It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
I have a boyfriend now.
Wow!
Yang menungguku saat pulang kerja.
Yang mengajakku untuk makan siang bersama
(Meskipun lebih sering bergabung bersama yang lain juga, sih).
Yang menjemputku untuk makan malam berdua.
Yang tidur di kamarku saat aku membutuhkannya.
Sayangnya aku tidak bisa memamerkannya.
Apa kata dunia.
Di kantor, kami berusaha menjaga sikap. Kalau ia masuk ke kantorku, aku ingin menutup pintu kemudian menciumnya atau memeluknya. Tentu saja tidak bisa. Kalau duduk bersama di dalam ruang meeting aku ingin terus memandanginya. Tentu saja tidak mungkin.
Kami sangat berhati-hati. Jangan sampai ada seorangpun yang curiga. Meskipun begitu beberapa kali ia mencuri-curi kesempatan untuk membisikkan kata-kata nakal di telingaku. Tentu saja pada saat tidak ada orang lain di dekat kami. Dan untungnya memang dia personal assistantku, sehingga berduaan dengannya memang sudah menjadi bagian dalam pekerjaan. Tidak ada yang curiga.
Teman-teman di kantor bahkan sering meledek Riduan sebagai playboy apprentice yang mahir merayu-rayu kliennya. Terutama Santi dan Ibu Rita, yang dalam sehari bisa menelponnya berkali-kali. Dan Riduan tidak berkeberatan dengan cemoohan itu, bahkan dengan sengaja mengeluarkan canda dan rayuan mautnya jika ada yang memperhatikan pembicaraan telponnya dengan Ibu Rita atau Santi.
Aku sebenarnya tidak terlalu suka. Apalagi kalau Santi yang menelpon. Rasanya ada sesuatu yang tidak enak mengganjal di dadaku mendengar Riduan bergenit-genit di telepon. Padahal aku juga sering berbuat hal yang sama. Mengucapkan kata say, cantik, kangen, dan kata-kata akrab ataupun sok akrab lainnya, memang hal yang lumrah bagi orang-orang marketing seperti kami.
Mungkin terdengar aneh bagi orang-orang lain yang tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Seperti orang-orang accounting yang serius, atau orang-orang human resources yang ja-im. Biasanya mereka melirik kaget mendengar ucapan-ucapan mesra dan basa-basi seperti itu. Seolah-olah pembicaraan itu tabu buat mereka. Mereka kaget mendengar Eddy berteriak ”Rid, bini muda lu nelpon lagi, tuh!”
Sama seperti bila yang lain berteriak Sugar Daddy nya Andrew, yang dimaksud adalah klien Andrew yang kebetulan bapak-bapak setengah baya yang rajin menelponnya. Tidak ada maksud apa-apa di balik sebutan-sebutan itu kecuali untuk bercanda. Tidak ada maksud apa-apa dalam penyebutan Ibu Rita sebagai istri tua dan Santi sebagai istri muda Riduan. Dan tentu saja kesemuanya itu tanpa sepengetahuan klien-klien tersebut.
Jika rekan-rekan sekantorku tidak berubah sikap atau curiga akan hubungan Riduan dan aku, tidak demikian halnya dengan pak Willy. Ada sesuatu yang berubah dari caranya menatapku dan caranya memandang Riduan. Aku punya kepekaan tersendiri dalam memperhatikan cara seseorang mempergunakan matanya. Mungkin karena kesukaanku memperhatikan tingkah laku orang-orang di sekitarku dan cara mereka bertatap mata. Aku juga tidak tahu kapan kebiasaan ini mulai tumbuh. Sepertinya sudah sejak aku masih kanak-kanak.
Apakah ia tidak percaya kalau aku bisa memisahkan antara persoalan pribadi dan pekerjaanku? Bukan baru setahun dua tahun aku bekerja untuknya. Atau apakah ia takut aku akan menjadikan Riduan homosexual. Harusnya ia berkaca diri. Seharusnya ia yang mengira dirinya telah menjadikan aku homosexual. Atau barangkali memang itu yang ditakutkannya. Karma atas perbuatannya kepadaku berbalik kepada keponakannya.
Aku menimbang-nimbang apakah aku harus berbicara kepadanya mengenai hal ini. Dia tetap baik dan ramah. Kecurigaannya tidak menjadikannya bersikap menyebalkan. Aku yang memang sedikit menjaga jarak dengannya. Sejak ia mencurigaiku menganak-emaskan Riduan dalam soal appraisal. Sejak ia mencurigai aku meniduri keponakannya?
Sekarang setelah benar-benar kejadian.
Haruskah aku melapor?
But, it’s none of his god damned business!
Telepon di mejaku berdering. Aku melihat layar digitalnya, extension Dina.
”Jun, bapak minta kamu meeting di Intercon sekarang.” Aku melihat jam tanganku. Pukul 3 lewat beberapa menit, hampir sore.
”Meeting apa?” Aku sedikit terkejut mengira ada meeting yang aku lupakan hari ini. Aku melirik calendar di outlook di laptopku dan yakin tidak ada appointment apapun sore hari ini.
”Gak tau. Disuruh bawa Sales Report year to date terakhir dan ini saya sudah siapin beberapa document buat bapak. Sekalian bawain ya?”
”Ok. Meetingnya jam berapa?” Masih mengepit gagang telpon di leherku, aku mulai dengan tergesa-gesa membereskan laptopku.
”Bapak gak bilang. Cuma kamu disuruh segera kesana.”
”Ok. Telepon aja kalo ada yang kelupaan.” katanya.
”Thanks.”
Dina memberikan amplop coklat berukuran A4 tertutup rapi dan menyuruhku menelpon ke HP pak Willy dalam perjalanan. Dia tidak tahu ruang meetingnya dimana. Aku mengiyakan.
Aku bergegas menuju ke mobilku. Memacu mobilku ke Intercontinental hotel di Midplaza, mengejar sebelum waktu 3 in 1 jalanan dimulai. Untungnya jarak kantorku ke hotel itu cukup dekat.
Aku berjalan cepat menuju Lobby Lounge tempat pak Willy menungguku. Dia duduk di tempatnya seperti biasa. Sendirian. Syukurlah tamu-tamunya belum datang. Atau mungkin sedang ke kamar kecil.
Aku menyapanya sedikit berbasa-basi dan kemudian duduk. Seorang waitress menghampiriku dan aku meminta secangkir hot cappuccino. Pak Willy minta tambah draught beernya. Aku menengok gelas birnya yang sudah hampir kosong. Jam segini minum bir?
Clientnya mana? Meeting apa ini?
Aku menyerahkan amplop titipan Dina kepadanya. Pak Willy menerimanya dengan enggan. Kemudian meletakkannya di sandaran tempat duduknya, di belakang punggungnya. Aku memandangnya sedikit heran. Wajahnya tanpa ekspresi. Susah ditebak. Sejak tadi ia hanya sebentar-sebentar menatapku. Selebihnya tidak acuh.
Aku mengeluarkan buku sales report dan membukanya mencari halaman total sales revenue year to date seperti yang dimintanya melalui Dina.
”Tamunya datang jam berapa, Pak? Saya pikir saya terlambat.”
”Gak ada yang lain, Jun. Cuma kita berdua.”
Aku mengangkat alisku. Ada apa ini?
”Saya ingin bicara sama kamu. Kamu harus cerita jujur ke saya. Ok?”
Jantungku tiba-tiba mulai berdegup kencang.
This can’t be good.
Mengapa aku gelisah. Apakah aku merasa bersalah? Apa yang membuatku merasa bersalah? Aku mencoba mencari jawaban dalam sinar matanya. Masih datar tanpa ekspresi. Tetapi sekarang aku mulai menangkap sedikit kekesalan dalam sinar matanya. Atau barangkali kesedihan.
”Tentang kamu dan Riduan.”
Aku diam. Menghela nafas dalam-dalam. Tanpa sedikitpun berusaha menyembunyikannya.
”Kamu bilang tidak ada apa-apa. Kamu berbohong.” Ia menatap mataku. Sekarang sinar matanya menunjukkan kekesalannya.
”Ini pertama kalinya kamu berbohong ke saya!”
Aku masih diam. Menahan emosi.
Kemana waitress tadi? Lama sekali cappuccinonya! Aku butuh bantuan untuk mengalihkan kejengkelanku. Sebelum kejengkelanku memuncak mengalahkan akal sehatku.
Aku sudah terburu-buru seperti dikejar setan hanya untuk diinterogasi seperti ini. Apa-apaan ini? Setahun yang lalu mungkin urusan ini masih relevan. Sewaktu aku masih jalan dan tidur bersamanya. Tetapi sekarang? Apa urusannya? Meskipun Riduan keponakannya, bukan berarti ia berhak mencampuri urusannya tidur dengan siapa. Apalagi mencampuri urusan pribadiku.
Aku sekarang menatap matanya. Tidak sedikitpun berniat menyembunyikan kejengkelanku. Ia juga balas menatapku masih dengan kekesalan yang menggumpal.
”Waktu saya bilang tidak ada apa-apa, memang tidak ada apa-apa waktu itu.” Akhirnya aku bicara. Setelah kejengkelanku sedikit mereda. Tetap saja tersirat sedikit nada jengkel dan aku tidak berusaha menyembunyikannya.
”What do you mean?”
”Saya tidak berbohong.” Aku mengucapkan setiap kata perlahan dan tegas, satu persatu. Masih terus menatap matanya. Biar dia tahu bahwa tidak ada sesuatupun yang ingin kusembunyikan.
”Kejadiannya setelah itu.” Lanjutku. Sinar matanya berubah.
”Kapan?”
OMG!
Aku mulai benar-benar jengkel.
Untung Lobby lounge ini masih sepi. Hanya sedikit meja yang terisi.
”Kapan?” Desaknya lagi. Tidak memperdulikan keberatanku.
Aku berpikir untuk bangkit berdiri meninggalkannya. Baru kali ini seingatku seorang pak Willy bertingkah begitu menyebalkan.
Waitress tadi datang membawa pesanan minuman kami. Akhirnya! Aku mempergunakan waktu ini untuk mengatur nafasku. Menenangkan emosiku yang menggelegak. Aku bahkan sudah tidak perduli bahwa ia adalah atasanku. Aku tidak perlu menjawabnya. Aku tidak ingin menjawabnya.
Aku menyobek gula sachet dan menuangkan gulanya perlahan ke dalam cangkir cappuccinoku. Kemudian mengaduknya juga dengan perlahan.
”You’re not going to tell me.” Ia berkata perlahan seperti menggumam.
”Nope.” Aku menghirup kopi cappuccino panasku perlahan-lahan.
Ia menghela nafasnya dalam-dalam. Tiba-tiba aku merasakan kesedihannya.
”Saya menanyakan ini bukan sebagai atasanmu.”
”I know.”
”And you still don’t want to tell me?”
”Nope.”
”Kamu sengaja melakukannya setelah saya menuduh kamu?”
Oh, jadi waktu itu, pertanyaan itu ternyata sebuah tuduhan?
But I don’t want to fight.
Dan ini bukan tempatnya untuk bertengkar.
”Pak... why are you doing this?” Aku menatapnya sekarang dengan lebih tenang. Bagaimanapun kami pernah sangat-sangat dekat. Dan mengesampingkan caranya yang menyebalkan, keperduliannya kepadaku tetap membuatku merasa tersanjung. Aku berusaha berfikir positif, mencoba meredakan kekesalanku.
”Dia keponakanku, Jun.”
So?
”Apa kamu gak merasa bersalah, membuang pamannya dan kemudian tidur dengan keponakannya?”
Membuangnya???
Bullshit!
He knows me better than this.
”Why are you doing this?” Tanyaku lagi. Lebih lirih, seperti kepada diriku sendiri.
Dia tetap tidak menjawabku. Aku juga tidak ingin menjawab pertanyaannya. Pertanyaan-pertanyaan kami menggantung di udara. Barangkali memang pertanyaan-pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Some questions are best left unanswered.
Aku berhenti menatapnya. Aku meneguk kembali kopiku. Ia mengangkat gelasnya dan meminum birnya. Kami tidak berkata apa-apa lagi.
”Stay with me tonight, Jun.” Akhirnya ia berkata setengah berbisik. Memecahkan kebisuan yang lebih aku nikmati daripada percakapan kami yang menyebalkan. Ia menatapku mengharap.
”Kris dan anak-anak sedang di Sydney.” Lanjutnya menjelaskan.
Aku kembali menatap matanya yang memperhatikanku. Dan dalam sinar matanya itu... kini aku mengerti bahwa ia masih mencintaiku. Kata-kata cintanya kepadaku ternyata bukan cuma rayuan kosong. Dan aku kini tersadar kalau aku telah salah menilainya. Ia bukan orang yang mudah mengatakan cinta.
Ia benar-benar mencintaiku.
Sangat mencintaiku.
How can he love me?
He has a family.
Aku lebih suka jika ia menganggapku sebagai sex toy. Sex adventure. Boy toy. Or whatever he wants to call me. But loving me? Really loving me? That’s just crazy.
”Aku janji dinner sama Riduan.”
”Come to my house after that. Dia gak tinggal di apartmentmu kan?”
”No.” Aku menggelengkan kepala
”No?”
”Dia gak tinggal di apartmentku.”
”Kamu pernah cerita ke Riduan tentang kita?”
Aku menggeleng.
”Kamu rencana untuk cerita?”
”I don’t know.”
Sempat beberapa kali terpikir untuk menceritakannya. Tetapi rasanya selalu tidak cukup alasan yang baik untuk menceritakan hubunganku dengan pak Willy kepada Riduan. Lagipula itu toh sudah berlalu. Tidak ada urusan dengannya, kecuali bahwa pak Willy adalah Omnya. Om Willy untuk Riduan, yang membantu mensponsorinya kuliah di London. Dan ia bagiku my ex-lover. Mantan selingkuhanku, atau lebih tepat aku mantan selingkuhannya.
Sempat beberapa kali kubayangkan beberapa ragam reaksi Riduan bila mendengar kisahku dengan pak Willy. Tidak ada satupun yang menyenangkan. Aku tahu aku harus memberitahunya suatu saat nanti. Maybe the sooner the better.
Tetapi sampai sekarang, setelah hampir satu bulan resmi berkencan dan belasan making love sessions, tidak sekalipun Riduan pernah berkata mencintaiku. Akupun tidak pernah berkata mencintainya. Sepertinya kata-kata I love you tidak terdapat dalam kosa-kata kamus kami pada saat berdua.
Apakah ia mencintaiku?
Dari tatapan matanya aku yakin ia mencintaiku.
Dari sentuhan lembutnya aku percaya ia menyayangiku.
Tetapi mengapa ia tidak pernah mengucapkan kata sayang atau cintanya?
Apakah ia menungguku memulainya?
Aku memijat leherku yang tiba-tiba terasa kaku dengan telapak tanganku.
”I love that neck.” Katanya perlahan. Menatapku dengan lembut. Tatapan yang begitu dalam mencintaiku. Begitu mengharapkanku. Sesuatu yang luput aku perhatikan selama bersamanya. Atau mungkin dulu tidak pernah sebesar saat sekarang. Saat setelah kita berpisah. Bukankah memang kita selalu menginginkan yang tidak mudah kita dapatkan.
Aku terbayang tangannya sedang memijat leherku pada saat aku di pelukannya. Dan ia akan mengecupnya dengan lembut dan mengatakan betapa ia mencintaiku. I used to think that was just a sweet lie.
Aku mengeluarkan handphoneku. Menekan speed dial di no. 3. No. 1 adalah voice mail. No. 2 nomor telepon kantor. Dan no. 3 Riduan.
”Hai.” kataku setelah mendengar suara Riduan di ujung sana.
”I won’t be able to make it for dinner. Sorry... Aku masih lama sama pak Willy.”
Pak Willy terus menatap mengawasiku menelpon. Riduan tidak keberatan ataupun curiga. Lagipula apa yang harus dicurigainya.
Aku mengakhiri percakapan teleponku dengan ”I’ll see you tomorrow.”.
”Saya di nomor berapa sekarang?” Pak Willy bertanya setelah aku menyimpan handphoneku.
”Nomor enam.” Aku tersenyum. Dia tahu dia dulu di nomor 2.
”Sekarang Riduan di nomor 2?”
”Nomor 3”
”Wah. Siapa yang di nomor 2?”
Aku tertawa.
”Mau check-in di sini?”
Aku menggeleng. Aku bosan short time di hotel dengannya.
”Bapak gak pernah nginap di apartment saya.”
”Kamu juga gak pernah nginap di rumah saya.”
Di rumahnya ada banyak pembantu.
”Dinner di tempat saya jam 7, ok?” Tanyaku akhirnya.
Aku melihatnya mengangguk tersenyum. Kebahagiaan terpancar di dalam sinar matanya. Membuatku ikut merasa bahagia. Am I making the right decision?
***
Aku menyandarkan tubuhku dalam pelukannya. Mataku masih menatap televisi. Tetapi pikiranku melayang, tidak mengikuti ceritanya sedikitpun. What am I doing? Why am I doing this? Mengapa membuatnya bahagia penting bagiku. Dan tidak mengecewakannya menjadi sesuatu yang berharga bagiku.
Apakah ia menggantikan sosok ayah yang selama ini hilang dari hidupku. Aku tidak pernah dapat menemukan jawaban pasti di dalam hatiku. Aku hanya tahu bersama pak Willy hidup ini tidak pernah complicated. Seolah-olah, apapun permasalahannya, ia selalu punya jalan keluarnya. Dan sifatnya yang tenang dan bijak, meskipun kadang terkesan berlebihan, selalu menenangkanku. Kebaikan hatinya meluluhkan hatiku.
Jika aku menempatkan diri di tempatnya, apakah aku masih bisa bersabar melihat anak buahku meninggalkanku begitu saja setelah tidur bersama sekian lama.
Meskipun perpisahan itu aku lakukan untuk sebuah kebaikan. Kebaikan menurut siapa? Bukankah ia tidak pernah menuntut apa-apa selama jalan denganku. Jika aku berkeberatan atas statusnya yang berkeluarga sementara ia tidak pernah berkeberatan apapun tentang aku. Lalu apakah adil aku menuntutnya ini dan itu?
Aku selalu meyakinkan diri bahwa aku berpisah dengannya untuk sebuah kebaikan. For a good cause. For the greater good. Tetapi bukankah di lain sisi aku juga berpisah dengannya karena aku takut merasa bersalah. Aku takut dipersalahkan. Sementara sepertinya ia siap menerima seburuk apapun konsekuensinya. Aku yang tidak siap. Aku yang sepertinya menuntut lebih darinya.
Jika demikian maka bukankah aku yang egois. Meskipun aku melepaskannya karena memikirkan keluarganya? Siapa yang menyuruh aku memikirkan keluarganya? Sementara selama ini toh perjalanan keluarganya baik-baik saja. Kalaupun ada sedikit kecurigaan dari mbak Kris, itu sudah berlalu dan semuanya kembali berjalan dengan baik. Apakah aku ingin menuntut memilikinya sepenuhnya untuk diriku?
Suatu saat Riduan pun akan menikah. Aku tak akan pernah bermimpi untuk menghalanginya menikah. Bukankah suatu saat aku juga akan menikah. Bukankah pernikahan antara dua orang pria masih juga terasa janggal di benakku. Aku mencintai pekerjaanku, statusku dan kehidupanku yang normal. Normal dalam tanda petik. But then again, berapa banyak orang yang benar-benar normal di dunia ini? Apakah being straight menjamin seseorang benar-benar normal dalam kehidupannya? Absolutely no guarantee.
Dan lagi, aku masih ingin memiliki anakku sendiri. Anak yang aku besarkan dengan cinta kasih penuh dari seorang ayah yang dapat dibanggakannya. Anak yang tentunya aku dapatkan dengan menikahi seorang perempuan. Dan aku yakin aku masih punya banyak tempat di hatiku untuk dapat menyayangi seorang perempuan. Ibu dari anak-anakku. Dan aku ingin anak-anakku merasakan hidup bahagia seutuhnya, merasakan kasih sayang sepenuhnya dari ayah dan ibu yang lengkap. Tanpa harus menjalani kehidupan penuh cemooh dalam masa pertumbuhannya. Tanpa harus melalui apa yang pernah kulalui.
Ahhh, lagi-lagi aku memikirkan Riduan
Di saat seperti ini pun aku membayangkan Riduan.
Aku menjauhkan wajahku dari pak Willy dan menatap matanya. Kelihatannya ia mulai bernafsu. Kami duduk tegak kembali. Aku bergeser mengambil posisi bersila menghadapnya. Kaki kirinya menekuk di atas sofa. Ia juga menghadapku.
Aku memajukan wajahku mencium pipinya. Aroma cologne yang dipakainya lembut memasuki hidungku. Aku menjauhkan wajahku kembali.
”I can’t have sex with you.” Aku menatapnya menunggu reaksinya. Ia tidak bergerak. Masih menatapku. Pandang matanya pun tidak berubah. Aku melihat sinar matanya yang menyayangiku.
”Maksud kamu malam ini atau selamanya?”
”Malam ini. Mungkin selamanya. Aku gak tau... Definitely not tonight”
”I think I’m in love with Riduan.” Lanjutku.
”Does he know?”
”Maybe... tapi aku belum pernah bilang.”
”Can’t you love us both?” Tanyanya dengan sinar mata seperti kalau ia sedang mengucapkan sesuatu yang lucu. Pada saat menceritakan banyolan-banyolannya.
Aku tersenyum.
”Pak... you know I love you. I always will. I just can’t have sex with you anymore.”
Ia menghela nafas panjang.
”Jadi sekarang saya harus pulang atau gimana nih?”
”Please stay.”
Ia tidur di kamarku malam ini, untuk pertama kalinya. Ironisnya justru kami tidak melakukan apa-apa. Ia tidur di pelukanku, sepanjang malam memelukku. Aku sepanjang malam memikirkan Riduan.
Bahwa aku harus mengatakannya.
Bahwa aku harus menceritakannya.
Apapun reaksinya, aku berharap cintanya kepadaku akan mampu membuatnya menerimaku.
Apa adanya.
***
apalagi bacanya dari awal td jam 7an..haghaghag
bener sih, sejauh ini rasanya masih ada yg kurang 'ugghh' padahal udah 9 page dengan apdetan yg panjang2..
Penuh dg rincian..jadi rasanya melaju gitu aja..
tapi bahasanya yg dapet jd masih nyaman aja dibacanya ga yg terlalu bertele-tele gt..hehehe
mungkin setelah ini bakalan muncul gregetnya ya..
#siap2perangduniake3
Haish, Jun ini. Stick to one guy, gak usah ngasih harapan sama Pak Willy segala, You let him go before, so stick with it. Grrrr!!!
Buat TS-nya, disudahin aja deh Pak Willy ama Jun-nya, ntar muter2 sekitar itu doang ceritanya. Takutnya, lama2 jadi ketebak jalan ceritanya mau dibawa kemana. Ini udah mulai bisa aku tebak sih, meski nggak yakin juga tebakanku benar Insting pembaca gak tahu diri, lol
Tentang tulisannya sendiri, aku nggak mau komen apa2 ah. Aku mau baca aja, gak mau kasih opini macem2. Lagi nggak sharp nih otaknya buat ngasih opini macem2
lanjutkan!