It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Abyan_AlAbqari @Adhikara_Aj @Adra_84 @adzhar @aglan @Agova @alfa_centaury @animan @A@ry @arbata @arieat @Ariel_Akilina @arixanggara @bayumukti @Bintang96 @BinyoIgnatius @callme_DIAZ @christianemo95 @danar23 @diditwahyudicom1 @DItyadrew2 @DM_0607 @Duna @farizpratama7 @freeefujoushi @hantuusil @IMT17 @joenior68 @jokerz @kizuna89 @Klanting801 @mr_Kim
Selamat datang @nakashima makasih dah mampir
@obay @per_kun95 @pokemon @reza_agusta89 @safir @sasadara @sasukechan @Sicnus @suck1d @The_angel_of_hell @ularuskasurius @ying_jie @yubdi @yuzz @z0ll4_0ll4 @Zhar12 @zeamays
Huhhh! Yang komen makin dikit. Jadi kurang semangat.
#Ngayalin Channing Tatum striptis biar semangat balik lagi.
Mudah-mudahan yang gak komen segera didatangi Octo.
#berdoa di bawah pohon besar
Ini sengaja ku update lebih cepat, mumpung masih ada stok. Bisa jd minggu depan gak update, ini jatah minggu depan loh. Kalo komen masih dikit, updatenya lama2 atau dikit2 aja.
*ngomong sendiri
Selamat membaca gays n girls
Sebelumnya di Pelangi IX :
Dika yang curiga bahwa Agung menyukai Randy, mendesak Agung untuk mengakuinya. Akhirnya Agung berkata jujur tentang perasaannya pada Randy. Dika meminta Agung agar segera melupakan Randy yang menurutnya laki-laki normal. Dika menyarankan agar Agung menerima cinta Andra.
Di taman belakang sekolah yang sepi, Agung menyaksikan Randy mengusap air mata mantannya. Randy juga membalas pelukan perempuan itu. Agung sangat kecewa dengan apa yang dilihatnya.
PELANGI X
“Do’ain gua!” Teriak Dika sambil berlari menjauhi Agung.
“Emang ngaruh?” Gumam Agung. Dia merasa tidak yakin untuk mendo’akan Dika agar sukses melakukan pendekatan dengan Toni.
Agung menyusuri lorong-lorong sekolah, berjalan seorang diri menuju gerbang. Dia tidak lagi menggunakan kruk walaupun kakinya belum pulih 100%. Beberapa kali Agung saling menyapa siswa-siswi lain. Sebagian besar dari mereka hendak pulang. Namun ada pula siswa-siswi yang masih memiliki kegiatan di sekolah, seperti sahabat-sahabat Agung selain Dika.
Agung menghentikan langkahnya ketika melihat Randy berjalan dari arah yang berlawanan. Agung tersenyum tipis lalu kembali melangkahkan kaki. “Rileks Gung...” Ucapnya dalam hati.
“Kak Randy...” Agung mengangkat tangan kanannya. Seperti biasanya dia terlihat begitu ramah dan ceria. Bertolak belakang dengan Randy yang tidak tersenyum sedikitpun.
“Mau pulang? Hari ini gak latihan?” Agung bertanya setelah mereka berbelok ke arah yang sama.
“Latihan ditiadakan.” Jawab Randy tanpa mau menoleh pada Agung.
“Pasti karna pertandingan kemarin. Selamat ya kak... Kakak hebat bisa ngalahin andalan mereka. Sorry gue gak bisa nonton.”
“Ya.”
“Kapan latihan lagi?” Agung tetap terlihat ceria walaupun dia agak kesal karena Randy menjawab seperlunya.
“Besok.” Nada bicaranya masih datar.
“Gimana caranya supaya sikap kamu bisa lebih menyenangkan? Apa aku gak layak untuk dipandang? Apa kata-kataku gak penting untuk ditanggapi? Aku tau seharusnya aku gak suka kamu. Tapi hatiku yang memilihmu.” Agung ingin mengatakannya tetapi tidak memiliki keberanian. Dia masih berjalan di sebelah Randy namun pikirannya melayang jauh.
“Ran... Randy!” Lamunan Agung buyar saat mendengar suara cewek memanggil Randy. Terdengar suara langkah yang mendekat dengan cepat. Agung menoleh lalu mendapati Clara yang sedang berlari.
Agung tak suka dengan kehadiran orang yang dianggapnya mendapat perhatian lebih dari Randy. “Gue duluan.” Agung melangkah cepat. Dia tak mau melihat adegan yang bisa membuatnya sakit hati.
Randy tak menjawab. Dia hanya memperhatikan punggung Agung selama beberapa detik. Kemudian perhatiannya beralih pada Clara yang sudah berada di depannya.
Agung mempercepat langkah saat melihat Andra muncul bersama motornya. “Kok udah nyampe? Pasti ngebut!”
“Tau aja.” Andra mengerling. “Cepet naik! Aku udah laper banget.” Kata Andra sambil menyerahkan helm.
Setelah mengenakan helm, Agung segera duduk di belakang Andra. “Komplek Cempaka Indah ya pak...” Katanya sambil menepuk pundak Andra. Agung menoleh sebentar dan melihat Randy yang berjalan seorang diri.
“Injih... Pegangan mas. Saya gak mau masse jatuh.” Andra melajukan motornya dan Agung pun langsung memegang pinggang Andra. “Peluk aja mas kalo takut jatuh.” Andra senyum-senyum sendiri.
“Jangan genit-genit pak! Ingat anak istri di rumah.”
Andra menyetir motor agak lambat. “Saya masih bujangan, mas. Sengaja nunggu masse lulus SMA baru saya lamar. Mas mau kan?”
“Emang bapak bisa menuhi syarat dari saya? Syaratnya berat loh...”
“Apa pun syarat dari mas, pasti akan saya usahakan. Di mana ada kemauan pasti ada jalan.”
“Saya gak yakin bapak sanggup.” Agung mencibir.
“Yang penting dicoba dulu. Saya ndak akan menyerah sebelum berjuang. Syaratnya opo tho?”
“Beneran mau tau?”
“Bener.”
“Entar bapak syok loh... Terus jantungan.”
“Ndak mungkin.”
“Yowis lah, kalo gitu saya kasi tau. Syaratnya... Saya boleh pacaran ato nikah lagi sebanyak yang saya mau.” Agung menahan tawanya.
“Asem. Itu mah penyiksaan batin.”
“Wkwkwkwkkk...” Agung tak mampu menahan tawanya. “Huaaa...” Tiba-tiba motor melaju kencang dan Agung langsung memeluk Andra. Sekarang giliran Andra yang tertawa sekaligus menikmati pelukan dari Agung.
“Untung aja mas gak jatuh. Mas sih ngeyel dari tadi gak mau meluk.”
“Nih rasain.” Agung mencubit perut Andra.
“Ampun ampun.” Andra mengaduh sambil memegang tangan Agung dengan tangan kirinya. Lalu Andra mengusap-usap tangan Agung.
“Andra! Malu diliatin orang.” Agung melepaskan pelukannya.
“Oh... Jadi kamu malu karna diliat orang. Berarti kalo gak da yang liat...”
“Ogah!” Agung menyahut cepat.
Andra tak menyahut ucapan Agung. Senyuman terus terukir di bibir Andra. Dia sangat bahagia seandainya setiap hari Agung bisa memeluknya, walau hanya saat berada di atas motor.
Dalam sekejap mereka sudah tiba di rumah Andra. Andra buru-buru turun dan langsung menarik Agung. “Ayo... Mami bilang hari ini kamu harus makan di sini. Semua makanan kesukaan kamu udah disiapin.”
“Asikkk.”
Mereka segera ke ruang makan. Keduanya terlihat bersemangat menyantap hidangan-hindangan yang telah tersedia.
Setelah selesai makan, Andra dan Agung menuju kamar Andra untuk menonton film. Mereka memutar dvd film The Girl With The Dragon Tattoo yang dibintangi Daniel Craig. Awalnya mereka duduk di atas karpet namun akhirnya keduanya lebih senang tiduran. Sesekali mereka mengomentari film yang sedang mereka tonton.
“Kira-kira Harriet masih hidup pa gak?” Tanya Agung. Dia masih fokus menonton walaupun sudah menghabiskan waktu hampir 2 jam. Tak ada jawaban dari Andra. Agung menoleh pada Andra yang ternyata sudah tak sadarkan diri. “Dra...” Agung menepuk-nepuk pipinya.
“Hmmm...” Andra hanya menggumam.
Agung pun kembali fokus menonton film. Dia lebih memilih duduk karena takut ikut tertidur seperti Andra. Agung masih sangat penasaran dengan akhir dari film itu. Di sela keseriusannya, terkadang Agung tersenyum melihat wajah polos Andra yang sedang tertidur.
Hari sudah semakin sore ketika Agung telah selesai menonton. Dia menguap lebar lalu ikut berbaring di sebelah Andra. Hanya dalam sekejap, Agung telah berhasil tertidur lelap.
Suasana kamar sangat sunyi. Suara dengkuran halus hanya sesekali terdengar. Andra dan Agung terlihat sangat damai, bagaikan bayi yang tak memiliki beban pikiran.
Andra mengulet walau matanya masih terpejam. Dia menguap lebar sambil merentangkan tangan. Tangan kirinya menyentuh lengan atas Agung. Perlahan-lahan Andra membuka mata. Bibirnya langsung tersenyum ketika melihat Agung yang tertidur menghadapnya.
Andra merapatkan tubuhnya pada Agung. Dia dapat merasakan hembusan nafas Agung yang terasa hangat. Andra terus tersenyum sambil memperhatikan wajah pujaan hatinya. Dia memberanikan diri menggerakkan tangan kanannya untuk menyentuh wajah Agung. Dia sempat ragu. Ada perasaan takut Agung terbangun saat dia menyentuh wajahnya. Namun dorongan itu semakin kuat. Tangannya bergetar, namun akhirnya dia berhasil menyentuh wajah Agung.
Perlahan-lahan Andra menggerakkan jemarinya menyusuri wajah Agung. Berawal dari pipi, alis, beralih ke hidung, hingga akhirnya menyentuh kedua bibir Agung. Andra menginginkan lebih dari sekedar menyentuh bibir Agung dengan jari. Wajahnya mulai mendekati wajah Agung dan ia masih memainkan jarinya pada bibir Agung.
Hidung keduanya telah bersentuhan. Tangan Andra membelai lembut rambut Agung, diiringi dengan detakan jantungnya yang semakin kencang. “I love you.” Ucap Andra lalu bibir keduanya saling bersentuhan. Cukup lama. Andra ingin berlama-lama menempelkan bibirnya. Ia tak ingin momen itu cepat berlalu.
Perasaan Andra sungguh bahagia. Sebelumnya dia hanya bisa memimpikan hal ini. Ia tak pernah berpikir dirinya akan berani mencuri ciuman dari Agung, sahabatnya sendiri. Itu adalah ciuman pertama keduanya, walau hanya sekedar menempelkan bibir.
Andra kaget. Ia segera melepaskan ciumannya saat merasakan Agung sedikit menggeliat. Jantungnya berdetak semakin kencang. Apalagi ketika mata Agung bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Andra merasa khawatir jika Agung marah besar karena perbuatannya, tetapi ada dorongan kuat untuk kembali mencium Agung.
Agung menatap wajah Andra yang cukup dekat dengan wajahnya. Bibirnya terbuka namun tak tau harus berkata apa. Dia syok. Namun masih ada sedikit keraguan dengan apa yang baru saja terjadi. Sorot matanya seakan meminta penjelasan pada Andra. Tak ada pancaran kemarahan, yang ada hanya sorot penuh kebingungan. “Ndra. Kamu...” Suaranya masih parau dan pelan.
Agung hendak bangkit namun tiba-tiba Andra menahan kedua bahunya. Wajah mereka sangat dekat hingga dapat merasakan hembusan nafas orang yang ada di hadapan mereka. “Aku sayang banget sama kamu.” Andra berusaha meyakinkan dengan tatapannya.
Agung sangat gugup. Badannya mulai panas dingin. Pesona Andra begitu kuat hingga Agung tak kuasa melakukan perlawanan. Akal sehatnya memerintahkan untuk segera pergi, namun dirinya juga tergoda oleh bibir merah Andra. “Ja_”
Perkataan Agung terputus karena cumbuan Andra. Kali ini bukan sekedar menempelkan bibir, lidah Andra menerobos masuk ke dalam mulut Agung. Andra cukup mahir berciuman walaupun baru pertama kali memainkan lidahnya. Ia hanya mengikuti naluri yang terus membimbingnya.
Agung hanya pasif. Ia ingin menolak namun semakin lama dirinya semakin larut dalam permainan lidah Andra. Terjadi pertentangan dalam dirinya. Ada dorongan untuk membalas cumbuan Andra, tetapi di sisi lain ada bisikan-bisikan untuk segera mengakhiri ciuman yang seharusnya tidak terjadi.
Andra semakin agresif. Tubuhnya menindih tubuh Agung dan kedua tangannya memegang wajah Agung. Dia berusaha memberi rangsangan agar Agung mau membalas cumbuannya. Beberapa kali ia menghisap bibir maupun lidah Agung.
Pikiran Agung terus berkecamuk. Dia nyaris membalas cumbuan Andra. Dia menikmati cumbuan Andra dan menyukai sensasinya. Akan tetapi, akalnya masih tidak bisa membenarkan ciuman itu.
Agung terkejut saat merasakan milik Andra sangat keras. Dia juga merasakan miliknya terangsang dan mulai bereaksi. Agung mendorong kuat tubuh Andra hingga terbanting. Dia tak ingin permainan mereka semakin jauh. Hal itu tidak boleh terjadi karena mereka bersahabat.
Agung segera bangkit. Dia mengambil tas lalu berjalan cepat menuju pintu.
Andra masih cukup terkejut. Namun dia segera mengejar Agung dan menggenggam tangannya tepat saat Agung hendak membuka pintu.
“Awas!” Kata Agung. Ia tak mau menatap Andra. Ia membuka pintu, tetapi Andra kembali menutup pintu yang telah terbuka sedikit.
“Kita harus ngomong!”
“Gak da yang perlu diomongin. Anggap kejadian tadi gak pernah ada.” Kata-kata Agung masih terdengar datar.
“Gak bisa. Kejadian tadi gak mungkin aku lupain. Aku tau kamu juga menikmatinya.”
Wajah Agung memerah. Dia merasa malu sekaligus kesal pada Andra. “Gue gak suka! Kejadian tadi gak bener. Seharusnya lo gak pernah nyium gue!” Agung mulai emosi.
“Kamu salah. Seharusnya dari dulu aku nyium kamu.” Ucapan Andra membuat Agung terlihat semakin kesal. “Kalo kamu gak suka aku cium, kenapa gak langsung nolak? Kenapa kamu biarin aku lama-lama nyium kamu?” Pertanyaan Andra membuat wajah Agung semakin merah.
“Kamu gak bisa jawab? Atau... Mau aku yang jelasin?”
“Terserah lo mau ngomong apa. Yang pasti gue gak suka ciuman lo.” Agung kembali membuka pintu, namun lagi-lagi Andra menahannya. “Mau lo apa, hah?!” Agung mencengkram kerah baju Andra dan mengepalkan tangan kanannya.
“Kamu mau mukul aku? Ayo pukul... Aku gak akan marah. Aku cuma minta kamu ngomong jujur.” Andra tak gentar. Dia malah memamerkan senyuman. Andra menatap penuh cinta pada Agung. “Kenapa? Kamu gak tega nyakitin aku? Sikap kamu sekarang, buat aku tambah yakin kalo kamu sama kayak aku.”
Agung seperti ditelanjangi oleh Andra. Wajahnya sangat merah. Tubuhnya bergetar. Dan genggaman tangannya semakin keras. “Gue gak sama kayak lo.”
“Bohong!!! Kalo kamu gak belok, kenapa kamu gak pernah tertarik sama cewek? Jangan bilang karna kamu belum mau pacaran! Tertarik sama seseorang bukan berarti harus pacaran.”
Agung masih menatap Andra.
“Jujur Gung... Bukan cuma aku yang nunggu kejujuran kamu. Bella sama sahabat-sahabat kamu yang lain juga butuh kejujuran kamu. Mungkin cuma Dika yang udah tau.”
Agung menatap tajam. “Dika! Ngomong apa dia?”
“Dika gak mau bilang kamu straight ato gay. Dia nyuruh aku memastikannya sendiri. Tapi sebelumnya dia pernah nyemangatin aku supaya gak nyerah deketin kamu. Itu yang buat aku tambah semangat dan semakin curiga kalo kamu juga belok.”
Agung melepaskan cengkraman pada kerah Andra. “Gue gak peduli. Terserah lo mau mikir apa.”
“Pengecut! Hanya seorang pengecut yang gak brani jujur. Dasar pecundang!”
Kedua saling menatap. Wajah Agung nampak sangat kesal. Sedangkan Andra menunjukkan ekspresi menyepelekan Agung.
“Gue memang pecundang. Puas lo?!”
Andra tersenyum. “Secara gak langsung kamu udah jawab kalo kamu sama kayak aku.” Telapak tangan kanan Andra memegang daun pintu, tepat di sisi kiri kepala Agung. “Kamu gak ada alasan nolak aku.”
Bibir Agung bergetar. Dia benar-benar sudah terjebak kata-kata Andra. “Oke. Gue jujur sama lo. Gue memang GAY. Tapi gue tegasin sekali lagi. Kita cuma sahabat, gak lebih.” Agung mendorong Andra lalu keluar dari kamar.
Andra tersenyum lebar. “Aku gak akan nyerah sebelum kamu nerima cinta aku.” Andra berkata cukup keras. Dia memperhatikan Agung yang mulai menuruni tangga. Dia hendak kembali menahan Agung, tetapi mengurungkan niatnya. Andra ingin membiarkan Agung seorang diri, mungkin Agung membutuhkan waktu untuk berpikir dan menenangkan diri.
***
“Kau tak akan bisa pergi!” Astarte tiba-tiba muncul di hadapan pemuda yang mencoba melarikan diri.
“Dasar perek!” Pemuda itu melayangkan tinjunya ke wajah Astarte. Tetapi tangannya seakan membatu saat hampir menyentuh wajah Astarte. “A...pa yang lo lakuin?” Dia panik. Kakinya juga kaku, tak kuasa untuk digerakkan.
Astarte tersenyum sinis. “Tenanglah... Nikmati udara sepuasnya sebelum kau mati. hahaha...”
“Lepasin gue! Tolong...” Pemuda itu berteriak. Astarte melotot dengan tatapan yang sangat menakutkan. Suara sang pemuda terhenti seketika. Tubuhnya semakin menegang. Lehernya bagaikan tercekik dan terasa sangat menyakitkan.
Astarte mendekatkan wajahnya pada wajah sang pemuda. “Itu hukuman bagi pembangkang.” Dia menjilat pipi pemuda malang itu.
“Octo keparat!” Astarte kesal karena Octo tak kunjung datang. Dia sudah berkali-kali memanggil Octo. Tanpa cermin jiwa, Astarte tak mungkin bisa mengambil jiwa pemuda itu.
Satu menit kemudian Octo baru muncul. “Botak keparat! Seenaknya membuat orang menunggu.”
“Sambutan yang meriah. Sepertinya kau sangat merindukan pria botak ini.”
“Cuih! Menjijikan!”
“Aku tau kau malu mengakuinya.”
“Jangan bermimpi!”
“Hahaha... Kita tunda kemesraan kita. Saatnya melakukan tugas.” Octo mengedipkan matanya. “Sial.” Umpat Octo saat melihat serangan ke arahnya. Octo dan Astarte segera menghindari cahaya pelangi berbentuk anak panah dan pedang. Sedangkan cahaya hijau melesat sangat cepat untuk melindungi sang korban. Pelindung Kuning, Merah dan Hijau muncul bersamaan.
“Bersenang-senanglah...” Astarte meninggalkan Octo. Dia membalas Octo yang dulu pernah membiarkannya seorang diri melawan Pelindung Pelangi.
“Astarte!” Octo sangat kesal. “Perempuan jalang!” Umpatnya. “Kalian! Rasakan ini!” Octo belum sempat menyerang, Pelindung Merah sudah menyerangnya terlebih dahulu. Octo menghindari sabetan pedang pelangi yang terus memburu tubuhnya. Octo bergerak cepat ke kiri, kanan dan juga ke belakang, sambil menyerang dengan mata setan miliknya. Energi hitam dari mata Octo langsung lenyap saat beradu dengan cahaya pelangi. Namun ada pula beberapa yang hampir melukai Pelindung Merah. Pelindung Merah berusaha fokus menyerang sekaligus menghindari mata setan yang tak tentu arah.
“Bantu Merah!” Instruksi Pelindung Kuning sambil memanah. Satu anak panah dalam sekejap berubah menjadi begitu banyak cahaya pelangi (berbentuk anak panah) melesat cepat ke arah Octo. Pelindung Kuning dengan sangat cepat berulang kali memanah Octo yang semakin kerepotan.
Di saat yang sama, Pelindung Hijau juga menyerang Octo. Cahaya pelangi berbentuk cemeti bergerak cepat mengikuti pergerakan Octo. “Jangan biarkan dia lolos.”
Walaupun Octo lebih cepat dari ketiga Pelindung Pelangi, dia tetap kerepotan meladeni serangan mereka yang sangat kompak. Ketiga Pelindung Pelangi silih berganti dan terkadang bersamaan menyerang Octo hingga Octo kesulitan untuk mengatur serangan. Octo tak diberi kesempatan menyerang.
Pelindung Kuning melesatkan anak panah. Octo yang baru saja menghindari sabetan cemeti, terpaksa kembali menghindar dan bergerak cepat ke sebelah kiri. Benda-benda hitam dari mata Octo meluncur ke arah Pelindung Hijau yang segera menghindar. Octo melakukan salto ke atas untuk menghindari pedang sang Pelindung Merah. Tiba-tiba muncul cahaya pelangi dari arah lain bersamaan dengan anak-anak panah. Nyaris.
“Aghh!!!” Sial bagi Octo, sabetan cemeti berhasil melukai bahu kirinya. Disusul pedang pelangi yang berhasil melukai pinggang kanannya. Terlihat Panah pelangi meluncur cepat dan melukai kaki kirinya. Kemudian cahaya pelangi yang berasal dari gada Pelindung Biru mengenai dada kiri Octo. “Bangsattt!” Octo memegang dada kirinya bertepatan dengan sabetan cemeti di lengan kirinya.
“Habisin dia!”
Pelindung Merah kembali menyabetkan pedangnya. Diikuti oleh serangan Pelindung Kuning dan Biru. Tiba-tiba dua gelombang hitam muncul. Anak panah pelangi berhasil kembali melukai lengan kiri Octo. Namun serangan Pelindung Merah dan Biru membentur gelombang hitam. Sedangkan gelombang hitam yang lain mengarah ke Pelidung Merah dan Hijau yang posisinya sejajar.
Octo tak menyerah begitu saja. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia menyerang dengan mata setan secara membabi buta. Para Pelindung Pelangi menghindar sambil terus berusaha menyerang.
Astarte muncul bersama Astaroth. Keduanya terus menggerakkan kipas kembar mereka hingga meluncurkan gelombang-gelombang hitam. Mereka berusaha menyerang para Pelindung Pelangi sekaligus melindungi Octo.
“Jangan biarkan mereka lolos!” Teriak Pelindung Merah sambil meyabetkan pedangnya pada Astarte. Sabetan pedang membentur gelombang hitam dan tak mampu menandinginya. Gelombang hitam pun terus meluncur ke arah Pelindung Merah yang kembali nyaris terluka.
“Lindungi aku.” Astaroth bergerak cepat menghampiri Octo. Dia mengibaskan kipasnya berulang kali. Gelombang-gelombang hitam miliknya berbenturan dengan cahaya pelangi dari cemeti dan gada pelangi. Astarte melindunginya dengan menghalau serangan-serangan dari Pelindung Merah dan Kuning.
Astaroth meraih tubuh Octo lalu segera menghilang ke dalam lubang hitam yang muncul di atas mereka. Lubang hitam itu pun langsung menghilang dalam sekejap mata.
“Kurang ajar!” Pelindung Biru emosi. Dia segera menyerang Astarte. Pelindung Kuning dan Hijau turut menyerang Astarte. Namun sayang, Astarte menghilang sebelum serangan mereka menyentuh tubuhnya.
“Menyebalkan. Lagi-lagi kita gagal.” Pelindung Hijau meninju telapak tangannya.
“Setidaknya kita berhasil melukai Octo.” Pelindung Kuning tersenyum dan menepuk bahu Pelindung Hijau.
“Benar.” Sahut Pelindung Merah.
“Lo kenapa bro?” Pelindung Biru meninju pelan bahu Pelindung Merah. “Ada masalah?”
“Pasti karna Agung makanya lo kurang fokus.” Pelindung Hijau sangat yakin.
“Ada masalah lagi? Kamu nembak dia? Atau... Kamu ngejudge dia gay?” Pelindung Kuning penasaran.
Pelindung Merah alias Andra mendesah pelan. Kemudian Andra menceritakan semuanya pada ketiga temannya. Andra bercerita sangat detail, kecuali ciuman yang mereka lalukan.
***
“Gung... Mama boleh masuk kan?” Mama Agung mengetuk pintu kamar Agung yang terkunci.
“Iya ma.” Agung yang sedang memperhatikan keluar jendela segera membukakan pintu.
“Anak mama ada masalah apa? Dah beberapa hari keliatan lesu banget.” Mama mengusap rambut Agung. “Kalo ada masalah, ayo cerita sama mama.”
Agung memeluk mamanya. “Cuma masalah sepele, Ma.” Sebenarnya Agung sudah tidak marah pada Andra. Dia hanya bingung menghadapi Andra yang sangat keras kepala. Untuk sementara waktu dia memilih tidak berinteraksi dengan Andra.
“Masalah yang kecil kalo dibiarin bisa jadi masalah besar. Kamu gak boleh menghindari masalah. Masalah sekecil apapun harus segera diselesaikan, jangan dipendam gitu aja.”
“Agung cuma butuh waktu berpikir.”
“Mungkin mama bisa bantu nyelesaiin masalah kamu. Banyak kepala lebih baik dari pada kamu mikir sendiri. Siapa tau mama bisa ngasi solusi tuk masalah kamu.”
“Nanti aja ma kalo Agung gak bisa nyelesaiin masalah Agung.”
“Yaudah kalo kamu gak mau cerita sekarang. Mama siap dengerin cerita kamu kalo kamu udah berubah pikiran.” Senyuman mama terasa menenangkan jiwa. “Tapi ingat! Masalah kalian jangan dibiarkan berlarut-larut. Kasian Andra udah 3 hari ini murung terus. Cepet selesaikan masalah kalian. Gak baik marahan lama-lama.” Mama mengusap pipi Agung lalu mencium keningnya.
Agung hanya mengangguk.
“Mama sama adik kamu mau ke super market. Kamu mau ikut?”
“Agung di rumah aja. Bentar lagi mau sepedaan.”
“Kalo gitu mama pergi dulu ya... Hati-hati main sepedanya.”
“Beres ma.” Agung mengacungkan jempol.
Tak lama setelah kepergian mama, Agung semakin merasa ttak betah di kamar. Dia mengambil barang-barang yang perlu dibawa lalu meninggalkan kamarnya. “Mbok... Agung main sepeda.” Dia segera ke garasi dan mengambil sepeda.
“Loh loh... Piye tho. Kakinya kan baru sembuh. Kok mau main sepeda?” Ternyata mbok menyusul ke garasi.
“Tenang mbok. Kaki Agung dah kuat. Lari keliling komplek pun Agung sanggup. Kan tiap hari minum susu buatan mbok.”
Mbok tersenyum. “Jangan lama-lama ya... Mbok takut kaki kamu terkilir lagi.”
“Iya mbok sayang...”
“Jangan ngebut! Pelan-pelan aja.”
“Siap mbok.” Agung membuka garasi. Dia mengintip keluar, memperhatikan keadaan di halaman dan depan rumahnya. Mbok hanya geleng-geleng melihat kelakuan Agung. “Aman...” Gumam Agung lalu membuka garasi lebih lebar.
Agung mengayuh sepedanya hingga gerbang. Dia terpaksa turun untuk membuka gerbang. Agung kembali memperhatikan rumah Andra terlebih dulu. Setelah merasa aman, Agung perlahan-lahan membuka gerbang, berusaha agar tak menimbulkan suara.
“Mau ke mana?”
“Aduhhh...” Agung mengatakannya tanpa mengeluarkan suara. Ia tak menyangka Andra ada di belakangnya. “Hi Ndra.” Agung nampak ceria untuk menyembunyikan perasaan malu.
Andra tersenyum lebar. Dia sangat senang karena sikap Agung berubah, tak seperti beberapa hari terakhir yang selalu cuek padanya. “Bisa ngomong bentar?”
“Boleh. Tapi nanti ya... Aku mau keliling-keliling dulu.”
“Aku boleh ikut?”
“Hmmm... Aku lagi pengen sepedaan sendiri. Gak apa-apa kan?”
“Kamu masih marah sama aku? Sorry aku dah lancang nyi_”
“Aku gak marah lagi.” Agung memotong perkataan Andra. “Sahabat yang baik harus bisa maafin sahabatnya. Lagi pula aku juga salah.” Agung tersenyum. “Aku keliling dulu.” Agung langsung mengayuh sepedanya.
“Jangan kelamaan! Sebelum Maghrib harus balik! Ku tunggu.” Andra berteriak.
“Sip. Tutupin gerbangnya.” Agung menoleh sambil memamerkan giginya.
“Emang gue satpam?!”
“Hahaha...”
Andra turut tertawa sambil memandang Agung yang semakin menjauh. Dia merasa sedikit lega sekaligus gelisah. Lega karena Agung tak marah lagi dan gelisah karena Agung sempat menegaskan kata ‘sahabat’. Andra masih sangat berharap hubungan mereka lebih dari sekedar sahabat. Andra belum mau menyerah demi mendapatkan cinta Agung.
Sore berganti malam. Matahari tak lagi menunjukkan sinarnya. Langit semakin gelap, awan-awan hitam semakin tebal. Jalanan komplek nampak sunyi, hanya sesekali terlihat kendaraan lewat. Beberapa bulan ini ornag-orang lebih memilih berdiam diri di rumah. Mereka takut dengan banyaknya peristiwa aneh yang sering terjadi. Terlebih lagi, banyak nyawa yang telah melayang.
Agung sedang duduk seorang diri di taman. Dia masih betah menyendiri di tengah keremangan lampu taman. Tak ada seorang pun di sekitarnya. Hanya suara binatang-binatang kecil yang menemani kesendiriannya.
Ponsel Agung bergetar untuk kesekian kalinya. Dia tak menghiraukan hingga ponselnya berhenti bergetar. Lalu Agung meraih ponsel yang berada di saku celananya. Sudah ada puluhan panggilan tak terjawab dari nomor Andra, Mama dan Dika. Ada pula sms dari mereka yang menanyakan keberadaan Agung.
Ponsel kembali bergetar bersamaan dengan munculnya nama Dika. Agung menimbang-nimbang apakah dia akan menerima panggilan itu. Akhirnya Agung memutuskan menerima panggilan dari Dika. “Halo.”
“Lu di mana? Kenapa belum pulang? Jangan buat orang-orang khawatir! Cepet pulang! Gua di rumah lu.”
Suara Dika yang keras membuat Agung menjauhkan ponsel dari telinganya. “Lo mau buat telinga gue budek?! Gue di taman. Kalo lo kangen, lo aja yang kemari. Gue belum mau pulang.”
“Ngapain di taman? Pulang sekarang juga! Mama lu khawatir banget gara-gara lu gak ngasi kabar.”
“Gue masih betah di sini. Gue mau nenangin pikiran.”
“Dasar anak manja. Kerjaannya ngerepotin orang.” Sepertinya Dika kesal pada Agung. “Jangan kemana-mana! Tunggu di sana!”
“Di situ ada Andra?”
“Iya.”
“Jangan sampe Andra ikut! Awas lo kalo dia ikut!”
“Bawel!” Dika menutup telponnya.
Agung menghela nafas. “Andra... Kenapa kamu harus cinta sama aku, sahabatmu sendiri? Coba kamu gak keras kepala, aku pasti gak akan pusing kayak gini.” Agung memegang kepala dengan kedua tangannya. “Apa aku harus punya pacar dulu supaya kamu berhenti ngarep? Tapi sama siapa? Aghhh!!!” Dia mengacak rambutnya sendiri.
Agung memperhatikan cahaya bulan yang mulai terlihat di balik awan. Awan hitam mulai menghilang perlahan-lahan. Beberapa bintang terlihat menghiasi langit.
“Lo siapa?” Agung terkejut saat menyadari ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Ia mengeryit sambil memperhatikan sosok yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Pria itu sangat tampan namun terlihat agak menyeramkan. “Lo gak kedinginan?” Agung heran mengapa pria itu tak mengenakan baju, hanya menggunakan celana yang ketat. Agung sempat meneguk ludah saat memperhatikan keindahan tubuh pria asing itu, di tengah cahaya yang temaram.
“Saatnya bersenang-senang.” Orang itu menyeringai.
Agung sangat terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba merapat pada pria itu. Tubuhnya terasa sulit digerakkan. “Si...apa lo?” Agung mulai resah. Apalagi saat pria itu mendekatkan wajahnya.
“Tenang... Kau tak perlu takut.” Astaroth mengusap pipi Agung. “Aku menginginkan jiwamu.” Bisiknya.
***
Bersambung
Tokoh yang telah muncul : Agung, Randy = Pelangi Api, Pangeran Pelangi.
Pelindung Pelangi : Andra = Merah, Toni = Hijau (Cowok berkacamata), Jaka = Biru (Cowok bertubuh tinggi besar), Bella = Kuning, Donna = Jingga (Cewek tomboy)
Sahabat Agung yang lain : Dika, Julian (sudah mati), Galang dan Nadia.
Tokoh Antagonis : Dewi Kegelapan, Astarte dan Astaroth, Octo.
Up up up
Ahh penasaran next chapternya
randy itu cepet ditolongin agungnya ..
ƗƗɑ..ƗƗɑ ..ƗƗɑ sok tau nih ane #dihajarTS disini, setelah kemaren dihajar TS #mermaid Boy
kalau gay dy ama mas daniel aja cocok,tegaan orgx.
btw minggu dpn tetap ada kan?
@callme_DIAZ Tunggu aja kelanjutannya. Ato mau chapter slanjutnya diposting hari ini?
*asal ngomong
Nah loe @arieat kok komennya seiprit gitu? Tambahkan biar panjang. Aku suka yg panjng2.
Emang sengaja dibuat gantung supaya @sasadara penasaran. Lanjutannya minggu dpn aja ya? Baiklah.
Wkwkkkk @jokerz tau aje. Nnt tiba2 Agung bneran brubah loh. Jd mayat mungkin. *ups
#abaikan