It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
buat yang lain, mungkin besok baru di update lagi,, maaf bnget bner² gk ada waktu panjang di depan komputer >.<
Part IV (hanya tentang cita)
Tak terasa kini telah memasuki hari sabtu. Menurut teman-teman sekelasku kemarin, hari ini adalah hari Student day. Ya. Hari dimana siswa bisa mengembangkan bakatnya di bidang seni dan olahraga. Selain itu, tepat di hari ini juga seleksi penerimaan anggote team basket sekolah akan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Asik dengan lamunanku, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku.
“Dek, di tunggu dilapangan ya, jangan lupa formulirnya dibawa sekalian.” Ujar orang tersebut.
“Oke deh kak. Aku beresin barang-barangku dulu.”
Ya, orang tersebut adalah orang yang merekrutku kemarin untuk bisa mengikuti seleksi team basket sekolah. Langsung saja ku bereskan barang-barangku yang masih berserakan diatas meja dan bergegas menuju lapangan seperti yang diperintahkan oleh senior tersebut.
Setibanya dilapangan, sudah terlihat cukup banyak anak yang berkerumun disana. Aku pun ikut masuk kedalam kerumunan tersebut dan mengambil bagian disana. Tanpa ku duga ternyata Bayu juga berada didalam kerumunan tersebut. Terlihat Bayu sedang cengar-cengir menatapku, seakan ada sesuatu yang lucu. Ku balas gerak tubuhnya tersebut dengan sebuah senyuman tipis.
Dialog singkat tanpa kata tersebut seketika terhenti saat seorang cowok berbadan atletis datang dan mengambil posisi di depan kami. Pakaian tanpa lengan yang dikenakannya di tambah lagi sepatu sport yang berada di kakinya, memberikan ku sebuah mainset bahwa dia adalah pemain basket. Tapi, apa yang dilakukan seorang pemain basket dengan sebuah berkas yang terselip diatas papan oles, pena, dan peluit. Rasanya dia lebih tepat jika dikatakan sebagai pelatih basket.
“Perkenalkan, nama saya Yudha Arvy, kalian bisa panggil saya Yudha. Saya petatih team basket di sekolah ini. Sekarang saya masih melanjutkan studi dan baru semester empat di Fakultas Hukum” ujar cowok tersebut.
Yang benar saja masih semester empat.? Berarti umurnya kisaran dua puluh tahunan.? Rasanya masih terlalu muda untuk memimpin sebuah team basket sekolah.
“Sekarang silahkan ganti pakaian kalian. Saya tunggu lima belas menit dari sekarang.”
Bergegas kami semua menuju kamar mandi untuk mengganti seragam kami. Tidak terlalu banyak memang jumlah mereka yang mengikuti seleksi. Kisaran tiga puluh orangan. Berhubung waktu yang diberikan tidak begitu banyak. Apa boleh buat dalam satu kamar mandi diisi oleh dua tiga orang yang ingin mengganti seragamnya. Ku tunggu seseorang yang masih di dalam salah satu kamar mandi yang berada di paling pojok. Saat pintu kamar mandi terbuka, dan muncucul sosok seseorang yang menampakkan wujudnya. Dan ternyata orang tersebut tak asing bagi ku. Ya, kak Vino. Ku rasa dia tak menghiraukanku saat itu dan langsung bergegas meninggalkan areal tersebut.
Aku pun masuk kedalam kamar mandi yang telah kosong tersebut. Saat hendak menutup pintu, tiba-tiba muncul tangan seseorang yang menghalangi agar pintu tersebut tidak tertutup.
“Ganti bareng ya.? Lama kalau nungguin yang lain.” Ucap Bayu
“Yaudah kalau gitu, masuk.” Jawabku mengiyakan walau pun masih terasa berat.
Bayu pun ikut masuk kedalam kamar mandi. Ku tutup rapat pintu tersebut. Kami pun melucuti pakaian kami satu per satu. Dan menggantinya dengan pakaian yang sudah kami siapkan untuk seleksi hari ini. Sebenarnya ini hal biasa, hanya sekedar melucuti pakaian dan menggantinya dengan pakaian lainnya. Tapi yang membuat ini luar biasa, mengganti pakaian dengan seseorang di kamar mandi. Entah itu hal yang lumrah atau akan di jadikan sebagai bahan gossip yang memuakan kelak. Maklum saja, aku anak rumahan. Dalam aktivitas seperti ini harusnya sudah masuk ke dalam kawasan pribadiku.
“Tampang lo doank yang cakep, tapi barang lo kecil.” Pernyataan konyol itu keluar dari mulut Bayu.
Ku tarik karet celanaku dan melihat kedalam celana.
“Perasaan biasa aja deh Bay.” Ujarku kepada Bayu.
“Iya gue tau biasa. Lo gak kenal apa itu yang namanya lelucon ya.?” Tanya Bayu kepada ku.
“Owh jadi tadi lo ngelawak ya.? Tanyaku balik.
Sekarang Bayu hanya bisa menepuk keningnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedangkan aku hanya bisa membalas aksi Bayu tersebut dengan nyegir ala kuda. Ya, lagian pembawaannya terhadap pernyataan tersebut terkesan serius dan tak ku sangka bahwa itu hanya sebuah lelucon.
Kami bergegas kembali dalam barisan, berkumpul bersama anak-anak lain yang juga mengikuti seleksi tersebut. Kini mereka yang sudah terdaftar termasuk aku mulai menjalani seleksi. Cukup berat memang, apa lagi semasa SMP dulu aku tidak pernah ikut dalam team basket. Kami di tes teknik dasar dalam bermain basket. Mulai dari passing, dribbling, shooting, three point shoot, hook shot, lay out, dan runner. Dengan gampangnya ku lihat Bayu melakukan semua itu. Tidak seperti aku, yang hanya belajar secara instan dan hasil dari mencari-cari lewat internet.
Kini tiba saat nya bang Yudha selaku pelatih kami mungumumkan hasil yang sedari tadi berada di dalam catatannya. Dari awal aku sudah kehilangan asa, berpikir tak akan mungkin lolos dalam seleksi ini. Tapi ternyata dugaan ku salah. Bang Yudha selaku pelatih justru meletakkan ku sebagai pemain utama dalam team inti.
“Loh bang, kok bisa.?” Tanyaku heran.
“Lo kan udah usaha. Dan kelihatannya lo ikut seleksi bukan cuma sekedar buat pamer doank bahwa lo adalah anak basket.” Jawab bang Yudha dengan santainya. “Lagian gue yakin, setelah ini lo bakal berlatih sungguh-sungguh.” lanjutnya
Kini aku mengerti. Ternyata hanya karna alasan sesimple itu bang Yudha meloloskan ku. Cukup beruntung dibandingkan dengan mereka yang sudah tereliminasi sekarang. Sedangkan Bayu, bukan salah satu dari mereka yang tereliminasi saat itu. Dia juga lolos dalam seleksi ini. Hal yang wajar, karna dilihat dari permainannya, dia cukup handal.
Sebelum pulang, bang Yudha mengingatkan kepada kami yang baru saja bergabung sebagai anggota agar besok mengumpulkan uang seratus ribu untuk membuat seragam yang akan kami kenakan untuk bertanding. Dan mencatar nama dan nomor yang akan di kenakan pada seragam kami nanti.
Ya, angka delapan. Itu tujuanku berada disini. Dan angka itulah yang ku tuliskan untuk dikenakan pada seragamku nanti.
***
Kurang dari seminggu lagi akan ku tinggalkan seragam putih biru ini. Tapi sebelum itu terjadi, ada moment besar yang akan terjadi dalam tiga hari berturut-turut. Ya, porseni sekolah. Ajang dimana siswa bisa menampilkan bakat olahraga dan seninya dalam sebuah perlombaan. Setiap siswa mungkin tidak di wajibkan mendaftar. Tapi setiap kelas diwajibkan memiliki peserta untuk mengikuti perlombaan yang diadakan dalam porseni tersebut. Aku, Bayu dan beberapa anak lain di tunjuk untuk mewakili kelas kami dalam perlombaan basket. Ya, walau ini hanya ajang memperebutkan trophy semata, tapi bermakna besar bagi mereka yang terpecundangi. Terutama jika yang terpecundangi adalah kelas atas.
Memang tak ada waktu latihan bagi kami, selain karna waktu yang sempit, jarak rumah kami pun saling berjauhan. Kecuali Bayu, dia tinggal tak jauh dari rumahku, hanya terhitung dua blok. Dan sore ini kami sudah janjian untuk berlatih sekedarnya di lapangan yang ada dalam komplek perumahan kami.
**
Sudah terasa begitu lama aku menunggu. Tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan Bayu. Waktu di arloji ku menunjukan tepat pukul tujuh malam. Mungkin dia tidak bisa datang malam ini. Saat aku mulai beranjak dan akan meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba terdengar suara Bayu memanggil nama ku.
Dengan bola yang dirangkul d tangan kanannya, dia berlari ke arahku. Berharap agar aku membatalkan niat untuk meninggalkan terpat tersebut.
“Sorry Dit, gue telat. Habis temanin nyokap belanja tadi.” Dengan napas yang masih terengah-engah Bayu mencoba menjelaskan padaku.
“owh gak apa kok Bay.” Jawabku memakluminya.
“Terus bagaimana.? Mau dilanjutin.?” Tanya Bayu.
Dengan cepat ku ambil bola di tangan Bayu. Dia pun mengejar ku dan berusaha merebut bola yang kini dibawah kendali ku. bahkan tanpa berkata-kata pun ku rasa Bayu sudah mengerti jawaban yang ku berikan.
Dan malam itu kami lewatkan dengan sebuah permainan tanpa aturan hingga cukup larut dan letih memaksa kami untuk meninggalkan tempat itu dan mengakhiri kegiatan kami.
“Gue udah gak kuat. Kita udahan aja ya.?” Ujarku dalam keadaan yang masih ngos-ngosan.
“Yaudah kalo gitu kita istirahat dulu.”
Kami pun istirahat sejenak. Setelah itu kami beranjak dan meninggalkan tempat tersebut, berjalan pulang menuju rumah. Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang segala hal. Tak terasa kini kami sudah berada tepat di depan rumahku.
“Dit, gue minta minum ya.?” Ujar Bayu.
“Yaudah, masuk dulu yuk kalau gitu.” Ajakku padanya.
“Wah gak enak gue sama orangtua lo Dit.”
“Hahahahaa, mereka belum pada pulang kok.”
Ya jelas lah, kalau mama sedang melakukan kunjungan kerja ke cabang perusahaan mama yang ada di Bandung. Sedangkan papa, dijamin gak bakalan pulang lagi. Udah betah disana sama kak Nino.
Walau rada sungkan, Bayu pun masuk kedalam rumahku sambil mengikutiku dari belakang. Padahal sudah ku beritahu bahwa aku sendirian di rumah, tapi masih saja sungkan. Ku ambilkan segelas air untuk Bayu. Bukannya aku pelit, tapi hanya itu yang ada di rumah.
“Udah yang di kasih air putih doank, mana cuma satu gelas lagi. Pelit amat.” Komplain Bayu padaku.
“Bukannya terima kasih malah marah-marah. Udah sukur di kasih gratis.” Balas ku padanya.
“Iya iya. Tambahin lagi dong Dit.” Kini Bayu memelas padaku.
“Ambil sendiri sana di dapur, gue mau mandi dulu. Nanti kalau pulang pintunya di rapatin aja.”
“Oke deh Dit.”
Aku pun meninggalkan anak itu sendiri dan menuju lantai atas. Ku ambil handuk dan masuk ke kamar mandi yang berada di samping kamar ku. Ritual mandi kali ini lebih larut dari biasanya. Jelas saja, ini sudah hampir jam sembilan malam. Berhubung keadaan yang semakin dingin, ku percepat ritual mandi ku. Tidak kurang dari lima belas menit, ritual sakral itu pun berakhir.
Dengan handuk melingkar di pinggangku, aku pun jalan menuju kamar dan hendak mengenakan pakaian. Baru saja aku memasuki pintu kamar, ku lihat sesosok mahluk yang sedang berbaring di atas kasur ku. seketika aku pun tersentak kaget, begitu pun mahluk tersebut yang terlihat cukup kaget dengan kedatangan ku.
“Lo kenapa masih disini Bay.!!” Bentakku terhadap Bayu.
“Ya gak apa kan. Lagian gue mau nginap disini malam ini.”
“Terus pakaian lo besok.?”
“Ini di dalam tas, tadi gue pulang dulu ambil pakaian.” Jelas Bayu.
“Lah, emangnya gue setuju lo nginap disini.?”
Bayu pun beranjak dari tidurnya dan menuju kearahku. Hingga begitu dekat denganku, dan kini jarak bibirnya dan telingaku sangat dekat hingga deru napasnya terdengar jelas olehku. Suasana begitu hening hingga membuatku cukup gugup dan grogi malam ini. Entah apa yang akan dilakukan Bayu saat ini, aku juga tak mengerti. Kurasakan jemari Bayu mendekati perut ku.
“Lo pasti ngijinin gue.” Bisiknya. Walau terdengar pelan, tapi sangat jelas perkataannya.
Seketika tangan Bayu dengan cepat menarik handuk yang melilit di pinggangku. Kemudian dengan sigap dia berlari kearah kamar mandi. Kedua telapak tanganku menutupi sesuatu yang harusnya tetap menjadi rahasia negara. Muka ku memerah. Entah karna marah, malu, kesal, jengkel, atau lucu. Saat itu emosiku benar-benar campur aduk.
“BAYU…!!! BANGSAT LO….!!!!”
Teriakan dan caci maki ku hanya di tanggapi dengan tawa kemenangan oleh Bayu yang terdengar dari kamar mandi. Rasanya ingin ku banting anak itu sekarang juga. Tapi mungkin sebaiknya ku kenakan pakaian dulu sebelum Bayu selesai dengan mandinya.
Setelah selesai aku berpakaian, tak lama kemudian Bayu pun muncul. Dia hanya mengintip dari depan pintu kamar ku sambil senyum-senyum.
“Cemberut aja bang.?” Sindirnya padaku.
“Ahh, bangsat lo Bay.”
“Gwahahahhaaaaa.”
Cacianku hanya dibalas oleh sebuah tawa yang lepas dari Bayu. Ya, baginya itu lucu, tapi bagiku itu menjengkelkan. Dan kami pun mengakhiri segala sesuatunya di hari ini, perlahan tidur dan tebuai dalam alunan mimpi. Berharap, esok adalah hari kami.
***
Ini adalah hari terakhir dalam acara Porseni di sekolahku. Team basket dari kelasku gagal di perempat final kemarin dan hanya mendapatkan medali juara ketiga. Kusematkan medali tersebut di dalam lemari pernghargaan kak Vino. Kini kami yang mewakili dari cabang perlombahaan basket hari ini bebas untuk melihat-lihat pertandingan lain. Ya, tak ada aktivitas yang membebani ku untuk bertanding hari ini. Jadi ku pilih untuk berjalan-jalan mengitari sekolah. Tapi langkahku kini terhenti tepat di depan aula sekolah, terhenti oleh sebuah alunan musik yang tak asing bagiku. “Cerita dari selatan Jakarta.” Ya, aku kenal lagu ini. Lagu yang begitu merdu dan sarat akan makna.
Kini rasa penasaran menghampiriku. Bertanya-tanya tentang siapa orang yang memainkan lagu tersebut. Ku langkahkan kakiku menuju ke dalam aula. Perlombaan musik sedang dilangsungkan disini. Cukup ramai memang keadaan didalam sini. Tapi kini aku terbelak kaget setelah melihat seseorang diatas panggung yang sedang bermain piano solo melantunkan lagu dengan tema retro tersebut. Kak Vino. Tak kusangka dia bisa bermain piano sebagus itu. Selain itu suaranya cukup enak untuk didengar.
“Kenapa.? Apa berharap lagu itu dimaikan khusus untuk lo.?”
Seseorang melontarkan sebuah pertanyaan terhadapku. Memecah konsentrasiku terhadap alunan musik yang sedang dimainkan. Ya, seorang teman lama yang kini selalu mengusikku. Aku hanya bisa tertunduk membisu tanpa sepatah kata pun. Tak bisa ku jawab pertanyaan yang dilontarkannya padaku.
“Kenapa diam.? Apa gue benar tentang itu.?”
Kembali dilontarkannya pertanyaan yang sama sekali tak bisa ku jawab. Ya, hanya diam dan membisu. Seketika kepalaku terasa berat, sekejap pandanganku menjadi buram. Padat dan sesak didalam ruangan ini membuatku merasa tak nyaman. Tepat pada saat lagu berakhir, badanku pun terhempas ke lantai. Banyak mereka yang panik melihat ku. Tapi, sebelum mata ini benar-benar tertutup rapat dan hilang kesadaran. Terlihat walau samar, seorang anak yang melambaikan tangan padaku sambil tersenyum sinis. Dan kemudian dia pun hilang dibalik pintu, pergi meninggalkan kekacauan yang terjadi didalam aula, yang disusul oleh hilangnya kesadaranku.
“Semua tentang cita.”
Bersambung………………………………………
selamat menikmati, dan mohon maaf bila ada kesalahan kata atau tulisan..
@Tamagokill
@Tsu_no_YanYan
@Darkrealm
@Dimz
@Klanting801
@aicasukakonde
untuk lagu "Cerita Dari Selatan Jakarta" silahkan "klik" blog saya yang tertera di bawah ini.. itu jika kalian penasaran... ) )
siiip lanjuuut ya...>,< #masih menunggu adegan romantis Vian-Radhit
@Zhar12 mau rasa jagung bakar atau ayam bawang kk ? )
@boyzfath lapan anam komandan ^:)^
@Tsu_no_YanYan bzzzz Vino bukan Vian ~X( .... eumm khayalan ya..?? kayaknya bukan deh... ) )
tunggu aja endingnya kk, ntar tau deh ceritanya tentang apa )
siiipp kutunggu deh^^ jangan lama ya~ oohohohoho :-*
Part V (skenario masa muda)
Satu minggu sudah aku berada di rumah sakit. Ya, lagi-lagi moment penting ku lewatkan. Hari pertama mengenakan seragam putih abu-abu. Aku sebenarnya juga bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganku. Kenapa akhir-akhir ini hobiku malah pingsan. Hmm, entahlah.
***
Lama rasanya tak melihat rumah. Aku rindu dengan segala kesunyian bangunan ini. Ruang tamu yang sunyi, ruang keluarga yang sunyi, ruang makan yang sunyi, dan kamarku yang sunyi. Ya, aku merindukan itu semua. Walau pun disini terasa membosankan, tapi setidaknya aku tak perlu makan bubur tawar lagi seperti saat di rumah sakit kemarin.
“Dit, kamu istirahat dulu gih.” Ujar mama padaku.
“Iya ma.” Saat aku hendak menuju kamar, langkahku terhenti sejenak. “Ma, kata dokter Radhit kenapa ma.?” Tanyaku pada mama.
“Ee.. owh, katanya kamu Cuma kecapaian aja kok.”
Tidak seperti biasanya, mama terlihat ragu dalam menjawab. Ya, ada sesuatu yang dirahasikan mama. Perlukah aku cari tahu, ataukah lebih baik seperti ini. Persetan dengan itu. Sebaiknya aku istirahat saja.
***
Pagi yang indah untuk segudang misteri yang belum terungkap. Ya, setidaknya pagi ini masih tetap indah. Walau kepalaku masih terasa agak berat ku paksakan tubuh ini untuk berdiri dan besiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mandi, ya itu hal yang harus dilakukan. Walau pun terasa berat, tapi itu wajib. Seusai mandi, ku buka lemari pakaianku. Ku lirik seragam SMP yang masih berada di dalam lemari ku.
“Selamat menikmati masa pensiun mu.” Ujarku.
Ku ambil seragam SMA yang sudah ku siapkan sejak sebulan yang lalu dan ku kenakan seragam tersebut. Lumayan keren dengan celana panjang sekarang. Seusai berpakaian, aku pun turun hendak sarapan. Terlihat mama sudah berada di meja makan menikmati sarapannya.
“Loh dit, yakin mau sekolah sekarang.?” Ujar mama.
“Iya ma, Radhit baik-baik aja kok.” Jawabku.
Suasana di meja makan kali ini cukup kaku. Walau biasanya juga terkesan sepi, tapi tidak sekaku ini. Belum selesai dengan sarapannya, mama langsung pergi berangkat ke kantor. Ya, tanpa bicara. Hanya memberi sebuah kecupan di kening ku. tak seperti biasanya, tapi mungkin akan menjadi kebiasaan baru.
Tak lama setelah mama pergi, aku pun ikut meninggalkan rumah. Mengembalikan rumah ini dalam sebuah kekosongan, yang mungkin sebagai teman abadinya. Ku harap hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Semoga.
***
Sejarah. Walau aku cukup handal dalam mata pelajaran yang satu ini saat SMP. Tetapi kini jauh lebih sulit dari yang di bayangkan. Itu semua karna gaya mengajar pak Sukardi Djaleani. Benar-benar membuar pelajaran ini menjadi seperti namanya. Ya, “Sukar di Jalani”.
“Kenapa lo Dit.?” Tanya Bayu yang sedari tadi melihat ku hanya melamun saja.
“Gak apa kok Bay, cuma lagi bosen aja.” Jawabku lemas.
“Owh gitu, ehh tuh ntar pulang sekolah kumpul dulu di lapangan. Mau ambil seragam.”
“Ho’oh.” Jawabku singkat.
Kembali ku lanjutkan lamunanku. Ya melamun dan melamun. Hingga lamunan ku berhenti pada sesuatu. Atau mungkin bukan sesuatu tapi seseorang. Kak Vino.? Kenapa ada dalam lamunan ku.?
“AAARGGHHHHH..!!!”
Seketika aku berteriak dan membuat lamunanku buyar. Sialnya teriakan ini berada pada momen yang salah. Ya, momen pada saat kelas dalam kegiatan belajar mengajar. Semua mata tertuju padaku. Termasuk dia yang sedang menerangkan di depan dari tadi. Ya, guru ku. pak Sukardi.
“Kamu kesurupan ya.?” Tanya pak Sukardi yang mengundang gelak tawa dari anak-anak lain.
“Ee,,, umm,, enggak pak.” Jawabku ling-lung.
“Ya sudah, kalau begitu kamu keluar dulu cuci muka.”
Ku laksanakan perintah guru tersebut. Ya, sekalian mencari udara segar. Aku pun beranjak meninggalkan kelas, menuju kamar mandi. Ku basuh muka ini dengan air, terasa segar memang, tapi tetap saja kantuk ku masih belum hilang sepenuhnya. Baru saja hendak ku tinggalkan kamar mandi, lonceng sekolah pun berdentang. Waktunya pulang, tapi tas ku masih berada di dalam kelas. Apa boleh buat, aku harus kembali ke kelas untuk mengambilnya. Saat menaiki tangga, aku berpas-pasan dengan Bayu yang sedang membawakan tas ku.
“Nih Dit tas lo.” Ujarnya sembari memberikan tas yang dibawanya.
“Makasih ya Bay.”
` “Yuk, kumpul dulu sama anak-anak lain. Ambil seragam dulu di lapangan.” Ajaknya padaku.
“Yaudah, yuk.” Jawabku mengiyakan.
Kami pun berjalan menuju lapangan. Sudah cukup banyak orang yang berkumpul di sana. Kami pun ikut ambil bagian kedalam kerumunan tersebut. Tak lama kemudian, bang Yudha datang dengan seseorang yang membawa sebuah kardus di tangannya. Ya, kardus itu berisi pakaian yang kami pesan.
Bang Yudha pun mengabsen nama kami satu persatu untuk membagikan seragam tersebut. Semua orang sudah mendapatkannya, termasuk juga Bayu. Sekarang yang tersisa hanya aku sendiri yang belum mendapatkan seragam tersebut.
“Dit, sini ikut bentar, aku mau bicara.” Ujar bang Yudha padaku.
“Baik bang.”
Ku ikuti langkahnya menuju suatu tempat yang jauh dari keramaian. Ada yang aneh. Apa pakaianku lupa di buat. Kenapa bang Yudha ingin bicara empat mata dengan ku. belum selesai dengan segala pertanyaan yang ada di dalam kepalaku. Bang Yudha menghentikan langkahnya dan mulai angkat bicara.
“Dit, maaf tapi kamu gak bisa ikut dalam team basket.” Ujar bang Yudha.
“Loh kenapa bang.?” Tanyaku sanksi.
“Orang tua mu yang meminta langsung tadi pagi.” Jelasnya kembali.
“Mama.?”
“Iya, mama kamu.”
“Tapi kenapa bang.?”
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaanku yang terakhir. Apa yang dirahasiakan. Apa semua orang harus merahasiakan sesuatu dariku.
Setelah terdiam cukup lama, bang Yudha menyerahkan pakaian yang dibawanya dari tadi dan langsung pergi meninggalkan ku. Ya, sendirian. Ku lihat sepintas dari matanya, menjelaskan bahwa sebenarnya ini bukan kemauannya. Tapi mau bagaimana lagi. Kini aku hanya terdiam. Dan kalau ada orang yang harus di salahkan, maka mama lah orangnya. Ya, dia yang menyebabkan semua ini berakhir begitu cepat.
Perlahan dengan berat hati, mulai ku langkahkan kaki, beranjak dari tempat ini dan hendak pulang ke rumah. Tapi niat ku terhenti saat Bayu menghampiri ku dan membuka sebuah pembicaraan baru.
“Kenapa Dit.?” Tanya Bayu.
“Gak kenapa-kenapa kok.”
“Gua dengar dari pembicaraan senior, lo di keluarin dari team ya.?”
“Iya, gue di keluarin.”
“Loh, kenapa.?”
“Nyokap gue yang rekomendasikan agar gue dikeluarin.”
“Tapi bukan berarti lo gak bisa main kan.? Kasihan tuh baju, belum sempat di pakai.”
Seketika Bayu menarik tanganku menuju kamar mandi. Mengajakku untuk mengganti seragam sekolahku dengan pakaian yang baru saja ku terima tadi. Ya, sekarang telah ku kenakan seragam berangka delapan tersebut. Terlihat cukup bagus, walau terasa sedikit aneh menggunakan baju tanpa lengan ini.
Kini Bayu mengajak ku masuk kedalam lapangan. Semula hanya kami yang bermain di arena ini. Tak lama kemudian satu persatu anak-anak yang melihat kami bermain mulai mengambil bagian dalam permainan kami. Begitu menyenangkan memang. Ku lihat bang Yudha hanya memperhatikan tanpa melarangku. Ku rasa dia mengerti dengan keadaan ini. Sepintas terlihat di lantai dua tepat di belakang bang Yudha, ada seseorang yang sedang berdiri di depan lab kimia. Orang yang akhir-akhir ini mulai masuk secara perlahan ke dalam pikiranku. Ya, dia kak Vino, walau perlahan tapi pasti. Ku hiraukan dia sejenak dan fokus dengan permainan terakhirku. Permainan yang sekarang begitu ku nikmati.
Cukup lama ku alihkan pandangan ku, sekarang hasrat untuk melihatnya muncul kembali. Ku perhatikan tempat dimana terakhir kali dia berdiri. Tapi tak ada seorang di depan lab kimia tersebut. Pikirku mungkin dia sudah pulang. Tapi ternyata aku salah. Terlihat dia sedang duduk dengan seseorang di salah satu bangku yang berada di sisi lapangan. Ya, dia sedang memperhatikan permainan ini. Semangat ku memuncak, ku lakukan permainan ini dengan sebaik-baiknya. Ya, perasaan aneh tentang sebuah romansa yang telah terjadi dalam diriku. Apa ini…………………………………………………………………………
***
Cukup lama aku bermain tanpa memperhatikannya, saat istirahat, ku alihkan pandanganku kembali ketempat dia duduk tadi, sudah tak ada seorang pun disana. Ku rasa dia sudah pulang, lagi pula ini sudah hampir jam tiga sore.
“Bay, gue jalan dulu ya, makasih untuk hari ini.” Ujarku kepada Bayu.
Hanya senyuman yang diberikannya untuk membalas ucapan terima kasihku itu. Ku ambil tas ku dan ku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Tak ku sangka saat berada di depan kamar mandi, aku berpas-pasan dengan seseorang. Langkah kami terhenti sejenak, dan mata kami mulai menatap satu sama lain. Tanpa ada sepatah kata pun, dia langsung pergi berjalan meninggalkan ku.
Ku lanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Lagi-lagi, seseorang yang tak ku sangka sudah berada di dalam lebih awal.
“Kenapa.? Kaget.?” Ujarnya padaku. “Bukakah itu hanya sebuah tatapan.? Kenapa kau berharap lebih terhadap itu.?” Lanjutnya.
“Ya, aku tau itu hanya sebuah tatapan.”
“Lalu apa.? Siapa yang seharusnya kau sangkal.? Aku atau dirimu sendiri.?”
“Jangan berikan sebuah pertanyaan yang membingungkan ku.”
“Kenapa.? Tak bisa kah kau menjawabnya.? Kalau begitu, anggap saja ini hanya sebuah skenario masa muda mu.”
“Tentang apa.?”
“Tentang hal yang dulu pernah kita bahas. Sebuah karya Tuhan tentang ketidaksempurnaan.”
“Apa kau sama seperti ku.?” tanya ku padanya.
“Bisa jadi. Bahkan aku juga tak mengerti.”
Dan dia pun pergi meninggalkan ku. Pembicaraan yang membingungkan itu berakhir dengan jawaban yang tidak memuaskan. Ya, bukan subah jawaban yang ku harapkan. Serasa ingin ku kejar teman lama ku itu dan bertanya kembali padanya. Tapi ku rasa itu sia-sia, karna ku yakin jawabannya akan selalu sama. Dia memang selalu begitu dari saat masih kecil dulu. Ya, selalu seperti itu.
***
Setibanya di rumah, terlihat ada yang berbeda saat ini. Tak biasanya ada motor di dalam garasi. Terakhir, motornya kak Nino sudah menjadi penggalan-penggalan besi tua. Jadi, motor siapa itu. Langsung saja ku masuki rumah. Ku panggil mama, tapi tak ada yang menyahut. Kurasa mama masih belum pulang, padahal ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya. Berhubung badan ini sudah cukup lelah sehabis bermain basket tadi, ku baringkan tubuh ini di atas kasur. Terasa begitu nyaman, hingga akhirnya kesunyian membawaku sekali lagi kedalam ruang mimpi.
“Skenario masa muda.?”
Kata itu keluar sebelum aku benar-benar hilang dari dunia nyata yang membosankan ini. Ya, kata dari seorang teman.
***
Mata kunang-kuang, pandangan samar-samar, dan kepala yang masih terasa berat. Hal yang selalu terjadi jika seseorang dipaksa kembali masuk kedalam dunia nyata dan meninggalkan dunia mimpinya.
Ku lihat jam yang terpajang di kamarku. Tak ku sangka kini sudah jam lima sore. Ku bangkitkan tubuh ini, perlahan berjalan keluar kamar dan mulai menuruni tangga. Ku lihat ada seseorang yang sedang duduk di ruang makan. Walau masih belum sepenuhnya pulih dari efek tidur siang, tapi pandangan ini masih cukup sempurna untuk menafsirkan bahwa orang itu adalah mama. Ya, ku rasa ini saat yang tepat untuk bertanya kepada mama.
“Ma, Radhit mau tanya.” Ku mulai pembicaraan dengan mama.
“Tentang team basket atau motor di depan.?”
“Iya tentang keduanya. Pertama tentang team basket. Sebenarnya ada apa ma.?”
“Gak apa-apa kok, mama takut aja kalau kamu kecapaian.”
“Kenapa harus bohong sih ma.?”
“Udah kamu nurut aja.”
Ya, jawaban yang selalu menjadi andalan para orang tua. “UDAH KAMU NURUT AJA”. Sial.
“Yaudah, untuk yang kedua. Kenapa ada motor di garasi.?” Kembali ku berikan perntanyaan kepada mama.
“Anggap aja itu hadiah karna kamu dah nurut dengan perkataan mama.” Jawab mama santai. “Kunci nya ada di atas meja tamu, di cobain dulu gih sana.” Lanjut mama.
Bergegas ku tinggalkan mama, mengambil kunci motor tersebut, dan menuju ke dalam garasi. Sejenak terpikir olehku, kenapa semua orang di hari ini selalu memberikan jawaban yang tidak memuaskan atas pertanyaanku. Ya sudah lah, setidaknya aku memiliki barang baru disini. Ya, sebuah motor. Tapi, apa ini.? Sepasang spion atau tanduk rusa.? Ya, spion yang terpasang di motor ini terlihat begitu panjang hingga terkesan seperti sebuah tanduk. Dari pada jengkel melihatnya, ku lepas kedua spion tersebut. Dan sekarang jauh lebih baik.
“Dit, hp kamu bunyi tuh.” Teriak mama dari dalam rumah.
Ku urungkan niat untuk mencoba motor baru tersebut dan bergegas berlari menuju kamarku untuk menjawab sebuah panggilan terhadap ponsel ku. ternyata hanya pesan singkat. Ku baca pesan tersebut.
“Gw tunggu lo di lapangan komplek ya dit. Sekarang.!! GPL.!!!!”
Walau nomornya belum tersimpan di daftar kontakku, tapi aku yakin bahwa ini adalah pesan singkat dari Bayu. Karna hanya dia yang pernah bermain di lapangan kompek bersamaku. Segera aku menuju lapangan yang tidak begitu jauh dari rumahku. Tak lama, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan ku. terlihat seseorang sedang duduk sendirian diatas bangku. Ya, itu Bayu. Sebenarnya ada apa dengannya. Segera aku menghampiri anak itu.
“Hai Bay, ada apa.?” Tanya ku padanya.
“Mau basa basi dulu atau to the point.?” Bayu balik bertanya padaku.
“Yang langsung aja deh. Ada apaan sih.?” Kembali aku bertanya hal yang sama kepada Bayu.
Sejenak, Bayu menarik napas panjang dan mengaluarkannya.
“Gue mau pindah.” Ujar Bayu padaku.
“Hah. Pindah.?”
“Iya pindah, ke Surabaya. Bokap gue pindah tugas kesana.”
“Lo yakin Bay.?”
“Banget.!!”
“Kenapa gak di bilang dari jauh-jauh hari Bay.?”
“Ya, maaf soal itu, gue mencoba merahasiakannya dari anak-anak, termasuk elo Dit.”
“Rahasia in tuh hal yang penting napa Bay.”
“Iya iya,. Eh Dit, gue pengen nunjukin sesuatu ke elo.”
Bayu pun berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari dalam celananya. Sesuatu yang berwarna coklat kehitaman. Di dekatkannya benda tersebut ke muka ku. kini bisa ku lihat keindahan benda tersebut. Tapi………………
“Kecil banget Bay, gak ada yang lebih gede lagi.”
“Loh, emang mau segede apa.? Ini juga udah standar Dit.” Sanggah Bayu.
“Mana udah item, jelek lagi bentuknya.”
“Asem.!!! Biar jelek, ini nih barang pribadi gue yang paling berharga . Tau nggak.!”
“Terus buat apa lo liatin.?”
“Ya gue mau kasih untuk lo.”
“Katanya berharga.? Kok di kasih ke gue.?”
“Ya karna lo temen gue. Gue kasih ke lo, suatu saat gue ambil lagi. Jadi tolong di jaga baik-baik.”
“Lo kira gue tempat penitipan barang.?”
“Lo di kasih bukannya bersyukur, malah komplen terus dah ahh.”
“Iya iya, bawa sini tuh koin.”
Bayu pun menyerahkan koin tersebut. Sebuah koin dari Bali dengan ukiran tulisan yang tak ku mengerti di sekelilingnya. Terlihat indah dan penuh akan nilai. Lebih dari sekedar nilai seni, tapi ini tentang sebuah nilai persahabatan. Ya, tepat di hari esok aku kembali dalam kesendirian. Karna besok Bayu sudah berangkat meninggalkan kota ini. Apa boleh buat, seperti kata seorang teman lama.
“Anggap saja ini hanya sebuah skenario masa muda.”
Bersambung……………………….
sebenarnya judul khusus part ini terinspirasi oleh sesuatu.
buat kakak²
@Tamagokill
@Tsu_no_YanYan
@Darkrealm
@Dimz
@Klanting801
@aicasukakonde
@boyzfath
@meong_meong
selamat menikmati