It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Gabriel_Valiant, dia masih trauma ama kehilangan orang2 yg di cintai nya. Dia takut orang yang tinggalin dia, jadi ketakutannya terus ada...
@kimo_chie, jangankan bro, aku yang nulisnya sempet meleleh sendiri, ngilu buatnya
@arieat, memang kalo cinta sudah bicara, sby...
"Udah ma, kita serahkan ama mereka. Yadi kan bagian dari kita juga. Serahkan ama mereka."
"Gak tega banget dengernya. Kesian buyung..." sambung Cassandra sambil menghapus air matanya.
Pemandangan sesudahnya memang unik. Mereka duduk di lantai bersandarkan pada tempat tidur. Hendra memeluk Setiadi dengan manja dengan kepalanya bersandar pada bahu mungil Setiadi dengan tangan kanannya, sementara Setiadi di peluk oleh tubuh besar Hendra terlihat seperti anak kuliahan, menggenggam tangan kiri Hendra. Mata mereka sembab.
"Iyah, aku disini ama kamu malam ini." jawab Setiadi lembut.
Bapak Wongso dan ibu Widya legowo Hendra belum siap pindah. Masih ada batas 2 tahun sebelum habis masanya. Mereka memang berkomitmen untuk menyerahkan keputusan kepada Hendra dan Setiadi. Sehingga pada saat mereka melihat Hendra tidak siap, mereka mengerti dan tidak mendiskusikannya sejak saat itu.
Mereka menjalankan keseharian mereka seperti biasanya. Sedikit rasa cemas pada Hendra membuatnya tak rela berlama-lama. Entah Hendra menjemput Setiadi, seperti juga sebaliknya. Mereka hampir tiap hari menghabiskan malam berdua, entah Setiadi di tempat Hendra atau sebaliknya. Hendra semakin lengket kepada Setiadi. Baru kali ini Setiadi menjalin hubungan kasih dengan keluarga juga mendukung. Setiadi pun sudah merasa seperti bagian keluarga.
Satu setengah tahun berlalu, Hendra mendapat kesempatan untuk berlibur ke Australia, menjenguk kakaknya Rendra yang bekerja jadi dosen ilmu matematika di salah satu universitas di Melbourne dan sudah berkeluarga. Di sana, Hendra berkenalan dengan bapak Suhardi, sahabat baik bapak Wongso yang sudah lama menetap dan menjadi warga negara sana, menjalankan usaha jasa konsultan. Hendra pun mendapat tawaran untuk bekerja di tempatnya dengan dan melihat prospek karirnya yang cemerlang. Benar kata Setiadi waktu itu, ia tidak mau menghalangi karir Hendra kalau memang bisa lebih sukses. Kini Hendra bimbang antara prospek karirnya yang bagus dan Setiadi yang ia cintai dan sudah berjalan 3 tahun. Ia bingung bagaimana harus menghadapi Setiadi. Satu setengah tahun lalu ia bersikukuh tidak mau, sekarang ia melihat sendiri kesempatan besarnya di negeri orang.
Sekembalinya di Indonesia, Hendra dengan hati galau menghadapi Setiadi.
"Apa pernah kepikiran ama kamu ikut aku ke sana? Kak Rendra bersedia bantu di sana."
"Aku gak bisa bilang apa- apa dulu untuk sekarang, tapi memang ku gak kepikiran, karirku sudah cukup disini. Ndra, aku sudah siap kalo kita..."
Hendra menunduk, air matanya menetes jatuh.
"Aku merasa egois kalo ku pilih karir. Ini momen yang ku takutkan. Aku takut kalo harus berpisah."
"Anggap saja begini, kalo pun pisah, kita pisah baek- baek, gak ada berantem. Jadi kesananya kita tetap ada hubungan. Aku mau kamu bangun masa depan kamu. Kamu gak mungkin andalin harta ortu. Ini hak kamu untuk dirimu sendiri."
"Tapi, apa kita harus pisah?" Hendra menatap Setiadi dengan mata sembab.
"Aku sanggup lepasin kamu untuk masa depan. Kalo kamu berhasil di sana, itu kebahagiaanku juga. Ada pertemuan, ada perpisahan"
"Tapi, gimana ama kamu sendiri?"
"Aku akan survive Ndra, ku udah banyak lewati macem- macem."
Tak banyak barang yang di kirim lewat paket, selain repot, mereka fikir lebih baik beli di sana sedikit demi sedikit. Kepindahan Hendra tinggal 4 hari lagi. Semakin hari berjalan, semakin berat kebersamaan mereka. Dua hari menjelang keberangkatan, makan malam terakhir dengan keluarga Hendra, Setiadi berusaha sebisanya untuk tidak menangis, namun gembira pun tidak sanggup. Hendra pun sulit membuat dirinya gembira, namun setelah mempertimbangkan masa depan karirnya, dia memang melihat prospek di Australia lebih menjanjikan.
Esoknya, Hendra dengan seluruh keluarganya, Setiadi, Jimmy, Johan dan Rontje mengantar Hendra ke bandara. Keberangkatan sekitar 2 jam kemudian. Setiadi dan Hendra duduk berdua agak menjauh sambil memandang ke arah jendela, sebuah pemandangan yang memilukan
"Yadi, aku gak akan bisa cari ganti kamu. Kamu..."
Hendra menatap mata Setiadi, sambil tetap memegang tangannya. Jari jempol Hendra membelai telapak tangan Setiadi.
"Yadi, kamu jangan sedih kelamaan yah, move on yah... We are forever friends..." suara Hendra tercekat.
Kepala mereka saling menyentuh satu sama lainnya. Mereka kehabisan kata- kata, mereka hanya meresapi saat- saat terakhir mereka bersama sebagai dua insan yang saling memiliki. Detik demi detik berjalan, semakin membatasi mereka.
Mereka mendengar pengumuman keberangkatan pesawat Garuda. Mereka sudah tidak memperdulikan siapa yang duduk di dekat mereka. Untuk terakhir kalinya mereka berciuman. Sesaat mereka merasakan waktu menghentikan langkahnya, memberikan Hendra dan Setiadi kesempatan terakhir untuk menikmati cinta mereka untuk yang terakhir kalinya. Mereka pun tersadarkan kembali.
"Iyah bunda." jawab Hendra sebisanya.
"Ndra, sukses yah di sana." Setiadi berucap sebisanya.
Pandangan mereka masih terikat satu sama lain ketika Hendra berjalan menjauh menuju lorong ke dalam pesawat, tatapan terakhir dari Hendra...