BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

T.R.O.U.B.L.E

1192022242553

Comments

  • Buruan update lg please.. Haha kalo cerita bagus kaya gini mau posting sebanyak apapun bakalan ngerasa kurang terus sblm tamat.. (‾⌣‾)♉
  • Apaan tuh update-nya??? Lebih lama beol-nya drpd baca update critanya.."̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ "̮

    #ngumpet pake pintu ajaib dora the explorer!
  • Apaan tuh update-nya??? Lebih lama beol-nya drpd baca update critanya.."̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ "̮

    #ngumpet pake pintu ajaib dora the explorer!
  • @tamagokill baca Ǥªɑ̤̈ (゚ー゚)(。_。)ウンウン
  • Gak asik nih nanggung banget ceritanya... Udah dapet feelny langsung lenyap seketika.. Kurang banyak updatenya...

    Jangan biarkan kami menunggu bosan di sini...!! Hahaha
  • Gak tau deh harus ngomong apa.. *nunggu apdetan lagi :)) :))
  • lanjut><....
  • @meong_meong thx... udah masuk bookmark ku dek...
  • Sesek nafas bacanya saking senengnya.. Ayoo lanjutkaaaan ceritanya hohoho
  • @tamagokill ┼┼ee••°`┼┼ee`°••┼┼ee••°`┼┼ee`°•
  • @meong_meong kk baru kelar baca nih. makasih udah kasi masukan...

    @Procyon lam kenal. ceritanya кєяєи!!! boleh minta mentionnya? *puppy eyes*
  • Jun’s:

    Damien memang benar-benar penyiksa kelas kakap.

    Dia memang mengajakku ‘keluar’ dari klinik, sembunyi-sembunyi dan langsung menyuruhku menaiki motornya yang besar itu. Aku sudah ketakutan dan kesulitan naik ke motornya. Lalu ketakutan yang sebenarnya baru terjadi ketika ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang membuatku kaku dan meliuk-liuk di antara mobil. Aku sebenarnya berpikir, jangan-jangan orang ini sedang ingin membuatku sengsara?

    Belum sempat meredakan kakiku yang gemetaran, Damien langsung mengajakku masuk kesebuah ruangan kecil yang ternyata klub olahraga.
    Banyak orang berolahraga di klub ini;gym, martial arts, atau yoga. Lalu dia mengajakku di sebuah boxing corner.

    “Hai Damien,” seorang pria sedang menjadi sparing partner seorang anak kecil ketika ia melihat dan menyapa Damien “lama tidak ketemu.” lalu ia memberi kode untuk istirahat.
    “Masih membuat beberapa petinju junior?” tanya Damien sambil menyalaminya.
    “Anak-anak sekarang jarang yang menyukai tinju. Halo, siapa ini?” orang itu melihatku lalu mengajakku bersalaman.
    “Temanku, Jun Goldstein.”

    Temannya? Sejak kapan? Apakah hubungan kami yang bahkan tidak bisa disebut akrab itu bisa disebut teman? Bercanda nih.

    “Jun Goldstein,” jawabku canggung.
    “Gabriel Lujan. Dulu Damien sering berlatih di sini sampai Rafael meninggal. Rafael dulu selain seorang polisi juga atlet tinju. Kami dulu satu tim. Damien masih sering bermain di sini sampai sekarang.”

    Rafael itu siapa sih?
    “Ayahku,”jawab Damien seolah bisa membaca wajahku.
    “Oh, I’m sorry about your Dad” aku turut menyesal. Aku tahu rasanya.

    Damien hanya tersenyum. Lalu ia melihat ring “Hai Tom!”
    Anak kecil yang tadi berlatih membalas Damien dengan riang “Hai Damien, lama kau tidak kemari.”
    “Hanya tiga bulan tidak masuk hitungan lama, Sobat. Dan selama itu kau sudah bertambah besar.” ujar Damien, lalu dia memandang Gabriel “boleh aku meminjam Tom?”
    “Silahkan.”

    Damien segera menyuruhku mengikutinya sampai ke atas ring. Aku mengikutinya dengan penasaran. Anak kecil berusia sekitar delapan tahun itu memakai pelindung kepala dan sarung tangan dan tampak sangat senang dengan kehadiran Damien.

    Melihat anak itu aku ingin tertawa.Rambut pirang gandumnya mencuat-cuat diantara sela-sela pelindung kepalanya yang agak kebesaran. Wajahnya bengal sekali. Tetapi mata hijaunya bersemangat. Seperti Robert jika sangat antusias akan sesuatu.

    “Kau ingin berlatih lagi? Kau mau kan’ jadi sparring ku?” tanya Tom riang dan dengan wajah lugu.
    “Jangan terburu-buru. Itu bisa melukaimu. Kenalkan, Jun Goldstein.” Damien segera mengenalkan diriku, “dia akan segera jadi sparring partnermu.”
    “HAH?” pekikku tanpa sadar. Yang benar saja?! Sparring partner dalam tinju? Dia mau membunuhku apa???

    Oh aku lupa, sparring partner untuk anak usia sembilan tahun. Tidak masalah.

    “Halo Jun, kenalkan aku Tom Adam. Kau juga bisa tinju?” tanyanya sambil menyalamiku dengan tangannya yang dibalut sarung tinju. Ia bersalaman dengan sangat bersemangat sampai aku merasa bahuku ikut berguncang hebat.
    “Itulah yang ingin aku ketahui setelah berlatih denganmu, Tom” ujarku, aku buru-buru mendelik ke arah Damien, mendesis ke arahnya “apa maksud semua ini hah?”

    Damien menahan tawanya.
    “Aku hanya ingin membantu masalahmu tentang ‘dibully dan dilecehkan’” ujar Damien sambil berdehem mengatur suara tawanya.
    “Aku tidak memerlukannya!”
    “Oh, kau akan berterimakasih padaku soal itu. Lihat saja.” Damien lalu beranjak. Meninggalkan aku dan si kecil rambut landak ini yang mulai berceloteh tentang tinju dan soal kekagumannya pada Damien.

    “Dasar! Masih saja dia sok ikut campur.” gumamku jengkel.
    “Wow, Damien itu seperti Ali! Lihatlah saat dia meninju dan menyudutkan lawan dengan pukulan long hook!”
    Aku tidak tahu apa itu long hook dan tampaknya aku tidak peduli juga. Apa ada hubungannya tinju dengan pengait—hook? Atau dengan Kapten Hook? Ah sudahlah.

    “Bukannya lebih baik kau menonton Animax atau National Geographic di rumah?” tanyaku. Kasihan sekali anak sekecil ini sudah diajari berkelahi.
    “Yeah! Aku suka Phineas! Aku menontonnya di Disney Channel!”
    Disney Channel dan tinju. Perpaduan yang bagus.

    “Eer… Biar Gabriel yang mengurusmu. Bagaimana?” tanyaku. Belum sempat Tom menjawab, Damien muncul lalu memberikan pelindung kepala dan sesuatu seperti papan empuk.
    “Pakailah. Lalu ajak Tom berlatih.”
    Mataku melebar saat mendengarnya, “dengan Tom? Kau waras tidak? Dia masih kecil!”
    “Lalu kenapa? Kau tidak perlu melawannya. Hanya bertahan, tapi kalau kau mau memukul Tom silahkan saja.”
    “Ya! Pukul saja aku!” Tom malah seperti baru saja akan dijanjikan jalan-jalan.
    Aku tertawa kecil “dia bisa terluka!”
    “Hati-hati Kawan, dia sudah ahlinya.” Damien tersenyum simpul.
    “Ya, aku ahlinya!” pekik gembira Tom. Anak ini tidak punya takut.
    “Oh kalau begitu aku yang akan terluka.” ujarku kesal. Oh ayolah, apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak yang masih suka melihat Phineas and Friends atau Agen Perry?
    “Coba saja kekuatannya kalau begitu.”
    “Bagaimanapun kami tidak imbang!”
    “Dari segi tinggi badan kalian hampir seimbang, tapi soal pengalaman.. Yah, kau memang masih kurang.”ujar Damien.
    Oh bukan itu maksudku, Bodoh!
    “Sudahlah, coba saja. Baik untuk memulihkan tubuhmu.”
    “Yang ada justru aku akan tambah masuk rumah sakit sungguhan.” gerutuku.
    “Kau hanya perlu bertahan. Rapatkan kedua lenganmu untuk melindungi kepala dan dadamu. Itulah kenapa aku memberimu papan ini.” ujar Damien. Aku tidak punya pilihan lain, sangat tidak tega dengan wajah ‘Puss in the Boot’ dalam film Shrek milik Tom.

    “Plewwse..” Tom mencoba membuat suaranya seimut mungkin. Oh jangan beri aku tatapan seperti itu!
    “Baiklah. Satu ronde. Aku benci dilemma.” Aku bersiap-siap dalam posisi seperti bertahan, aku tadi melihat Gabriel melakukannya dengan petinju lainnya di ring lain. Hmm, hanya perlu sedikit mencondongkan tubuhmu, rapatkan kedua lengan, lindungi wajah dan dada. Bertahan.
    Oke aku mengerti.

    “Siap?” tanya Tom lebih bersemangat. Pandangan Puss in the Boot nya hilang.
    “Aku mau ambil nafas du—“
    “Hiaaaaaah!!!!” dan saat itulah aku tahu anak sekecil Tom memiliki kekuatan yang besar, aku bahkan sampai mundur beberapa langkah. Wajah lugunya sudah berubah menjadi garang.

    Astaga, ini sih Damien versi kecil.

    “Tom, kau harus santai…” aku mulai waspada tetapi si kecil Tom terus menerus memberikan pukulan-pukulan. Ugh aku merasakan nyeri lagi di perut dan pinggang.
    “Berhenti….” aku menggumam lirih.

    Entah karena bisa mendengar rintihan pelanku atau melihatku kesakitan , Damien buru-buru menghentikan sesi latihan ini.
    “Sudah istirahat dulu,” ujar Damien “Tom, berhenti!”
    “Tapi—“
    “Tom, please.”Damien menekankan suaranya. Tom lalu berhenti memukulkan tinjunya dan tampak cemberut.Huft untunglah. Aku memegang pinggangku yang berasa agak nyut-nyutan.

    Tapi ternyata tidak berhenti begitu saja, tiba-tiba aku merasakan angin dan hantaman – yang sebenarnya tidak terlalu keras tapi menyakitkan— di daguku.
    Aku tidak dapat berpikir apa-apa. Pikiran dan mataku gelap dan mati rasa.

    “Tom!” Seru Damien. Ia segera memegang tangan Tom “Apa yang kau lakukan?!”
    “Aku hanya kurang puas jika belum mempraktekan uppercut..” aku masih mendengar samar-samar suara Tom yang membela diri sekaligus merasa bersalah.
    Masa bodoh apa yang dikatakan anak itu, badanku rasanya sudah sakit semua…
    Damien’s:

    Tom memang ingin sekali menjadi petinju professional walau dia masih kecil.
    Tapi dia sudah kelewatan.

    Aku segera menolong Goldstein yang jatuh setelah pukulan uppercut yang dilancarkan Tom kepadanya. Seharusnya Goldstein sudah pingsan karena itu salah satu pukulan yang langsung membuat K.O.

    Tapi yang memukul kan’ bocah yang akan berusia sembilan tahun. Jadi wajar kalau Goldstein hanya mengerang saja. Tapi tetap aku yakin dia pasti merasakan kesakitan. Aku sudah berkali-kali kena pukulan seperti itu.

    Tapi aku tadi melihat dia menyerngit sesaat sebelum dipukul Tom. Entah menyerngit karena tenaga Tom atau karena luka-lukanya.
    “Kau baik-baik saja?” tanyaku sambil membantunya duduk. Wajahnya seperti menderita. Ah, aku tahu jawabannya. Dia tidak begitu baik.
    “Minumlah Nak,” Gabriel segera datang sambil meminumkan air kepada Goldstein “Tom, sudah kukatakan, uppercut bukan untuk main-main.”
    “Maaf…” kali ini bocah itu menyadari perbuatannya dan dari suaranya ia ingin menangis.
    “Minta maaf pada Jun,” ujarku.
    “Maaf kan aku Jun…”

    Goldstein hanya mengibaskan tangannya “Sudahlah Tom… Aku memang sedang sakit.”
    “Aku menyesal… HUUUUUUUAAAAA” kini Tom menangis meraung-raung. Kami kelabakan.
    Aku menghela nafas. Tom tetaplah anak kecil. Kadang perbuatannya memang diluar logika. Goldstein segera bersusah payah berdiri, menenangkan Tom.
    “Aku baik-baik saja, lihatlah… Aku berdiri.” ujarnya.
    “Tapi..Tapi…”
    “Aku memang sedang sakit Tom, kalau aku marah, aku tidak akan marah kepadamu, tetapi kepada Damien itu.” kini Jun mengerlingku dengan tatapannya yang biasanya ia lontarkan kepadaku : tatapan takut-takut tetapi menantang.

    Oke baiklah aku memang salah.

    “Tenanglah Tom, kau memang sial hari ini karena melawan orang lemah.” ujarku.
    “Aku lemah karena kemarin aku dipukuli!” balas Jun.
    "Kau lemah dan dipukuli setiap saat" ujarku.
    "Salahkan orang-orang kasar macam Orlando!"
    “Lalu siapa suruh kau minta dibawa kemari?”
    “Aku tidak minta dibawa kemari, aku hanya ingin dibawa keluar dari klinik karena bosan!”
    “Lalu kau mau dibawa kemana? Pemakaman?”
    “Apa dalam pikiranmu tidak ada tempat lain yang lebih menyenangkan hah?”
    “Gym itu menyenangkan, Bodoh!”
    “Bagiku tidak ,Sialan!”
    “Lalu apa yang menurutmu menyenangkan? Spa?”
    “Yang jelas bukan seperti yang kau bayangkan, Brengsek!”
    “Oh ayolah, apa kubawa saja kau ketempat Orlando Keparat itu agar kau terus bisa menjadi bulan-bulanan mereka?”
    “SUDAH CUKUP KALIAN!” suara menggelegar menghentikan kami. Aku dan Goldstein tertegun. Gabriel menggeleng pelan “Kalian lupa ada anak kecil.”

    Kami melihat Tom yang berhenti menangis dan memasang wajah ternganga. Aduh, kami tadi menggunakan kosakata yang dilarang—didengar—anak—usia—dibawah—enambelas tahun.

    “Sebaiknya kau lupakan itu, Kawan.” Aku segera menepuk kepala Tom. Jun juga meminta maaf kepada Gabriel dan Tom. Aku lalu keluar ring diikuti Goldstein. Sudah cukup untuk hari ini.
    “Sebaiknya kau kuantar kembali. Ini sudah malam kau pasti dicari pihak klinik.” ujarku tenang. Jun hanya mengangguk singkat.
    “Gabriel, aku harus kembali. Maaf atas kekacauan ini.” pamitku. Gabriel mengangguk.
    “Obati Jun, aku juga minta maaf Jun soal Tom. Dia memang suka berlebihan.”
    “Tidak apa-apa. “ Goldstein memaksakan senyum.

    “Jun—“ Tom memanggil Goldstein, mencengkeram tali ring dengan erat “kau mau kan’ berlatih lagi denganku?”
    Goldstein memandangku meminta pendapat. Tetapi apa hakku? Itu adalah keinginan dia sendiri. Dia tidak perlu menjawab itu beres.
    “Oke, kalau Damien mengajak lagi.” balas Jun. Tom tersenyum senang.
    “Kau harus mengajak Jun lagi Damien!” teriak Tom.

    Mengajaknya lagi? Dia lupa apa yang dia proteskan tadi. Aku segera menyeret bocah Goldstein itu sampai parkiran setelah berpamitan dengan Tom dan Gabriel. Dia tampak tidak protes seperti yang sudah-sudah.

    “Kenapa—“
    “Kalau kau tidak mau kesini, jangan memberi janji kepada anak kecil!” semprotku.
    “Tapi aku—“
    “Kau lupa kata-katamu ,hah? Tempat ini tidak menyenangkan! Jika kau merasa disini bukan tempatmu, jangan berkata macam-macam kepada Tom!” bentakku.
    “Aku tidak memberinya omong kosong! Itu kenyataan! Kalau kau mengajakku kemari, aku akan ikut! “ balasnya membentak.
    “Kau hilang ingatan atau apa? Ingat lagi kata-katamu di dalam! Tom, seumur hidupnya sangat kesepian! Beberapa kali dia diadopsi tetapi ia tidak pernah lelah oleh janji-janji orang, jadi kuminta jangan memberikan janji kepadanya kalau kau tidak mau menaati!”

    Kulihat Goldstein tertegun. Ia mematung, tampak syok dengan apa yang baru saja kukatakan.
    “Tom di serahkan ibunya karena saat itu ibunya baru tujuh belas tahun ke panti asuhan. Beberapa kali ikut keluarga yang berbeda-beda yang dipilihkan dinas sosial kepadanya, yang semuanya hanya memberinya janji palsu. Ia hanya dirawat paling lama satu tahun lalu kembali lagi ke panti asuhan. Gabriel adalah keluarganya saat ini dan kuharap yang terakhir. Karena Gabriel sedang mengalami masalah keuangan, kuharap dinas sosial tidak memisahkan mereka.”

    aku menjelaskan panjang lebar kepada Goldstein yang masih syok. Ada apa aku ini? Kenapa harus kuceritakan padanya sih?
    Sudahlah, biar si lemah ini tidak memberi harapan kepada Tom.

    “Aku bukan orang seperti itu, Damien.” akhirnya dia bersuara setelah terdiam cukup lama “aku, entah kenapa merasa sangat berdebar-debar ketika ada yang menginginkan kehadiranku. Itu suatu hal yang untuk saat ini sudah tidak aku rasakan, seolah-olah semua hanya menganggapku bayangan atau bahkan sesuatu yang tidak diharapkan kehadirannya.”

    Goldstein menatap mataku lurus, membuatku terpaku di tempat “bawa aku sesekali. Senangkan hati Tom. Ajari aku tinju.”
    “Kau yakin?”
    Jun mengangguk, tapi kemudian dia hampir ambruk sambil memegangi pinggangnya. Aku segera menggapai tubuhnya.

    “Kau nggak apa-apa?” tanyaku cemas.
    “Aku oke, kita kembali saja.”
    Aku membantu Goldstein menaiki Kawaii. Sebenarnya sungguh mengesalkan karena baru pertama kali ini aku memperbolehkan orang lain menaiki Kawaii, tapi sudahlah. Tidak setiap hari aku berbuat baik –aku sudah berapa kali sih mengatakan hal ini?

    Aku melaju dengan kecepatan sedang, takut goncangan sedikit apapun membuat Goldstein kesakitan. Jarak gym dan kampus sangat jauh, menyesal juga aku membawanya kemari. Tahu begitu kubawa saja dia ke danau atau kemanapun disekitar kampus.
    Tapi, gym dan kampus agak dekat dengan apartemenku.

    Sialan, aku benci dilemma…
  • edited May 2013
    #1

    segini doang??

    mmm,, gambar yg td masukin sini aja
Sign In or Register to comment.