It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku suka gulid euy. {}
kalau update lagi mention ya,please...
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@rendifebrian
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@d_cetya
Buat yang penasaran sabar ya,, hehehehe,, sekalilagi terimakasih buat semuanya yang masih mau membaca ceritaku,, selamat membaca,,
“ Abang, kalau ada telepon, tolong angkat ya!! Aku mau ke pantry, lapar,,” ujar Dirga sambil membuka tas dan mencari-cari sesuatu.
“ Oke, eh,, kamu mau makan apa sih?? “ tanya Gulid.
Tangan Dirga yang tadi merogoh ke dalam tas sudah teracung sambil memegang sebuah mangga. Gulid tertawa geli.
“ Sadar kesehatan juga ya?? “
“ Ketularan Abang!! “
“ Hahahahaha!!! Ya sudah sana,,”
“ Abang mau?? “
“ Nggak ah. Nanti juga aku mau ke pantry kok, mau buat teh,,” tolak Gulid sambil menggelengkan kepala.
Dirga segera bangkit dari kursi dan keluar ruangan. Melewati ruangan Rivi, refleks sudut matanya melirik dan kecewa melihat pintunya tertutup. Mungkin Rivi sedang sibuk. Program mereka sudah berjalan jauh dan beberapa bulan lagi sudah akan berakhir. Apa yang akan terjadi setelah ini?? Apakah Rivi akan kembali ke Bukittinggi atau Jakarta ?? Tentulah. Untuk apa dia bertahan di Merauke?? Pekerjaan Asian care Center Pusat pasti sudah menumpuk. Sekelumit kekecewaan menyelusup di hati Dirga. Ah, sudahlah. Dijalani saja beberapa bulan yang tersisa ini. Dirga mendorong pintu Pantry. Dicucinya mangga yang sengaja dibawanya dari rumah. Jam segini memang selalu memancing rasa lapar. Dirga selalu harus membawa sesuatu dari rumah. Entah itu buah atau biskuit.
Diambilnya sebilah pisau yang tersimpan di laci. Dikupasnya helai demi helai kulit mangga tadi. Sesekali pikirannya kembali melayang pada Rivi. Kalau lelaki itu benar-benar kembali ke asalnya, apakah itu berarti aku tidak akan bertemu dengannya lagi?? Dirga bertanya dalam hati. Lantas, hubungan mereka akan berhenti sampai di sini?? Dirga mendesah kecewa. Berarti cintanya hanya akan bertepuk sebelah tangan. Pikirannya masih menerawang tak tentu arah. Tiba-tiba, sesuatu seperti mengagetkan Dirga. Refleks ia membalikkan badan.
Sreettt!!!
Ujung pisau yang dipegang Dirga menggores tangan Rivi. Darah menyembur keluar dari luka itu. Rivi mengaduh kesakitan.
“ Astaga, Rivi?? Maaf!! “ Jerit Dirga panik. Matanya menyapu sekeliling, mencari-cari sesuatu yang bisa menutup luka Rivi. Tetesan darah jatuh ke lantai. Tiba-tiba mata Dirga menangkap selembar kain lap. Bergegas diambilnya lap tersebut dan tangnnya terulur meraih lengan Rivi yang terluka. Tapi tangan Dirga ditepiskan dengan kasar. Mata Rivi menyorot tajam.
“ Riv, aku minta maaf. Sini kubantu membalut lukamu,,” pinta Dirga sungguh-sungguh. Tapi Rivi malah memandang Dirga. Tatapannya tajam. Entah apa maksudnya.
“ Riv?? Ayolah, darahnya semakin deras!! “ bujuk Dirga lagi, mulai tak sabar.
Tapi Rivi bergeming, seakan tak memedulikan kepanikan Dirga. Ia malah terlihat tenang dan kalem.
“ Kembali saja keruanganmu. Aku bisa mengerjakannya sendiri!! “ tolak lelaki itu. Nada suaranya tegas dan tak ingin dibantah. Dirga terpana. Ia tak mengira Rivi menolak bantuannya.
“ Kenapa?? Rivi, aku minta maaf. Biarkan aku.........” Dirga masih berkeras.
“ Dirga!! Sudah kukatakan, kembali keruanganmu. Cepatlah!! Sebelum aku kehabisan darah!! “ potong Rivi. Kali ini sinar matanya semakin tajam menatap Dirga.
Dirga menghela napas, dengan kesal, dibantingnya kain lap tadi ke atas meja dan pergi keluar.
Hatinya betul-betul sakit menerima perlakuan Rivi tadi.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga membuka pintu ruangan dengan keras. Dibantingnya tubuhnya ke kursi. Sedetik kemudian tangannya mulai menekan-nekan keyboard laptop dengan keras. Sesekali mouse di tangan kanan dipukul-pukulkan ke meja karena kursor bergerak sangat lambat.
“ Ga?? Mangganya enak?? “ terdengar suara Gulid.
“ Asem!! “ sahutnya pendek.
Dirga sedang tidak berniat mengobrol dengan Gulid. Ia juga malas menceritakan kejadian di pantry pagi tadi. Mungkin nanti. Sekarang hatinya benar-benar panas dan ia sangat tersinggung karena penolakan Rivi tadi. Kenapa Rivi harus menolak pertolongannya?? Tidak percaya dengan kemampuannya?? Apa sih susahnya membersihkan luka dan membalutnya dengan kain lap?? Itu kan hanya sementara. Setelah itu ia akan mencari kotak P3K yang pasti tersimpan di suatu tempat di gedung ini. Mungkin Luna tahu di mana letak kotak P3K itu.
Ah, apapun alasannya, tidak seharusnya Rivi menolak mentah-mentah pertolongannya seperti tadi. Bahkan andaikan lelaki itu tidak tertarikpada Dirga, uh meskipun kenyataan tersebut juga menyakitkan. Rivi kan bisa membiarkan saja Dirga membantunya.
Aaaaarrrggghhhhhhhhhhh, Rivi brengsek!!!!!!
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Rivi meringis ketika rasa perih kembali terasa ditangannya. Luka akibat pisau tadi sudah terbalut rapi dengan kain kasa dan plester. Tidak terlalu besar, tapi darah yang keluar cukup banyak. Sepeninggalan Dirga, cepat-cepat Rivi mencuci lukanya dan mengambil kain lap yang dicampakkan Dirga ke atas meja. Setelah dibalut sekedarnya, Rivi mengambil kotak P3K yang selalu disimpannya diruangannya. Tak lupa dibersihkannya noda darah di lantai pantry dan dicucinya kain pel yang terkena noda darah tadi, kemudian kain tersebut dibuangnya ke tempat sampah. Tak dihiraukannya pandangan heran Luna saat melihatnya keluar dari dapur dengan tangan diperban.
Kini luka itu masih terasa nyeri. Tapi rasanya lebih nyeri setiap kali Rivi teringat tatapan terluka Dirga ketika ia menolak pertolongan Dirga. Rivi bisa melihat jelas penyesalan di mata Dirga ketika mengetahui tangan Rivi terluka akibat pisau yang dipegangnya. Niat Dirga itu pun tulus utuk membantunya. Dan Rivi pasti sudah gila jika menolak uluran tangan Dirga. Bukan, bukan karena ia ingin merasakan sentuhan jari Dirga ditangannya., tapi lebih karena ia ingin menghilangkan sedikit demi sedikit jarak di antara mereka. Jarak?? Yeah, right!! Sekuat apa pun ia berusaha, masih ada satu jarak yang takkan pernah terhapus.
Rivi mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat menahan emosi. Oh, God!!!!!!!!
****************************************************
Dear Dhio
Tadi pisaunya menggores tanganku. Tangnku berdarah. Sesaat aku tergoda membiarkannya membalut lukaku. Tapi kewarasanku timbul. Aku tidak ingin menimbulkan luka baru. Cukup aku yang terluka. Dan sudah kupertimbangkan beberapa hari terakhir ini. Kata “ move on” akan kuhapus dari kamusku, jika itu menyangkut dia.
Yeah, sebut saja aku pecundang seperti dulu. Tapi aku tidak cukup gila untuk membuatnya terluka.
_Rivi_
***************************************************
Rivi menutup mata. Ia bisa melihat binar asa di mata Dirga. Senyum yang mengandung arti, pipi yang memerah, dan semua salah tingkah itu, apalagi artinya kalau bukan cinta?? Tidak mungkin Rivi salah membaca semua isyarat tanpa suara dari lelaki itu. Tapi bagaimana ia harus bersikap sekarang?? Lama Rivi termenung.
Sebuah e-mail masuk ke inbox
****************************************************
My Dearest Rivi,
Aku mengerti semuanya. Seperti beberapa kali kutegaskan, kamu memiliki seluruh dukunganku.
Tidak, jangan pernah menganggap dirimu pecundang. Kamu tetap Bagraswara Egriano Riviansyah yang sama yang kukenal dengan perasaan yang halus dan sensitif.
Tapi memang kamu gila karena cinta.
I Love You
Dhio
*****************************************************
Rivi tersenyum tipis, “ Thanks, Dhio!! “
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga menyusuri pelantaran parkir dengan langkah lesu. Sudah sejak jam enam tadi Gulid pulang ke rumah Dirga karena dia belum boleh terlalu capek. Lagi pula lelaki itu harus meminum obat ARV tepat waktu. Meskipun temannya itu berkeras ingin kembali ke tempat kos, Dirga tidak mengijinkanya. Apalagi keberatan Dirga ini juga didukung Papa.
Sebenarnya alasan keberatan Dr, Poernomo adalah fisik Gulid yang belum pulih alias belum fit untuk tinggal sendirian. Sedangkan Dirga selalu menyenangi keberadaan Gulid dirumahnya. Ia jadi punya teman ngobrol sebelum tidur atau disaat-saat lainnya. Ternyata memiliki saudara jauh lebih menyenangkan daripada menjadi anak tunggal. Segala masalah tentu jadi lebih mudah diatasi jika ada teman diskusi. Apalagi masalah yang menyangkut lelaki seperti sekarang ini.
Mau tak mau pikiran Dirga kembali memunculkan sosok Rivi. Semakin dipikir, rasanya semakin jauh saja bayangan lelaki itu dari jangkauannya. Kadang Dirga merasa ada sesuatu yang menghalangi langkahnya untuk mendekati laki-laki itu. Mungkinkah karena Dhio?? Lelaki itu seperti musuh dalam selimut yang sewaktu-waktu mengancam hubungannya dengan Rivi. Tiba-tiba Dirga tersadar, atau jangan-jangan Dhio juga berpikiran sama, menganggap kehadiran Dirga sebagai pengancam hubungannya dengan Rivi?? Dirga meringis membayangkan kemungkinan itu.
Tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang. Dirga menoleh dan melihat Rivi setengah berlalri menghampirinya. Sesekali sudut bibirnya terangkat seperti menahan sakit. Dirga jadi terenyuh melihatnya. Mungkin lukanya masih mendenyut sakit, pikir Dirga sambil memerhatikan tangan Rivi yang diperban.
“ Dirga!! “ panggil lelaki itu. Napasnya sedikit terengah-engah.
Dirga berdiri ditempatnya, menunggu Rivi mendekat.
“ Ada apa?? “ tanyanya pendek ketika Rivi sudah berdiri tepat didepannya.
Rivi menarik napas panjangm kemudian menatap Dirga.
“ Aku minta maaf karena menolak bantuanmu saat di pantry tadi,,”
Dirga tersenyum tipis, setengah hati. “ Tak apa. Aku yang salah karena menggores tanganmu, meskipun tidak sengaja,,”
“ Tak masalah. Tapi soal tadi, aku........... aku bisa membalut lukaku sendiri. Karena itu aku menolak bantuanmu,,” Rivi seperti kesulitan menjelaskan alasan penolakannya.
Dirga tersenyum terpaksa. “ Sudahlah, kamu tidak berutang penjelasan apapun padaku. Sudah malam. Aku pulang dulu ya!! “ Dirga bersiap-siap membalikkan badan. Tapi sebuah tangan mencengkeram lengannya dan membalikkan badannya.
Rivi menatap Dirga dengan tajam dan serius, tapi tidak mengatakan sepatah apapun. Dirga terbelalak kaget dengan tindakan Rivi, lebih kaget lagi saat wajahnya berhadapan dengan wajah Rivi sedekat itu. Lama keheningan menyelimuti mereka. Hanya tatapan tajam diantara keduanya. Hingga akhirnya Rivi menghela napas dan perlahan-lahan melonggorkan pegangan tangannya di lengan Dirga.
“ Maaf. Pulanglah. Hati-hati,,” bisik Rivi dengan suara serak. Kemudian secepat kilat lelaki itu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dirga sendiri terbengong-bengong di lapangan parkir.
Beberapa saat berlalu dan Dirga masih terbengong di tempatnya berdiri. Hingga akhirnya ia tersadar dan bergegas berlari ke mobilnya dan keluar dari gedung ini. Jantungnya masih berdebar menerima perlakuan Rivi yang tak seperti biasanya itu. Apa maksud Rivi tadi?? Apakah lelaki itu ingin mengucapkan sesuatu, seperti “ I Love You “?? Tapi Dirga buru-buru mengoreksi tafsiran yang keterlaluan tadi. Jelas-jelas Rivi tadi hanya ingin mengatakan “ maaf “.
Ah sudahlah. Lebih baik ia cepat sampai ke rumah dan bertanya pada Dirga. Meskipun terkadang suka meledek, kalimat-kalimat serius yang keluar dari mulut Gulid selalu menyejukkan hati Dirga.
Jam di dasbor menunjukkan pukul sepuluh malam ketika mobil Dirga memasuki pagar rumah. Baru saja Dirga mematikan mesin mobil, dari belakang muncul sinar lampu mobil Dr. Poernomo. Dirga memilih menunggu hingga mobil Papanya berhenti dan mereka sama-sama masuk ke rumah.
“ Baru sampai, Nak?? Banyak kerjaan?? “ tanya Dr, Poernomo sambil merangkul bahu Dirga. Sebelah tangannya menjinjing tas hitam.
Dirga mengangguk.
“ Gulid sudah pulang duluan ya?? “ tanya Papanya lagi.
“ Iya, Abang kan harus masih banyak istirahat Pa,,”
Fani masuk ke ruang tengah dan meletakkan dua gelas bandrek dan sepiring makanan kecil.
“ Gulig sudah makan Fan?? “ tanya Dirga sambil mencomot sepotong tahu isi.
“ Sudah Kak. Mungkin sudah tidur di kamar,,” sahut Fani sebelum kembali ke dapur.
“ Kupanggil dulu ya Pa!! “ ujar Dirga sambil melangkah kekamarnya.
“ Kalau sudah tidur tidak usah dibangunkan,,” terdengar suara Papanya dari belakang.
Dirga mengangguk, mana bisa tidak dibangunkan?? Gulid kan perlu dengar ceritaku soal Rivi. Pikir Dirga. Dibukanya pintu kamar yang lampunya masih menyala terang. Di atas tempat tidur, Gulid tergolek di balik selimut tebal. Dirga melangkah masuk. Tidak tega juga ia membangunkan Gulid yang tertidur lelap. Tapi ia juga tak tahan menunggu sampai besok utuk bercerita soal Rivi.
Dirga duduk di samping tempat tidur. Diguncang-guncangnya tubuh Gulid pelan.
“ Abang?? Udah tidur ya?? Bangun dong!! “ bisik Dirga pelan.
Gulid tetap terlelap. “ Abang!! “ panggil Dirga lagi. Tapi Dirga masih nyenyak. Kening Dirga berkerut. Biasanya Gulid selalu bangun setiap Dirga pulang. Malah sering dia sengaja menunggu Dirga pulang dulu sebelum mereka sama-sama tidur. Kenapa sekarang berbeda?? Apa Gulid terlalu lelah??
“ Abang!! Bangun dong!! “ Dirga kembali memanggil. Diperhatikannya mata Gulid yang terpejam. Mukanya yang pucat. Napasnya yang seperti satu-satu. Tiba-tiba Gulid tersadar.
“ PAPA!! “ jeritnya panik.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga menangis meraung-raung di pelukan Dr. Poernomo. Air matanya membasahi kemeja putih Papanya yang belum diganti sejak selesai praktik tadi malam. Dirga pun masih mengenakan baju yang sama.
“ Dirga, ayo kita pulang, Tidak ada lagi yang bisa kita kerjakan di sini. Besok kita kembali lagi,,” ajak Dr. Poernomo.
Dirga menggeleng. “ Aku di sini saja Pa,,”
“ Dirga, kamu juga perlu jaga kesehatan,,”
Dirga tetap menggeleng. “ Papa pulung dulu saja, sebentar lagi aku menyusul,,”
Merasa tak bisa membujuk putranya, Dr. Poernomo pulang. Disempatkannya untuk berbincang sebentar dengan beberapa dokter yang berjaga dini hari itu.
Sepeninggalan Dr. Poernomo, Dirga menatap lesu melalui dinding kaca yang membatasi dirinya dengan Gulid. Sahabatnya itu terbaring dengan slang infus dan alat bantu pernapasan kelihatan lemah dan tak berdaya. Tidak ada ledekan atau kata-kata bijaksana yang keluar dari bibir yang pucat itu. Apalagi senyuman lebar. Ya Tuhan, padahal kemarin kami masih bercanda bersama-sama, rintih hati Dirga. Dirga benar-benar sedihmelihat keadaan Gulid. Bukankah sebagai sahabat, seharusnya Dirga bisa menjaga Gulid dengan lebih baik?? Kenapa kondisi Gulid justru menurun saat tinggal serumah dengannya?? Abang, bertahanlah!! Masih banyak hal yang menunggumu di luar sana. Karier, cinta kedua, teman-temanmu, keluargamu.
Tiba-tiba Dirga teringat sesuatu. Sejenak ia menimbang-nimbang, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
“ Abang, bertahan ya. Aku harus pulang dulu. Nanti aku kembali,,” bisik Dirga lirih sebelum bergegas pergi meninggalkan rumah sakit.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga menekan nomor yang terdapat di daftar nomor ponsel Gulid. Ditunggu beberapa saat.
“ Halo...........” terdengar suara perempuan dari seberang.
“ Ng..... halo......” ujar Dirga ragu.
“ Ya??”
“ Hmmm, bisa bicara dengan Reza?? “
“ Ya, saya sendiri. Ini siapa?? “ Perempuan itu terdengar heran.
Dirga menelan ludah beberapa kali,, “ Maaf mengganggu. Saya Dirga, temannya Gulid. Saya mau memberi kabar bahwa Gulid sedang dirawat di rumah sakit. Dia sangat ingin bertemu denganmu!! “
Tidak terdengar sahutan dari seberang. Dirga menunggu. Tapi tak ada suara.
“ Halo?? Reza?? “
“ Iya, masih di sini!! “ perempuan itu akhirnya bersuara.
“ Saya, hmmm, saya hanya berharap kamu bisa datang. Saya tidak yakin mengenai kondisi Gulid, karena................”
“ Apa, Kakak saya sudah mau meninggal?? “
Kening Dirga mengernyit. Pertanyaan macam apa itu?? pikirnya sebal.
“ Saya tidak tahu. Semoga saja Gulid mampu bertahan,,”
Klik!!
Sambungan telepon terputus.
Astaga adik macam apa si reza ini?? Dirga benar-benar tak habis pikir. Padahal Gulid sangat menyayangi adiknya itu. Kenapa respons Reza malah seperti itu?? Dirga mendesah. Sudahlah, tanpa keluarga Gulid masih memiliki Dirga dan Papa serta teman-teman kantor.
Dirga mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat.
“ Luna, Gulid masuk rumah sakit. Tolong beritahu Rivi,, “
Dirga membuka pintu dan masuk melangkah masuk. Keadaan Gulid masih seperti tadi pagi. Slang infus masih terpasang, tapi kali ini alat bantu pernafasan sudah dicabut dan Gulid sudah siuman. Gulid menoleh lemah ketika pintu dibuka. Spontan senyumnya tersungging melihat Dirga. Dalam hati Dirga mengeluh sedih melihat senyum Gulid yang tidak seperti biasanya.
Dirga duduk di samping tempat tidur. Digenggamnya erat telapak tangan Gulid.. “ Syukurlah Abang sudah siuman,,” bisik Dirga dengan suara tersekat menahan keharuan.
“ Gulid tersenyum. “ Aku tidak pernah menyerah Dirga Tidak seperti kamu yang menyerah dalam merebut cinta Rivi,,” ledek Gulid.
Dirga cemberut. Tapi ia senang mendengar Gulid sudah kembali ceria. “ Cepat sembuh ya Abang. Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu...........” ujar Dirga.
“ Kamu tetap bisa cerita padaku, meski aku sudah tidak ada di sampingmu lagi ga,,’ bisik Gulid.
Dirga tercekat mendengarnya. Sesaat mereka saling memandang. Lama tanpa suara. Hingga akhirnya Dirga mencoba tersenyum walaupun susah.
“ Iya, dan pada saat itu, kamu tidak akan bisa meledekku lagi,,”
Gulid tersenyum lebar.
“ Abang, apakah ingin bertemu dengan Reza?? “
Kening Gulid berkerut mendengar pertanyaan dari Dirga. “ Kenapa kamu bertanya seperti itu?? Apa kamu menganggapku sudah mau mati dan ingin tahu apa keinginan terakhirku?? “
Dirga terdiam, tak bisa menjawab, Gulid tertawa melihat muka Dirga yang bingung.
“ Maaf Ga. Tapi......... aku tidak terlalu berharap. Lagi pula semua keluargaku ada di sini. Kamu dan Papamu. Bi Isah dan Fani. Juga seluruh teman-teman Asian Care Center, dan bagiku itu sudah cukup,,”
Gulid tersenyum sambil menepuk punggung tangan Dirga.
Dirga balas tersenyum. Beberapa menit mereka masih melanjutkan cerita. Hingga akhirnya Dirga melirik jam dan bersiap-siap pulang.
“ Aku pulang dulu ya. Abang harus istirahat. Besok pagi aku kemari lagi,,”
Gulid mengangguk, Dirga memeluk tubuh Gulid sangat erat. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkan Gulid sendirian. Tapi ia pun tak diperbolehkan menganggu Gulid terlalu lama.
“ Terimakasih Ga. Aku sungguh beruntung bersahabat denganmu,,” bisik Gulid dengan suara serak menahan tangis. Sudut matanya mulai berair.
Air mata Dirga jatuh ke bantal Gulid. “ Aku pun bersyukur menjadi sahabatmu. Makannya, cepat sembuh ya Abnag,,, “ ujar Dirga mulai terisak, sesaat mereka berpelukkan erat, saling memberi kekuatan.
Kemudian Dirga melepaskan pelukan sambil tersenyum, Gulid pun balas tersenyum.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Kring..........!! Kring......... !!
Suara ponsel membangunkan Dr Poernomo. Diliriknya jam yang menunjukkan pukul lima pagi. Masih dengan mata mengantuk, diraihnya ponsel diatas meja.
“ Halo...............”
Beberapa saat Dr. Poernomo tekun mendengarkan suara dari seberang. Kemudia ia menutup ponsel dan melangkah keluar kamar. Di depan pintu kamar Dirga, Dr Poernomo mengetuk pelan.
“ Dirga, buka pintu!! “
Beberapa menit menunggu, pintu dibuka dari dalam. Dirga muncul dengan kantuk yang menggayut.
“ Tadi rumah sakit menelepon,,” Dr, Poernomo berhenti sejenak, mengambil napas panjang, lalu melanjutkan,,, “ Abangmu, Gulid sudah pergi..........”
Dirga terbelalak. Lama ia tak bersuara. Dr. Poernomo merengkuh tubuh anaknya ke dalam pelukan. Hening, tak ada suara tangis.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Jam enam pagi Dirga dan Papanya sudah tiba di rumah sakit. Tak menunggu lama, mereka segera mengurus jenazah Gulid. Rivi dan Luna tiba setengah jam kemudian, diikuti satu persatu karyawan Asian Care Center. Pengurusan Jenazah tidak memakan waktu lama. Jam satu siang acara pemakaman selesai dilakukan. Setelah bubar, Rivi menyempatkan mampir ke rumah Dirga utuk mengobrol dengan Dr. Poernomo, sementara Dirga memilih masuk ke kamar. Dari dalam tas dikeluarkannya sebuah buku tebal. Begitu ia tiba di rumah sakit tadi pagi, seorang perawat memberikan buku ini.
Dibukanya satu persatu halaman buku yang ternyata berisi catatan harian Gulid. Dari tanggal yang ditulis, Gulid sudah menulis buku ini hampir tiga tahun lalu, setahun sebelum bergabung dengan Asian Care Center. Dirga melihat catatan terakhir Gulid. Tidak terlalu banyak.
****************************************************
Sampai saat ini aku masih tidak mengerti. Bagaimana hidup bisa terasa indah hanya karena seorang sahabat.
Ah Dirga,, aku sangat bersyukur menjadi sahabatmu. Menjadi bagian dari keluargamu. Aku tidak tahu sampai kapan Tuhan memberikanku waktu. Mungkin saat waktu itu tiba, aku belum sempat mengatakan hal ini padamu. Tapi aku yakin kamu pasti tahu perasaanku. Bahkan aku juga yakin, kamu sebenarnya bisa melihat jelas betapa Rivi menyukaimu. Hanya kadang kamu buta.
****************************************************
Dirga tersenyum. Bahkan di dalam buku hariannya, Gulid masih saja meledeknya.
****************************************************
Mungkin besok harus kukatakan lagi padamu. Jangan pernah menyerah dalam mendapatkan cinta. Seperti aku tak pernah menyerah dalam menjalani hidupku.
Suster itu bolak-balik menyuruhku tidur. Sebel!! Kulanjutkan besok saja catatannya.
Semoga besok Dirga datang dengan Rivi,, Hehehehehe......
****************************************************
Dirga menghapus sudut matanya yang berair. Bagaimana Dirga bisa menebak bahwa tadi pagi Dirga memang datang ke rumah sakit?? Rivi pun datang. Tapi Abang sudah terlajur pergi.
Dirga mengatupkanbuku itu. Pipinya mulai basah, sejak kepergian Gulid, ini kali pertama Dirga menangis.
Terima Kasih >:D<
secara teoritis Meminum ARV teratur memang memperpanjang angka harapan hidup mas,, namun ada faktor X yang membuat seorang seperti Gulid meninggal,, faktor psikis,,
kemungkinan ada mas,, ODHA dengan viral load 1500 sangat sedikit kemungkinannya tertular HIV,,nah oleh karena itu mengapa Ibu yg sedang hamil harus mengkonsumsi ARV secara teratur sejak dini,,
ceritamu top deh pokoknya,,