It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Adam08 udah aku betulin...hehehehe...biasa lah,,, penulisnya kelebihan pinter kayaknya...wkwkwkwkw )
Ditunggu lanjutannya ya
^_^
Hyung masih meraba-raba cerita ini.
Bahasa ceritamu berubah total di cerita ini
tp bagus koq membuat pembaca jg harus berpikir dan mencerna kata demi kata , kalimat demi kalimat.
Semangatz
Penggunaan kata yg jarang dipakai dlm sebuah cerita.
Dan itu bagus menurut hyung.
umm
Entah kenapa disebutkannya kota jakarta malah merusak suasana yg udah dibangun ya..
Soalnya suasananya udah keren, tp begitu disebutkan kl itu di jakarta feel nya jadi jatuh.
Mungkin ga usah disebutkan di kota mana ga pengaruh kali ya..
Itu langsung pakai kata "yang" memang disengaja atau gimana?
Soalnya ada beberapa kalimat awalan yang langsung seperti itu.
Harusnya kan sebut nama orangnya dulu jadi gini "Syahru yang awalnya..."
Cm sedikit komentar, selebihnya terserah TS nya mau seperti apa..
Lanjutkan!
hadir... Ikut menuhin tokonya ya ...
Lanjut..
Kiano terbangun dari tidurnya dengan punggung yang seolah-olah sedang diperas, sekujur tubuhnya terasa nyilu. Begitu kentara, sampai-sampai ia berpikir tidak akan bisa bangun lagi. Ia melirik jam tanganya yang tergolek di atas nakas. Saat itu, menunjukkan pukul 06.30 pagi. Ia tak yakin, bila ia tidur selama itu. Kiano hanya mengingat bahwa ia memejamkan mata dalam sedetik dan bangun pada saat itu pula.
Kepalanya begitu berat, seakan-seakan ditimpuki batu yang begitu besar. Kiano mencoba menelan ludah, tiba-tiba saja tenggorokannya kering. Air, Kiano butuh air.
Kiano berusa berdiri dan berjalan. Walau sempoyongan dan dengan sisa tenaga yang ia punya, ia membuka pintu kamar, lantas menuju dapur. Kiano tak mau mati muda karena kehausan. Untuk itu, ia membuka pintu kulkas, dan hanya menemukan sebotol air mineral. Tanpa pikir panjang, ia meneguk habis botol itu. Syukurlah, ia masih mampu meminumnya.
Sinar matahari menembus kaca jendela yang terhalang oleh gorden, membuat naluri Kiano tertarik untuk melihat sang surya. Entah kenapa, perasanya seakan terpanggil agar segera membuka jendela itu.
Awalnya, Kiano mengira kalau ia bakalan membuka jendela, namun disaat ia menyibak tirai itu ia melihat sebuah pintu terkunci yang mengarah ke balkon. Kemudian, ia menyentuh kenop pintu, lalu membukanya sesaat setelah memutar kunci.
Aroma pagi yang langsung dihirup indra penciumannya seolah menghangatkan pikiran Kiano. Ia tidak menyangka, kota Jakarta yang terkenal padat penduduk dan minimnya pepohonan, ternyata mampu menghasilkan udara yang sesejuk ini. Di saat itu pula, sudut matanya tak sengaja menangkap sesosok yang tengah sibuk menjemur pakaian.
Lelaki itu kali ini tidak memakai topi kupluk dan jaket kebesaran, melainkan memakai kaos serta celana pendek yang sukses mengekspos kulit putihnya. Tanpa sadar, bibir itu tertarik...semakin tertarik, dan menciptakan senyuman aneh dari Kiano. Segala nyeri yang menusuk-nusuk tubuhnya, menguar saat itupula.
***
Syahru membalikkan padanya, setelah ia memjemur pakaian terakhir miliknya, yaitu sang kolor dan betapa terkejutnya ketika ia mendapati Kiano menatapnya sambil tersenyum.
"Selamat pagi!" sapa pria yang tak lain tak bukan ialah Kiano.
"P-pagi!" balas Syahru terbata. Nampaknya Syahru sungguh terkejut melihat Kiano yang ngacir di belakangnya. Syahru jadi bertanya-tanya sejak kapan pria itu berada di sana. Apa ia tadi melihat muka Syahru yang serius saat menjemur celana dalamnya? Damn! Jangan sampai Kiano tahu sebesar apa ukuran celananya.
Melihat ekspresi Syahru yang berlawanan dari perkiraan, Kiano menaikkan alisnya sembari bertanya... "apa barusan aku mengagetkanmu?"
"T-tidak..." jawab Syahru tergagap layaknya kucing ketangkap basah mencuri.
Kiano menghela napas. "Baguslah..." kemudian ia menyelipkan kedua tanganya ke dalam saku celana. Desiran angin menerbangkan anak-anak rambutnya yang panjang. Kiano menunduk seraya memejamkan matanya, lalu tersenyum manis dengan mata sipit membentuk bulan sabit.
Diam-diam, lelaki yang di sampingnya sempat terpesona oleh senyuman Kiano, sangat mematikan. Syahru akui, bila pria yang kini tatapannya tertuju pada surya itu memang sedikit berbeda dari pria-pria lain pada umumnya. Ia tidak pernah langsung terhipnotis kepada seseorang yang baru saja ia temui. Namun, lain dari yang lain, Kiano telah mengalihkan dunia Syahru sesaat. Menurutnya, kharisma dan kelelakian Kiano punya nilai lebih di atas rata-rata. Nilai yang hampir mendekati nilai sempurna, yakni sembilan.
"Bagaimana malammu, kamu masih tidur nyenyak setelah itu?" Kiano memiringkan kepalanya menghadap Syahru, dan itu membuat Syahru terkesiap dari lamunannya.
"Ehmm... setidaknya aku masih bisa mendongeng untuk Levi malam itu, sebelum aku benar-benar menyesal dibuat tuli sama dia." Semalam, Syahru nyaris saja bunuh diri kalau-kalau ia tak cepat-cepat menghentikan Levi agar berhenti bernyanyi. Ia tahu jika suara sahabatnya merdu, bahkan ia berani bertaruh nyawa untuk itu. Tapi Syahru juga tak mau bila tidurnya diganggu. "Lalu, bagaimana denganmu... dari tampangmu, kamu terlihat menikmati mimpimu tadi malam?"
Kiano menghela napas. "Itu sama sekali tidak benar. Aku merasa aku tidak bisa tidur dengan baik." Ia memasang wajah anak anjing yang terbuang. Dan tampak mengundang tanda tanya dari Syahru.
"Kenapa bisa?"
"Bisa saja jika badanku rasanya remuk, seperti diperas kayak jemuran."
Mata Syahru membundar. "Apa itu gara-gara kamu menolongku kemarin, ya?"
"Tepatnya menjadikan aku sebagai matrasmu."
"Jadi itu salahku, ya?" yang tadinya perasaanya terasa ceria seperti menguap bergantikan penyesalan. Nada Syahru seolah menjadi kalimat retoris yang jawabanya hanya ia yang tahu.
"Gimana ya bilangnya... aku takut kamu jadi ngerasa bersalah gitu."
Lagi-lagi kata-kata itu semakin membuat Syahru ingin segera pergi menggali lubang kuburannya. "Nggak usah dibilangin aku udah ngerti kok, kalau kamu lagi nyindir aku."
Kiano tergelak. "Apa itu membuatmu merasa sangat bersalah?"
"Tentu saja." ungkap Syahru tegas.
"Kamu khawatir sama aku, ya?" tanya Kiano sambil mengembangkan senyum nakal.
Terasa ada sesuatu yang menjalari wajah Syahru. Buru-buru ia mengklarifikasikan ucapannya. "Bu-bukan itu yang ingin aku kat-"
"Ya, sudahlah... memang aku terlalu muluk mengharapkanya," kata Kiano bernada menyesal yang dibuat-buat.
Syahru terdiam, tepatnya tak ada yang dapat ia bicarakan lagi. Ternyata, Kiano sukses membuat Syahru hanyut ke dalam akting bodohnya. Sunggingan aneh kembali muncul dari bibir Kiano. Kiano berdeham. "Hari ini begitu cerah, ya?"
"He'em" sambil menelan ludah, Syahru menjawab dengan pelan.
"Aku sangat suka melihat matahari terbit."
"Apa itu juga termasuk hobimu?"
Kiano berpikir sejenak. "Iya."
Syahru mengambil oksigen. Entah kenapa, ia kehilangan banyak udara di dalam dadanya ketika bersama pria ini. "Apakah kamu tidak merasa jika melihat matahari terbit itu sama dengan kamu tengah berada di Surga?"
"Memang kamu belum pernah ke Sana?"
"Kesana mana?"
"Ke surga."
Syahru menyimpulkan senyuman kecil. "Siapapun belum,"
Kening Kiano berkerut heran. "Bagaimana kamu ngerasa kalau kamu sudah pernah ke surga."
Kaki Syahru maju selangkah. Tanganya ia eratkan ke pagar besi. "Pengen tahu aja, atau pengen tahu banget." ia mengerling ke arah Kiano dan itu berhasil meronakan wajah Kiano.
"Meskipun aku nggak memilih kamu bakalan ngasih tahu aku, kan?"
"Kamu yakin?"
Kiano mengangguk mantap.
Lagipula siapa juga sih yang mau menolak pria tampan ini, hanya orang yang buta mata sajalah yang tega menolaknya. "Aku bisa merasakan kehangatan sinar matahari ini, rasanya damai seolah-seolah semua beban yang kita miliki terasa ringan. Saat itu juga, aku bisa melihat diriku yang sebenarnya... diriku yang beruntung bahwa aku masih punya mata untuk menikmati dunia. Karena itulah, aku bersyukur telah dilahirkan didunia ini."
Kiano menatap Syahru lekat-lekat, tak tau apa yang harus ia katakan, tampaknya Kiano kehilangan kata-kata. Ia menemukan perasaan dari setiap ucapan Syahru dan serasa ada satu hal yang mengusik Kiano. Ia memutuskan untuk bertanya. "Hanya itu saja?"
Syahru merunduk, menjatuhkan pandanganya ke jalanan. "Aku punya mata untuk melihat sesuatu yang indah yang Tuhan ciptakan, dan aku menganggap segalanya indah selama mataku masih bisa menangkap keindahan itu. Bukankah aku sudah mendapatkan surga di mataku."
Keduanya membisu, cukup lama hingga suasananya membosankan.
"Menurutmu, surga itu seperti apa?" Kini, Syahru beralih pandang pada Kiano.
Kiano melipat tanganya di dada. "Apa ya..." ia berpura-pura berpikir sembari mengetuk-ngetuk dagunya. "Mungkin surga itu adalah matamtu." gumannya blak-blakan.
Syahru memincingkan mata. "Apa yang baru saja ingin coba kamu katakan?"
Namun belum sempat menjawab, Kiano sudah malah beranjak dari tempatnya. "Apa aku harus menjawabnya, cantik?" katanya sambil memberikan sebuah erlingan maut kepada Syahru.
Mendadak kerongkongan Syahru tercekat. Darahnya mendesir hebat. Napas Syahru seketika tertahan, bahkan ia sulit bernapas, seakan lupa bagaimana caranya bernapas lagi. Julukan itu menurut Syahru tidak pantas untuk dirinya, tetapi tidak tau mengapa ia begitu menyukai cara Kiano yang mengatakanya. Sangat spontanitas dan menggoda. Shit!
Ngemeng2 setuju ma yg komen sebelumna.. Pemilihan nama tokoh nih agak kebalik..
dalam otak gua klau nama syahru gak kebayang 'cantik' malah kiano jd yang kebayang 'cantik' gmna tuh?? Tukar aja ya ya ya ya *eh datang2 maksa..
.
.
.
Syahru berdiri tepat di depan pintu nomer 124 sambil membawa sepiring pancake di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya ia gigit. Ia sedikit bimbang untuk mengetuk pintu itu. Setengah rasa takut, juga setengah rasa malu. Takut jika Syahru hanya menganggu pria itu, dan malu bila ini terlihat semacam bentuk perhatian. Bentuk perhatian? Ah, terdengar seperti modus.
Syahru mengelengkan kepala. Apa-apan dengan pikiran jeleknya ini. Ia cuma ingin memberikan pancake kepada Kiano. Tidak ada niat terselubung di balik kue berlapis ini. Kemudian ia mantapkan dirinya mengetuk pintu itu tampa pikir panjang. Ia menunggu beberapa saat, namun tak ada respon. Ia mengetuk lagi, namun lagi-lagi pintu itu tak mau terbuka.
Lantas ia mencoba memutar kenop pintu, dan ternyata pintu itu tak terkunci. Syahru menimbang-nimbang, apakah ia harus masuk atau tidak, tapi instingnya mengatakan jangan masuk, sebab itu sama saja halnya ia mencelakakan dirinya sendiri. Tapi, ia tidak peduli, Syahru tetap masuk ke dalam apartemen milik Kiano tanpa berpikir dua kali.
Sama seperti apartemenya, tak ada yang membedakan dari ruangan ini. Syahru mengedarkan pandanganya ke segala penjuru sudut ruangan. Tak ada siapa pun, tak ada Kiano, tak ada makhluk tampan itu. Alih-alih, telinga Syahru tersentil oleh suara percikan air dari pintu kamar mandi. Syahru mengulum bibir bagian bawahnya sambil mengangguk-ngangguk. Ia berasumsi, jika pria itu tengah mandi.
Syahru memutar pandang ke arah sofa. Ia menemukan koper di sana. Syahru tersenyum kecil. Pria itu mungkin tak punya waktu untuk sekedar memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, pikir Syahru. Matanya lalu berlabuh pada sebuah pigura mini berisikan foto Kiano bersama seseorang yang berserakan dengan beberapa majalah. Ia mengambilnya setelah ia meletakkan pancake di atas meja.
Syahru melihat Kiano berpelukan bersama seorang cowok, yang Syahru taksir adiknya. Wajahnya... bibirnya... hidungnya... alisnya... sangat mirip Kiano, hanya saja mata adiknya lebih indah dari pada Kiano. Di foto itu, Kiano merangkul adiknya dengan senyuman yang membuat semua orang melihatnya jadi mimisan, termasuk Syahru sendiri. Andai saja yang dipeluk itu adalah dirinya.
Tiba-tiba suara derit pintu menghentikan alam nalar liar Syahru. Buru-buru ia mengembalikan benda itu ke tempat semula. Lantas ia membalik badan, dan...
Seolah ada makhluk halus yang mencekiknya, mati-matian Syahru menahan napas.
"Syahru..." heran Kiano, melihat lelaki itu tengah tertegun menatapnya.
Tidak seperti di drama-drama komedi romantis, tak ada adegan konyol dimana sang pria hanya berbelitkan sebuah handuk dengan tubuh yang dibanjiri titik-titir air, atau juga tidak ada tindakan asusila dimana salah satu di antara mereka menjerit 'ah-uh-ah' ketika handuk sang pria tidak sengaja terlepas.
Kiano memang baru saja selesai mandi. Ia sudah memakai celana, namun masih bertelanjang dada. Rambutnya ia keringkan dengan handuk. Bulu-bulu di sekitar dagunya sudah lenyap, pasti habis dicukur, menampilkan wajah tampan Kiano yang tanpa cacat. (menurut author loh! Kekeke)
Dan itu membuat Syahru sesak napas.
"Maaf, aku masuk tampa seizinmu..." ucap Syahru malu seraya menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Hari ini aku memasuk pancake terlalu banyak dan juga Levi nggak begitu suka sama masakan ini. Karena takut nggak kemakan dan mubazir..." Syahru memberikan pancake itu ke hadapan Kiano, demi mengalihkan segala rasa canggungnya. "...jadi aku pikir untuk memberikannya padamu. Aku harap kamu mau mencicipinya. Lagian kamu belum sarapan pagi ini, bukan?"
Kontan Kiano kemudian memakan pancake itu tanpa ragu. Syahru kaget, secara ia tak mengira jika respon Kiano seantusias begini.
"Ini lebih dari enak. Aku tak menyangka kamu bisa memasak pancake. Bahkan ini rasanya jauh dari yang aku bayangkan, terlalu enak untuk seukuran pancake." Kiano kembali melahap beberapa potong kue itu.
"T-terima kasih," bisiknya nyaris tak terdengar. "Makanya jangan berdiri, nanti tumbuh ekor loh."
"Walaupun yang kamu katakan barusan kemungkinanya bisa terjadi, kamu masih mau memasakkan pancake untukku lagi, kan?" kata Kiano sambil beringsut mundur ke pangkuan sofa.
Syahru memasang tampang meledek. Tak mungkin bila ia tak mengingkan hal itu, bahkan Syahru pun ingin sekali membawa pria itu ke apartemenya, lalu membuatkan makanan untuknya, menyuapinya layaknya bayi, me-ninabobok-kanya dengan dongen sebelum tidur, tidak lupa pula ingin memandikanya. Jika saja Kiano tahu, apa yang tengah Syahru bayangkan, mungkin detik itu juga pria itu berlari terbirit-birit sambil berteriak 'HELP ME!!? ADA MANUSIA YOAINISME YANG INGIN MENELANKU HIDUP-HIDUP!!?'. "Itu mustahil... selama kamu mau jadi anjing peliharanku, aku bakalan dengan senang hati kasih jatah pancake tiap pagi."
Kiano mengerucutkan bibirnya. "Jahat banget... tapi nggak masalah sih, asalkan majikannya itu kamu." gombal Kiano.
Terus terang, kata-kata Kiano barusan seakan berhasil menghentikan dunia Syahru berputar, salting kali. Ia tahu, apa yang diucapkan Kiano itu tidak lebih hanya sebuah lelucon saja, tetapi bualan Kiano seperti terpampang nyata baginya. Syahru tidak mengerti, apa yang spesial dari gombalan itu, menurutnya biasa saja. Namun kenapa aritmia ini tidak mau berhenti menyerang jantung Syahru.
Sekonyong-konyongnya, Syahru perlu mengecil sekecil-kecilnya kayak semut, lalu ngacir dari sana. Jemari Syahru serta-merta menunjuk pigura kecil, demi mengalihkan kekikukannya. "Itu... foto adikmu, kan?"
Acara lahap-melahap Kiano terhenti takkali melihat Syahru yang memandangi pigura miliknya. Ia meletakkan piring yang berisi setengah pancake itu di atas meja. Mendadak ia tak berhasrat menghabiskannya. Lalu ia mendesah. "Benar, itu adikku." ucapnya ogah-ogahan, tanpa sadar air muka Kiano berubah drastis seperti kerupuk tersiram air.
"Siapa namanya?"
"Nanya Kelvin."
"Dia mirip kamu. Dia juga punya mata yang indah."
"Sama dengan punyamu."
Ucapan itu seketika menarik alis Syahru bertaut. "Eh?"
"Matamu sangat mirip sama mata adikku, itulah mengapa saat aku pertama melihatmu, aku merasa bertemu bayangan adikku dalam dirimu."
Seujung tombak tak kasat mata serasa menohok tepat di ujung telinga Syahru. Bayangkan, rangkaian kalimat Kiano menyihirnya menjadi patung. Harapan-harapan kecil yang sempat ia susun tercerai burai oleh kenyataan pahit itu. Salah Syahru sendiri yang terlalu berharap, dan ujung-ujungnyapun ia harus mengakui kalau-kalau Kiano hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Adik? Ya Tuhan... Syahru tidak sadar bila ia telah menelan pil pahit, namun sayangnya pil itu tak tertelan ke dalam lambungnya, melainkan tercekat di kerongkongan. Menyedihkan.
"Seperti kamu adalah reingkarnasinya," sambung Kiano lagi.
Sontak Syahru menganga, "A-apa adikmu itu sudah..."
Belum sempat Syahru melanjutkan, Kiano memotongnya dengan jawaban yang mencengangkan Syahru. "Yah... dia sudah nggak di dunia ini lagi."
Badan Syahru tampaknya mulai tak rileks. Suasana saat itu terasa terbungkus oleh kekakuan. Keduanya hanyut ke dalam arus keheningan yang menjadi atmosfer ruangan itu. Tidak teruntuk Kiano, ia lebih terlihat enggan berbicara, enggan berkomentar, serta enggan membuka mulutnya. Ketertekanan batinnya menyakap Kiano untuk bungkam, tak mau berkata atau sekedar memecah dinding keheningan antara mereka.
"Kau selalu memikirkannya?" pada akhirnya, Syahru lah yang angkat bicara.
Kiano mendesis. "Aku selalu mengingatnya, kapan pun dan dimana pun, bahkan ingatan saat dimana ia memintaku untuk menunjukkan hasil lukisanku terakhir kalinya... itu sangat menyakitkan. Aku menyesal karena aku nggak mampu memberikan hasil lukisan pertamaku padanya. Padahal, saat itu lah aku bisa melihatnya senyuman terakhir diwajahnya. Tuhan mengambilnya terlalu cepat..."
"Aku mengerti," timpal Syahru, "Aku bisa melihat perasaan kehilangan itu dari matamu. Pasti berat bagimu kehilangan seseorang yang berarti. Aku akui aku bukan tipe orang yang pandai menghibur seseorang yang sedih, galau atau semacamnya, tetapi... ngeliat kamu kaya gini, sama saja kamu nggak rela kehilangan dia. Kamu seolah menyalahkan takdir, memang sih... kehilangan itu menyakitkan, bahkan kehilangan sesuatu yang kita gak anggap penting kadang-kadang juga buat kita kelimpungan." Nada Syahru terdengar tegas.
"Dulu aku juga sepertimu, kehilangan sesuatu yang berharga, hanya saja aku beda denganmu." Ada jeda, matanya terbang ke langit-langit, sambil menghembuskan napas. "Saat itu aku pernah beranggapan bahwa Tuhan itu nggak adil sama aku. Tapi, aku sadar mungkin dengan cara Tuhan menghilangkan sesuatu yang berharga dariku adalah cara terbaik agar supaya aku bisa ngerasain gimana hidup dalam kegelapan itu, tidak dapat melihat, tidaak dapat menemukan sebuah keindahan dunia dan hanya hidup terkungkung dalam kebutaan hingga sampai aku menemukan jawabanya. Sorry... bukan maksud aku mengguruimu, tapi hidup di dunia realistis ini nggak selamanya happy ending loh, ada saja jalan buntunya, namun kita juga harus pandai-pandai nyari jalan keluarnya. Sama halnya kamu baca cerita, kamu mengikuti alur demi alur dari cerita itu, menghayati tiap-tiap karakter tokohnya, ikut merasapi pesan-pesan penulis disana, tapi... ada satu yang bikin kamu ingin berhenti membaca cerita itu... kamu nggak menemukan emosi dari cerita itu, feel-nya gak dapet, nggak ada konflik dan terasa datar-datar saja, hingga kamu memutuskan untuk tidak melanjutkan membacanya. Itulah mengapa, hidup nggak seperti cerita fiksi tersebut, bukan hidup namanya kalau gak pernah ngalamin penderitaan atau penyesalan." kembali Syahru mengambil oksigen. "Ingat! Saat kita memandang keatas, maka yang kita temukan adalah langit yang tanpa batas, tetapi... jika kita memandang ke bawah yang kita temukan adalah bumi yang kita pijak. Layaknya bumi, kehidupan itu punya batas. Tiap-tiap manusia pasti menemui ajalnya, teknologi secanggih apapun nggak bakalan mampu memaju-mundurkan kematian. Mungkin, saat ini saudaramu menatap bangga padamu, kamu sudah berhasil jadi seniman yang sukses, bukannya itu yang adikmu ingin lihat? Sesungguhnya kamu sudah buat adikmu tersenyum di atas sana."
Kiano tercenung. Di kepalanya melayang-layang kata demi kata yang Syahru lontarkan. "Kamu betul, ru...! Aku nggak kepikiran sampe ke situ."
Keduanya membisu, cukup lama hingga suasanya serasa membosankan.
"Tapi aku iri sama adikmu."
Kiano menoleh ke arah Syahru yang sekarang tengah meraba-raba pigura itu.
"Beruntung dia punya kakak sebaik dirimu. Nggak kayak aku yang nantinya bila aku mati cuma meninggalkan kesan nama di batu nisan aja. Heh... nyesek banget!" guman Syahru, menertawakan kebodohanya sendiri.
Ada semacam dorongan yang tiba-tiba merasuki Kiano. Dorongan untuk menghibur jiwa kecil yang kesepian itu. Entah apa itu. Akalnya berlari-lari mencari sesuatu yang dapat membantu lelaki itu. Cepatlah! Larilah! Carilah! Temukanlah! Teriakan-teriakan itu begitu menggebu dalam otaknya. Tangan Kiano mengepal erat, sangat erat sampai-sampai telapak tanganya basah oleh keringat. "Syahru..." suara Kiano berat, tetapi menggetarkan hati Syahru.
Mereka saling bertatapan satu sama lain. Jantung Syahru berkontraksi hebat tatkala menatap kilatan-kilatan dari onyx Kiano.
"Syahru..." ulang Kiano. "Jika kamu tidak keberatan, jadilah adikku! jadilah pengganti yang pernah hilang dariku!"
Syahru mengerjab, sekali-dua kali. Tak percaya dengan apa yang baru saja Kiano utarakan. Namun, tak lama kemudian ekspresi Syahru berubah sendu. Ia menunduk dalam-dalam.
Menyadari itu, Kiano mengklarifikasinya. "Kamu nggak perlu menjawabnya kalau kamu belum siap untuk menjawab. Aku nggak mau memaksamu karena alasan nggak jelasku." kemudian Kiano pun berjalan ke sebuah almari.
Lagi-lagi hening. Syahru masih berkutat dengan pikirannya. Sementara Kiano sibuk mengenakan kemejanya. Kiano merasa bersalah atas apa yang baru saja ia katakan, kenapa bisa-bisanya ia ngomong hal aneh seperti itu.
"Baiklah..." sebuah suara terucap dari mulut Syahru. "aku mau jadi adikmu, menjadi pengganti sekaligus pelengkap sesuatu yang pernah hilang darimu." Syahru berdiri, lalu melangkah ke arah pintu. "Asal kamu tahu, aku nggak percaya yang namanya reingkarnasi. Nggak peduli, kamu percaya atau tidak, so... jangan anggap aku adikmu, karena aku mirip denganya.
Dan percakapan itu berakhir dengan bunyi pintu tertutup, menyisakan Kiano yang tergugu. Seluruh persendian tubuh Kiano seakan tekunci. Ucapan Syahru seolah-olah menyulap badannya jadi mati rasa. Pagi yang lama. Dampak ucapan Syahru begitu menganggu dan merongrong jiwanya. Bagaimana tidak? Kiano menyesal, dan ingin sekali memutar waktu ke masa beratus-ratus detik yang lalu. Ia tidak akan mengatakan apa-apa. Ironisnya... semua tidak akan kembali ke sedia kala lagi. Kiano meraup mukanya. Ya Tuhan... apa yang sudah ia lakukan?
Sedangkan di balik pintu apartemen Kiano, Syahru bersandar sambil memejamkan matanya. Merenungi kata demi kata, kalimat demi kalimat yang mengutuknya menjadi orang paling bodoh sedunia. Jadi adiknya? Apa-apaan itu? Syahru tidak terhibur sedikpun oleh ironi ini. Syahru terlalu naif, bahkan tisu toilet pun lebih baik dari pada dirinya. Ia memangangi dadanya. Kenapa ia bisa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan batinya. Kenapa? Kenapa? Kenapa?
.
.
.
SILAHKAN MENUNGGU KELANJUTANNYA HINGA GIGI KALIAN PADA LUMUTAN SEMUA. Hehehe #plakkk
@adra_84 : makasih atas pemberian semangatnya!
Turut mengundang : @n0e_n0et @yuzz @inlove @adzhar @Dltyadrew2 @angelofgay @Gabriel_Valiant
yang tumbuh di gigi bukan lumut, tapi plak n karang gigi dan itu bisa di basmi dg vixal..hehehe