It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Syahru... gimana menurutmu penampilanku tadi itu. Apa penampilanku tadi cukup memuaskan?"
Syahru mengalihkan pandangan dari kerumunan pejalan kaki di balik kaca bus kepada sahabatnya yang memasang tampang polos. "Ya... sangat bagus. Saking bagusnya aku nggak bisa mengungkapkanya dengan kata-kata jika suaramu tadi sangat luar biasa merdunya." ucapnya datar, tanpa ekspresi, tanpa intonasi, dan tanpa ada hasrat untuk mengomentarinya. Ah, Syahru... mengapa kau tiba-tiba merasa hiperbola? Tapi, percayalah... Ia memang sedang nggak mood untuk diajak bicara.
Levi memincingkan alis tak yakin. Sikap maupun tindak tanduk Syahru ia paham betul. Apalagi makna tersirat dari setiap ucapan Syahru. "Kamu tulus nggak sih bilangnya?"
"Apa aku terlihat tidak tulus?"
"Sebab, aku nggak ngelihat kesungguhan dari ucapanmu." Nada suara Levi memberat. Pertanda bahwa ia agak risih pada Syahru.
Syahru menghembuskan napas. Pandangan matanya jauh ke depan. Saat ini mereka berdua tengah duduk di barisan bus paling belakang, tidak terlalu ramai. Di luar, Jakarta sangat dingin, namun Kota itu memang tak akan pernah mati, masih belum menampakkan tanda-tanda mengantuk. "Dengan cara apa aku harus membuatmu yakin tentang ucapanku?"
Dari sudut irisnya, Syahru menangkap aura tak nyaman dari tatapan Levi. Begitupun, cara duduknya yang mulai merasa tak senyaman dari yang sebelumnya. "Mengapa kau menatapku dengan mata seperti itu?" protesnya yang sudah merasa jengah.
"Dengrin gue ya Syahru!" ingat! Jika Levi sudah berkata 'loe-gue' seperti ini, pertanda bahwa emosinya berada di ujung ubun-ubun. Sangat marah. "Kita bersahabat sejak kecil. Aku tau gimana sifat dan kepribadianmu dari luar maupun dari dalam dirimu. Saat ini, aku melihatmu bersikap tak peduli denganku. Apakah kamu masih sahabatku, Ru...?"
"A-apa yang kau maksud?"
"Masih nggak mengerti? Atau loe memang sengaja berlagak seolah-olah bodoh, nggak mengerti, begitu?" kini suara Levi naik beberapa oktaf.
Syahru hanya mengatup bibirnya, kalut. Sudah jelas ia mulai mengkeret. Sebenarnya ia menyesal telah mengacuhkan Levi dengan sikap yang seperti Levi orang asing baginya. Tidak sepatutnya ia menumpahkan kekesalannya pada sahabatnya itu. Tapi mau dikata apa, mood Syahru terlalu buruk hari ini. Melawan kata-kata Levi, sama halnya memicu perdebatan yang sulit diramal endingnya. Ngomong-ngomong, apa sih yang bikin Syahru bad mood? "Oke, aku minta maaf jika kamu merasa nggak enak dengan sikapku. Demi brownis coklat buatanku, aku sungguh menyesal, Levi..." beginilah... Ia berbicara dalam keadaan menunduk dalam-dalam berharap sang lawan bicara mau memaafkanya.
Melihat itu, kedongkolan Levi mulai berangsur menghilang. Baginya Syahru adalah ibu sekaligus ayah untuknya. Ia tak mau melihat Syahru bermuram durja, apalagi membuatnya merasa bersalah padanya cuma karena ucapan Syahru yang menyinggung perasaanya. Tak mungkin seorang Syahru Yose Rizal mau menghancurkan sahabatnya sendiri. Lagi pula, kurang cukup kah Syahru bersedia meluangkan waktunya demi menonton penampilanya di Cafe Heaven?
Serakah. Pikiranya tercerabut oleh kata itu. Oh, Tuhan... Kini, Levi merasa bahwa dirinya adalah makhluk paling serakah yang pernah Tuhan ciptakan.
Seolah tercekat, Levi menghela napas panjang.
Hening...
Hingga...
"Aku lebih suka brownies selai kacang dari brownies rasa coklat."
Suara Levi memecah keheningan antara mereka. Ketulusan terpancar dari nadanya.
Syahru mengangkat kepalanya dan memandang tulus pada sahabatnya. Ia mencoba untuk berkaca pada onyx bening Levi.
"Bagaimanapun, aku nggak pernah bisa membencimu, Ru... Meskipun kamu terlahir hanya untuk membuatku selalu kesal, marah sampai telinga dan hidungku mengeluarkan asap atau kepalaku bertanduk sekalipun, kamu tetap sahabatku... ibuku... dan ayahku. Karena... bila tak ada kau, aku tidak akan selamanya bisa mencicipi makanan paling enak buatanmu." ucap Levi tersenyum malu-malu.
Itu sangat konyol namun cukup membuat Syahru tak berkata-kata. Ia terhenyak olah perkataan lelaki super duper imut ini. Mau tak mau, sudut bibir Syahru tertarik keatas, menandakan bahwa dirinya tersenyum untuk yang satu ini. "Bagaimanapun juga, Levi adalah sahabatku sejak kecil. Meski kamu selalu membuatku kesal karena ulahmu sampai rambutku bisa beruban dalam waktu dini. Kamu tetap menjadi seseorang yang akan selalu kujadikan kelinci percobaan di setiap masakanku." ungkapnya tak kalah aneh dengan Levi.
Lalu, gelak tawa mewarnai perjalanan mereka kembali ke apartemen.
.
.
.
Levi melirik jam tanganya. Pukul 11 lewat 35 menit. Ia memperhatikan Syahru yang tengah menggosok-gosokkan telapak tangan sembari menempelkannya ke wajah demi menetralisir hawa dingin malam ini. Levi mengalihkan pandang ke arah dua kresek putih yang tergantung di tanganya. Beberapa menit yang lalu mereka berdua berhenti di sebuah supermarket yang tidak jauh dari apartemen mereka, guna membeli beberapa bahan makanan untuk besok. Rasanya ia sangat capek sekali, apalagi ia juga sedang menyandang gitar yang dipasang terbalik di punggunya.
Ketika mereka hampir tiba di pintu apartemen, Levi menghentikan laju jalanya. Sebersit ingatan muncul di benaknya.
Menyadari langkah kaki Levi yang tiba-tiba berhenti. Syahru memutar tubuhnya menatap sahabatnya itu. "Levi... ada apa?" tanyanya jeri.
"Syahru, aku baru ingat bahwa penghuni apartemen baru sebelah kita tiba hari ini."
"Benarkah?" tanya Syahru tak yakin.
Anggukan kepala Levi menjawabnya. "Kata paman pemilik apartemen, penghuni apartemen baru itu akan tiba hari ini dari amerika. Mungkin dia sudah menempati apartemen kosong itu."
"Oh..." bibir mungil Syahru membulat sambil mengangguk mengerti. Namun, sedetik kemudian mata does itu terbeliak. "A-apa? Penghuni apartemen baru itu sudah tiba?"
Yang awalnya sibuk membuka pintu apartemen langsung menjauhkan pendengaranya saat menangkap suara yang cukup membuatnya tuli di tempat. "Aish, Syahru! Kamu bisa menghancurkan gendang telingaku."
"Ah, sorry..." sesalnya yang tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. "Eh... ngomong-ngomong penghuni baru itu seorang pria atau wanita?" tanya Syahru penuh bimbang.
Levi mengedikkan bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Lebih baik kita segera masuk. Udara sangat dingin bisa-bisa aku mati kedinginan di sini."
Belum sempat kenop pintu itu dibuka oleh Levi, tangan Syahru mencengkram pergelangan tangan Levi begitu erat dan keras. Membikin Levi terkejut dan sontak memberikan deathglare intimidasi. "Hei, kamu nyaris membuat tanganku patah. Aku tau kamu sangat senang ingin bertemu dengan penghuni baru itu, kan? Tapi nggak terlalu pake sikap seantusias itu kali. Bisa-bisa..."
Syahru tak menghiraukan teriakan sahabatnya. "Apakah paman Surya nggak mengatakan apa-apa lagi tentang penghuni baru apartemen itu selain dia tiba dari Amerika?" pertanyaan itu meluncur tanpa mengubris lipatan-lipatan kening Levi.
"Tidak ada lagi, paman Surya hanya...oh, ya, aku baru ingat... katanya penghuni apartemen baru itu seorang pelukis handal loh. Hm, aku jadi nggak sabar, sebagus apakah lukisannya hehe..."
Syahru menggigit kuku jari tanganya. Pelukis? Seorang seniman? Dua kata itu melayang-layang bak layangan putus dalam benak Syahru. Ia yakin kalau orang yang dibuatnya sebagai matras darurat beberapa saat yang lalu itu bukanlah penghuni apartemen sebelahnya. Pasalnya, penampilan seorang seniman tidak lah semenarik pria pada umumnya. Dengan pendapat bahwa cara seniman berbusana yang tidak ada juntrungnya, rambut yang kalang kabut seperti baru kesengat listrik, mata yang seseram singa, selalu memakai topi, dan punya kebiasaan nyeleneh. Tunggu dulu... memanganya Syahru ingat orang itu seperti apa? Kenapa tiba-tiba berspekulasi begitu? Ah, abaikan saja!
Tapi, apakah semua seniman berpenampilan seperti itu? Apakah seniman selalu tidak lepas dari topi? Apakah itu benar? Syahru memang tak tau jelas wajah pria itu, tetapi kenapa ia begitu gelisah memikirkanya?
Baiklah, mau penghuni apartemen itu pria lain ataupun pria yang sama yang telah ia marahi tadi, ia tak peduli. Toh, belum tentu penghuni apartemen itu seorang pria. Yah, mungkin ia salah tafsir. Lalu, bagaimana jika tafsir itu memang betul? Mau ditaruh mana mukanya? Bagaimana jika pria itu minta pertanggung jawaban atas apa yang telah ia perbuat karena sudah membuat punggunya sakit? Oh, tidak, cekalah Syahru. Syahru menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak boleh seyakin itu. Ia harus memastikanya terlebih dulu.
"Hei... Ru! Kamu tidak apa-apa? Kau tidak sedang sakit, kan? Jangan bilang kamu sedang kesurupan setan?" celutuk Syahru setelah melihat wajah Syahru yang pucat pasi.
"Ah, nggak kok... aku baik-baik aja." tukas Syahru.
Levi mengangguk paham sambil melangkah memasuki apartemen, lalu meninggalkan partner satu apartemennya yang masih membatu beserta pikirannya.
.
.
.
Tak henti-hentinya ia menjentik-jentikkan kukunya hingga nyaris lepas dari ujung jari tanganya. Pandanganya sibuk menekuri langkah-langkah kaki yang seiring saling bergantian. Tanpa sadar, langkah itu terhenti tepat di depan sebuah pintu bercat coklat tua. Syahru menghela napas. Kemudian memiringkan posisinya mengarah tepat di hadapan pintu itu. Otaknya kembali berlari ke masa beribu-ribu detik yang lalu.
Sekali lagi ia hembuskan napas penyesalan. Ia turunkan trasleting jaketnya beberapa senti dari lehernya. Tereksposlah wajah milky skin Syahru yang pucat pasi. Enggan, ia lalu melangkah selangkah demi mendekatkan dirinya pada pintu bernomorkan 124 itu. Ada sesuatu yang ia harus lakukan. Suatu keyakinan yang harus ia pastikan. Keyakinan bahwa orang yang berada di dalam sana, bukanlah orang yang sama ia temui tadi. Dalam perasaan yang bimbang, Syahru ayunkan tanganya, setengah menggantung di udara. Namun, tak sampai menimbulkan bunyi ketukan, ia menarik lagi tangan kananya. Aneh sekali, ia begitu ragu melakukanya.
Pintu sebelah berderit, menampilkan sosok Levi yang menyembul dari balik pintu. Awalnya, Syahru agak terkejut dan beranggapan bila pintu yang sehadap dengannya yang terbuka.
"Syahru, kenapa kamu lama sekali jalannya? Kamu sedang mempersiapkan lomba maraton bareng bekicot, hah? Perutku sudah berkonser ria nih. Bisakah kamu memasakkan makanan untukku?"
Syahru melirik sekilas ke arah pintu itu dan kemudian menyentuh tengkuknya. Takut-takut suara Levi mengusik ketenangan penghuni baru itu. "tunggulah... aku akan segera membuatnya. Kamu tak perlu berisik."
Levi mendekat ke arah Syahru. "Kamu juga penasaran siapa penghuni baru apartemen itu, ya...?" lirihnya pada Syahru.
Syahru mengerjab-erjab lucu.
"Aku juga merasakan hal yang sama. Aku ingin tahu, siapa sebenarnya dia (penghuni baru), wajahnya... em, apa dia pria atau wanita, ya?" Sahabatnya itu mendekatkan mukanya ke celah-celah lubang kunci pintu. Berharap keajaiban mengenai siapa orang yang di dalam sana terkabul. "Syahru, bagaimana bila kita coba memanggilnya." saran Levi.
Yang sedari tadi diam memperhatikan ulah si mungil, Levi, tiba-tiba tersentak atas apa yang dikatakan sahabatnya. "Jangan! Nanti dikira kita mau apa lagi tengah-tengah malam begini."
"Tapi tidak ada salanya jika kita menawarkan makan bersama-sama, kan?" Dan ketukan pintu itu berbunyi yang tak lain dan tak bukan berasal dari tangan usil Levi.
"Levi... Kamu tidak sopan." hardiknya. "Bagaimana jika pria itu merasa terganggu? Mungkin saja pria itu sedang istirahat. Lagi pula dia baru pulang dari Amerika, pasti butuh tambahan tenaga buat beraktifitas esok hari. Kita masih bisa menemuinya esok hari, bukan?"
Levi terdiam. Alisnya nyaris tertaut. "Pria? Kamu tau dari mana jika orang itu adalah pria?"
"I-itu menurut naluriku saja. Bisa saja orang itu benar-benar seorang pria, bukan?" Syahru gelagapan.
Levi terdiam, "hm... Ada benarnya juga sih, berhubung penghuni apartemen ini kebanyakaan lelaki. Tak menutup kemungkinan orang itu juga seorang pria."
Syahru menghembuskan nafas lega, lantas menyuruh Levi untuk segera masuk ke apartemen. Tapi, yang namanya Levi dengan kekeras kepalanya yang sekeras kulit badak dan setebal batok kura-kura itu tak akan luluh secepat itu.
"Tunggu dulu, Ru! Aku ngerasa ada firasat buruk yang nggak enak mengenai orang baru itu."
Syahru memandang putus asa kepada Levi. "Uf! Sepertinya kamu harus mengurangi kebiasaan membaca novel psikopatmu tengah malam, Vi...! Aku khawatir kamu bakalan paranoit akut."
"Kamu selalu menghubungkan hal-hal yang nggak ada hubunganya sama sekali."
"Terserahlah," ucap Syahru acuh tak acuh.
"Aku hanya berpikir kalau orang itu sedang butuh bantuan kita." kata Levi-ambigu.
Kening Syahru melisut. "Maksudmu?"
"Bagaima kalau orang itu kenapa-napa? Bagaimana kalau orang itu sakit dan taksadarkan diri? Bagaimana kalau penghangat ruangan itu rusak sehingga dia kedinginan? Dan mengerikanya lagi bagaimana jika dia kepleset ketika hendak ke kamar mandi? Kamu tahu sendiri 'kan penghuni lama apartemen itu sering jatuh di kamar mandi."
Yupz, beginilah... bakat nalar terpendam yang Levi miliki. Bakat yang membuat siapa saja di dekatnya ingin mencekiknya.
Bakat yang tidak dapat membantu Syahru sedikit pun. "Kamu ini... sering berprasangka yang tidak-tidak. Sudahlah, dari pada kita ngacir lama-lama disini dan disangka stalker, sebaiknya masak makan malam sama-sama sangat lebih baik."
Ketika itu, deritan pintu menahan keinginan mereka enyah dari sana. Tampak seorang pria tinggi dengan ketampanan yang hampir menyaingi Dewa-Dewa Yunani dari cerita-cerita fiksi yang pernah Syahru baca. Garis wajah yang tegas serta kulit separo gelap membuat pria itu tampak manly dalam sinaran lampu koridor. Rambut yang agak acak-acakan menandakan bahwa baru saja terbangun dari tidurnya. Bulu-bulu tipis yang membingkai bibir serta dagu hingga ke ceruk lehernya, memberi kesan sangar. Ekspresi wajahnya penuh tanda tanya. Heran, bingung, marah? Astaga... wajah itu...
,
,
,
Kiano menelisik kedua manusia yang terlongo-longo di depannya. Pemuda bertubuh kecil, setinggi dagunya membelalak heran pada Kiano. Sedangkan satunya lagi, yang bertubuh lebih tinggi darinya ternganga kaget. Kiano berdeham. "Maaf, ada apa, ya?" ia berusaha terdengar sesopan mungkin, agar tak menimbulkan kesan tidak suka.
Tiga jenak, empat jenak... alih-alih menyeret mereka kembali ke alam nyata. Levi mengedip beberapa kali, lalu berdeham. "Emm... maap, apa kami menganggumu?"
"Eh?"
"Yah, apa kami mengganggu istirahatmu?" Ulang Levi.
Kiano membenarkan posisi tubuhnya yang setengah mencuat dari balik pintu sambil keluar dari sana. "Oh, tidak... kalian sama sekali tak mengangguku. Tapi... ada apa, ya?"
"Er... begini, kenalkan namaku Reza Pahlevi." ucap Levi sambil membungkukkan badan 90 derajat. "Dan ini sahabatku..."
Hanya satu di antara mereka yang mati-matian menahan napas. Tegang, air mukanya menunjukkan kepanikan saat bersitatap dengan pria itu. Wajah Syahru bersemburat merah muda, entah karena takut atau malu. "Syahru Yose Rizal," ucapnya seraya membungkuk.
Tak asing. Menurut Kiano pemuda itu begitu familiar. "Sepertinya, aku pernah melihatmu, tapi dimana ya? Hm-"
Syahru memberingsut selangkah ke belakang tatkala Kiano mendekatkan wajahnya ke arah Syahru. Sumpah, pria ini tak beretiket baik, nggak sopan banget, pikirnya.
"Tunggu! Bukankah kamu orang yang tadi itu? Akh, akhirnya... kita bertemu lagi. Maaf ya... ternyata aku tak akan pantas mendapatkan kesempatan untuk membuat kesan pertama yang istimewa lagi..." Kianoo tersenyum simpul saat mendapiti rona merah dari kulit putih lelaki itu. Betululan kelihatan cantik.
"Apa kalian sudah bertemu sebelumnya?" tanya Levi disertai kening berkerut. Ada hal yang mengganjal ketika melihat pemandangan itu. Seakan ada konspirasi terselubung di balik ini semua.
"Belum/Sudah" jawab Syahru dan Kiano kompak.
Syahru menggeragap. Kemudian, ia membawa pandanganganya kepada sahabatnya. Saat itu pula, sinyal-sinyal mata Levi yang seolah mengatakan 'Lebih-baik-kau-jujur-saja-dari-pada-malammu-tak-nyenyak-setelah-ini' menciutkannya bak ban kempes.
"Sudah..." ralatnya, merunduk.
"Ah, kalian bagaimana sih..." Levi merasa terjebak oleh keanehan.
"Mungkin kita pernah bertemu di negeri dongeng..." timpal Syahru.
"Hei, Ru! Kamu apa-apaan sih... Kamu nggak salah makan kan?" sudah dipastikan Levi terkukung dalam medan keanehan.
"Ya begitulah... Dan disana dia adalah seorang tuan putri."
O-o. Nampaknya Levi mulai putus asa. "aish... Kalian semakin membuatku gila saja. Sudahlah, boleh aku tahu namamu?"
Cepat-cepat Kiano bersikap formal. "Aksandria Kiano Al-Banjari." seraya menundukkan kepala.
"Kamu nggak perlu sungkan pada kami, Kiano. Anggap saja kami keluarga, keluarga barumu." ucap Levi.
"Ya... terima kasih."
"Hm... Jika kamu nggak keberatan. Bersediakah makan malam bersama kami? Anggap lah ini sebagai salah satu proyek penyambutan tak terencana dari kami. Sebab, Syahru lah yang akan memasakkan nasi goreng spesial untukmu. Yah... meski tak sebera, benar 'kan Ru...?" tawar Levi lalu menyikut lengan Syahru.
"Ah, ya... tentu saja." Jawab Syahru terbata.
Dan percakapan itu diakhiri dengan keputusun Kiano bahwa ia bersedia makan malam bersama mereka.
.
.
.
Di ruang makan yang berukuran minimalis itu, tampak sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat beberapa piring nasi goreng. Sayup-sayup suara televisi yang tak ditonton meramaikan suasana kebersamaan tiga pria yang duduk dilantai itu. Cekakak-cekikik menjadikan back song yang diputar diantara mereka. Sesekali ada yang bertanya, dan sesekali menimpali dengan gelak tawa.
"Ckckck... Aku tak menyangka, pertemuan pertama kalian begitu unik." Ledakan kikikan dari mulut Levi membuat Kiano dan Syahru sukses memerah. Keduanya berpandangan canggung.
"Kamu akan mati tersedak jika tertawa mengerikan seperti itu." Tegur Syahru sambil mengembungkan pipinya. Dan dengan kesal, Syahru melahap nasgornya secara manusiawi (?).
"Oh, he... makasih!" ucap Levi mengulum senyum nakal.
Kiano memandang keduanya. Ia terkekeh melihat tingkah laku mereka, terutama Syahru yang menurutnya begitu manis di saat pipinya ia gembungkan-cemberut. Ah, kiano tiba-tiba ingin mempertanyakan ke-le-la-ki-an Syahru... eh! Apa maksudnya itu?
"Ngomong-ngomong, selain memasak kamu juga hobi apa, Syahru?" tanya Kiano sekedar berbasa-basi. Uh, ia sepertinya ingin menunda pertanyaan genitnya itu.
"Dia seorang pahlawan cinta." celetuk Levi disela-sela makannya.
Menyadiri Kiano yang tidak ngeh dengan perkataan Levi, Syahru menghentikan acara lahap melahapnya. "Ya, aku memang seorang pahlawan cinta, tepatnya penyiar radio yang membacakan surat-surat cinta dari pendengar."
"Lalu kamu dijuliki pahlawan cinta, begitu?"
"Asal-usul julukan itu sebenarnya dari si kampret Levi. Karena selain itu, aku juga sering memberikan tips-tips romantis kepada pendengar yang baru merasakan indahnya jatuh cinta. Tak jarang pula aku menjadi pendengar setia curhatan mereka." Syahru meneguk segelas air, lalu melanjutkan, "mungkin sebab itu, Levi mengira aku adalah super hero dalam hal cinta-cintaan."
"Dan yang anehnya..." Levi memajukan tubuhnya, seakan-akan mendramatisir, ia berpura-pura menahan napas, "Syahru sendiri tak pernah punya pasangan hingga sekarang."
PLEETAKK?!!
Jitakan itu mendarat tepat di pucuk kepala Levi. Otomatis sang korban jitakan melenguh kesakitan. "Kamu apa-apaan sih, Ru?" keluh si mungil, memegangi kepalanya.
"Selama aku hidup, aku tak pernah menemukan dalil yang menyatakan seorang penyiar radio harus punya pasangan." Syahru meneruskan kegiatannya yang tertunda, memakan nasgor dengan bersungut-sungut.
"Lalu, kenapa kamu menolak coklat cinta pemberian Yunita, anak kampus yang cantik itu saat hari valentine?" sembur Levi tak terima, mengabaikan fakta bahwa ia telah membuka kartu telak kepada Syahru.
Syahru mendengus. Aish! Bocah itu belum juga jera, padahal sebelum tiba di apartemen atau tepatnya di bus, mereka saling bertengkar, dan sekarang mereka mau mempersiapkan pembukan ronde adu mulut yang kedua. "Jawabanya sangat mudah, karena aku bukan pencinta coklat." ucapnya malas.
Levi memutar bola matanya jengah. "Ck... Alasan macam apa itu? Tak relevan."
Ada keheningan yang menguras waktu mereka, ketika...
"Bagaimana denganmu, Levi...? Apa kau juga punya hobi yang lebih unik dari Syahru?" Kiano bertanya penuh antusias.
Levi berpikir keras. Mimiknya terlihat serius seperti sedang melakukan panggilan alam.
"Levi keseringan hilir mudik jika kelamaan berdiri." ungkap Syahru sembari menahan diri agar tidak tertawa.
"Hah?" kontan alis sang tampan bertemu.
"Hei, !" seru Levi. "Siapa yang merasa menjadi penanya dan penjawab disini? Kenapa kamu yang menjawabnya? Dasar tukang buka aib!"
"Suruh siapa tadi kamu menjawab pertanyaan untukku?" ucap Syahru santai.
Kiano kian tak nyaman. Ia berdeham sambil terkekeh. "Itu bukan semacam kegemaran, melainkan kebiasaan buruk."
"Tidak juga sih, Kiano!" tukas Levi cepat. "Yah... setidaknya aku bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberikan bakat alami ini. Sebab bakat itu cukup menyelamatkanku dari dongen Syahru menjelang tidur."
"Maksudnya?"
Levi duduk tegas dan menjelaskan, "Ya, aku bisa dengan mudah menyalurkan bakat aktingku layaknya aktor yang berpura-pura sedang kebelet pipis saat Syahru mendongengkan cerita untukku. Memang sih, terlalu berlebihan...tapi percayalah, itulah kenyataanya." Setelah mengucapkan itu, Levi langsung mendapatkan tatapan membunuh dari Syahru.
Mati-matian Kiano memegangi perutnya yang serasa tergelitik geli. "Wah... Kamu ternyata juga pandai berdongeng. Tapi bagaimana caranya?"
Syahru agak kesal pada Kiano yang menertawakanya. "Sebenarnya bukan begitu..." kata Syahru ketus, "Aku melakukan itu karena Levi setiap malam selalu kelaparan, dan aku malas membuatkannya makanan, alhasil aku mendongeng supaya Levi cepat tidur dan tak perlu membuang-buang waktu istiratku."
Giliran Levi yang mengerucutkan bibirnya. "Tapi tidak dengan dongeng yang membosankan 'kan, Ru? Kamu bercerita tentang pangeran kodok, putri salju, cinderella dan itu-itu saja... dan itu yang membuatku selalu beralibi pergi ke kamar mandi. Andai, kamu bercerita tentang seorang putri yang disekujur tubuhnya kutilan, panuan, kurapan... lalu disembuhkan dengan ciuman dari sang pangeran... nah, itu pasti akan menghiburku."
"Ya... ya... ya... lainkali aku pasti membuatmu memegangi perutmu sambil menganak titikkan air mata saat mendengar dongengku." ucap Syahru percaya diri.
"Ah, tak perlu..." tolak Levi buru-buru.
Kiano hanya menggeleng-geleng menatap keanehan dua pria di samping kiri dan samping kananya.
Seketi sunyi menghampiri ketiganya, merongrong percakapan mereka. Semuanya kembali keaktivitas makanya.
"Aku dengar kamu seorang pelukis terkenal di Amerika...?" Suara lembut namun menghangatkan itu sukses menghidupkan suasana yang tadinya mati. Syahru melirik Kiano, menunggu jawabannya. Sendoknya setengah menggantung di antara udara dan mulutnya.
"Ya... Kenapa?" jawab Kiao singkat.
"Nggak kok... Cuma heran aja kenapa kamu memilih pulang ke Indonesia?"
Kiano menghela nafas, kemudian menggeser piringnya, nasi gorengya sudah habis. "Sudah 4 tahun aku meninggalkan Indonesia, dan aku ingin mencari suatu hal yang berbeda disini."
"Yang berbeda?" tanya Levi penasaran.
"Ya, kamu tahulah seorang pelukis itu seperti apa... Dia akan mencari suatu yang unik atau menarik untuk dijadikan acuan buah karyanya." Sunggingan senyum terpampang di wajah Kiano yang tertangkap indra penglihatan Syahru. Dan ia tak menyadari, kalau pipi Syahru merona sempurna.
"Aku tahu..." tegas Levi, "menurut buku yang aku baca, seorang seniman membutuhkan inspirasi saat ia ingin menciptakan suatu karya. Inspirasi itu harus unik, artinya karya itu punya perbedaan tersendiri, bukan? Bahkan, mayat Khadafi, penguasa Libya yang menjadi korban dirinya sendiri, dijadikan inspirasi oleh pelukis China, benar 'kan?"
Kiano menjetikkan jarinya di depan Levi. "Tepat! Karena itulah, aku mencoba keberuntungan di Idonesia."
Levi nyengir, mulai kapan ia pintar seperti ini? pikirnya. Namun riak mukanya berubah drastis, serta sulit untuk ditebak. "Kamu yakin di Indonesi punya banyak keunikan?" tanya Levi jeri.
"Sangat yakin." Sepasang mata musang itu membinar bangga.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" Kini Syahru yang berusaha meyakinkan.
"Sebab aku telah menemukanya."
Pengakuan Kiano bernadakan husky itu disambut sunyi. Kerutan di dahi Syahru dan Levi seakan mewakili ketidak mengertian mereka. Kiano pun merasa perlu mengklarifikasi kata-katanya.
"Aku telah menemukan inspirasi itu dari kalian. Kalian sangat unik hingga aku seperti serasa ikut-ikutan unik. Jadi, aku ucapkan terimakasih kepada kalian berdua. Terima kasih..." Kiano segera membungkukkan diri kepada dua anak manusia yang tercengan tak percaya.
Semua terlongo takjub. Keduanya berseru sambil bertepuk tangan.
Dan... Malam itu pun menjadi awal mula keakraban mereka. Tak terkecuali pasangan kita yang satu itu.
.
.
.
CHAPTER KETIGA AKAN SEGERA MENYUSUL, ASAL NICHIE TAK AMBEYEN KETIKA MENULISNYA.
Spesial Thanks to : @Adra_84 @adzhar @inlove @Gabriel_Valiant @ananda1 @Beepe @adhi_07
Bersediakan kawan-kawan me-review?
lanjut ya @elnichie...
smoga kalo ada story kedepannya bsa jd pertimbangan
cuma masukan aja, Bro. Sok atuh dilanjut!
Tetap semangat ya @elnichie...
Cuma mau nanya ttg judul. Itu memang fell (bentuk past dari fall = jatuh) atau maksudnya feel? Krna kalau dibaca satu kalimat, agak gak nyambung gitu kl pake fell
Just curious aja.
Keep writing!
@adzhar sebelumnya saya ucapkan terima kasih ya, karena udah membacanya... memang sejauh ini masih belum ada konflik yang signifikan dari ceritaku... mgkin ini masih dalam proses tahap pengenalan...entah chepter keberapa bakal aku adakan konflik,, mengingat membuat konflik cerita itu harus benar2 ngena dan dapet feelx loh...