertanggungjawabkannya. Sudah hampir enam tahun kamu mengaku ke Papa kalau kamu gay, dan sudah hampir dua tahun kamu bergabung di Asian Care Center dan terlibat langsung dalam isu HIV/AIDS, pasti kamu sudah tahu betul konsekuensinya jika menjadi seorang gay dengan pasangan ODHA. Kalau kamu siap dan yakin, Papa tidak akan pernah melarangnya,,” sahut Dr. Poernomo pasti.
Dirga menatap Papanya tidak percaya. Tapi senyum Papanya menghilangkan keraguan Dirga. Dengan mesra ia memeluk erat Papanya.
“ Terimakasih Pa,,”
“ Ngomong-ngomong siapa lelaki itu?? “ tanya Dr. Poernomo
“ Ng.....Rivi,, Bagraswara Egriano Riviansyah,,” sahut Dirga tersipu.
“ Rivi bosmu itu?? “ tanya Dr Poernomo tak percaya. Dirga mengangguk malu.
Lelaki itu manggut-manggut.
“ Berarti lelaki itu yang akhirnya sanggup menyaingi kepintaran dan ketampanan Papa ya,,” ledek Dr. Poernomo.
Dirga semakin tersenyum malu sambil menyembunyikan wajahnya di dada Papanya.
Dr. Poernomo masuk ke kamar dan mengunci pintu. Langkah kakinya mendekati meja di samping tempat tidur dan meraih sebuah foto berbingkai. Itu foto istrinya setahun sebelum meninggal. Dibelainya gambar itu dengan sejuta perasaan.
“ Mah, anak kita sudah besar dan sudah memiliki pilihan hidupnya. Enam tahun lalu anak kita mengaku bahwa dirinya gay, sakit sebenarnya perasaan Papa saat itu Mah, tapi sampai saat ini Papa berharap pilihan Dirga berubah. Waktu terasa berlalu begitu cepat, dia tambah menjadi seorang lelaki yang cerdas dan memiliki empati yang tinggi. Tadi dia baru saja meminta izinku untuk mencintai lelaki pilihannya, Papa merasa bersalah sama Mama karena tidak bisa menjadikan Dirga seorang laki-laki yang akan meneruskan generasi kita, tapi Papa masih berharap suatu saat nanti. Lelaki pilihan Dirga seorang ODHA Ma. Aku sudah menyetujuinya, meskipun rasanya seperti terpaksa. Tapi tidak mungkin aku melarangnya,, “ Dr Poernomo berbicara dengan foto istrinya. Saat-saat seperti ini ia sangat merindukan kehadiran almarhumah istrinya.
Dr. Poernomo meletakkan kembali foto tadi ke atas meja. Otaknya memutar kembali percakapannya dengan Dirga tadi. Masih terbayang raut muka Dirga yang merah merona dan binar matanya yang bersinar karena cinta. Mana mungkin ia tega menghancurkan kebahagiaan putranya?? Ia pun tak sanggup membayangkan kehidupan Dirga jika akhirnya menikah dengan seorang lelaki dan ODHA yang sewaktu-waktu akan meninggal. Bagaimana kehidupan Dirga nanti?? Sanggupkah Dirga menerima reaksi masyarakat yang pasti beragam dan belum tentu menyenangkan?? Apakah dia akan senantiasa tegar dan tak pernah menyerah??
Kepala Dr. Poernomo semakin pusing setiap memikirkannya. Ia ingin melarang, tapi hati kecilnya menolak, karena itu berarti dia sendiri pun melakukan diskriminasi. Tapi ia pun tak sanggup membayangkan kehidupan apa yang akan dijalani Dirga nanti.
Dirga, putra tunggalnya yang selalu dijaganya sejak kecil, kini memilih jalan hidupnya sendiri yang sudah bisa diprediksi akan berliku dan banyak hambatan. Sanggupkah Dr. Poernomo sebagai orang tua mengizinkannya?? Entahlah.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Masih terbayang di matanya tatapan dan raut wajah Papa yang merelakan keinginannya tadi. Tapi Dirga bisa merasakan pergolakan di hati Papa. Sebenarnya jauh di lubuk hati Dirga, ia tidak ingin mengecewakan Papa dengan pilihannya tetap menyukai seorang lelaki dan seorang ODHA. Tapi ia pun tak yakin, apakah Rivi memang lelaki yang salah?? Bagaimana jika ternyata Rivi lah satu-satunya lelaki yang tepat untuknya?? Diluar fakta bahwa lelaki itu ODHA, semua yang diharapkan Dirga ada pada sosok lelaki ideal seperti Rivi. Tapi sebenarnya ia pun masih tak berani membayangkan kehidupan bagaimana yang akan dihadapinya kelak.
Dira masih ingat cerita Gulid tentang kehidupannya dulu bersama Nuris. Penolakan keluarganya semakin memburuk setelah mengetahui status HIV mereka. Pengucilan dari masyarakat. Bahakan beberapa rumah sakit dan petugas medis pun tak mampu menghilangkan sikap diskriminasi terhadap mereka. Dirga tak sanggup membayangkan hal yang sama akan menimpanya kelak jika hidup bersama dengan Rivi. Dirga pasti tak tahan menjalni hidup penuh gunjingan karena semua orang akan selalu membicarakan Rivi yang mengidap HIV. Segala tingkah laku mereka pasti akan disorot oleh masyarakat, dan selanjutnya akan diberikan label buruk, bahkan dihakimi. Kemungkinan yang terburuk adalah bagaimana jika Dirga tertular?? Meskipun selalu ada tindakan pencegahan, tak akan menutup kemungkinan tersebut kan?? Kondom bocor, misalnya.
Dirga seketika bergidik ngeri. Ya Allah, lantas apa yang harus dilakukannya sekarang?? Apakah ia harus mengubur cintanya pada Rivi begitu saja?? Atau melupakannya seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka?? Mana mungkin ia sanggup melakukan hal itu??
Hari demi hari karisma dan daya tarik Rivi semakin menjerat Dirga lebih erat. Semua itu semakin lama semakin menguburkan fakta bahwa ada perbedaan besar di antara mereka. Perbedaan yang cukup vital dan krusial. Antara hidup dan mati. Antara status positif dan negatif.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga keluar dari ruangannya dan melangkah ke meja Luna. Tangan kanannya menenteng amplop putih.
“ Rivi ada di dalam?? “
Luna mengangguk,, “ Tapi hati-hati, belakangan ini dia suka marah-marah............” bisik Luna.
Dirga mengangguk. Diputarnya hendel pintu dan masuk keruangan. Rivi sedang sibuk di depan laptopnya. Kepalanya terangkat ketika mendengar suara pintu dibuka. Raut mukanya berubah kaget melihat Dirga.
“ Ada apa?? “ tanyanya dingin.
Dirga mendekat dengan langkah tenang dan yakin. Disodorkannya amplop putih tadi ke hadapan Rivi.
Kening Rivi berkerut,, “ Apa ini?? “ tanyanya heran.
“ Surat pengunduran diriku,,” sahut Dirga tenang sambil duduk di kursi di depan Rivi.
Seketika mata lelaki itu melorot,, “ Mengundurkan diri?? Menjelang akhir proyek seperti ini?? Kamu gila!! “
Dirga menggeleng. Sesaat hatinya sempat ciut melihat amarah Rivi. Tapi dikuatkannya hatinya.
“ Itu untuk mengantisipasi jika kamu berniat memecatku,,”
“ kenapa aku harus memecatmu?? Kamu membuatku bingung,,” Rivi mulai gusar.
“ Rivi, aku mau bertanya. Apakah semua yang dikatakan Dhio benar?? “ tanya Dirga lembut tanpa sedikit pun mengacuhkan kegusaran lelaki itu.
Rivi menatap tajam. “ Apa maksudmu?? “ kilahnya.
“ Aku ingin tahu apakah perasaanmu kepadaku sama seperti yang dikatakan Dhio?? Apakah kamu memang mencintaiku?? “ Dirga tak yakin bagaimana rona wajahnya saat itu, pokoknya, ia tak ingin lebih lama lagi memendam perasaan dan mengalami kebingungan seperti sekarang ini. Sekarang atau tidak sama sekali, pikirnya meneguhkan diri.
“ Untuk apa kautanyakan itu?? “ Rivi membalikkan kursi dan bangkit. Kakinya melangkah ke jendela mejauhi Dirga.
“ Karena ini menyangkut hidupku. Mungkin juga masa depanku. Aku yakin kamu pun tahu isi hatiku.............”
Mata Rivi menatap jauh ke luar jendela. “ Tampaknya kamu melupakan satu hal, Dirga. Satu hal yang paling penting. Status HIV-ku!! “ ujar Rivi kaku..
Dirga menghela napas.. “ Perasaanku tidak akan pernah berubah hanya karena status kesehatan. Kesetiaan dan karakter yang akan menentukan. Buatku itu sebuah prinsip,,” ujarnya lugas.
Spontan Rivi menoleh ke arah Dirga. Sudut bibirnya berkedut antara cemberut dan gemas. “ Kamu sengaja mengulang kata-kataku, ya?? “
Dirga mengangkat bahu sambil tersenyum geli... “ Tidak. Aku Cuma ingin mengiangatkanmu tentang prinsip hidupmu sendiri,,”
Rivi menghela napas. Tatapannya kembali tertuju ke luar.
“ Kamu tidak tahu kehidupan bagaimana yang akan kamu jalani jika hidup bersamaku,,”
“ Sejak mengenal Gulid, aku belajar untuk tidak memikirkan hal-hal lain kecuali berpijak pada kata hatiku dan nilai kemanusiaan,,”
“ Tapi hidup bersama ODHA tidak semudah yang kamu bayangkan, Dirga!! “ Rivi masih mempertahankan akal sehatnya.
“ Aku mau kok menjalaninya,,” ujar Dirga mencoba sabar meladeni pertanyaan Rivi.
“ Apakah kamu sudah mempertimbangkan reaksi masyarakat terhadapmu juga terhadap Papamu?? “
“ Sudah dan Papa mendukung apa pun keputusanku,,” Dirga mengangguk pasti.
“ Tapi, Dirga...............”
Dirga mengentakkan kaki dan berdiri. Kesabarannya sudah benar-benar habis. “ Rivi, aku sudah menjelaskan maksud kedatanganku. Terserah apa pendapatmu. Aku tak punya waktu untuk meladeni semua pertanyaanmu itu. Terus terang, semua pertanyaan itu membuatku tidak lagi mengenalmu. Setahuku kamu yang selalu menekankan untuk tidak memberi stigma dan diskriminasi. Tapi kamu sendiri yang justru membatasi diri. Aku tidak tertarik meladenimu lagi,,”
Dirga berbalik dan melangkah pergi. Sebelum membuka pintu, ia menoleh ke arah Rivi.
“ Kalau kamu tersinggungdan berpikir untuk memecatku, tak usah repaot-repot. Surat pengunduran diriku ada di atas mejamu,,”
Pintu terbuka dan ditutup kembali dengan keras, meninggalkan Rivi yang melongo.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
****************************************************
Dear Dhio
Selamat!! Kamu berhasil membuat hidupku bertambah sulit dan dia semakin marah padaku!!
_Rivi_
****************************************************
Rivi menekan tombol “send”, kemudian membenamkan tangannya dalam-dalam ke rambutnya. Kepalanya mendenyut hebat setiap kali memikirkan Dirga. Ia tak menyangka laki-laki itu berani mendatanginya dan mengungkapkan perasaannya. Ketika melihat rona muka Dirga saat mengatakan isi hatinya, bagaimana mungkin ia bisa menolaknya?? Astaga, kenapa baru sekarang??
Perhatian Rivi beralih ke sebuah e-mail yang baru masuk.
****************************************************
My dearest Rivi,
Apapun yang dikatakan dan telah dilakukan Dirga, tetap ingat yang selalu kukatakan.
Jangan kubur diri dan cintamu saat jantungmu masih berdetak. Itu tindakan yang paling idiotdari seorang pecundang
I Love you,,
Dhio
PS: Andai kamu memutuskan untuk pindah keimanan dan memutuskan untuk menjadi biarawan dan tidak memiliki pasangan hidup seumur hidupmu, jika itu keputusan yang diambil dengan pertimbangan rasional dan jernih, aku mendukungmu. Tapi jangan sekali-kali mengambil keputusan semata-mata karena status HIV-mu. Kamu akan menyesalinya, dear. Percaya padaku!! “
****************************************************
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga membawa mobilnya membelah arus lalu lintas yang padat dengan setumpuk kekecewaan. Kecewa dengan keadaan yang tidak berpihak padanya. Kecewa dengan kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kecewa karena penolakan Rivi. Mata Dirga yang sudah panas sejak di kantor tadi kini sudah memuntahkan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Hatinya betul-betul kecewa dan sakit. Sekalinya ia merasakan jatuh cinta yang sebenarnya, ternyata sudah harus dikecawakan. Semua ini karena keadaan yang tidak berpihak padanya. Kenapa harus Rivi yang HIV?? Kenapa tidak orang lain saja??
Tapi mungkin ini pertanda bahwa kalian tidak seharusnya bersatu, bisik suara hatinya. Dirga menghela napas sambil melemparkan pandang ke luar jendela. Apakah ini kutukan baginya karena telah terlibat dengan orang-orang ODHA?? Kenapa sejak ia memutuskan bergabug dengan Asian Care Center kehidupannya mendadak berubah 180 derajat dipenuhi oleh isu HIV, AIDS dan ODHA dengan segala permasalahannya??
Tiba-tiba bayangan Gulid menyelusup ke pikirannya. Dirga menggigit bibir dengan perasaan bersalah karena pikiran buruknya tadi. Kehadiran Gulid sama sekali bukan kutukan dalam hidup Dirga. Meskipun singkat, Gulid telah menunjukkan manisnya persahabatan yang didasari rasa saling peduli. Gulid juga selalu tegar menjalani hidupnya hari demi hari. Jika Gulid mampu, kenapa Dirga tidak??
Dirga menarik napas dalam-dalam. Mobilnya sudah melaju mendekati perbatasan Kota Merauke. Ia memilih meminggirkan mobilnya di depan sebuah warung yang menjual es kelapa muda segar. Ia turun dari mobil dan memesan sebuah kelapa muda. Si penjual segera mengambil sebuah kelapa hijau segar. Setelah melubangi bagian atas kelapa itu, ia memberikan seiris perasan jeruk nipis dan sebuah sedotan. Disodorkannyakelapa muda itu ke arah Dirga yang segera menyeruputnya dengan perasaan lega. Sesaat, segala kekusutan di kepalanyaseperti terurai.
Dirga telah memilih Rivi. Ia akan terus berusaha mendapatkan lelaki itu kecuali Rivi memang tidak mencintainya. Tapi bukan karena status HIV lelaki itu yang menjadi penghalang. Jika seorang diri saja Gulid mampu menjalani hidup bersama dengan Nuris, pasti Dirga pun mampu dengan dukungan dan restu Papa. Bukankah Papa juga yang mengajarinya untuk menjalani segala sesuatu dengan hati??
Yah, Dirga sudah mengambil keputusan. Jika dijalani dengan hati, semua akan lebih mudah dimengerti.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dr. Poernomo memijit pelipisnya yang berdenyut. Sudah satu jam terakhir ini ia mencoba konsentrasi pada buku kedokteran tapi tak satu pun yang diingatnya. Di kepalanya malah terngiang percakapannya dengan Dirga beberapa minggu lalu.
Sampai detik ini Dr. Poernomo masih bingung harus bagaimana. Memang ia sudah menyetujui pilihan Dirga. Tapi sejujurnya hatinya masih berat. Andai saja bisa ditariknya kembali persetujuan itu, pasti ia sudah melakukannya. Semakin dipikirkan, semakin tak tenang hatinya memikirkan putra tunggalnya.
Kalau dipikir-pikir, orangtua mana sih yang mau melihat kehidupan anaknya sengsara?? Pasti tidak ada. Semua orangtua akan mengharapkan anak mereka tumbuh dewasa dan menikah dengan orang yang dicintainya. Hidup bahagia sampai tua. Mana ada yang mengharapkan anaknya seorang gay dan menikah dengan laki-laki ODHA?? Begitu juga Dr Poernomo. Ia tak akan membatasi pilihan Dirga selama lelaki itu bertanggungjawab pada keluarga dan mencintai Dirga. Tapi lelaki ini terinfeksi HIV. Cepat atau lambat kesehatannya akan menurun dan pasti takkan mampu menghidupi keluarga. Apalagi jika sudah masuk stadium AIDS dengan beragam infeksi yang menyerang kesehatannya. Bagaimana keadaan Dirga nanti?? Apakah Dirga juga yang harus bekerja membiaya keluarganya??
Dr. Poernomo menggelengkan kepala membayangkan kemungkinan buruk itu. Semoga saja Dirga memikirkannya keputusannya lagi, harapnya. Lebih baik lagi jika Dirga membatalkannya keinginannya hidup bersama dengan Rivi.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Fani menjulurkan kepalanya.
“ Ada tamu di luar Pak Dokter,,” Ujar Fani.
“ Siapa?? “
“ Saya lupa, tapi pernah kemari kok,,”
Dr. Poernomo menutup bukunya dan bergegas ke ruang tamu. Mungkin ada tetangga yang membutuhkan bantuan, pikirnya.
Di ambang pintu seorang lelaki tegap membelakanginya. Dr Poernomo berdehem sambil sibuk mengiangat-ingat siapa tamunya. Spontan lelaki itu menoleh dan tersenyum.
“ Selamat sore. Saya Rivi. Mungkin Bapak sudah lupa, tapi saya pernah kemari dua kali. Saat acara Asian Care Center dan setelah pemakaman Gulid,,” ujarnya hangat.
Dr. Poernomo tersenyum. Pikirannya sudah bisa mengingat lelaki yang sedang berdiri di depannya ini.
“ Silakan duduk. Tentu saja saya ingat,,”
Rivi duduk di sofa di hadapan Dr. Poernomo.
“ Anda ingin ketemu saya atau Dirga?? Kebetulan dia belum pulang,,”
Rivi menggeleng,, “ Saya ingin bertemu dengan Bapak,,”
Kening Dr. Poernomo semakin mengernyit heran.
“ Oh ya?? Ada yang bisa aya bantu?? “
“ Saya ingin melamar putra Bapak,,” sahut Rivi mantap.
Bukittinggi, setahun kemudian
****************************************************
Dear Abang Gulid,
Maaf, sudah lama tidak bercerita denganmu. Waktu begitu cepat berlalu. Setelah projek Asian care Center di Merauke selesai, aku dan Rivi memtuskan hidup bersama dan kami sudah menikah. Aku sudah bercerita denganmu bagaimana dia datang ke rumah menemui Papa untuk melamarku, kan?? Sebenarnya aku tahu Papa tidak terlalu menyetujuinya. Mata tua Papa tidak mungkin bisa membohongiku. Tapi kenyataan bahwa Papa tetap menyetujui hubungan kami membuatku terharu. Papa memang lelaki yang hebat. Dan aku bersyukur menemukan lelakiyang sama hebatnya dengan beliau.
Oh ya, Abang, Papa sudah meninggal sebula sebelum keberangkatan kami kemari. Tidak ada sakit apa-apa, beliau meninggal dengan tenang dalam tidurnya. Jika Abang bertanya perasaanku, aku merasa kehilangan, tapi tidak terlalu sedih. Ini yang terbaik yang diberikan Tuhan pada Papa.
Rivi sudah berhenti dari Asian Care Center dan memulai kembali bisnisnya sendiri. Di samping itu, dia dan Dhio dibantu dua sahabatnya Boggi dan Yoga membentuk sebuah yayasan tempat para ODHA mengembangkan keahlian kewirausahaan mereka. Keanlian itu akan membantu mereka untuk membuka usaha sendiri. Hubunganku dengan Dhio menjadi akrab. Rivi benar, dia motivator sejati.
Kemarin aku menerima kartu pos dari Dini. Anaknya sudah belajar jalan. Oh, ya Luna juga sudah menikah. Sedangkan Reza baru saja melahirkan bayi laki-laki yang sangat mirip denganmu. Meskipun ditentang keluarga, Reza akan menamai anaknya “Gulid”.
Ah, Abang begitu banyak hal yang telah terjadi dan kamu tidak ada di sini. Semuanya menjadi berbeda tanpamu dan Papa. Tapi aku akan mencoba menjalaninya setahap demi setahap.
Seperti kata Papa dulu : Jika dijalani dengan hati, semua akn lebih mudah dimengerti.
Sampai ketemu di surat berikutnya ya Abang.
Love,
Dirga
****************************************************
Dirga melipat surat itu dengan rapi dan memasukannyake amplop. Ia mengambil sebuah kotak kaleng dari dalam laci. Dimasukkannya surat tadi ke dalam kaleng dan disatukannya dengan tumpukan surat yang lain denga sebuah pita merah. Kemudian kaleng itu dikuncinya lagi dan disimpannya ke dalam laci. Sekilas tatapannya jatuh pada sebuah pigura besar berisi foto-foto orang terdekat di hatinya. Dr. Poernomo, Abang Gulid dan Rivi – Papa, sahabat dan kekasih hati. Dibelainya satu persatu wajah di dalam pigura ini.
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@rendifebrian
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@d_cetya
@andre_patiatama
@Klanting801
@shuda2001
Terima kasih buat teman-teman ku disini yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan cerita ini. Terima kasih kritik dan sarannya kepada daku. Mohon maaf bila cerita ini tidak sesuai dengan harapan teman-teman. Setelah menulis dan membaca saya berpikir bahwa seseorang yang tidak pernah mencari informasi yang benar tentang HIV/AIDS akan selalu berpendapat menurut persepsinya sendiri dan sudah pasti orang lain yang ikut mendengarnya pasti akan terpengaruh. Akibatnya muncul statement yang salah serta membuat stigma dan diskriminasi yang baru. Jadi semua memang harus dimulai dari hati, dengan hati.
Sekali lagi maaf jika saya belum bisa menampilkan potret keseluruhan tentang stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman ODHA. Yang saya lakukan ini hanyalah sebentuk cara untuk mensyukuri hari-hari saya saat bekerja dan berdiskusi bersama kalian. Semoga upaya yang tak seberapa ini membawa kita pada satu pemikiran : nilai manusia terletak pada karekter dan akal budi, bukan status kesehatan atau sosial.
Dengan Hati, semua akan lebih mudah dijalani.
Terimakasih semua.
Hehehehehe,, maaf mbak,,
terima kasih juga sejak awal sampai akhir cerita ini mas rendesyah selalu memberikan mentions nya
terima kasih,
ditunggu cerita selanjut nya mas