It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@yuzz @Tsu_no_YanYan @emoniac @bocahnakal96 @tamagokill @Jhoshan26 @okaganteng @Hangatkuku @ananda1 @aii @adinu @JonatJco @patokan @chibipmahu
===============================
Mobil Jazz hitam Ino mendekati Gelael. Suasana kota hari ini cukup padat, jam makan siang yang mungkin jadi alasan kepadatan ini. Aku yang menyarankan Ino untuk memarkir mobilnya disini, walau jaraknya sedikit jauh dari pintu masuk Tunjungan Plaza tapi tempat ini cukup strategis tanpa harus berlama – lama mengantri untuk mendapatkan tempat. Cocok sekali untuk orang yang tak sabar menunggu sepertiku.
Seorang petugas parkir mencatat nomor polisi mobil Ino. Ino membuka kaca jendela mobilnya, mengeluarkan selembar lima ribuan dan memberikan kepada petugas itu.
“Ambil aja kembaliannya, pak!”
Ino mengambil kartu parkir yang diberikan oleh petugas itu.
“Terima kasih, mas!”
Mobil berjalan masuk ke pelataran parkir, sepi. Tak sulit bagi kami menemukan lokasi untuk parkir.
Ino mematikan mesin mobilnya, kami kedua bergegas turun. Bipp Bipp, suara alarm mobil terdengar cukup kencang. Aku berjalan di samping Ino, dia terlihat tampan hari ini (seperti hari sebelumnya juga), memakai kaos cokelat bertuliskan Wrangler di depannya dengan celana jeans hitam yang entah apa mereknya, sepatunya pun berwarna cokelat dengan lambang bintang di ujungnya.
Aku sendiri heran, aku yang selama ini tak memperhatikannya menjadi tertarik mencari – cari rahasia apa yang ia sembunyikan. Semestinya aku tahu dari awal pertemuan kita, dengan dandanan seperti ini tentu saja dia berasal dari keluarga yang cukup mampu, tapi menurutku, aku tidak pernah menilai penampilan untuk menentukan darimana dia berasal. Don’t judge the book by the cover, tapi setidaknya aku belajar untuk tidak terlalu cuek dengan orang di sekitarku.
“Adik mau makan apa ?” Ino kembali membuyarkan lamunanku. Aku jadi sering melamun, tanpa perlu aku jelaskan mengapa.
“Terserah mas aja, pilih aja mas, lagian adik gak repot mau makan apa. Asal bukan racun.” Ino mengacak – acak rambutku dan tersenyum kepadaku.
Petugas security mengecek tubuh kami dengan alat detector, berharap tidak menemukan bom yang meresahkan masyarakat kita belakangan ini. Tapi bagiku, ini hanya sebuah prosedur, dia hanya melewatkan alat itu sekenanya, asal.
Tunjungan Plaza ramai dipenuhi anak – anak berseragam putih abu – abu, jelas saja. Lokasinya yang terletak di tengah kota menjadikan aksesnya mudah dijangkau oleh setiap orang dimanapun, ditambah lagi banyak sekolah – sekolah yang tak jauh dari sini.
Ornamen tujuh belasan terpampang di sudut – sudut bangunan, sebentar lagi memang perayaan kemerdekaan bangsa ini. Diskon besar – besaran menyambut hari kemerdekaan pun ada dimana – mana, banyak toko – toko baju seperti Matahari menawarkan diskon yang cukup menggoda iman, walaupun kita tahu, diskon maupun tidak harganya tetap sama, kualitas sama, atau mungkin itu adalah stok lama, penipuan publik!
Aku memandang ke setiap jenis toko yang kita lewati, kami berjalan dari satu elevator ke yang lain. Lantai demi lantai pun kami jelajahi. Ino mengajakku mampir ke Gramedia, dia ingin mencari buku untuk diktat kuliahnya. Mengurus tugas akhir, katanya.
Seorang SPG mengucapkan salam pada kami. Ino berlari ke rak buku yang ia maksud dan mulai mencari – cari bukunya disana. Aku tak mengikutinya, aku hanya melihat – lihat sekeliling toko sambil sesekali berhenti untuk membaca referensi buku yang menarik perhatianku.
Beberapa novel teenlit menjadi incaranku, aku berniat membelinya bulan depan. Rencana pengeluaranku sudah terlalu banyak bulan ini, aku tidak mau mendengar omelan mamaku karena aku boros sekali menggunakan uang pemberiannya.
Ino berjalan menghampiriku, tampaknya ia tidak menemukan buku yang ia cari. Kekecewaan terpancar dari wajahnya.
“Gak ada bukunya, katanya kemarin stok terakhir udah kejual.”
“Alasan aja kali mas, palingan emang gak ada tuh buku disini, cuman ngeles.”
“Ya udah yuk, makan. Kamu gak beli apa gitu disini?”
“Gak mas, gak unlimited isi dompetku.” Ino tertawa mendengar jawabanku.
“Haha, dasar! Aku bayarin deh.” dia mengerlingkan sebelah matanya sambil berbisik “Itung – itung ongkos aku pegang tanganmu tadi”
“Dasar, emangnya aku cowok apaan, masa pegang tangan aja dibayar ama buku, nggak mau ah.” Aku pura – pura mengambek.
“Becanda adikku sayang! Beneran kok aku belikan, itung – itung kamu mau keluar sama aku hari ini.”
“Gak mas, serius. Adik seneng kok nemenin mas, tanpa tendensi apa-apa.”
“Bahasamu, ngalahin orang kuliah!”
Kami berdua tertawa dan berjalan keluar toko. Kembali pada dunia kami masing – masing. Ino bertanya sesekali, aku menjawab sekenanya. Begitu juga sebaliknya. Kita masih terlalu malu. Atau sebenarnya salah tingkah. Tak tahulah.
Aku melirik di sebelah kananku ada sebuah fotobox. Tempat aku biasa melimpahkan sifat narcistku dengan Sasha. Murah. Lima belas ribu rupiah untuk 8x gaya. Ada keinginan sedikit untuk mengabadikan kenangan ini bersama Ino, tapi kuurungkan niatku, pertemuan yang baru beberapa kali ini yang menjadi alasanku. Aku tak tahu sepenuhnya siapa Ino, dan Aku tak ingin dikatakan norak.
“Fotobox yuk!” Aku kaget. Ino menarik lenganku. Aku diam saja. Senang. Seolah dia bisa membaca apa yang ada di pikiranku. Aku hanya tersenyum walau aku tak memungkiri bahwa aku sangat senang.
Aku menyapa mbak penjaga fotobox ini. Setelah bercakap – cakap sekenanya kami berdua masuk ke dalam ruangan sempit ini. Tubuh Ino yang tinggi membuat ruangan ini semakin kecil saja. Aku menutup pintu dari dalam. Di layar terdapat tulisan. Camera Standby. Dalam ruangan ini ada beberapa properti yang bisa digunakan sebagai pendukung foto. Ada rambut palsu, topi, bando dan aksesoris sejenis lainnya.
Di bawah layar ada sebuah tempelan kertas mengenai bagaimana cara pengoperasian. Kita boleh memilih tiga macam background yang berbeda.
Di bawah ada sebuah pedal yang digunakan untuk “menjepret”, dan sebuah kursi tinggi sebagai tempat berpijak. Kamera masih dalam keadaan standby
“Mau foto gimana, mas?” aku bertanya pada Ino. Dia tampak berpikir.
“Dik!” Ino memanggilku, aku menoleh ke arahnya.
Ino memegang daguku dengan lembut.
Tatapan matanya tajam, namun sosok kelembutan terpancar dari sinar
matanya. Merefleksikan ketenangan yang amat dalam.
Tangannya menyentuh pipiku, perlahan. Mataku terpejam. Hatiku berdebar!
Takut! Ini tempat umum!
Senang! Dia membelaiku!
Ragu! Adakah yang tahu ?
Kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirku.
Dia mencumbuku, perlahan, lembut, dan .. manis !
Terbaik yang pernah aku rasakan !
Itu bibirnya!
Aku telah diciumnya!
Ciuman pertamaku dengan Ino, terjadi disini.
Di tempat kecil yang mungkin berukuran tak lebih dari tiga X tiga meter.
Senekat itukah dia.
Ino menggenggam tanganku.
Aku masih terpejam
Menikmati keberuntunganku yang lain hari ini.
Lelaki ini …
Aku menyukainya …
Setiap perlakuannya …
Aku menyukainya …
Dia …
Aku menyukainya …
Segalanya …
Dok Dok Dok! Kami terkaget, rasa canggung langsung menghinggapi kami berdua. Ciuman itu berakhir, tidak dengan mulus, namun aku menginginkannya, lagi! Ya, aku ketagihan!
“Dik, udah belum? Kok belum ada hasil yang keluar?”
“Iya mbak, sabar! Masih mikir neh!” kataku cepat, rasa gugup masih melandaku.
Aku masih bertanya – tanya, bagaimana Ino bisa senekat ini. Bagaimana kalau di luar sana, Mbak itu tahu apa yang sudah kami lakukan. Tapi entah mujur atau apapun sebutannya. Komputer di depan hanya bisa mendeteksi gambar yang telah “dijepret” dari dalam. Tanpa bisa melihat apa yang
kami lakukan di dalam. Ditambah, kamera pun masih dalam keadaan “siap tempur”
“Dik, maafin mas.” Ino berusaha mencairkan suasana.
Aku memeluknya, erat. Dia menghembuskan nafas panjang, rasanya dia bisa mengambil kesimpulan bahwa kejadian itu juga aku inginkan. Dia mencium rambutku dan mendekapku. Aroma tubuhnya, wangi. Rasanya aku ingin berlama – lama seperti ini.
“Mas, yuk mulai foto. Gak enak ditunggu sama mbaknya, kelamaan kita disini.” Aku melepaskan pelukanku.
“Masa cuma bayar lima belas ribu buat mesum!” aku melanjutkan kalimatku yang terpotong.
Ino tertawa. Crek! Hasil bidikan terakhir pun selesai. Aku segera membuka kunci pengaman dan keluar dari ruangan sempit ini.
“Ngapain aja sih lama amat? Kalah deh cewe!”
“Duh, si mbak, baru juga sebentar, aku sama Sasha khan perasaan bisa lebih lama dari ini!” Ino hanya tersenyum, seperti mengetahui maksud perkataanku. Ya, lebih lama. Aku mau lebih lama denganmu Ino.
Kami berdua puas dengan hasil akhir kegilaan yang sudah kami lakukan. Setelah membayar dan menunggu hasil cetakan, Ino mengajakku makan Sushi di Hachi Hachi Bistro, kebetulan itu juga menjadi tempat favoritku. Kami sama – sama kembali terdiam, masuk ke dalam lamunan kami lagi.
Tentu saja aku membayangkan ciuman barusan. Aku senyum – senyum sendiri. Aku melihat kearah Ino, wajahnya terlihat tegang, entah apa yang dipikirkannya.
Restoran tak begitu ramai siang ini, kami memilih tempat duduk sofa yang
terletak di bawah AC. Beberapa orang tampak asyik mengobrol sambil menikmati makanan mereka. Pelayan memberikan menu pada kami. Aku dan Ino akhirnya memesan Volcano serta beberapa macam Sushi dan
Green Tea sebagai minumannya.
Aku melihat lagi hasil foto kami barusan, kemudian memilih beberapa gambar yang menurutku memuaskan. Aku mengambil empat buah foto dan memasukkan ke dalam dompetku, sisa foto lainnya aku berikan pada Ino.
Ino mengeluarkan dompet dari dalam saku belakang celananya. Aku merebutnya, dan membuka dompet itu. Dia berusaha mengambil dompet itu dalam tanganku.
“Kenapa, takut yah ketahuan ada foto pacarnya?” Aku mendekap dompet itu, berusaha agar ia tidak merebutnya kembali.
“Ah, nggak kok! Lagian disitu juga gak ada apa – apanya”
“Nah, makanya kalau gak ada apa – apanya ngapain malu ?” aku menjulurkan lidahku.
Aku lupa, bahwa aku belum memasukkan kembali dompetku. Spontan Ino mengambil dompetku yang tergeletak di atas meja.
“Eits, aku juga punya dompetmu wek!” Ino memunculkan sifat kekanakannya, lucu.
“Yee, dasar gak mau kalah, ya udah adil khan! Aku lihat dompet mas, mas juga.”
“Ya udah, gak boleh ngambek”
Aku mulai melakukan bedah dompet. Aku mengambil KTPnya dan membaca nama yang tercantum disitu. Reyno Syailendra Putra Antara. Nama yang indah. Bandung, 02 Desember 1986.
“Eits! Jangan baca – baca KTP” dia mengambil KTP itu dari tanganku. Aku tak sempat melihat bagian lain di KTP tersebut, tapi nama dan tanggal lahir sudah cukup buatku. Aku hanya berharap masih menjalin hubungan dengannya sampai hari ulangtahunnya, khan bisa minta traktiran, pikirku.
“” Ia menyebut namaku dengan cukup keras
“Wah, namanya bagus banget, tapi orangnya kok gak bagus – bagus amat yah?”
Aku mencubit hidungnya.
“Aduh, sakit adik!” Ino mengelus hidungnya yang memerah karena cubitanku
“Habisnya, itu nama nyarinya susah, harus bertapa tujuh hari 40 malam!”
“Emang ada yah??” Ino memasang tampang bloon.
“Ya nggak ada lah, tapi yang jelas tuh nama emang keren banget, gak ada
tuh yang ngembarin”
“Iya deh iya, terus … 24 September 1988. Wah ! Habis gini dong ulang tahun kamu, tak tungguin lho traktirannya”
“Gak bakal ada traktiran kalau nggak ngasih kado.” Aku bersungut
Ino kembali mengotak – atik isi dompetku. Aku berusaha merebutnya, tapi dia menghalanginya. Dia mengambil beberapa kartu dari dalam dompetku. Isi dompetku di obrak – abrik dan diletakkan semua di atas meja.
“Duh, jangan diberantakin gini donk mas.” Aku berusaha membereskan kartu – kartu itu dari atas meja.
“Lho, kamu punya kartu anggota ini juga toh?” Dia mengangkat kartu anggota Rumah Sakit Swasta di Surabaya.
“Oh, itu kartu waktu aku dulu dibawa ke psikiater sama mamaku, ngomongnya sih mau test minat bakat, gak taunya …” aku berusaha tidak melanjutkan pembicaraan itu
“Emangnya kenapa sampai dibawa kesana, ketahuan?”
“Ya gitu deh, bukan ketahuan sih, lebih tepatnya aku disuruh mengakuinya.”
“Trus?”
“Ya udah, si psikiater bego itu bilangnya mau bantu aku ngaku, tapi malah aku ditinggal berdua ama mamaku, serasa mau ditelan bumi waktu itu.” Aku berusaha mengingat – ingat kejadian paling buruk atau sebaliknya paling menggembirakan. Ntahlah.
“Ya udah deh, gak usah dibahas. Nih, aku balikkin dompetmu.”
Ino memasukkan kartu – kartu ke dalam dompetku seperti semula.
Handphonenya berbunyi. Dia mengangkatnya dan pamit permisi sebentar, telepon itu sangat penting menurutnya. Aku mempersilahkannya, toh buat apa aku bertanya – tanya siapa yang meneleponnya, dia belum jadi siapa - siapaku.
Pikiranku kembali melayang pada hari dimana pengakuan terbesar dalam hidupku kepada mamaku, orang tua tunggal yang merawatku setelah papaku meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Aku memutar memoriku akan kejadian setahun yang lalu di rumah sakit itu, dan kenyataan yang aku hadapi sekarang lebih buruk dari yang pernah aku pikirkan. Dia kembali.
“Vic!”
Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku mencari asal suara itu. Aku tersentak kaget. Kenapa jadi kebetulan seperti ini, orang ini datang di saat yang tidak tepat, Aku ingin memendam memoriku bersama waktu.
Walaupun, rasa terimakasih ku masih ada untuknya. Tapi, dia tidak lebih dari sekedar masa laluku yang kelam. Aku bukanlah Vic yang dulu.
“Dion??”
“Hei, gimana kabarnya ? Sendirian aja, to?”
“Nggak, aku sama temenku kok.” Aku berusaha mencari Ino. Kenapa pada saat seperti ini dia seperti menghilang di telan bumi.
“Temen apa temen nih? Soalnya dari tadi aku liat kalian mesra banget.”
Aku gugup. Benar – benar gugup. Dia hadir kembali dalam hidupku, walaupun aku tak memungkiri bahwa aku masih menaruh perasaan padanya. Tapi Tuhan, tolong. Aku ingin melupakannya, jangan paksa aku untuk membohongi diriku, bahwa aku tak membutuhkannya lagi. Aku ingin berjalan lurus, tanpa menoleh ke belakang, mencari celah atas nama pembenaran, Ini tidak benar, dan aku ingin dia pergi.
Ino kembali setelah sekian lama aku menunggu, keadaan ini membuatku merasa sangat lama menanti dia kembali.
“Mas, kenalin, ini Dion. Dion ini Ino.” Aku berusaha mengusir kegugupanku.
“Kalian pacaran?” Dion membisikkan kata itu di telingaku. Darahku berdesir.
“N-ggak , Cuma temen aja kok!”
“Lebih dari temen juga gak papa kok.”
Ino memandang kami berdua dengan curiga. Aku memandang Ino berusaha meyakinkan dia dengan sorot mataku bahwa aku baik – baik saja, walau sebenarnya aku ingin Dion segera pergi, dan Tuhan mengabulkan keinginanku.
“Aku pulang dulu ya, temenku udah selesai bayarnya. Moga langgeng ya kalian berdua. Ino, aku pamit dulu.” Dion meninggalkan kami berdua. Ino tertegun curiga, aku terdiam membisu.
“Siapa tadi, dik?” Ino bertanya menyelidik
“Ehm .. mantanku mas.” Aku menjawab ragu.
“Oh pantes kamu salah tingkah gitu. Aku rasa dia baik, cakep lagi, kok putus?” Raut muka Ino berubah menjadi datar
“Ceritanya panjang mas.”
Makanan pesanan kami pun datang. Porsinya cukup banyak untuk dua orang, tapi sangat sayang jika tidak dihabiskan. Aku hanya berpikir, dengan makan Ino tak akan menyuruhku bercerita, namun aku salah.
“Nah, mumpung makanannya banyak, adik cerita aja sekalian. Mas dengerin sampai selesai. Kalau gak mau cerita pulang jalan kaki” Dia mengancam. Tentunya saja bercanda. Aku tersenyum kecut.
“Gak usah yah mas, nanti mas bosan.” Aku berusaha tetap menghindar.
“Ah, gak kok, liat kamu gak bakal bosan.”
Akhirnya dengan terpaksa aku membuka memori masa laluku. Aku mengatakan ini ada hubungan dengan rumah sakit itu. Kenangan yang sekiranya ingin aku tutup, biarlah menjadi kenangan, kembali lagi ke permukaan. Memori dalam otakku kembali lagi memutar potongan demi potongan dari kejadian setahun yang lalu. Setiap detail pun aku ceritakan pada Ino, dia mempehatikanku dan sesekali berkomentar.
Dan pikiranku melayang, membuka kembali memori itu...
@~mox~
Haha, sabar, aku lagi benerin editan "coming out" yang masih acak kadut, biar lebih enak bacanya
Duh udah ciuman>//< jadiannya menyusul~ :-P
Njuutt :-D
Update yang sekarang merupakan saduran dari ceritaku di website tetangga, aku tidak akan merubah settingan menjadi POV -pandangan karakter tertentu- tapi tetap kubuat dari pandanganku sebagai pihak pertama yang menceritakan kembali kejadian masa lampau. Karena kalau dibuat POV akan makin panjang kejadiannya, dan peran Dion bukan peran utama, hanya sampingan, jadi kayaknya kurang cocok kalau peran dia kebanyakan :P
======================================
Jadian Pertama kalinya..
Kejadiannya sekitar beberapa tahun yang lalu, waktu aku kelas 1 SMA, saat itulah waktu pertama aku mengenal yang namanya pacaran dengan sesama jenis, sesuatu yang pada dasarnya sudah aku sukai, sesuatu yang memang pada dasarnya membuatku menikmatinya, ya, menikmati percintaan sesama jenis.
Sebut aja dia Dion (secara aku benar-benar lupa siapa nama aslinya), dia adalah pacar pertama (cowo) dalam kehidupanku, kenalan pertama kali denganya, tentu saja lewat mIRC, yah, waktu itu emang aku baru tau ada channel khusus PLU, selain #gay, yaitu #gim. Memang, bukan kali pertama ini aku chatting, aku udah kenal komputer dan internet sejak SD, tapi aku baru berani chat di channel PLU dan ketemuan, yaa .. taun-taun pertamaku di SMA ini.
Rencana ketemuan pun sudah ada dalam jadwalku, tapi berhubung harus nganterin sobatku yang bernama Sasha, ketemuan kita terpaksa ditunda, tapi, aku berjanji akan ketemu setelah urusanku selesai dengan Sasha.
Setelah selesai mengantar Sasha, aku mengajaknya ke kost si Dion, untuk sekedar memastikan dia tinggal disana, ditambah lagi jalan ke Kost Dion searah dengan rumah Sasha.
Ku SMS dia, dan dia membalas dengan memberikan nomor kamarnya, kuketuk pintu kamarnya, Lucu!
Ya, karena ini pertemuanku dengannya, dan tentu saja, tidak munafik bahwa pesona kaum Gay adalah pada tampilah fisik yang dilihat, first impression is a must, jangan menyangkal! Bahwa obrolan lebih lanjut ditentukan oleh penampilan pertama kita saat bertemu. Aku tidak mau menyangkal, bahwa dia menarik.
Setelah dia membentuk dan keluar serta berbasa-basi sebentar, aku janji akan balik kembali setelah mengantarkan Sasha pulang ke rumahnya, dia menyanggupi dan mengantarkanku ke pagar. Dion pun berkenalan dengan Sasha.
Sepanjang perjalanan Sasha bertanya - tanya, Dion itu siapa sih ? kok cakep banget, yaa.. Aku bilang aja, dia itu temenku, berbagai pertanyaan keluar dari mulut si Sasha, dan berbagai alasan juga aku keluarin untuk berkelit.
Setelah mengantar Sasha, aku kembali ke Kost-an Dion, pintu kamarnya tak tertutup sehingga aku tidak perlu bersusah payah untuk mengetuk dan menunggu empunya kamar membukakan pintu untukku, aku masuk. Dion tersenyum kepadaku. Kami terdiam. Cukup lama. Aku tidak memulai pembicaraan, pun dengannya.
“Kenapa mas kok diem aja?” ujarku berusaha mencairkan suasana kaku ini.
“Sepertinya aku kenal sama kamu sebelumnya!” jawabnya tanpa ragu.
Walah jelas aja aku jadi bingung tiba - tiba, rasanya baru pertama kali aku ketemu sama Dion, dan aku sama sekali tidak bisa ingat, kapan dan dimana aku bertemu dengannya.
“Kamu tinggal di Rungkut kan?”
Deg. Aku semakin panik. “Tau darimana” pikirku. Karena aku tidak pernah menyampaikan secara detail saat aku chatting dengan orang yang belum terlalu aku kenal. Biasanya aku akan mengungkapkan sedikit jati diriku, jika obrolan berlanjut melalui SMS atau telepon.
“Aku dulu juga tinggal di Rungkut, dan mungkin kamu tidak ingat, aku juga tinggal sekomplek denganmu.”
Yah, akhirnya setelah cerita panjang lebar, dia itu ternyata tetanggaku waktu masih kecil dulu, dia tau gimana aku waktu kecil dulu, tau gimana zaman kanak-kanak ku, tau siapa ortuku, dan lain-lain deh, secara aku udah lupa sama sekali.
Selang satu minggu dari pertemuan kita yang pertama, kita sepakat jadian, aku sendiri nggak tau gimana jadian ama cowok, yaa istilahnya nyoba-nyoba, gak taulah, yang jelas saat itu bikin aku seneng banget.
Beberapa hari setelah kami jadian Sasha ke kost-an Dion tanpa ngasih tau ke aku, ya, kalau aku inget-inget sekarang sih, aku cuman bisa ketawa aja.
Gini nih critanya, si Sasha dengan sablengnya nanya ke Dion :
“Hey, menurutmu, aku tuh cantik nggak sih?”
“Hmm .. cantik” kata Dion
“Kalau aku cantik, kamu mau nggak cium gue?” tantang Sasha
“Oops .. kok gitu sha ? Apa emang harus pakai cium kamu segala buat bukti kalau kamu emang cantik?”
“Ya iyalah, soalnya aku pengen tau aja, apa bener kebanyakan cowok itu ngegombal?” tanya si Sasha.
“Hmm., gimana yah .. Sorry Sha, aku nggak bisa, aku udah punya pacar, aku nggak bisa nyium kamu."
Dari cerita Sasha, muka Dion tampak malu dan memerah, dan tentu saja Sasha dengan terang – terangan semakin menggoda Dion.
“Kalau gitu, coba tunjukkin foto pacar kamu mana.” Cecar Sasha.
Dion semakin kebingungan, karena dia merasa terjebak.
“Sha, kamu sudah lama kenal sama Victo” ucap Dion berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Yup, aku sudah lama kenal sama dia, aku juga sudah tau kelebihan dan kekurangannya, dia pun demikian, aku sudah kenal keluarganya, dia juga sahabat yang selalu ada untuk aku kalau aku sedang bermasalah dengan keluargaku, jadi, jangan sampai kamu kecewakan dia ya!”
“Maksudnya Sha?”
“Udah mas, nggak usah berkelit lagi, pacar kamu si Victo kan?”
“Eh-h, kenapa kamu berpikiran kaya gitu Sha?”
“Nih buktinya!” Sasha menunjukkan sebuah foto, yaa, aku foto berdua dengan Dion, bukan foto mesum loh! Hanya foto biasa, tapi memang disana tergambar kebahagian yang aku rasakan, bahagia memilikinya.
“Foto ini nggak bisa bohong” lanjut Sasha. “Hahahaha.. Nggak usah pucat gitu mas, nggak usah malu-malu, aku tidak akan menyebarkan ini pada siapapun, Victo itu sahabat baikku, tapi aku Cuma sebel kenapa dia nggak pernah bilang ini sama aku, pantes aja setiap di Camp dia nggak pernah mau kalau aku lihat komputernya, ternyata! Aakhirnya sekarang aku tau, bahwa Victo ternyata doyan ama cowo juga.”
Dion hanya tertawa getir.
“Sini mas, cium aku dong. Hahahha” Sasha memonyongkan bibirnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya, mau tidak mau, aku mengaku juga sama dia, bahwa aku tertarik dengan lelaki, dia masih tetep jadi sahabatku, dia bisa nerima aku apa adanya, tapi masa sampe gini caranya, pakai ngetes minta cium pula, dan waktu aku confirm ke Dion, dia cuma senyam-senyum, ya udah, mau marah gimana, wong sudah terlanjur kejadian.
Tapi, mungkin kejadian itu yang menyebabkan semuanya mulai terungkap.
Ungkapan perasaan yang paling dalam, rahasia terdalam yang aku simpan, dan rahasia itu terungkap, kepada orang yang paling aku cintai ...
This part is real, real Me, real scene...
Me Side :
Entah kenapa, gak tau ada angin apa, siang – siang gini bolong, gak ada angin gak ada ujan, gak ada bencong.
“Dek, besok ikut Mama yuk?”
“Kemana Ma?” aku berhenti melahap makanan yang sedang kumakan sambil memandangnya.
“Kamu kan udah besar, Mama ingin test minat dan bakat, kemana kira – kira kamu nanti akan melanjutkan kuliah, terus pekerjaan apa yang cocok, mama ada teman yang kerja di HCOS situ, dan teman – teman Mama yang lain pada bawa anaknya juga kesana.”
“Boleh deh, Ma! Kayaknya menarik.” Aku tidak punya pikiran apa-apa, daripada nganggur juga di rumah ga ngerjain apa – apa.
Sampai disana hari pertama, semua test psikologi diberikan kepadaku, aku mengerjakan soal matematik seperti hitung-hitungan, dimensi bangun ruang, menggambar, keterampilan dan lain-lain. Aku mengerjakannya dengan santai, ya karena memang iseng saja sih.
Hari kedua pertemuan, soal – soal lain pun masih diberikan, saat tengah mengerjakan, dia berkata.
“Saya tahu kamu itu orang yang pandai menyembunyikan masalah, dan sepertinya ada yang lagi kamu sembunyikan dari orang-orang di sekitarmu, mungkin kamu mau cerita.”
Aku tertegun dan menghentikan pekerjaanku.
“Maksud dokter?” aku menatapnya bingung.
“Iya, apa kira – kira yang kamu sembunyikan? Ada rahasia yang mau kami bagi.”
Aku tertegun sambil tetap memandangnya, aku tampak ragu untuk membagi rahasiaku ini padanya, walaupun aku tahu dia punya kode etik seorang Dokter untuk menyimpan segala bentuk rahasia pasiennya, termasuk rahasiaku tapi tetap saja egoku masih tinggi untuk bercerita padanya.
Ya, seperti kita ketahui semua, bahwa profesi ini menjadikannya ahli dalam mengorek informasi, terutama yang berhubungan dengan kejiwaan seseorang, aku pun menyerah sambil menceritakan semua kepadanya. Ya, cerita mengenai orientasiku yang berbeda dengan lelaki pada umumnya, ya, aku menyukai sesama jenis.
Ceritaku berujung kepada keputusan untuk memberikan pengakuan kepada Mama, mengenai apa dan bagaimana orientasi seksualku yang sebenarnya. Dia memberikan opsi, aku disuruh mengaku ke nyokap dengan bantuan dia, atau aku yang akan membuat pengakuan sendiri. Akhirnya dengan berat hati, aku berkata padanya
“Okay, saya akan berterus terang sama Mama, asal bantu saya mengungkapkan ini.”
Dia hanya tersenyum, dan kutahu itu terpaksa. Ntah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran perempuan ini, jelasnya dia telah membuatku memutuskan suatu yang sulit.
Aku akan berterus terang mengenai orientasi seksualku, kepada Mamaku, ya! Kepada orang yang telah melahirkan aku, bukankah itu suatu yang gila dan nggak masuk akal, aku hampir tidak bisa berpikir dengan jernih mengenai keputusanku ini, hanya saja, walau keputusan telah diambil, aku tidak bisa berlari lagi. Aku harus siap, apapun tanggapan Mama nantinya, aku harus siap! Aku harus berani!
Hari pengakuan yang kutunggu pun tiba, di sekolah aku bingung nggak karuan, pelajaran selama sehari tak bisa kuikuti dengan baik, hatiku kacau, otakku kacau, aku bingung menyusun kata-kata apa yang bakal kuungkapkan ke Mama, aku menerawang jauh ke depan, memikirkan apa akibat yang akan terjadi, bagaimana bila ini, bila itu, semua berkecamuk dan bercampur jadi satu. Tapi, aku mengingat kata – kata Dokter saat itu yang membuat kemantapan hatiku semakin nyata.
“Apa yang akan kamu katakan ke ibu kamu, nggak akan membuat dia membenci kamu, selama sembilan bulan dia mengandung kamu dan membesarkan kamu. Hal itu tidak sebanding dan tidak akan menimbulkan masalah, kata-kata “Mom, I’m gay” tidak akan bikin dia jatuh, kenapa saya bisa bicara seperti itu, karena dia itu wanita yang kuat, selama lebih dari sepuluh tahun dia hidup dan berjuang tanpa suaminya, dan itu nggak akan membuat dia goyah, dan akan tetap mencintai kamu apa adanya.”
“Dan kamu mesti bangga sama mama kamu, Suster di depan itu bilang, cuman mama kamu yang perhatian ama anaknya, mau menunggu, saat kamu waktu di dalam, mau datang saat saya meminta untuk menemani kamu, mestinya kamu bangga, perjuangan mama kamu begitu besar, jadi kamu juga harus berjuang!” tambahnya mantap meyakinkanku kala itu.
Saat itu aku hanya bisa membatin, “Psikiater kampret , teori gampang, prakteknya gimana, apa ntar kalau misalnya anak kamu ngaku bahwa dia gay, kamu bisa tabah juga?” tentu itu hanya kata di pikiranku saja.
Aku galau!
“Sekejamnya seorang Singa, mereka tidak akan memakan anaknya sendiri.”
Sore yang dinantikan pun tiba, aku jemput Mama di kantornya. Sepanjang perjalanan dari kantor ke Rumah Sakit kami hanya diam, lebih tepatnya aku yang terdiam, mencoba mengumpulkan keberanian, sejam kemudian, kami tiba di Rumah Sakit itu dan langsung menuju ke ruang Dokter seperti biasa.
“Bu, hari ini anaknya akan menyampaikan sesuatu, mohon ibu dengar semua keluh kesah dia, biarkan dia menyampaikan semua yang ada dalam pikiran dia, saya akan tinggalkan ibu berdua dengan anak ibu.”
Deg!
Dasar Psikiater gadungan, pembohong, najisss mampussss, bener-bener parah!
Katanya mau bantuin ngomong ke mama, tapi kok cuman bantuin kata pembuka aja, aku mah nggak perlu kali sekedar salam pembuka, aku perlu bantuin ngomong isinya,
“wooyy .. sini .. balik doonnggggg !!” teriakku dalam hati, sambil menatap nanar ke Dokter yang meninggalkan Kami berdua dalam ruangan ini, dan pintu ditutup, aku cuma berdua sama Mama, sunyi ..
Aku bingung mau memulai darimana, yang ada dalam keinginanku saat ini adalah tanah terbelah dan aku terjun bebas ke dalamnya, tertelan hidup-hidup, aku sudah siap kalau harus mati sekarang, kupejamkan mata, kuambil nafas dalam – dalam.
“Ma, aku menyukai lelaki, aku gay.”
Dengan terbata – bata, kata – kata yang terpatah, aku menceritakan semuanya, ya, semuanya! Mataku panas, aku ingin menangis, aku tak sanggup melihat wajah Mamaku kala itu, kuberanikan meliriknya dan kulihat buliran air mata menetes di pelipisnya, Mamaku menangis! Ya dia menangis! Tak dapat kubendung lagi air mataku saat itu, akupun menangis. Aku merasa seperti anak durhaka, aku ingin mati!
“Dik, terserah apa yang bakal kamu lakukan dalam hidup kamu, teman-teman Mama juga banyak kok yang seperti kamu, tapi Mama nggak masalah, mereka semua bisa jadi orang sukses, yang jelas, yang Mama mau, kamu tetap jadi anak Mama yang ngebanggain diri kamu sendiri dan keluarga kamu, jangan pernah ngerugiin dirimu sendiri, jangan pernah ngerugiin diri orang lain, apalagi keluargamu, hidupmu adalah hidupmu.” Ucapnya tulus.
Aku terdiam. Aku masih berusaha mencerna kata – kata yang dia ucapkan, dia menerimaku? Mama menerima kekuranganku? Benarkah itu?
Aku tersenyum, walau sulit, aku memandangnya, memandang wajah ayunya, wajah yang lelah karena telah membesarkan anak-anaknya sendiri, kelima anaknya, dan dia harus menerima kenyataan bahwa anaknya yang terakhir ini, berbeda dari anaknya yang lain.
Mama tersenyum padaku, aku memeluknya erat. Erat! Aku hanya bisa berterimakasih padanya, aku berterimakasih atas kepercayaan yang diberikan, aku berterimakasih atas kasih sayang yang diberikan secara penuh, terimakasih karena Mama mampu bekerja sekaligus mengurusi kami anak-anaknya, aku berterimakasih. Terimakasih Tuhan! Terimakasih Mama.
Mama melepaskan pelukanku, menggenggam tanganku, dan bertanya.
“Tapi dik, Mama mau tanya, Dion itu sapa?”
Deg! Aku terhenyak kembali, tahu darimana Mama tentang Dion?
“Mama nggak mau, kamu berbuat yang aneh2 lho, dik!” tambahnya.
“Ahh .. nggak kok ma, aku sama dia cuman temenan!” aku memang durhaka, baru mengakui orientasiku tetapi aku harus berbohong lagi.
“Dik, mulai sekarang, kalau punya masalah, cerita ke Mama, jangan ke temen kamu yah, dan suatu saat, Mama ingin kamu jadi anak Mama yang seperti dulu.”
Aku sedikit bingung dengan statement Mama waktu itu, maksudnya aku kudu nikah gitu ya? Aku mengangguk saja, tanpa tahu kenapa harus mengangguk.
Aku hanya bahagia, bahagia karena aku dapat melepaskan satu beban dalam hidupku. Sebuah rahasia terbesar dalam hidupku. Aku sekarang tak peduli dengan pandangan orang akan aku, aku tak peduli kalau mereka tahu aku gay! Mamaku sudah lebih dulu tahu daripada kalian! Aku tidak takut melihat dunia, aku tidak takut berjalan dengan kepala menengadah, aku tidak takut! Karena aku punya Mama, orang yang aku cintai, akan tetap mendukungku, sebesar apapun kekuranganku.
pulang dengan perasaan lega, aku menggandeng erat Mama menuju motorku, perasaan ini lega, kurasakan beban di pundakku ini lenyap, aku merasa bahagia dan aku merasa menjadi anak paling beruntung sedunia.
“Victo! Tunggu!”