Meskipun aku dilahirkan kembali seribu tahun lamanya
Tak akan ada cinta yang lain selain cintamu
Orang yang akan selalu menerangi hidupku yang gelap
Orang yang akan menuntunku bila aku tersesat
Dan orang yaog akan selalu kuingat wangi parfumnya
Aku ingin sekali berterima kasih padamu
Tapi, aku tak sanggup, aku pun tak mampu
Karena aku sudah menjadi bodoh, idiot
Seorang lemah yang tak bisa melindungimu
Jika kau masih ingin berada disampingku hingga akhir
Kau akan lebih patah hati, kau mungkin akan jatuh
Jadi, aku hanya bisa menutup mulutku
Dan berharap kau akan bahagia
Walaupun sulit mengatakan bahwa aku mencintaimu
Itulah kenyataannya...
Walaupun dadaku sesak dengan harapan itu
Itulah kenyataanya...
Jangan menambah luka terlalu dalam...
Biarlah berjalan seperti biasanya
Mencintaimu, tapi tak mendapat cintamu
Hanya melihatmu dari jauh, aku akan menahan air mata ini
Hanya memandangmu diam-diam, aku akan memendamnya dalam-dalam
Bagiku itu cukup... karena itu sudah membuatku tersenyum
Terima kasih atas kenyataan yang kau berikan
Jangan menambah luka terlalu dalam...
Biarlah berjalan seperti biasanya
Mencintaimu, tapi tak mendapat cintamu
***
Adakalanya ia merasa bahwa dirinya tengah berada disebuah film lama yang penuh dengan konflik. Dunia yang tak pernah ia temui sebelumnya, begitu asing, begitu kejam. Ibarat debu, terkadang ia hanya mampu menahan tangis ketika tubuhnya terhempas, terlempar, terbuang, serta berputar-putar, bahkan terombang-ambing oleh permainan karakter dari film itu. Pandanganya sesekali mengabur karena air mata yang sering kali terjun bebas. Persendianya serasa remuk, detak jantungnya kian melemah sampai-sampai ia tak menyadari bahwa sebuah sentuhan hangat dengan sengaja menghapus butiran-butiran kristal dari pipinya, sepasang lengan kokoh yang tiba-tiba merangkulnya, membuat kelopak matanya memejam, meresapi aroma tubuh orang itu.
Oh ya... Ia ingin membalas pelukanya, agar orang itu tidak pergi dan tetap berada dalam dekapanya. Namun, tanganya tak dapat ia gerakkan, sangat kaku, sepertinya saraf-sarafnya sudah tak berfungsi lagi. Ia pun tak mendengar, padahal ia ingin mendengar suara orang itu serta ingin mendengar deru nafasnya. Oh... Tidak, ini seperti drama bahkan lebih dramastis dari itu. Kalau pun bisa, ia ingin mengucapkan terima kasih, hanya dua kata itu. Tapi, kenapa sulit? Lidahnya kelu, seakan-akan kerongkonganya tercekat.
Sekarang ia tahu, tak selamanya cerita itu happy ending, kadang-kadang harus berakhir dengan tangisan... bukan... bukan dengar air mata, sebab air matanya telah kering. Andaikan itu tak terjadi, ia ingin sekali melihat sinar mata dari orang itu, bentuk hidungnya, bibirnya, dahinya, wajahnya... dan, dan segalanya... karena ia merindukan orang itu. Sangat...
Sebab...sebab...
Memandang wajahnya adalah obat bagi dirinya...
Mendengar suaranya adalah nyanyian surga untuknya...
Merasakan deru nafasnya adalah hidup baginya...
Memeluknya... yah... dengan memeluknya, ia akan tersenyum untuk selamanya
Tapi, semua itu hanya bagian dari skenario film itu. Semuanya palsu... yah, hampir saja ia melupakan itu. Oh... Ayolah, ia mengingingkan orang itu, sekali lagi ia hanya menginginkanya, tiada lain, kecuali orang itu. Orang yang akan menemaninya, mendekap tubuh ringkihnya sampai terlelap di dada orang itu.
Comments
_In Your Eyes_
CHAPTER : 01
"Akhirnya... Kamu angkat juga panggilaku. Kamu kemana aja, Ru...? Aku nyaris meneleponmu hingga seratus kali dan ini sudah yang ke-99 kalinya gak jawab. Huft... Kamu mau coba ngehindar dariku, hah?"
Suara tenor yang melengking di balik percakapan itu sedikit membuat Syahru menjauhkan ponsel dari daun telinganya. Pria berparas manis itu meringis tertahan ketika pekikan lelaki di seberang sana berteriak keras hingga ia merasa alat pendengaranya berdenging.
"Levi... bisa nggak sih hari ini kamu nggak buat kepalaku lupa ingatan gara-gara suaramu itu?" balas Syahru sarkatis. Ia masih belum mengerti siapa itu Levi, rupanya. Sahabat sekaligus merangkap sebagai partner satu apartemenya itu selalu melebih-lebihkan dengan sifat hiperbolanya.
Terdengar desahan dari Levi. "Kalau kamu ngerasa nggak ingin dipusingkan, setidaknya kamu jawab panggilanku aja kenapa sih."
Syahru menegakkan punggung sambil bersila di atas ranjangnya. Ia baru saja terbangun dari tidurnya, dan langsung mendapat omelan bertubi-tubi dari sahabatnya. Nampak sekali nada suaranya yang ogah-ogahan mengankat telepon dari Levi. Matanya juga terlihat sayu, karena setengah hari bergelung dengan guling-guling. "Yach sih! Tapi kamu nggak perlu berteriak senyaring itu. Apa di sana ada orang? Kalau saja ada, mungking kamu sudah dianggap nggak waras sama mereka."
"Benar... Aku sudah gila karena ulahmu, Ru." kata Levi berapi-api, lalu melanjutkan. "Tapi... Bisa gak kamu datang ke cafe Heaven sekarang juga? Hari ini adalah penampilan pertamaku, Ru. Kamu gak lupa, kan?"
Syahru menerawang ke atas langit-langit, mencoba mengingat-ingat apa saja yang ada di pikiranya. Sesekali jarinya mengetuk ponsel yang tertempel di telinganya. Detik kemudian, ia tersentak sambil memukul dahinya. Beberapa jam sebelumnya, Levi memang mengancam Syahru apabila ia tak datang ke acara perdananya di cafe Heaven pukul delapan malam, ia akan dibunuh. Kenapa Syahru bisa lupa, ya? "Oh, ya... Aku hampir melupakanya." katanya dengan logat yang menipu.
"Ya...Tuhan, gimana kamu bisa lupa sih, Syahru?"
"Ah... nggak kok, aku tidak melupakanya. Hanya saja, aku baru mengingatnya."
Sekali lagi, desahan yang mirip bison di kala musim dingin itu mewarnai percakapan mereka. "Baiklah! Lupakan masalah penyakit amnesia dadakanmu itu. Tapi, kau bisa cepat kesini? Acaranya akan di mulai 30 menit lagi nih, aku cuma pengen kamu jadi orang pertama yang menilaiku, Ru." ucap Levi di sana diiringi lirikan Syahru ke arah jam weker di atas meja nakas yang bersebelahan ranjangnya. 07.30 malam.
Lalu Syahru kembali kepercakapan mereka. "Sebenarnya, aku ingin melihat penampilanmu, tetapi... hari ini aku sedang sibuk."
"Sibuk? Sejak kapan kamu jadi orang sibuk?"
"Sejak hari ini." jawabnya santai.
"Oh... Ayolah, Ru! Malam ini kamu libur siaran, kan? Jadi, jangan coba-coba membohongiku untuk yang ke sekian kalinya ya..." kata Levi penuh penekanan disetiap kata-katanya.
Alis Syahru memencing. Ia bodoh atau berpura-pura bodoh sih. Lelaki bertubuh mungil di ujung sana itu lebih tahu tentang dirinya sendiri. Reza Pahlevi itu pintar, karena kepintaranya, Syahru selalu dibuat tolol olehnya. "Tapi, aku benar-benar sibuk malam ini." Syahru berusaha berdalih.
"Apa dengan memeluk guling dan menutupi dirimu dengan selimut itu adalah bagian dari kesibukanmu, huh?" Kekehan kecil yang terlontar dari bibir tipis di balik percakapan itu membuat Syahru kesal pada dirinya sendiri. "Dari sini pun aku bisa melihat jika kamu sedang duduk manis di atas ranjangmu."
"Aku sibuk karena kepalaku saat ini sedang berteriak pusing... pusing... pusing dan sama sekali tak ada hasrat berdebat denganmu, Levi." lagi-lagi Syahru mendalih dengan alasan yang tak berbobot.
"Terserahlah, mau kepalamu pusing atau kamu benturkan ketembok hingga lepas, aku nggak peduli. Kamu harus datang sekarang juga, bukannya kamu sendiri sudah berjanji tentang ini?" belum sempat Syahru membalas.
Levi menambahkan. "Acaranya sebentar lagi dimulai, jika kamu masih setia dengan ranjangmu, kau akan mati." dan sambungan telepon itu terputus, menyisakan bunyi tut-tut dari ponsel Syahru.
Sial. Ia menghembuskan nafas pasrah. Ditatapnya layar ponsel sekilas dengan wajah yang bersungut-sungut. Dalam batinya, ia tak henti-hentinya merutuki nama lelaki itu. Syahru heran pada lelaki yang juga senasib seperjuanganya denganya itu. Kenapa sifat dan kepribadian Levi, 180 derajat bahkan 360 derajat berbanding terbalik dengan dirinya? Apa karena ia tak punya bibir setipis Levi, hingga lelaki itu dapat berbicara tanpa jeda sekalipun?
Ponselnya ia lemparkan sembarangan. Sembari memijat-mijat pelipisnya, ingatanya berputar ke kejadian apa saja yang terjadi selama 24 jam yang lalu. Yang benar saja, kenapa hari ini ia lebih banyak dikendalikan oleh bocah itu? Tadi pagi, Syahru harus memasakkan nasi goreng ketika bocah itu memelas bahwa perutnya kelaparan. Lain halnya dengan kakinya yang rela menahan nyeri di sekitar betisnya karena berlama-lama berdiri di mall hanya sekedar memilih pakaian yang cocok untuk Levi kenakan di acaranya yang terbilang perdana itu. Oh may...
Ini bukan kali pertamanya ia harus melayani sahabat se-apartemennya itu. Namun kali ini Syahru telah bertekat untuk pindah kamar dan tak tinggal satu apartemen bersama Levi. Biar tau rasa dia!
Ah, masa bodoh dengan semua itu, Syahru malah merebahkan kembali badanya ke atas kasur sambil membungkus tubunya menggunakan selimut. Entah sejak kapan rasa kantuknya mulai menguap, menyisakan insomnia yang berkelanjutan. Jika sudah begini caranya, ia tidak akan bisa tidur nyenyak lagi.
Lantas Syahru menyikap selimutnya sembari meniup poni-poni rambutnya yang berjatuhan di kening. "Oh Tuhan... benar gak sih aku asli keturunan orang Indonesia? Jika iya, dipastikan detik ini aku sudah memutus urat nadiku." keluhnya seolah-olah menyarah pada keadaan.
Syahru beranjak dari tempatnya dalam keadaan tertatih-tatih. Pening yang menyerang kepalanya masih cukup kentara ia rasakan. Syahru membuka almari dan memilih beberapa pakaian, seperti jaket hodienya yang cukup kebesaran, jujur saja... Syahru memang tak punya jaket lagi, selain jaket yang tanpa sadar berbalapan dengan tubuhnya. Ia mengenakan topi beanies, serta sepasang sepatu berwarna putih cerah. Di luar sekarang dingin setelah diguyur hujan, jadi Syahru memerlukan semua perlengkapan ini untuk melindunginya dari flu ataupun deman. Takut-takut ia nantinya mati membeku di luar sana. Lagian, tubuhnya sangat rentan sama hal yang dingin
Syahru bergerak kesamping tempat tidurnya, kemudian mengambil tas selempangan berukuran sedang tepat di atas meja nakas yang bersebelahan dengan tumpukan buku-buku, di bawah sinar lampu resikel teak. Satu hal yang ingin ia lakukan ialah melihat serta mendengar Levi bernyanyi di cafe Heaven walau ia sendiri melakukanya setengah hati- pantasnya tak berniat setulus hati. Langkah Syahru terhenti ketika ia merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Kemudian ia berbalik, lalu melangkah ke kasurnya dan mengambil ponsel.
"Semoga kehadiranku mampu membuat Levi tampil lebih baik. Tentunya ia tak akan mengecewakanku kali ini." gumanya
.
.
:: MAKE YOU FELL MY LOVE ::
.
.
Sopir itu menghentikan taksinya tepat di depan sebuah apartemen. Aksandria Kiano Al-Banjari sedikit terhenyak ketika tahu-tahu taksinya berhenti, menandakan bahwa ia sampai tujuan. Sopir itu membukakan pintu untuknya, setelah itu mengambil koper di bagasi. Kiano tersenyum ramah kepada lelaki separuh baya itu sambil membungkukkan badan disertai ucapan terima kasih sebelum taksi itu melesat meninggal bekas sapuan angin yang menggerak-gerakkan anak rambutnya.
Kiano menghela nafas panjang. Ditangan kirinya, ia mememegang papan lukis dan sebelah tanganya lagi menjinjing tas koper. Matanya ia edarkan kesegala arah dari bangunan yang lumayan besar itu. Ia menyeret kakinya menuju bangunan itu. Dari tempatnya berpijak ia bisa melihat balkon-balkon sempit yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman hias, satu alat penjemur pakaian yang juga terdapat dua kursi menghadap ke barat yang dipagari besi tempa putih indah memagari balkon itu.
Kiano memasuki bangunan itu, lalu menaiki anak tangga seusai mengambil kunci apartemen di bagian penerimaan tamu. Kiano memang sudah memesan kamar tiga hari sebelum ia tiba di Indonesia. Ia tak perlu menunggu terlalu lama memasuki apartemenya. Yang Kiano butuhkan hanyalah ranjang. Yah, di benaknya hanya ada benda empuk nan hangat itu. Sejam lalu, saat ia keluar dari bandara, Kiano berencana istirahat beberapa jam. Kalau bisa ia ingin tidur hingga esok pagi tanda ada gangguan. Seluruh tubuhnya terasa letih, saking letihnya ia bisa saja menaiki tangga-tangga itu sambil tertidur. Tidak... tidak, Kiano tak boleh tertidur jika tak mau dirinya terhuyung ke belakang, bersiap-siap menerima yang terburuk.
Ia menggeleng-gelengkan kepala, seraya menghirup nafas.
Butuh tenaga ekstra baginya menapaki beberapa anak tangga, mengingat barang-barangnya cukup banyak membuatnya sulit bergerak. Ia kerahkan segenap konsentrasinya yang tersisa. Tak mau tiba-tiba kakinya tergelincir dan menjadi salah satu dari sekian banyak korban gravitasi bumi.
Kiano sampai di pertikungan tangga untuk menaiki tangga yang kedua. Saat itu pun, mata musangnya membentur seseorang berjaket warna merah tua. Wajah orang itu sangar tak jelas, karena sebagian mukanya tertutupi kerah leher jaketnya yang melilit leher orang itu. Samar-samar, pendengaran Kiano menangkap lemparan-lemparan umpatan melalui mulut orang itu, sambil sesekali meremas-remas kepalanya yang tertutup beanies.
"Oh... Levi, kamu memang ingin menjadikanku zombie berjalan, yah..."
Mau tak mau alis Kiano mengernyit, melihat orang itu bermonolog sambil mengeluh yang entah ditunjukkan pada siapa. Sejak saat itulah, Kiano menyimpulkan bahwa orang dengan Jaket yang kebesaran itu adalah seorang gadis. Tak tahu dari mana spekulasi itu muncul sebab ia merasa separuh wajah orang itu mewakili fakta bahwa orang itu adalah gadis manis yang sedang merajuk.
Obsidian Kiano tak lepas memandangi gadis itu, ketika menuruni satu persatu anak tangga. Saat jarak gadis itu sangat dekat, Kiano dapat melihat ponsel yang dipegang gadis itu. Ternyata, gadis itu masih belum menyadari keberadaan Kiano yang terbengong-bengong.
Namun, sekonyong-konyongnya kaki kanan gadis itu tergelincir dari pijakan di saat yang tak tepat, membuat tubuh gadis itu hilang keseimbangan. Otak dan perasaan Kiano sejatinya belum sepenuhnya terjaga tetapi kedua tangan Kiano lebih dulu bekerja. Kiano yang masih belum kuat dalam artian sangat lelah, dengan sigap merangkul pinggang ramping gadis itu. Sialnya, tubuh Kiano malah terhuyung kebelakang dan membentur dinding sangat keras.
Maka terciptalah adegan 'tangkap rangkul' yang aneh. Dimana posisi Kiann yang menempel di sudut tembok seraya menahan sakit di punggungnya. Bila begini terus, lama-lama ia bisa lumpuh, pikir Kiano.
Sementara gadis penyebab adegan kesialan itu, meringis kesakitan dengan kepala yang berbantal paha Kiano. Tangan kananya mengelus-elus pantat. Siapa sanka, jika gadis itu mendaratkan bokongnya pertama kali ke permukaan lantai. "Aww... aduh... pantatku... sakit..."
Mendengar ringkihan gadis itu, buru-buru Kiano mengenyahkan segala rasa sakitnya. Dua-tiga-empat, untuk spersekian detik, mata mereka saling membentur satu sama lain.
Sepasang onyx itu membulat seketika. Ada rasa aneh yang transparan yang secara tak disangka-sangka mengganjal dalam pikiran Kiano, entahlah apa itu. Mata itu... mata itu... begitu indah. Demi Dewa Neptunus, ia tak pernah melihat sepasang mata yang menghipnotis dunianya untuk berhenti berputar. Mata itu, mampu menghilangkan segala oksigen di paru-parunya. Mata itu, mampu menguapkan segala ngilu-ngilu di sekujur organ tubuhnya. Mata itu, sanggup membuat Kiano lupa daratan dalam sekejap. Mata itu... berhenti! Kata-kata apa itu?
Yang merasa dipandangi dengan sorotan tajam itu, tidak bergerak sedikitpun. Entah setan apa yang tiba-tiba merasuki gadis itu hingga seluruh persendianya kaku layaknya boneka kayu. Alih-alih menyadarkan gadis itu. Kedua matanyanya mengerjab satu kali, lalu gadis itu terkesiap dan buru-buru bangun seraya merunduk pada Kiano. "Aduh... Sorry mas... Saya nggak bermaksud berakrobat." ucapnya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Giliran Kiano yang tersadar dari penyakit apopleksinya. Ia ikut berdiri di samping gadis itu yang tengah merapikan kembali pakaian dan tas selempangannya.
Kiano berdeham pelan. "Apa mbaknya nggak apa-apa?" tanyanya.
"A-apa? MBAKKK?"
Kiano agak kaget mendengar pekikan gadis itu, lalu memasang tampang tak berdosa.
"Anda memangil saya mbak? Hah... dari sisi mananya anda melihat saya itu wanita?" hardik gadis itu, sembari mengangkat dagunya seakan menantang. Kedua matanya membelalak seperti mengancam.
Kiano mengamati sekali lagi dari kepala hingga ujung kaki, kemudian kembali menjatuhkan pandangan kepada gadis itu. "Tak ada yang membedakan. Kamu benar-benar seorang wanita, kan?"
Decihan mengejek terlontar dari mulut gadis itu. Wajahnya dipalingkan ke arah lain, memutuskan kontak mata dengan Kiano. "Ya ampun... Gue harus ngoperasi plastik wajahku mirip siapa sih."
Kening Kiano berkerut heran. Sudah pasti. Apa yang baru saja gadis itu bicarakan?
"Oke deh, mas..." lirih gadis itu seraya mengulum senyum paksa. "Mas salah mengenali saya sebagai wanita, karena sebenarnya saya seorang pria." Gadis itu lalu mengambil ponselnya yang terburai di lantai, kemudian melangkah gontai menuruni tangga serta menggerutu tak jelas.
"T-tunggu mbak... eh, maksud saya mas..." cegat Kiano gelagapan.
Orang itu berhenti, namun tak berhasrat membalikkan badannya.
"Handphone milik kamu rusak, apa itu tidak apa-apa? Saya bisa ganti." Mungkin cara yang seperti inilah dapat mengklarifikasikan kesalah pahaman ini. Kiano sepenuhnya bersalah, sudah pasti ia harus meluruskanya.
"Nggak usah! Makasih..." dan pria itu pun pergi meninggalkan Kiano yang mematung seolah-olah nyawanya baru saja dicabut oleh malaikat maut. Kiano tertegun menatap jejak-jejak punggung gadis... bukan lagi, tapi tepatnya pria itu-meski Kiano sendiri tak yakin akan kenyataan itu-menghilang di telan pintu.
Kesan pertama yang buruk, batin Kiano dongkol. Kemudian membereskan barang-barangnya yang terkocar-kacir. Sewaktu mengambil papan lukisnya, ia memejamkan kedua matanya sambil menengadah ke langit-langit. Lalu menaiki tangga dengan perasaan apes...
.
.
Akan berlanjut di chapter yang selanjutnya...
KOAR2 NICHIE
Yes! Akhirnya impianku tercapai juga untuk menjadi author di sini. Ini adalah cerbungku yang masih amatiran, jadi sudah pasti sangat aneh dan tak layak untuk dibaca. Karena itu, supaya ceritaku lebih baik dan layak dibaca. Sudikah kawan2 memberikan saran dan kritik di kolom komentar.
@kikiriel @inlove @adhi_07 @Adra_84 @riduan @Jhoshan26 @Henry_13
dikit koreksi di prolog lal. .
Tangannya bukan tanganya. .
Ada 3 kata mungkin. .
Tetap semangatz. .
Hyung tetep nunggu tantangan yg pernah hyung kasih
tunggu di chapter selanjutnya yah...
hehehe, soalnya nichie lg iseng2 buat nulis nih cerita, tp tunggu yah di chap berikutnya, mgkn di chap berktnya agak sedikit membosankan...
yach...hyung blm lupa ternyata...
tenang aja hyung, aku bkalan buat kok, sebentr lg aku jg gak bkalan sibuk sm sekolahan...
nichie tggu komenmu selanjutnya yah...
Saat pertama baca cerita ini, sudah dpt feelnya. Bhasanya pun mudah dimengerti, sehingga membuat aku yg baca seperti berada di dalam cerita tersebut. Good job @Elnichie,,, jngan lupa panggil aku jika sudah diupdate cerita ini.
Tetap semangat @Elnichie,,,
^_^