It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@IMT17 Selamat datang... Ni lanjutannya.
@Abyan_AlAbqari @Adhikara_Aj @Adra_84 @adzhar @aglan @Agova @alfa_centaury @animan @A@ry @arbata @arieat @Ariel_Akilina @arixanggara @bayumukti @Bintang96 @BinyoIgnatius @callme_DIAZ @christianemo95 @danar23 @diditwahyudicom1 @DItyadrew2 @DM_0607 @Duna @farizpratama7 @freeefujoushi @hantuusil @joenior68 @jokerz @kizuna89 @Klanting801 @mr_Kim @obay @per_kun95 @pokemon @reza_agusta89 @safir @sasadara @sasukechan @Sicnus @suck1d @The_angel_of_hell @ularuskasurius @ying_jie @yubdi @yuzz @z0ll4_0ll4 @Zhar12 @zeamays
Chapter ini kurang seru kalo dibandingkan chapter sebelumnya. Kayaknya aku bener-bener gak berbakat buat cerita fantasi. Tapi tenang, cerita ini Insya Allah ku tamatin. Kalo gak tamat, rasanya beban banget. Kalo dah tamat kan bisa lanjut cerita lain.
Temen-temen jangan lupa komen! Awas loh kalo gak komen!
Selamat menikmati...
Sebelumnya di Pelangi VIII :
Mata setan milik Octo berhasil mengenai perut Pelindung Biru. Lalu lengan dan bahu kanannya kembali terluka. Pelindung Biru yang kembali dihujani mata setan berhasil melindungi diri dengan perisai miliknya. Namun Pertahanan Pelindung Biru akhirnya runtuh setelah Octo menyerang dengan bintang mati super. Pelangi Api muncul saat Octo hendak menghabisi nyawa Pelindung Biru.
Pada pertarungan selanjutnya, giliran Astaroth yang terluka karena melindungi Astarte. Sebelumnya Astarte terlebih dulu melukai Pelindung Jingga.
PELANGI IX
Langit nampak sangat cerah. Angin bertiup pelan namun mampu menggugurkan daun-daun. Terdengar kicauan burung yang melompat-lompat di dahan pohon. Beberapa capung turut menemani kupu-kupu cantik yang hinggap pada mawar merah yang sedang bermekaran.
Sore itu, Agung dan Dika sedang bersantai di taman samping rumah Agung. Mereka duduk bersebelahan pada bangku yang terletak di bawah pohon yang cukup rindang. Mereka sangat menikmati suasana taman yang cukup sejuk walaupun sang surya sedang bersinar terang.
“Kemarin lu ngapain di tempat latihan?” Dika membuka pembicaraan.
“Maunya sih ikut latihan, tapi mau gimana lagi? Gue gak bisa. Cuma bisa liat mereka latihan.” Suara Agung terdengar lirih.
“Ada kejadian seru gak? Mungkin ada yang lucu.”
“Gak ada. Biasa aja.”
“Pasti ngebosenin.”
“Gak juga. Gue seneng bisa liat mereka latihan. Gue suka suasananya, atmosfernya. Pokoknya gue seneng di sana. Kadang-kadang bosen juga tiap hari latihan mulu. Tapi ngangenin kalo lama gak latihan.”
“Lu juga kangen sama orang-orang di sana?”
“Kangen juga sih. Atmosfernya itu loh... Kami bersaing tuk jadi yang terbaik tapi tetep temenan. Di lapangan boleh jadi lawan. Di luar lapangan tetap bersahabat.”
“Setau gua, si Randy yang paling jago di tim tenis sekolah kita. Menurut lu gimana?”
“Kak Randy memang paling jago. Prestasinya bagus banget, udah sering mengharumkan nama sekolah kita. Dia slalu disegani lawan-lawannya. Kehebatannya udah terbukti, gak perlu diragukan lagi. Gue pengen banget bisa sehebat dia.” Agung nampak sangat bersemangat.
“Lu suka Randy?!”
Agung terdiam. Dia terpaku melihat Dika yang serius menatapnya. Agung tak pernah menduga Dika menanyakan hal itu.
“Kenapa diem? Lu beneran suka Randy?” Dika sedikit mendekatkan wajahnya pada wajah Agung.
“Hahaha... Ngaco banget.” Agung mengibaskan tangannya. Dia tertawa untuk mengurangi perasaan gugup akibat pertanyaan Dika yang mengejutkan. “Lo jangan mikir yang aneh-aneh! Gak mungkin lah gue suka kak Randy.”
Dika tau bahwa Agung tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia sangat mengenal Agung. Mereka sudah belasan tahun bersahabat. Dika tak akan mudah dibohongi. “Lu yakin?”
“Heh kunyuk! Lo pikir gue gila, suka sama orang kayak gitu? Bawaannya serius mulu, ketus, ketawa aja jarang banget. Mana tahan gue.”
Dika tak mengomentari perkataan Agung. Dia terus menatap Agung. Tatapannya membuat Agung merasa risih. Sangat jarang Dika menatap intens seperti itu. Jika dia melakukan hal itu, biasanya Dika menuntut penjelasan dari Agung.
“Jelasin! Jangan brani nyembunyiin yang sebenernya!”
“Jelasin apa? Lo jangan sembarangan nuduh kalo gak ada bukti. Ja_”
“Gua gak perlu bukti.” Potong Dika. “Tatapan sama gerak-gerik lu udah jelas banget. Kemarin gua gak langsung pulang. Gua ngikutin lu ke lapangan. Gua bisa liat cara lu mandang Randy, gak sama kayak elu mandang gua ato mandang Andra. Tadi di sekolah, gua sempet liat elu curi-curi pandang waktu Randy lewat. Lu gak mungkin bisa bohongi gua. Kita sahabatan dari kecil.”
Agung terdiam. Dia tak mungkin bisa membantah kata-kata Dika. Dia memang jatuh hati pada Randy. Dia juga sudah sering menyangkalnya namun hati tak bisa dibohongi. Dia hanya bisa membatasi diri agar perasaan itu tak semakin berkembang.
“Lu curang. Gua slalu nyeritain semuanya. Tapi lu!” Dika nampak sangat kecewa.
“Sorry... Gue gak maksud nyembunyiin perasaan gue. Gue...” Agung menghentikan ucapannya.
“Jelasin semuanya! Jangan ada yang ditutup-tutupi!”
“Oke.” Agung menarik nafas lalu menghembuskannya.
Agung mencurahkan semua isi hatinya pada Dika. Tak ada satu pun yang disembunyikan. Bagaimana perasaannya untuk Randy, keraguan yang muncul, hingga penolakan atas perasaan itu.
Dika menjadi pendengar yang baik. Sesekali dia bertanya saat kurang mengerti maksud ucapan Agung. Dika juga memberikan masukan-masukan untuk Agung. Menurutnya, lebih baik Agung tidak berharap pada Randy. Dia tak mau Agung semakin kecewa jika terus menumbuhkan rasa cintanya pada cowok straight.
Hingga saat ini, Dika tak pernah melihat tanda-tanda ke-gay-an pada diri Randy yang sudah beberapa kali memiliki hubungan dengan lawan jenis. Randy memiliki banyak penggemar cewek. Dia juga tak pernah menunjukkan ketertarikannya pada seorang pria.
“Lupain Randy! Sekarang momen yang paling tepat. Kaki lu masih cedera jadi gak bisa latihan, gak akan sering bareng Randy.”
“Tapi Randy cinta pertama gue.”
“Optimis! Elu harus bisa! Ini jadi pelajaran penting buat lu. Jangan pernah ngarep cowok straight. Apalagi orang songong kayak Randy. Heran gua, bisa-bisanya lu suka Randy yang gak pernah bersikap baik sama lu. Abaikan kejadian waktu lu cedera. Dia bantuin lu, nganterin lu pulang karna dia merasa bersalah. Gak lebih.”
“Iya. Gue bodoh kalo terus ngarepin dia. Semangat! Gue pasti bisa! Gue gak butuh dia.” Kata Agung sangat bersemangat. Tetapi hatinya berkata lain.
“Gitu dong. Itu baru namanya Agung.” Dika merangkul pundak Agung. “Dari pada ngarepin Randy, lebih keren kalo lu ngarep cinta gua. Hahaha...” Canda Dika.
“Ogah! Gue gak mau jadi korban selanjutnya.”
“Lu kira gua penjahat?”
“Penjahat kelamin!”
“Kalo itu mah enak. Mantan-mantan gua aja sampe ketagihan. Pasti lu ketagihan juga kalo udah gua kasi jatah. Wkwkkk...”
“Halah! Lagak lo. Baru pemanasan aja udah crot, langsung loyo.”
“Ehhh... Itu kan accident, gak masuk hitungan. Apa mau gua buktiin, hah?” Dika mengalungkan tangannya di leher Agung.
“Najis.”
Dika mencium pipi Agung. “Hahaha...”
“Dika!!!” Agung langsung menjitak kepala Dika.
“Aduh. Gila lu. Sakit banget.” Dika mengusap-usap kepalanya. “Tanggung jawab lu kalo pala gua sampe benjol.”
“Tenang... Nanti kalo gue jadi dokter bedah, kepala lo beserta otak-otaknya bakal gue ganti sama otak embek.”
“Buset... Entar yang ada di otak gua cuma mikirin kawin. Bisa gempor gua kalo tiap hari kawin mulu.”
“Dasar omessss.” Agung mengusap wajah Dika.
“Biarin weee.”
“Mesum.”
“Pincang.” Balas Dika.
“Edi. Ejakulasi dini.” Ejek Agung.
“Jablay. Jarang dibelai.”
“Nafsu besar tenaga kurang. Loyo!”
“Gak laku.”
“Siapa bilang gue gak laku? Tu buktinya ada Andra.”
“Jadian gih. Dari pada lu terus-terusan ngejablay.”
“Kalo pengen dibelai sih gampang, tinggal minta sama lo.”
“Bener juga ya... Jadi kapan mau dibelai? Sekarang? Ke kamar yuk biar lebih bebas.”
“Omes!!! Pantang dipancing langsung nyamber.”
“Hahaha... Makanan enak harus disamber. Dari pada mubazir. Ya gak?” Dika menggerak-gerakkan alis kanannya. Sedangkan Agung hanya memandang aneh ke arah Dika.
Agung merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Berbagi dengan sahabat ternyata memang mampu meringankan beban yang ditanggung. Kini dia sangat lega. Dia punya sahabat yang selalu mendukung dan sangat perhatian. Sahabat yang jahil, nyebelin sekaligus bisa jadi pendengar yang baik dan mampu menghidupkan suasana.
“Heh! Gak usah pake acara ngelamun. Jangan malu kalo mau minta dibelai!” Dika menyikut bahu Agung.
“Ngarep!”
“Tau aja.” Dika terkekeh pelan. Kemudian dia berdeham. “Gung...”
“Apa?!”
“Idih galak amat non. Lagi dapet ya?”
“Tau aja bang.” Agung nyengir.
“Andra mana? Kok sampe jam segini dia belum keliatan. Biasanya dia gak pernah absen ngapelin gebetannya.”
“Bahasa lo. Gak tau. Mungkin ada acara.” Agung mengidikkan bahunya.
“Gak mau ngasi dia kesempatan? Kalo menurut gua sih kalian cocok. Keliatannya dia serius banget, dia bener-bener cintai sama lu. Andra itu solusi terbaik supaya lu cepet ngelupain Randy.”
“Gue gak mau jadiin Andra pelarian. Kalo gue lakuin itu, gue bisa nyakitin dia. Gue gak mau kehilangan sahabat kayak Andra.”
“Lu gak akan nyakitin dia kalo dari awal lu jujur. Berusaha ngilangin perasaan suka ke Randy dan membuka hati untuk Andra. Andra gak kalah cakep dari Randy. Dia juga baik, keren, tajir. Dan yang paling penting, dia mencintai lu. Jangan nyia-nyiain kebahagian yang udah ada di depan mata, hanya karna orang yang gak penting kayak Randy. Gua dukung lu sama Andra. Kami memang gak akrab, tapi gua yakin dia orang yang tulus. Dia orang yang paling tepat untuk lu.” Dika kembali merangkul Agung.
“Gue belum yakin.”
“Pikirin baik-baik, jangan terburu-buru ambil keputusan. Tapi jangan kelamaan! Entar Andra keburu disamber orang.”
Agung menatap Dika yang tersenyum. “Thanks banget ya... Gak nyangka sahabat gue ternyata orang yang bijaksana.” Agung turut merangkul Dika.
“Di...ka.” Ucapnya bangga.
“Salah ngomong gue.” Agung pura-pura menyesal.
“Hahaha...” Dika mengacak rambut Agung lalu mengeratkan rangkulannya. Agung mencolek hidung Dika dan dibalas Dika dengan mencubit pipi Agung. Lalu Agung membekap hidung sekaligus mulut Dika. Dika kesulitan bernafas, tetapi Agung malah semakin keras membekapnya. Dika memberontak sambil memukul-mukul pelan bahu Agung. Lalu Agung melepaskan bekapannya. “Gila lu. Hah hah...” Nafas Dika memburu.
Dika masih membungkuk dan mengatur nafasnya. “Cup.” Agung mencium pipi kanan Dika. Dika menegakkan badannya. Dia masih nampak kesal. Tetapi dia malah menunjuk pipi kirinya.
“Aihhh...” Gumam Agung kemudian mencium pipi kiri Dika. “Udah jangan ngambek.”
“Yang ini belum.” Kali ini Dika menyentuh bibirnya.
“Ngelunjak.”
“Cepet...” Dika bertingkah manja.
“Lo mau gue bilang ke Toni sama Andra? Kira-kira gimana ya tanggapan Toni?”
“Siapa takut.”
“Yakin???”
“Yakin.”
“Oke. Gue telpon dia sekarang.” Agung mengambil ponselnya.
“Resek lu.”
“Lo sih cari-cari kesempatan.” Agung senyum-senyum sambil melihat ekspresi Dika. “Btw, gimana pedekatenya?”
“Biasa aja.”
“Ayo ceritain...” Agung mulai penasaran.
“Hmmm...”
“Ayo dong...” Agung semakin penasaran.
Samar-samar terdengar suara seseorang memanggil Agung. Panggilan selanjutnya terdengar semakin jelas.
“Kayaknya pangeran lu datang. Gua cabut ya... Gak enak ganggu orang pacaran. Hihihi...” Dika segera berlari.
“Dika!!!” Agung ingin mengejar Dika, tapi dia tak mungkin melakukannya. Dia meraih kruk untuk membantunya berjalan. Sebenarnya Agung merasa sudah bisa berjalan tanpa bantuan kruk tetapi dia diminta tetap menggunakan kruk.
Dika berpas-pasan dengan Andra di ruang keluarga. “Hai Dra... Pa kabar lu?”
“Baik. Lo liat Agung?” Andra balik bertanya.
“Agung ada di samping. Samperin gih... Gua cabut dulu, biar kalian lebih leluasa.” Dika mengedipkan mata.
“Eh...” Andra bingung dengan ucapan Dika.
“Gua dukung lu, bro. Pejuang cinta gak boleh nyerah! Fighting!” Dika menggerakkan tangan kanannya untuk menyemangati Andra. “Semoga sore ini ada kemajuan.” Dika menepuk pundak Andra lalu meninggalkannya.
“Dika.” Andra memanggil. “Makasih dukungannya. Gue pasti berjuang.” Katanya saat Dika menoleh. Dika tak menjawab namun memberikan acungan jempol.
Semangat Andra semakin bertambah. Dia menghampiri Agung sambil bersiul. Senyuman merekah di bibir merahnya. Perasaannya sungguh gembira setelah mendapat dukungan dari Dika yang selama ini dianggap sebagai rival. Kepercayaan dirinya semakin tinggi sebanding dengan harapannya yang semakin besar untuk mendapatkan cinta Agung.
***
“Bangsat!” Umpat Octo saat perisai api menyelimuti pemuda yang ada di depannya. Octo bergerak cepat dan segera menyerang. Bola hitam besar meluncur cepat dan di saat yang sama, muncul gelombang api. Keduanya beradu. Muncul percikan-percikan. Gerakan bintang mati melambat namun tetap menekan dan menerobos gelombang api. Pelangi Api melompat tinggi ke udara, menghindari bola hitam yang ukurannya sedikit mengecil. Terjadi ledakan. Asap hitam segera membubung tinggi.
Octo sangat penasaran dengan kehebatan Pelangi Api, khususnya dengan badai halilintar yang belum mampu ia tandingi. Namun Octo mengurungkan keinginan untuk melanjutkan duel dengan Pelangi Api. Dia merasakan energi tiga Pelindung Pelangi yang sudah sangat dekat. Lebih baik dia menyingkir dari pada harus menguras tenaga menghadapi mereka semua. Selain itu, korban juga sudah tidak berguna lagi untuknya. “Sayang sekali aku harus pergi.”
“Pengecut! Rasakan ini!” Pelindung Api kembali menyerang. Gelombang api segera menyambar ke arah Octo. Octo tidak diam, dia segera melompat jauh.
“Tunggu. Kita pasti akan bersenang-senang. Hahaha...” Tubuh Octo menghilang setelah mengatakannya, meninggalkan tawa yang masih menggema.
Pelangi Api segera menghampiri korban. Pemuda yang sedang tak sadarkan diri itu segera berada di punggung Pelangi Api. Tiba-tiba langkahnya dihadang oleh cahaya pelangi berbentuk cemeti. Nyaris saja. Jika Pelangi Api tak menghentikan langkahnya, dia pasti sudah terluka.
“Tinggalkan dia!” Pelindung Hijau berteriak. Pelindung Kuning dan Merah berada di kiri dan kanannya.
Pelangi Api nampak tenang. Hanya mengerutkan keningnya.
“Serahkan baik-baik atau kami paksa!” Pelindung Hijau telah bersiap dengan cemetinya.
“Ambil kalau bisa!”
“Sombong!” Pelindung Hijau menyambukkan cemetinya. Pelangi Api sangat sigap, melindungi tubuhnya dan korban dengan perisai api.
“Hijau! Tahan emosimu! Pemuda itu bisa mati kalau senjatamu menghantam tubuhnya.” Pelindung Kuning mengingatkan.
“Bagaimana jika kita buat kesepakatan? Tak ada gunanya kita bertarung. Kita punya musuh yang sama.” Tawaran Pelindung Merah.
“Kesepakatan?”
“Benar. Korban kekuatan hitam akan ditangani oleh siapapun yang pertama kali menyelamatkannya.”
“Kalau begitu, kalian tidak berhak merebut pemuda ini.”
“Benar sekali. Kau lah yang berhak atas pemuda itu karna kau yang menyelamatkannya. Jadi bagaimana? Apa kita sepakat?”
“Tidak.” Pelangi Api sangat tegas.
“Ayo kita serang. Percuma membuat kesepakatan dengannya.” Pelindung Hijau bersiap menyerang namun Pelindung Kuning menahannya dan mencoba menenangkan dengan tatapan yang lembut.
“Kenapa? Tidak ada yang dirugikan dengan kesepakatan itu.” Pelindung Merah kembali mencoba bernegosiasi.
Pelangi Api tak menjawab. Dia malah memunggungi para Pelindung Pelangi. “Serang kalau kalian ingin membunuh pemuda ini.” Katanya sambil melompat jauh. Pelangi Api tau betul Pelindung Pelangi tak akan berani menyerang karena sang pemuda berada di punggungnya.
Benar apa yang dipikirkan Pelangi Api. Pelindung Pelangi diam saja, hanya Pelindung Hijau yang nampak kesal dan bersiap hendak mengejar, namun dihalangi oleh tangan Pelindung Kuning. “Seharusnya kita hajar dia.” Ucapnya berapi-api.
“Jangan gegabah. Kita tidak boleh melukai pemuda itu.” Hardik Pelindung Merah.
“Kita bisa menyerang kaki Pelangi Api lalu merebut pemuda itu.” Argumen Pelindung Hijau.
“Gak ada jaminan pemuda itu tidak terluka.” Jawab si Kuning. “Menurutku, kita gak perlu terlalu mempermasalahkan siapa yang akan membawa dan mengobati korban-korban cermin jiwa. Toh Pelangi Api gak akan mencelakai mereka. Yang paling penting kita harus terus melawan Dewi Kegelapan. Jika kita saling melukai, kekuatan hitam akan semakin mudah menguasai dunia. Hal itu gak boleh terjadi.”
Pelindung Hijau bergantian menatap Pelindung Merah dan Kuning. Kemudian dia mengangguk.
***
Agung baru saja sampai di taman belakang sekolah. Dia menghirup nafas dalam-dalam lalu duduk di salah satu bangku. Taman itu terasa sejuk karena ada banyak pepohonan besar. Dia dan sahabat-sahabatnya ingin menghabiskan waktu istirahat di tempat yang jarang dikunjungi warga sekolah. Agung masih seorang diri berhubung Dika dan Galang membeli makanan di kantin, sedangkan Bella dan Nadia ke toilet terlebih dulu.
Taman itu cukup sepi. Sejak tadi, Agung baru melihat tiga orang siswa yang merokok dan seorang tukang kebun yang telah selesai membersihkan taman. Sesekali terlihat burung melompat-lompat dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lain. Selain itu, terkadang terdengar suara anak burung yang berada di sangkarnya.
Sepasang siswa dan siswi mencuri perhatian Agung. Mereka berjalan agak cepat dan beriringan. Jaraknya cukup jauh hingga Agung harus memicingkan mata untuk memastikan dirinya tak salah mengenali orang. “Kak Randy?” Gumam Agung.
Agung penasaran dengan apa yang dilakukan Randy bersama perempuan itu. Dia berusaha berpikir positif dan membuang jauh-jauh pikiran kotor yang terus bermunculan. Perasaannya gundah. Pikirannya sangat kacau karena prasangka-prasangka yang diciptakannya sendiri.
Agung gelisah. Dia terus menggenggam kedua tangannya dan sesekali menggigit bibir bawah. Terjadi pertentangan dalam dirinya. Dia ingin mengintip Randy tetapi hati kecilnya menolak. Mengintip bukan perbuatan terpuji walaupun dilakukan karena orang yang dicintai.
Agung meraih kruk lalu segera berdiri. Dia menghela nafas sebelum melangkahkan kaki. Dia memilih mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Dia tak ingin terus penasaran. Tak ada cara lain jika ingin mengetahui apa yang mereka lakukan.
Perasaan Agung tidak karuan. Langkahnya diiringi dengan perasaan takut jika dirinya akan melihat adegan yang tak diharapkan. Sempat terbesit untuk mengurungkan niatnya. Namun lagi-lagi, rasa penasaran lah yang mendorong dirinya untuk tetap melanjutkan langkah.
Agung pelan-pelan mendekati pohon besar. Dia ingin memantau Randy dari balik pohon itu. Walaupun terhalang beberapa tanaman hias, Agung masih dapat melihat Randy sedang berhadapan dengan perempuan itu. Saat langkahnya semakin dekat, sayup-sayup terdengar suara Randy dan perempuan itu. Agung tak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Dia berusaha menajamkan indera pendengarannya namun tetap saja tidak bisa mendengar dengan jelas.
Agung berhenti tepat di balik pohon besar. Dia terlebih dahulu mengatur nafas dan mencoba menenangkan diri. Menggunakan kruk cukup menyulitkan dirinya karena akar-akar pohon yang timbul di permukaan tanah. Dengan hati-hati, Agung memposisikan tubuhnya di sisi pohon besar itu.
Ekspresi Agung menjadi sendu. Perasaannya sangat kesal sekaligus sedih ketika melihat apa yang dilakukan Randy. Agung tidak suka melihat Randy menghapus air mata di pipi perempuan itu.
Agung telah melihat dengan jelas wajah perempuan yang bersama Randy. Namanya Clara. Menurut cerita yang Agung dengar, Randy dan Clara dulu sempat berpacaran.
Randy memegang kedua bahu Clara. Dia mengatakan sesuatu untuk menenangkan gadis itu. Dia tersenyum manis. Senyuman yang sangat jarang terlihat di bibirnya.
Agung tersenyum miris. Dia merasa iri karena Randy tersenyum pada Clara. Dia ingin Randy juga tersenyum untuknya. Harapan yang mungkin tak akan pernah terwujud.
Agung tersentak kaget. Dia semakin kesal dan sangat cemburu saat melihat Clara memeluk Randy. Kekecewaannya semakin bertambah ketika Randy membalas pelukan dengan mengusap-usap rambut Clara. Mata Agung berkaca-kaca. Adegan yang dilihatnya sungguh menyayat hati.
Dia berusaha menguatkan hati dan menahan air matanya. Dia tak ingin menangis. Bodoh sekali jika dia menangis karena Randy. Dia menatap Randy dan Clara yang masih berpelukan. “Ingat Gung! Lo sama Randy gak punya hubungan special. Apapun hubungan mereka, itu bukan urusan lo. Randy itu cowok straight. Jangan pernah ngarepin dia!” Kata-kata Agung untuk dirinya sendiri.
Agung membalikkan badan. Dia tak ingin melihat adegan itu lagi. Hatinya terlalu sakit melihat orang yang dicintainya berpelukan dengan orang lain.
Sebelum melangkah, Agung mengusap mata untuk memastikan tak ada air mata yang membekas di sekitar matanya. “Woi...” Teriak Dika dari kejauhan. Agung segera melangkah mendekati Dika dan Galang yang baru muncul. Dia berusaha keras mengukir senyuman di bibirnya. Tidak ada satu pun sahabatnya yang boleh menyadari kesedihannya.
Tanpa Agung sadari, Randy melihatnya yang baru saja melangkah. Randy memang tidak melihat wajah Agung, tetapi dia sangat yakin bahwa orang yang dilihatnya adalah Agung. Dia dapat mengenali postur tubuh Agung dan yang paling meyakinkan karena Agung satu-satunya siswa yang menggunakan kruk di sekolah itu.
“Thanks ya...” Clara melepaskan pelukannya. “Sekarang aku jauh lebih tenang. Kamu memang temen yang bisa diandelin.”
“Hubungin aku kapanpun kamu butuh bantuan.” Randy masih menebar senyum.
“Pasti.” Clara mencoba tersenyum.
“Ayo balik. Jangan sampe anggota genk kamu heboh nyariin kamu.”
Mereka tertawa bersama.
Clara mengusap mata dan menepuk-nepuk pipinya. “Gak keliatan lagi kan?” Katanya sambil merapikan rambutnya. Randy mengangguk dan mengacungkan kedua jempolnya.
Mereka berdua kembali berjalan beriringan. Keceriaan Agung dan teman-temannya sempat mencuri perhatian mereka. Bahkan Clara tertawa ketika melihat ekspresi Agung saat Dika merebut burger miliknya.
Agung menyadari Randy dan Clara meninggalkan taman. Dia mencoba untuk tidak memperhatikan mereka, tetapi dia tak dapat menahan keinginan di hatinya. Dia melihat mereka sambil tetap berinteraksi dengan sahabat-sahabatnya. Bibirnya mampu tersenyum, tetapi Agung tak mampu menghalangi tangisan di hatinya.
***
Bersambung
Tokoh yang telah muncul : Agung, Randy = Pelangi Api, Pangeran Pelangi.
Pelindung Pelangi : Andra = Merah, Toni = Hijau (Cowok berkacamata), Jaka = Biru (Cowok bertubuh tinggi besar), Bella = Kuning, Donna = Jingga (Cewek tomboy)
Sahabat Agung yang lain : Dika, Julian (sudah mati), Galang dan Nadia.
Tokoh Antagonis : Dewi Kegelapan, Astarte dan Astaroth, Octo.
ya emang harus di tamatin lah,, tp,, jgn buru buru juga.. kalo buru" malah itu yg buat g kerasa feel nya...
tp,, emang sih... pas adegan bertarungnya serasa gitu gitu aja,, jd kesanya monoton.. heheh,, coba tonton lagi power rangers.. kali kali aja dapat inspirasi.. hihihi
keep semangat aja.. n saaannntttaaiiii....
agung salah paham ma hubungan randy ma clara, kayanya si randy juga suka ya ma agung ..
ayo chap selanjutnya ..
btw @danielsastrawidjaya cerita yg satunya gech mana? Dilanjutin gak?
Tega bgt @safir padaku.
#Peluk oppa Dennis
:x
Gak buru2 jg kok. Kl nnt terkesan dipercepat n dipaksain, salahkan saja rumput yg bergoyang.
Aku pasti makin smangat kl @sasadara nyemangati kyk cheers. Ayo dong...
Agungnya gak denger.
*melengos
Ini pasti pura2 nanya. nyebelin
Aku jg makin cinta sama @reza_agusta89
*ngigau )
Lah ini kok mikir Agung mati. @bayumukti jgn mikir kyk gt dong. Agung gak akan mati kok, paling yg lain mati smua. haha
Kl randy gak mau? Sama Astaroth aja kali ya... *ups
Agung sama Andra n Randy aja ya... Lumayan kan bs dpt 2 cwok ganten.@DM_0607 Bagus kan?
Cerita yg 1 lg kemungkinan dilanjut kl cerita ini dah tamat. Smoga gak mls. hehe
@danar23 Do'ain aja bro.
aku sekalian ikut juga blh kan ??