It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hi @diditwahyudicom1 selamat datang. Insya Allah rutin lah, setidaknya dah ada stok tuk 3 minggu.
Dikit bgt yg ikutan vote.
Hasil sementara :
Seminggu sekali : 2 suara
Dua hari sekali : 1 suara
bikin preview nya dong beb, sm ulasan dikit kilas balik chapter kmaren trakhir..
sesempat dan senyamanya nya TS aj mau apdet,, yg pnting di lanjut... OKEH???????
Ya ϑαĥ 1 minggu sekali je
Biar punya prepare waktu wat nulis sambungannye
@Abyan_AlAbqari @Adhikara_Aj @Adra_84 @adzhar @aglan @Agova @alfa_centaury @arbata @arieat @Ariel_Akilina @arixanggara @bayumukti @Bintang96 @BinyoIgnatius @christianemo95 @danar23 @diditwahyudicom1 @DItyadrew2 @DM_0607 @Duna @farizpratama7 @hantuusil @joenior68 @jokerz @kizuna89 @Klanting801 @mr_Kim @obay @pectoralismajor @per_kun95 @pokemon @sasadara @sasukechan @Sicnus @suck1d @The_angel_of_hell @ularuskasurius @ying_jie @yubdi @yuzz @z0ll4_0ll4 @Zhar12 @zeamays
Update! Berhubung lebih banyak yang milih update seminggu sekali, terpaksa deh aku turuti. Hihi...
Insya Allah mulai sekarang update-nya lancar. Do’ain ya...
Jangan lupa komen! Apa aja dech yang dikomentari. Saran n kritik sangat diharapkan supaya tulisanku lebih bagus. Aku gak akan marah kalo kritikan kalian setajam silet. Tapi temen-temen gak bisa mengintervensi jalan ceritanya, aku gak akan terpengaruh.
Met baca penduduk Kerajaan Pelangi. Love u @all :x :x :x
Sebelumnya di Pelangi VI:
Agung dan Andra menjenguk Bella yang terluka akibat serangan musuh. Di halaman rumah Bella, mereka bertemu keempat sahabat Agung yang hendak pulang. Saat itu lah, Dika meminta nomor telepon Toni (Pelindung Hijau) pada Andra. Setelah mobil sahabat-sahabat Agung pergi, ada momen lucu antara Agung dan Andra. Agung mengira Andra akan menciumnya karena Andra memegang erat lengannya dan wajahnya semakin mendekat. Namun Andra hanya bercanda, ia tertawa keras melihat ekspresi Agung. Wajah Agung memerah karena malu. Agung tak mau terus diolok-olok oleh Andra, sehingga dia langsung memeluk tubuh Andra. Namun sial, ternyata dua teman Andra yaitu Toni dan Jaka melihat mereka dari atas balkon.
Bella yang baru sembuh membantu Jaka (Pelindung Biru) melawan Octo. Sungguh menyakitkan saat dia menyadari salah satu korban yang tewas adalah sahabatnya Julian.
PELANGI VII
Bel baru saja berbunyi, siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Mereka menunjukkan ekspresi gembira karena pelajaran telah usai. Namun di sebuah ruang kelas, nampak siswa-siswi yang kurang bersemangat, khususnya Agung dan para sahabatnya.
“Aku masih ngerasa kematian Julian cuma mimpi. Tiga hari lalu kita masih ngumpul, bercanda, ketawa bareng.” Nadia menerawang. Tatapannya nampak kosong.
“Gue harap pembunuhnya cepat ditangkap. Korbannya udah banyak banget.”
“Bener Gung. Gue juga ngarep kasus pembunuhan berantai itu cepat dipecahkan. Julian udah jadi korban, gue gak mau kita ato temen-temen kita yang nanti jadi korban. Kalo begini terus hidup kita makin gak tenang. Pusing gue kalo tiap malam harus di rumah mulu.” Sahut Galang.
“Sabar Lang. Gak da salahnya kamu gak keluar malam demi keselamatan kamu. Khususnya kamu, Ka. Kamu dah denger kan rumor kalo target pembunuhan itu kaum pelangi?” Bella sedikit memelankan suaranya.
“Halah. Gua gak yakin isu itu bener. Cuma kebetulan aja ada korbannya yang gay.” Jawab Dika.
“Itu fakta. Aku dapat info itu dari sumber yang terpercaya. Kamu boleh gak percaya, tapi aku minta kamu tetap waspada. Kita gak akan pernah tau kapan dan di mana pembunuh itu muncul. Lebih baik kita menghindari kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” Bella berusaha meyakinkan namun tak mungkin menceritakan fakta yang sebenarnya.
“Mau sampe kapan anak muda kayak kami terus-terusan ngurung diri di kamar? Sebulan? Setahun? Dua tahun? Sampe kapan? Gimana kalo selamanya polisi gak bisa nangkap pembunuhnya? Bisa-bisa RSJ penuh gara-gara banyak yang depresi.”
“Aduh.” Dika memegang kepalanya yang baru saja dijitak Agung.
“Ribet banget sih lo!”
“Ngapain lu jitak pala gua?”
“Biar otak lo gak konslet.” Agung tak mempedulikan pelototan Dika. “Apa salahnya lo berhati-hati? Seharusnya lo bersyukur masih ada orang yang perhatian sama lo.”
“Iye iye!” Dika masih agak kesal. Namun ekspresinya segera berubah menjadi cengiran. “Gua seneng kok ada yang merhatiin gua. Apalagi lu.” Dika mencolek dagu Agung.
“Idih... Kumat lagi ni orang.” Agung mengusap-usap dagunya seperti membersihkan kotoran.
“Jangan gitu dong sayang...” Dika berujar lembut sambil mengusap rambut Agung.
Agung menepis tangan Dika. “Yang yang pale lo peyang. Amit-amit ihhh...” Agung meraih tasnya. “Gue duluan ya...” Dia meninggalkan kelas dengan berlari kecil.
“Mau ke mana?”
“Latihan.” Agung berteriak da kemudian lenyap di balik pintu kelas. Di dalam kelas itu kini hanya ada mereka berempat.
“Tu kan Agung pergi. Gara-gara Dika nih... Suka banget jahilin Agung.” Nadia memonyongkan bibirnya. “Jangan-jangan kamu suka ya sama Agung?”
“Hah? Bener Dik?” Galang mendekatkan kursinya ke Dika.
“Ngaco! Gua sama Agung udah kayak saudara. Bercandaan kayak gitu mah udah biasa. Lu lu pade kayak baru kenal gua aja. Mosok bisa mikir yang aneh-aneh.”
“Iya sih. Lo sih Nad, jangan mikir yang nggak-nggak!” Galang mengatakannya tanpa beban.
“Ihhh.” Nadia memukul-mukul bahu Galang. “Kok nyalahin aku sih? Kamu juga sempet mikir kayak gitu.” Nadia terus memburu Galang.
“Udah Nad! Sakit.” Galang mencoba menahan tangan Nadia tetapi Nadia tak mau berhenti. “Udah-udah...” Galang berlari menjauh namun Nadia mengejarnya dengan gaya yang centil.
Bella dan Dika hanya tersenyum melihat tingkah kedua temannya. Suasana seperti itu mampu mengurangi kesedihan akibat kematian Julian tiga hari lalu.
“Keliatannya mereka cocok.” Pikir Bella. Lalu dia terkejut saat Dika menepuk bahunya. “Jangan melamun! Ayo pulang.” Dika merangkul Bella.
***
Agung dan teman-temannya baru saja selesai latihan. Mereka beristirahat sambil meminum air mineral untuk menghilangkan dahaga. Mayoritas melepas kaos mereka dan mengeringkan keringat yang mengucur dari wajah sampai ke tubuh mereka. Agung sudah terbiasa dengan momen seperti itu namun ada seseorang yang membuat Agung sedikit terusik. Dia berusaha membuang jauh-jauh pikiran aneh dan dia tetap bersikap wajar.
Mereka berkumpul saat pelatih memanggil untuk mengevaluasi latihan. Begitu banyak pengarahan yang diberikan pelatih agar permainan mereka lebih bagus. Sore itu Agung lah yang paling banyak mendapatkan PR karena dianggap kurang fokus.
“Baiklah. Kalian diperbolehkan pulang, kecuali Agung.” Seru pelatih. Kata-kata pelatih membuat Agung sedikit lesu dan menghela nafas. “Jaga kesehatan kalian. Istirahat yang cukup. Sampai jumpa besok.” Teman-teman Agung membubarkan diri lalu merapikan perlengkapan mereka masing-masing.
“Kamu.” Pelatih menunjuk Agung. “Berhubung kamu sudah dua hari tidak latihan dan hasil latihan kamu sore ini kurang memuaskan, sekarang kamu harus melanjutkan latihan sampai Maghrib. Latih pukulan kamu agar lebih akurat.”
“Baik pelatih.” Agung mengangguk.
“Randy!” Pelatih memanggil Randy yang sedang bersiap-siap untuk pulang. “Kemari!”
Agung menoleh ke arah Randy. Perasaannya kini mulai tidak tenang karena pikirannya sendiri. Dia tidak menunjukkan gelagat aneh, tetapi bagi orang yang memperhatikan, sikap Agung terlihat berbeda.
Randy segera berlari menghampiri. “Ada apa pelatih?”
“Saya dan Joko (asisten pelatih) masih ada keperluan. Jadi saya minta kamu yang menemani Agung latihan.”
“Tapi... Kenapa saya?”
“Sebagai senior dan kapten tim sekolah, kamu punya kewajiban untuk membimbing junior yang penampilannya sedang menurun. Kalian di sini harus saling membantu demi kepentingan tim. Jadi bagaimana? Kamu bersedia kan?!” Terdengar penekanan pada kalimat terakhir.
“Oke.” Randy menerimanya dengan raut wajah terpaksa.
Pelatih menjelaskan pada Agung dan Randy mengenai apa-apa saja yang perlu mereka lakukan. Setelah itu, dia meninggalkan mereka berdua. Teman-teman yang lain pun telah berpamitan dan hanya menyisakan Agung dan Randy di sana.
Randy menatap kesal pada Agung. “Latihan yang bener! Gara-gara lo, gue jadi repot.”
“Maaf kak...” Agung merasa tak enak. Dia tak berani menatap Randy karena merasa gugup.
“Kalo latihan harus fokus.” Randy berjalan ke sisi lapangan yang lain.
Randy berulang kali memukul bola ke berbagai sudut lapangan permainan Agung. Agung terlihat pontang-panting berusaha mengembalikan bola dengan baik, namun beberapa kali pengembaliannya out atau menyangkut di net dan ada beberapa tidak dapat dikembalikan.
Agung ngos-ngosan sambil menunduk dan memegang kedua lututnya. Saat ini sedang tidak ada bola yang mengarah ke lapangan permainannya. Dia merasa kesal pada Randy yang terkesan terlalu berlebihan, seenaknya memukul bola terlalu cepat diluar batas kemampuannya.
“Jangan diam aja! Cepet kumpulin bolanya!” Teriak Randy.
Agung mendecak sebal namun tetap menuruti perintah Randy. Dia memungut satu per satu bola. Beberapa bola diletakkan di kantung celana dan sebagian besar ditampung di kaos yang digunakannya sebagai wadah bola-bola itu sehingga mengekspos perutnya yang rata. Setelah terkumpul semua, dia berlari-lari kecil ke arah Randy.
“Lelet!” Ketus Randy saat Agung meletakkan bola di dekatnya.
Agung geram dengan sikap Randy namun berusaha untuk tetap bersabar. Dia hanya merasa heran dengan sikap Randy yang sejak dulu tak pernah ramah padanya. Terkadang Agung berpikir apakah dia pernah berbuat salah pada Randy, akan tetapi Agung tak merasa pernah melakukannya.
“Cepat!!! Jangan buang-buang waktu.” Randy kembali memerintah Agung. Dia telah bersiap-siap untuk memukul bola.
Agung kembali berlari-lari ke berbagai arah. Tangannya terus-menerus menggerakkan raket untuk melesatkan pukulan demi pukulan. Dia harus bisa menepis rasa letih dan berusaha keras mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Dia tak ingin Randy semakin merendahkannya.
“Smash-an lo lemah banget!” Teriak Randy. “Kejar! Jangan dibiarin!” Berkali-kali Randy berteriak dengan nada ketus dan memerintah. “Backhand aja gak bener.” Randy seakan tak peduli dengan rasa lelah yang Agung rasakan.
Agung berlari ke depan net, mengejar bola yang dipukul pelan oleh Randy. Agung memukul bola itu namun sayang bolanya menyangkut di net.
“Bodoh! Dropshot yang gampang malah nyangkut.” Ucapan Randy terasa sangat menyakitkan.
Agung merasa Randy sengaja mengerjainya. Ingin rasanya dia melepaskan kemarahan. Dengan perasaan kesal, Agung kembali hendak melakukan forehand. Tapi sial, karena kurang berhati-hati, kaki kanan Agung terpeleset saat menginjak bola yang menggelinding. Agung tidak terjatuh namun dia merasakan sakit pada pergelangan kaki kanannya yang sempat tertekuk.
“Jangan malas! Kejar bolanya!” Randy kembali berteriak. Dia belum menyadari kalau Agung baru saja cedera.
“Kak... Istirahat sebentar ya...” Pinta Agung.
“Dasar anak manja!” Randy masih saja menunjukkan sikapnya yang arogan. Dia mengernyit saat melihat Agung berjalan terpincang-pincang dan meringis menahan sakit. “Kenapa lo?” Nada bicaranya tak sekeras seperti sebelumnya.
“Gak kenapa-napa. Cuma keseleo dikit.” Jawab Agung sambil terus berjalan pelan ke arah kursi di pinggir lapangan.
Randy berlari kecil mendekati Agung. “Lo gak pa-pa?” Tanyanya tepat ketika Agung baru saja duduk. Dia nampak cemas walau tak terlalu menunjukkannya.
“Gak apa-apa. Istirahat sebentar pasti baikan.” Agung berusaha tersenyum. Dia hendak melepas sepatu sebelah kanannya namun Randy menepis tangannya. Randy berjongkok dan mengambil alih untuk melepas sepatu Agung. “Jangan kak! Biar gue aja. Aduhh...” Rintih Agung.
“Dasar manja. Sakit dikit gak tahan.” Cibir Randy. Tangannya sangat cekatan saat melepaskan sepatu dan kaos kaki Agung.
“Aduh duh... Sakit kak.” Tubuh Agung menggeliat-geliat menahan sakit saat Randy mengurut kakinya.
“Jangan rewel! Cedera ankle gak boleh dianggap sepele. Bahaya kalo gak ditangani dengan baik. Lo mau gak bisa main tenis lagi, hah?” Randy menatap Agung sejenak lalu kembali fokus mengurut kaki Agung.
Agung tersenyum sambil memperhatikan Randy. Rasa kesalnya seperti tak berbekas. Sesekali dia meringis namun berusaha agar tidak mengaduh. Dia tidak mau Randy kembali menyebutnya anak manja.
“Gimana? Masih sakit?” Randy menggerakkan kaki Agung secara perlahan. Tak ada jawaban dari Agung, hingga Randy mengangkat kepalanya untuk menatap Agung. “Gung... Agung.”
“Eh... Iya kak.” Wajah Agung agak memerah karena tertangkap basah memperhatikan wajah Randy. Dia segera memalingkan wajahnya, malu jika terus bertatapan dengan Randy. Agung merasa jantungnya semakin berdetak kencang. Dia terus-menerus mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak boleh bersikap seperti itu. “Amit-amit. Ini gak bener. Aku gak boleh suka dia.” Penolakan dalam pikiran Agung.
“Lo tunggu di sini. Gue mau beresin itu dulu.” Randy berdiri dan langsung membelakangi Agung.
“Kita udahan?”
Randy berbalik dan menaikkan alisnya. “Lo masih bisa latihan?” Pertanyaan Randy hanya dibalas dengan cengiran Agung.
Agung masih merasakan sakit pada kakinya. Tetapi Agung tak mau menyia-nyiakan kesempatan dan terus memperhatikan setiap gerak-gerik Randy. Terkadang Agung berpura-pura melihat ke arah lain saat Randy melihatnya. Agung berusaha tetap bersikap wajar agar tidak terlihat aneh di depan Randy. Namun dia sangat sulit untuk tidak memperhatikan Randy.
“Ayo pulang!” Ajak Randy yang telah selesai membereskan semua perlengkapan mereka. “Lo bisa jalan sendiri?”
“Kecil...” Agung tersenyum lebar. Dia menahan rasa sakit saat hendak berdiri. Dia ingin menunjukkan pada Randy bahwa dia bukan sosok yang lemah.
“Baguslah.” Randy berjalan terlebih dahulu.
Agung terpincang-pincang dan meringis tanpa bersuara. Dia tak mampu berjalan normal walaupun telah berusaha keras. Tak mau mengeluh walau merasa sangat sakit. Dia terus berjalan semampunya mengikuti Randy yang berjalan cepat.
Randy menghentikan langkahnya sejenak. Beberapa detik kemudian dia berbalik. “Lelet banget sih lo! Kalo butuh bantuan, bilang! Jangan gengsi!”
“Nggak kak. Aku bisa kok.”
“Dasar lelet!” Randy berjalan menghampiri Agung. Dia segera meraih tangan kanan Agung lalu meletakkannya di bahunya yang bidang.
“Gak perlu kak. Gue bisa jalan sendiri.”
“Udah diam!” Randy tiba-tiba memeluk pinggang Agung dan mulai membantunya berjalan. Randy yang lebih tinggi terpaksa sedikit membungkukkan badan.
Agung setengah terpaksa menuruti perintah Randy. Perasaannya semakin tidak karuan. Dia tak pernah menyangka dirinya dan Randy akan sedekat ini. Dia dapat membaui aroma tubuh Randy yang maskulin. Pikirannya sungguh kacau karena Randy. Debaran jantungnya semakin lama semakin kencang. “Gawat. Gimana kalo kak Randy tau?” Pikirnya.
Situasi ini sangat menakutkan sekaligus menyenangkan untuk Agung. Dua hal yang sangat kontradiktif. Di satu sisi dia takut sosok Randy semakin membuatnya terpesona. Sedangkan di sisi yang lain, dia merasa nyaman berada di dekat Randy. Selama ini dia tak pernah yakin bahwa dirinya tertarik pada Randy. Namun kini dia tak mampu lagi menyangkal hal itu. Mungkinkah inilah jawaban dari keraguannya selama ini? Dia memang lebih tertarik pada pria dan hatinya telah tertambat pada seseorang yang bernama Randy.
Pikiran Agung semakin kalut. Dia yakin Randy tidak sama sepertinya. Akan sangat menyakitkan jika dia berharap pada cowok straight yang gak akan pernah dia dapatkan. “Apakah aku harus membunuh perasaan ini?” Pikir Agung sambil melirik Randy.
“Kenapa?”
Pertanyaan Randy agak mengejutkan Agung. “Makasih kak.” Dia mencoba agar tetap tenang namun kegugupannya tak dapat disembunyikan.
“Hmm.” Randy berlagak cuek. “Lo naik apa?”
“Sepeda.”
“Tinggal aja sepeda lo.”
Agung tak menjawab.
“Cedera lo bisa makin parah kalo lo ngotot naik sepeda. Tenang aja, sepeda lo gak bakalan hilang.” Agung diam, tak mau perdebatannya makin panjang jika membantah Randy. Lagi pula perkataan Randy memang benar. Selain itu, Agung juga senang dengan perhatian Randy. Agung tersenyum. Namun senyuman itu kembali hilang. “Sadar Gung! Jangan ngarep!” Bisiknya dalam hati.
Beberapa saat kemudian, mereka pun sampai di tempat parkir. Randy melepaskan pelukannya di pinggang Agung. Ada perasaan kecewa yang menyelimuti hati Agung. Seandainya saja dia bisa lebih lama bersama Randy.
“Sekali lagi makasih.”
“Jangan bilang makasih mulu!” Hardik Randy.
“Iya.” Agung kembali menunduk. “Sampai jumpa besok.” Agung mulai melangkah.
“Mau ke mana lo?” Randy menahan pundak Agung.
“Ke depan mau nunggu taksi.”
“Taksi jarang lewat sini. Tunggu! Lo bareng gue!”
Agung urung membantah karena pelototan Randy seakan memaksanya untuk tidak membantah. Beberapa saat kemudian Randy telah berada di motor ninjanya dan berhenti di depan Agung. “Naik!”
Agung hanya memandang Randy.
“Cepet naik!!!”
“I...iya.” Agung segera duduk di belakang Randy walau sedikit kesulitan. “Sorry dah ngerepotin.”
Randy tak menggubris ucapan Agung. “Rumah lo di mana?”
“Komplek Cempaka Indah. Tau kan?”
“Pegangan!” Randy langsung meng-gas motornya. Agung terkejut hingga memeluk Randy. Dia tersadar dan wajahnya sedikit memerah. Dia ingin terus memeluk Randy namun akal sehatnya menolak keinginan itu. Dia cepat-cepat melepaskan pelukannya lalu memegang ujung kaos Randy.
Agung berusaha menjaga jarak tubuhnya dengan Randy. Dia tak mau Randy menyadari jantungnya yang berdegup kencang. Namun hal itu sulit dilakukan berhubung jok motor yang miring ke depan. “Rileks Gung rileks. Lo gak boleh gugup.” Ucapnya dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.
Tak ada obrolan selama di perjalanan yang jaraknya kurang dari 3 km. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Randy terlihat konsentrasi menyetir motor sedangkan Agung tetap berusaha agar tidak terlalu rapat dengan Randy. Agung semakin ingin kembali memeluk dan membaui tubuh Randy. Logikanya lagi-lagi menentang keinginan itu. Dia tak ingin dirinya sampai lepas kendali dan membuat Randy merasa tak nyaman.
“Mana rumah lo?” Randy bertanya saat mereka memasuki komplek perumahan tempat tinggal Agung.
“Lurus aja...” Jawab Agung. Agung sedikit kecewa karena mereka sudah sampai. Dia harus segera turun dan tak tau apakah momen seperti itu akan terulang kembali. “Itu kak... Yang gerbangnya terbuka.” Ternyata mobil mamanya Agung baru saja tiba.
Kemudian Randy segera menghentikan motornya tepat di gerbang rumah Agung. “Makasih kak. Mampir yuk...”
“Lo harus ke dokter kalo sampe besok pagi kaki lo masih sakit!” Lagi-lagi nada bicaranya seperti orang memerintah.
‘Kenapa sih lo slalu gak nanggepin omongan gue? Ngeselin banget.’ Ungkapan hati Agung.
“Ngerti gak?” Tanya Randy.
“Ngerti.” Agung tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Dia tak pernah membantah kata-kata Randy. Dia juga sangat susah menghilangkan perasaan gugup.
“Loh Gung... Tumben kamu diantar temen? Seinget mama, tadi kamu bawa sepeda.” Mama Agung baru saja berada di samping Agung. Agung segera mencium tangan mamanya. “Ini nak siapa ya? Kok tante belum pernah lihat.” Mama kembali bertanya saat Agung hendak menjawab.
“Sore tante.” Randy turun dari motor lalu menyalami mama Agung. “Saya Randy, temen Agung latihan.”
“Pasti gak sekelas sama Agung, makanya tante gak pernah lihat.”
“Iya tan, kami gak sekelas. Saya kakak kelasnya Agung.”
“Oh pantes. Tadi tante sampe heran loh... Gak biasanya Agung dianter temennya. Dari dulu dia lebih milih naik sepeda. Kaki kamu kenapa sayang? Kok jinjit gitu?” Mama memperhatikan kaki Agung.
“Keseleo waktu latihan. Kalo nggak, gak mungkin Agung dianter kak Randy.”
“Aduh sayang... Kan mama dah ingetin supaya kamu hati-hati. Mama panggilin pak Soleh ya supaya cepet diurut.” Mama mengusap rambut Agung. “Makasih ya nak Randy dah mau nganterin Agung. Mampir dulu ya...”
“Lain kali aja tan, sekarang udah mau Maghrib. Kalo gitu... Saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab Agung dan mama berbarengan. “Nak Randy hati-hati ya... Jangan ngebut! Lain kali nak Randy harus main kemari!”
“Iya tan. Mari tan...” Randy melajukan motornya. Terlihat untaian senyum di bibirnya setelah motornya melaju beberapa meter.
“Mama seneng kamu punya temen yang sopan kayak si Randy. Anaknya keliatan baik banget.”
Agung menghela nafas. “Di depan mama sopan, kalo nggak... beuhhh... Ngeselin banget orangnya.”
Mama membantu Agung berjalan ke dalam rumah setelah menutup gerbang. “Kalo gak baik, gak mungkin dia nganterin kamu pulang.”
“Iya sih...” Pikiran Agung kembali menerawang.
***
Astarte telah mengamankan korbannya. “Pemuda malang.” Astarte mengusap pipi pemuda yang tak mampu lagi berkata-kata. Pemuda itu tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Hanya keringat dingin yang semakin deras mengucur di seluruh tubuhnya.
Octo muncul dengan cermin jiwa di tangannya. “Ternyata kau memang lebih baik dari saudaramu.”
“Aku tak butuh pujian. Kalau bukan karena terpaksa, kami tak akan pernah mau bekerjasama dengan laki-laki menyebalkan sepertimu.”
“Hahaha... Aku anggap itu pujian.” Octo mengusap kepalanya yang plontos.
“Menyebalkan.” Gumam Astarte.
“Cermin jiwa... Ambil jiwanya!” Cahaya putih tersedot dari tubuh sang pemuda, menandakan jiwanya terenggut oleh cermin jiwa. Tubuh pemuda itu menegang dan merasakan sakit yang luar biasa.
Berselang beberapa detik, Octo tersentak saat menyadari kekuatan pelangi sangat dekat mengarah padanya. Dia terpaksa menghindar sehingga menggagalkan cermin jiwa merenggut jiwa sang pemuda.
Tubuh sang pemuda telah dilindungi perisai berwarna jingga. Di saat yang sama, Astarte juga berhasil menghindari serangan dari Pelindung Pelangi. “Keparat!” Umpat Astarte ketika melihat Pelindung Merah, Jingga dan Hijau yang berada tak jauh darinya.
“Menyerahlah! Atau kami akan menghancurkan kalian!” Pelindung Jingga sangat percaya diri.
“Bedebah.” Astarte kembali mengumpat. Sedangkan Octo hanya tersenyum sinis.
Astarte segera memutar tubuhnya lalu melesatkan begitu banyak mata pisau hitam ke arah para Pelindung Pelangi. Namun serangan pisau yang bertubi-tubi itu tak mampu mengalahkan Cemeti dan Rantai Pelangi. Ribuan pisau milik Astarte kandas oleh serangan Pelindung Hijau dan Jingga. “Sial.” Astarte melirik kesal pada Octo yang hanya diam menyaksikan pertarungannya. “Mana mungkin aku bisa mengalahkan mereka.” Gumamnya.
“Kau! Terima ini!” Pelindung Merah menebaskan Pedang Pelangi ke arah Octo. Cahaya pelangi yang energinya cukup besar hampir saja menghantam Octo yang terkejut namun masih sempat menghindar.
“Saatnya berpesta.” Octo tersenyum licik. Dalam sekejap, tubuhnya muncul di belakang Pelindung Merah. Pelindung Merah langsung berputar cepat, dengan tebasan pedangnya. Octo kembali menghilang dan muncul cukup jauh dari tempat Pelindung Merah berada. “Lawan yang tangguh.” Ucap Octo.
Pelindung Merah kembali bergerak cepat dan berkali-kali menebaskan pedangnya. Octo tak tinggal diam, dia menyerang dengan bola hitam besar ‘bintang mati’. Terjadi ledakan-ledakan saat tebasan pedang Pelindung Merah beradu dengan bintang mati. Energi bintang mati lebih besar sehingga tetap meluncur cepat ke arah Pelindung Merah. Beberapa kali Pelindung Merah berhasil mengelak dan beberapa kali pula bintang mati meledak ketika membentur benda-benda di sekitarnya.
Di sisi lain, Pelindung Jingga dan Hijau masih mengeroyok Astarte. Gelombang hitam dari kipas Astarte selalu berhasil dihalau sabetan rantai dan cemeti pelangi. Kilatan-kilatan terus bermunculan saat benturan terjadi.
Pelindung Hijau yang berada di sebelah kiri Astarte, menyambukkan cemetinya. Gelombang hitam kembali beradu dengan gelombang pelangi. Kali ini, gelombang hitam terlihat lebih kuat dari pada gelombang pelangi dari cemeti sang Pelindung Hijau. Astarte tersenyum. Namun senyum itu segera hilang saat rantai Pelindung Jingga berhasil membelenggu tangan Astarte yang memegang kipas.
Astarte merasa tangan kanannya seperti terbakar. Perih dan sangat menyakitkan. Kekuatan dan konsentrasinya semakin menurun yang mengakibatkan gelombang hitam miliknya diterjang dan ditaklukkan oleh Pelindung Hijau. Cambukan cemeti pelangi berhasil menghantam punggung kiri Astarte. “Arghhh!!!” Astarte berteriak keras. Astarte jatuh tersungkur di tanah, tangan kanannya masih dikekang rantai pelangi. “Memalukan! Kalian hanya berani keroyokan.” Astarte tersenyum mengejek.
“Hijau! Jangan pedulikan omongannya! Cepat! Habisi dia!” Pelindung Jingga berapi-api. Dia menggerakkan rantainya, membuat Astarte meringis kesakitan.
“Baik.” Pelindung Hijau kembali menyambukkan cemetinya. Teriakan Astarte semakin menggelegar. Tiba-tiba ular kembar menyerang ke arah Pelindung Hijau. Untung saja dia segera melindungi tubuhnya dengan perisai hijau.
Serangan black snake milik Astaroth beralih menyerang rantai yang membelenggu Astarte. Serangan Astaroth memaksa Pelindung Jingga mundur beberapa langkah. “Astarte...” Astaroth membantu Astarte untuk berdiri. “Kita harus pergi.”
“Ke mana saja kau?!” Bukannya berterima kasih, dengan sisa-sisa tenaganya Astarte malah marah pada Astaroth.
“Kau!” Astaroth kesal.
Pelindung Hijau kembali menyerang, diikuti dengan serangan dari Pelindung Jingga. Astaroth berhasil menghindar, dengan Astarte masih dalam pelukannya. “Ayo Astarte... Serang mereka!” Astaroth mengomandoi. Lalu mereka berdua menyerang dengan menggunakan kipasnya, lebih tepatnya meladeni serangan Pelindung Jingga dan Hijau. Astarte berjuang menahan rasa sakitnya dan membantu Astaroth.
Kembali terjadi kilatan dan ledakan akibat benturan kekuatan hitam duo Astarte dan Astaroth melawan kedua Pelindung Pelangi. Namun Astaroth menyadari bahwa Astarte sudah sangat lemah. “Sekarang waktunya!” Astaroth kembali melakukan satu serangan dengan kipasnya. Beberapa saat kemudian, Astaroth dan Astarte telah melarikan diri.
Pertarungan antara Pelindung Merah dengan Octo masih sengit. Pelindung Merah kewalahan saat menerima serangan-serangan dari Octo. Pertarungan mereka nampak tidak berimbang. Octo menyerang dengan mata setan, gelombang hitam dengan kecepatan tinggi berkali-kali meluncur dari mata Octo ke arah Pelindung Merah. Tebasan pedang pelangi hanya sesekali menghalangi serangan Octo. Pelindung Merah lebih banyak menghindari serangan yang membabi buta. Mata setan Octo telah menghancurkan banyak benda dan bangunan.
“Aghh!” Pelindung Merah mengaduh saat kekuatan hitam berhasil menyerempet lengan kirinya. Dia masih berusaha terus menghindar dan sesekali menebaskan pedangnya. Gerakannya sedikit lambat akibat dari luka yang ada di lengannya.
“Merah!” Pelindung Hijau berteriak lalu menghampiri Pelindung Merah dan membantunya menghindari serbuan mata setan Octo. Sedangkan Pelindung Jingga menyerang Octo untuk mengalihkan perhatiannya.
“Kita serang bersama!” Teriak Pelindung Merah.
“Ayo!” Jawab Pelindung Jingga dan Pelindung Hijau hanya mengangguk.
Mereka bertiga mengelilingi Octo dengan membentuk segitiga. "Bersiaplah untuk mati!” Seringai Pelindung Jingga.
“Hahaha... Buktikan!” Octo meremehkan mereka.
“Bangsat!” Pelindung Jingga kesal dan langsung melesatkan rantainya ke arah Octo. Serangan seperti itu dengan mudah dapat dihindari Octo.
“Jingga!” Pelindung Hijau berteriak sambil mencambukkan cemetinya ketika Octo muncul di belakang Pelindung Jingga. Octo kembali menghindar sedangkan Pelindung Jingga bergerak cepat ke sisi Pelindung Merah.
“Dia sungguh cepat.” Bisik Pelindung Jingga.
“Benar. Kita harus selalu waspada!” Jawab Pelindung Merah. “Ayo kita serang lagi!”
Pelindung Merah, Jingga dan Hijau bersama-sama menyerang Octo. Dengan bekerjasama, mereka berhasil mengimbangi serangan mata setan Octo. Pertarungan semakin sengit, mata setan Octo terus beradu dengan pedang, cemeti dan rantai pelangi.
‘Mereka sangat tangguh saat bekerjasama.’ Gumam Octo. Dia terus bergerak cepat untuk menyerang sekaligus menghindari serangan ketiga Pelindung Pelangi. Matanya tak henti meluncurkan gelombang hitam.
Octo tersentak saat telinganya nyaris terkena cemeti pelangi. Gerakannya sedikit melambat sehingga pedang pelangi nyaris mengenai tubuhnya. Namun Octo masih dapat menghindar dan melancarkan serangan.
Tiba-tiba Pelangi Api muncul. Dia langsung menyerang Octo dengan gelombang api. Serangan itu semakin membuat Octo kerepotan. Octo berpikir dirinya tak mungkin mampu melawan mereka sekaligus.
Pertarungan berlanjut. Octo melawan empat orang sekaligus. Ketiga Pelindung Pelangi mampu bekerjasama dengan baik. Mereka menyerang Octo tanpa henti. Gerakan akrobatik pedang, cemeti dan rantai pelangi terlihat sangat menakjubkan. Ditambah dengan warna-warni pelangi serta api yang menghantam kekuatan hitam.
Octo mulai terdesak oleh serangan lawan. Namun dia berhasil melarikan diri ketika serangan cemeti dan rantai pelangi saling beradu. Tubuhnya menghilang begitu saja.
“Kurang ajar! Seharusnya dia kita musnahkan.” Pelindung Jingga emosi.
“Sudahlah... Lain kali kita pasti bisa menghancurkannya.” Pelindung Merah berusaha menghibur.
“Semoga...” Pelindung Jingga seperti menerawang.
“Heiii! Jangan pergi!” Pelindung Hijau melihat Pelangi Api baru saja membawa sang pemuda. Dia mengejar. Namun dia berhenti saat menyadari kecepatan Pelangi Api. “Aghhh!” Dia meninju telapak tangannya sendiri.
“Kurang ajar Pelangi Api!” Ucap Pelangi Jingga saat dirinya dan Pelindung Merah tiba di sebelah kanan dan kiri Pelindung Hijau. “Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi!”
“Benar.” Pelindung Merah dan Hijau mengangguk untuk menyetujui perkataan Pelindung Jingga.
***
Pintu rumah tiba-tiba terbuka. Seorang kakek yang bersemedi tetap tak bergerak walaupun dia mendengar suara pintu terbuka.
Pelangi Api menggendong pemuda yang hampir saja direnggut jiwanya. Dia berjalan masuk lalu meletakkan pemuda itu tepat di hadapan sang kakek.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya kakek yang masih duduk tenang, tanpa bergerak sedikit pun.
“Tidak terlalu buruk.”
“Ambilkan ramuan penghapus memori!” Kakek memerintah sambil mengeluarkan Permata Suci dari balik pakaiannya.
Sang cucu segera mengambil botol ramuan yang ada di atas rak. Kemudian dia segera meminumkan beberapa tetes ramuan itu ke dalam mulut pemuda yang masih pingsan.
Kakek bergeser agar lebih dekat dengan sang pemuda malang. Diletakkan permata suci di atas kening pemuda itu. Kemudian terlihat pancaran cahaya putih yang menjalar ke seluruh tubuh sang pemuda. Efek permata suci mulai bereaksi pada tubuh itu.
“Randy.”
“Iya kek.”
“Istirahatlah... Kamu terlalu lelah akhir-akhir ini.”
“Baik kek.” Randy keluar dan menutup pintu. Dia berhenti sejenak untuk menghela nafas. Dia memandangi langit yang dihiasi beberapa bintang. Lalu dia kembali melangkahkan kaki menuju bangunan lain.
***
Bersambung
Tokoh yang telah muncul : Agung, Randy = Pelangi Api, Pangeran Pelangi.
Pelindung Pelangi : Andra = Merah, Toni = Hijau (Cowok berkacamata), Jaka = Biru (Cowok bertubuh tinggi besar), Bella = Kuning, Donna = Jingga (Cewek tomboy)
Sahabat Agung yang lain : Dika, Julian (sudah mati), Galang dan Nadia.
Tokoh Antagonis : Dewi Kegelapan, Astarte dan Astaroth, Octo.
sampai kapankah akan terkuak dan pelindung pelangi berhasil menyelamatkan dunia pergayungan..
btw si jaka kemana ya?
bela kan sakit.. umm...
*nunggu lg minggu dpn