It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@AwanSiwon pedobear = keknya sebutan utk pedophil yg berbulu lebat kalee :-D
Hampir dua minggu ini aku selalu berusaha menghindar dari Pak Willy. Tentu saja lebih sering tidak berhasil. Bagaimanapun aku adalah tangan kanannya di kantor marketing ini. Hampir semua clients dan permasalahannya ada dalam otak dan genggamanku. Boleh dikatakan aku merasa ia bergantung hampir 100% kepadaku untuk menangani setiap pekerjaan yang ada di kantor ini.
Ia tetap memulai morning meeting, dan aku tetap yang mengakhirinya. Ia tetap datang ke kantorku menanyakan ini dan itu. Ia kerap memanggilku ke kantornya untuk mendiskusikan berbagai hal. Ia tetap melontarkan gurauan-gurauannya. Ia tetap memberikan perhatian kepadaku seperti biasanya. Membuatku begitu susah menyembunyikan perasaanku. Sometimes rasanya aku ingin berteriak-teriak melampiaskan kebencian kepadanya. Dalam kesempatan lain aku ingin menanyakannya baik-baik, mengapa ia tega melakukan hal seburuk itu.
Mungkin saja ia mulai merasakannya.
Sebab aku tidak pernah lagi menatap matanya.
Jika aku tidak bisa menghindar darinya.
Paling tidak aku masih bisa menghindar menatap matanya.
Beberapa kali dia bertanya. ”Are you ok?”, “Kamu sakit, Jun?” atau memberikan perintah, “Kamu perlu medical check-up.”, ”Periksa ke dokter, kamu kelihatan gak sehat.” Atau bahkan bercanda ”Kamu kemasukan setan apa?”
Dan aku harus menatap matanya memaksakan senyum, menjawab meyakinkannya bahwa tidak ada apa-apa. ”I’m ok.” Atau ”Nothing is wrong”.
Kecuali bahwa I hate you.
Dan bahwa aku tidak boleh berkata apapun tentang perasaanku.
Aku tidak boleh mencari penjelasan apapun tentang itu.
So, everything is wrong.
Very wrong!
Aku menjadi sedikit berubah. Sulit bagiku untuk tertawa lepas lagi, terutama di depan Pak Willy. Hubunganku dengannya kini hanya sebatas atasan dan bawahan. Kekakuan suasana pada saat aku berhadapan dengannya sering kali tidak terhindarkan. Terutama pada pihakku. Apalagi pada saat kami hanya berdua. Jika ada Riduan, ia sering melirikku tajam atau menyenggol kakiku sembunyi-sembunyi, mengingatkanku untuk tetap bersikap biasa. Bersikap wajar.
Aku berharap semakin waktu berlalu, semakin aku bisa meredakan kebencianku.
Mengapa aku begitu membencinya? Seharusnya aku tidak memperdulikannya. Begitu seharusnya lebih mudah. Bukankah yang dilakukannya di masa mudanya tidak ada sangkut pautnya denganku. Bukankah justru seharusnya aku berterima kasih kepadanya, karena perbuatannya telah membawa Riduan ke dalam pangkuanku.
***
Ketika aku bersiap-siap untuk mandi, HPku berdering. Aku melirik melihat nama Pak Willy di layarnya. Aku menekan tombol silence dan meninggalkan HP tersebut di atas meja kamarku tanpa me-reject ataupun mematikannya.
Aku keluar dari kamar mandi hampir 30 menit kemudian, setelah berlama-lama menikmati mandi di bawah shower hangat. Ada 2 buah missed calls di layar HPku. Aku memeriksanya dan melihat keduanya dari Pak Willy. Ada 3 buah SMS baru. 1 dari bank menawarkan discount ini dan itu, 1 dari Riduan ”I miss u.” dan 1 dari Pak Willy ”I’m coming to ur apt.”
Oh, no!
Tidak sampai satu jam kemudian bell pintu apartmentku berbunyi. Pak Willy berdiri di depan pintu memakai celana jeans pendek selutut dan T-shirt bermotif kotak-kotak putih. Aku menggeser badanku dan membuka pintunya lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Ia tidak berkata apapun. Aku tidak berkata apapun.
Ia tidak tersenyum. Aku pun tidak.
Pak Willy menghenyakkan tubuhnya di atas sofa. Wajahnya terlihat lelah. Terlihat sedikit lebih tua daripada yang selama ini aku ingat. Kaca matanya dijepitkannya ke atas kepalanya, di atas rambutnya. Tatap matanya yang terus memandangku terlihat sekali mengkhawatirkanku. Aku duduk mengambil tempat di sofa tanpa sandaran di sebelah meja rendah di depannya.
”Mau minum apa, Pak?” tanyaku berbasa-basi.
Pak Willy menggeleng. Menegakkan duduknya menatapku dalam-dalam. Wajahnya serius, belum pernah aku melihatnya begitu serius seperti ini. Aku merasa tidak enak. Benar-benar tidak nyaman.
”Ada apa, Jun? Ada yang kamu sembunyikan dari saya.” Tanyanya to the point. Langsung menuduh.
Tepat pada sasaran.
Aku tidak menatap matanya. Aku semakin terbiasa untuk tidak menatap matanya.
“Saya gak ngerti maksud Bapak.”
Ia menghela nafas.
“Saya kenal kamu bukan baru sebentar. Saya tahu ada yang kamu sembunyikan dari saya.” Ia mengulang kembali kata-katanya. Tuduhannya.
”Dan saya tahu...” Ia berhenti sejenak. Aku menunggu. Masih tidak menatap matanya.
”Bukan soal pekerjaan.” Lanjutnya.
”Kalau bukan soal pekerjaan. Saya tidak perlu menjelaskan apa-apa, kan?” Aku menjawab. Sedikit ketus bernada menantang. Sedikit merasa kurang ajar. Sesuatu yang amat jarang aku lakukan.
”Look at me.” Perintahnya. Aku menurut. Sekarang menatap matanya.
“Look at me and tell me it has nothing to do with me.”
Aku menunduk. Kembali menghindar dari tatap matanya. Aku tidak tahan melihat sinar ketidak-mengertian dan kebingungan di matanya. Aku juga tidak tahan menyembunyikan kemarahan dan kebencianku. Dadaku terasa sesak.
Aku juga merasa tidak berhak untuk marah kepadanya.
Tetapi amarah ini begitu susah disingkirkan
Apalagi aku tidak boleh meminta penjelasannya.
Aku telah berjanji untuk tidak berkata apapun mengenai hal ini.
“Saya ingin resign.” Kali ini aku menatap matanya. ”I didn’t know how to tell you.”
Pak Willy menghembuskan nafasnya dari mulutnya, seolah-olah ia sudah menahannya sejak tadi. Aku tidak dapat menebak perasaannya di balik hembusan nafasnya. Aku bahkan mengira ada sedikit kelegaan dalam hembusan nafasnya itu. Apa yang diduganya? Apakah ia telah menduga bahwa aku sekarang tahu skandalnya dengan keponakannya.
“Mau kemana?”
“Belum tahu. Maybe Bali.”
“Starting when?” Aku sedikit terkejut melihat ketenangannya. Sepertinya pengunduran diriku tidak terlalu banyak berarti baginya. Sedikit banyak aku merasa kecewa.
“I don’t know. 6 weeks from now is ok?” Kataku dengan sedikit ragu-ragu. Ia menatapku, dalam dan menyelidik. Mungkin menangkap keragu-raguan dalam ucapanku.
“How can I change your mind?”
Aku menggeleng, mencoba tersenyum. “Sorry.”
“Jun, you know you can talk to me about anything, don’t you?”
Aku membayangkan diriku menggelengkan kepala. Kenyataannya aku malah mengangguk perlahan.
“Kalau ada tawaran yang lebih baik dari yang saya berikan, you will tell me?”
Aku mengangguk kembali.
“Dan gak perlu bersikap aneh mengesalkan seperti dua minggu ini.”
Aku menggigit bibirku.
”Bikin saya kebingungan dan berpikir yang bukan-bukan.”
Aku ingin bertanya memangnya apa yang dipikirkannya.
Aku ingin mengkonfrontasikan.
Aku ingin mendapatkan penjelasan.
Sambil menelan ludah, aku menguatkan hatiku.
”Saya sempat khawatir kalau-kalau saya telah menyakiti kamu.” Kata Pak Willy sambil tersenyum.
Kerut lelah di wajahnya seperti menghilang.
”Saya bahkan sempat berpikir, kamu akan meninggalkan Riduan dan kembali ke saya dalam waktu dekat.”
Matanya sekarang mengerling jenaka. Seperti pada saat-saat ia bersemangat menceritakan gurauannya.
Aku menatapnya heran. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata guraunya yang memang tidak lucu. Aku mengenal baik setiap nada bicaranya.
”Ohh, he didn’t tell you...” Ia menggumam melihat wajah heranku.
“Soal apa?” Tanyaku. Mataku tajam menatapnya.
“No…” Katanya ragu-ragu, seakan menyesal telah terlanjur membocorkan suatu rahasia penting.
“Kamu tanya Riduan. It’s not my place to tell you.” Lanjutnya lagi, lebih ragu-ragu.
Mataku kini lebih tajam menatapnya.
“Tell me!” Kataku seperti berdesis mengancam. Aku mencondongkan badanku mendekat.
“I will tell you, if you promise not to resign.” Dia tersenyum lebar.
This is not a game.
For God sake!
And I am not playing.
Aku berdiri dari dudukku.
“I think you’d better go home, Pak. It’s late.” Kataku dingin.
“Ok, ok… But you don’t hear it from me, ok?” Katanya ketika melihatku mulai bergerak ke arah pintu.
Aku kembali ke tempat dudukku.
”Dan kamu janji untuk...hmmm, reconsider your resignation.” Ia kembali tersenyum.
Aku menatapnya sebal. Tidak sabar.
”Melinda balik ke Jakarta hari minggu ini.”
Itu berarti tiga hari lagi.
”Melinda?” Aku memandang pak Willy dengan bingung. Siapa Melinda?
Kali ini Pak Willy yang menatapku dengan heran. Melihat keheranannya detak jantungku serasa berhenti. Siapa Melinda? Apa hubungannya dengan Riduan? Mengapa ia tidak pernah memberitahuku? Tiba-tiba saja aku merasa begitu asing dengan sosok seorang Riduan. Sejauh mana sebetulnya aku mengenalnya? Aku bahkan tidak tahu wajah ayah dan ibunya. Aku juga tidak pernah tahu siapa teman-temannya di luar rekan kerja kami.
Pada saat kami berdua, aku merasa begitu dekat dengannya. Merasa dekat dengan hati dan dirinya seutuhnya. Pada kenyataannya aku tidak mengenalnya. Mungkinkah mataku telah dibutakan oleh perasaan dan nafsuku. Siapa Melinda?
***
Semakin komplit galau junaedi.
Cinta satu malam oh indahnya #goyang melinda :-P :-P