It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Originally Written by: Divan
edited n covered by: Devan
SEMENTARA ITU itu di bagian danau lainnya, tak satupun bibir ikan yang jontor dikait kail Pepei. Riang kemudian menyampaikan kornet yang diberkani Fidel. Pepei kemudian kembali membuat bulatan umpan. Tak lama berselang, benang pancingnya diseret ikan yang bernasib sial. Sebuah tarikan lantas melayangkan ikan ke udara. Ikan itu membentur pohon. Satu ikan besar memar. Mulutnya sobek mengeluarkan darah.
Riang dan Pepei membawa dua ekor ikan menuju tenda. Sebelum di masak, Riang membedah dua ekor ikan di pinggiran danau, sendirian. Saat itulah keganjilan kembali mendatanginya. Sebuah suara memanggilnya.
R
i
a
n
g
K e m a r i
R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i ni
M
b
a
h
m
u
J a n g a n
T
a
k
u
t
Riang menepis bisikan itu. Tapi suara yang sama semakin jelas di telinganya. Bulu kuduk Riang tegap. Ia tergopoh-gopoh, menyelesaikan pekerjaannya lalu menghilang di pintu tenda. Bersamaan dengan itu lenyap pulalah pembicaraan antara dirinya dengan Fidel.
Hitam mulai mengepung. Malam menjadikan danau segelap kubangan aspal. Bulan tak sanggup mengintip yang dilakukan ketiga orang itu menggunakan permukaan danaunya. Di luar tenda onggokan kayu kering tampak berdiri menyerupai piramida: kayu terbakar tetapi hutan yang lebat memborgol api. Cahaya api tidak mungkin melarikan diri untuk menyampaikan pesan pada gerombolan Kardi.
***
MALAM ITU, karena terlalu banyak ganggang, Pepei membawa air di dalam wadah ke dekat perapian. Genangan air yang dari jauh terlihat pekat, dari dekat kini terlihat hijau kekuningan. Ia kemudian menampung air di dalam peples besi dan panci kecil: menunggu ganggang dan tanah mengendap. Tak mau tinggal diam, Riang lantas membantu Pepei membuat penampungan air hujan, sembari berharap agar hujan segera datang hingga mereka tak lagi kerepotan menunggu mengendapkan tanah dan ganggang hingga keesokan harinya.
Tak jauh dari ke dua orang itu, Fidel berhasil mengubah kayu menjadi abu yang panas. Ikan segera ia masukan ke dalam perapian. Tak beberapa lama kemudian ketiga orang itu sudah bersantap sambil berbincang ringan. Ketiga orang itu kemudian masuk ke dalam tenda, mengistirahatkan badan. Tak berapa lama kemudian hujan pun turun deras dan ketika –di pertengahan malam-- hujan mereda, sebuah suara kembali datang menyapa Riang.
R
i
a
n
g
K e m a r i
R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i
M
b
a
h
m
u
J a n g a n
T
a
k
u
t
A y o k e m a r i
d a l a m p e l u k a n M b a h.
M a s u k ke d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!
Mendengar suara misterius itu, Riang langsung menempelkan badannya di tubuh Pepei. Pepei bangun, lelaki itu menenggelamkan Riang dalam dekapannya yang hangat. Perlahan ketakutan Riang menipis. Ada sesuatu di dalam dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Riang merasa aman dalam dekapan Pepei.
****
PLASTIK PENAMPUNGAN diluberi air hujan. Seekor semut dan sebuah daun kering mengambang di atas genangannya. Fidel menuangkan genangan air itu ke dalam botol. Sisa genangannya ia manfaatkan untuk memasak air teh dan merebus mie, sementara air endapan danau ia gunakan untuk menanak nasi.
Pagi itu Riang kembali bangun kesiangan. Ia tak sempat melakukan apapun pagi ini. Sekedar untuk cuci muka atau buang air pun belum. Riang mengingat kembali suara yang mampir di telinganya tadi malam. Acapkali ia mengigat suara itu, acapkali pula ia tersesat di dalam pikirannya: mengapa suara yang mengaku sebagai simbah itu kini manambahkan kata damai? Riang berusaha menggodam pertanyaan itu hingga serpih remah-remah. Tetapi, tidak bisa. Riang membutuhkan pertolongan. Ia segera membuka tenda dome.
“Mas?” sahutnya pada Fidel. Mulut tenda terbuka lebar.
Fidel melirik. “Badanmu segar?” tanyanya sambil menyodorkan gelas. Riang menghirup air.
“Ada apa Yang?” tanya Fidel setelah menyaksikan kesadaran Riang bertambah.
“Sore kemarin kita membicarakan keberadaan mahluk halus ...”
“Kemarin kita bicara tentang keberadaan dan penggambarannya, lantas?” Fidel menatap Riang. Tak ada satu orang pun yang pernah ia kenal langsung membicarakan topik yang berat seperti itu setelah bangun tidur.
“Bagaimana Mas mempercayai keberadaan mahkluk halus, sedang Mas sendiri belum pernah melihat, meraba atau mengajaknya bicara?” Fidel memperhatikan rongga mata Riang. Hitam. Tidurnya tak nyenyak.
“Apa yang terjadi tadi malam?” Fidel curiga. Ia berusaha menyelidikinya.
“Tidak apa,” Riang mengelak. Fidel tahu. Ia membiarkan Riang. Manusia tidak bisa dipaksa. Kalau Riang bersedia, ia pasti akan membeberkan semuanya.
“Mempercayai keberadaan berbeda dengan mengetahui wujudnya.” Jelas Fidel
sambil menambahkan air teh pada gelas yang dipegang Riang.
“Ada, belum tentu dapat diketahui wujudnya...” Keriut di wajah di Riang kurang lebih menanyakan: apa pula ini?!
“Mempercayai keberadaan berarti mempercayai adanya sesuatu di alam semesta, tetapi mempercayai tidak otomatis mengetahui langsung wujudnya: Riang mendengar aku bersuara, tetapi bagaimana wujud suaraku?”
“Tidak tahu”
“Bukankah suara itu ada? Bagaimana wujudnya?” Fidel tak memaksa Riang menjawab. Ia melanjutkan. “ Karena tiupan angin, aku merasakan dingin sewaktu mencuci muka di bak penampungan wihara dekat rumahmu, tetapi bagaimana bentuk angin itu? Seperti apa bentuk dingin itu? Aku tidak tahu tetapi aku yakin angin ada. Ketika dikejar-kejar gerombolan Kardi, kita cemas. Kita tahu bahwa kita cemas, tetapi seperti apa bentuk rasa cemas itu? Kita tidak tahu tetapi kita mengetahui bahwa cemas itu ada. Keberadaan suara, angin, perasaan cemas itu ada, tetapi kita tidak bisa melihat wujudnya. Tidak terlihat itu bukan berarti tidak ada.”
“Rasanya aku mulai paham.”
“Kau merasa paham lantas seperti apa bentuk rasa faham?” Fidel menguji.
Riang tertawa. “Sudah! Sudah!” katanya. Dan dengan itu ketakutannya sedikit reda. Fidel berusaha mengkoreksi pengertian Riang mengenai perbedaan antara keberadaan dan wujud.
“Bagaimana mempercayai keberadaan mahkluk halus sedang Mas sendiri belum pernah melihat, meraba atau mengajaknya bicara?” Riang bertanya tentang wujud.
Riang cerdas. Ia mengkonfrontir pekataan Fidel kemarin sore bahwa untuk mempercayai wujud atau penggambaran mahluk halus seperti yang dikatakan orang-orang, ia diharuskan untuk menyentuh atau setidaknya melihat lebih dulu apa yang dikatakan orang sebelum ia mempercayainya. Riang pikir Fidel tidak konsisten dengan ucapannya kemarin.
Salah sangka itu terjadi karena Riang belum bisa membedakan makna kata: mempercayai keberadaan, dengan mempercayai wujud atau penggambaran (khusus) mahluk halus yang diberitakan orang, semacam Oerip.
“Jadi, apa menurutmu, aku mempercayai keberadaan mahluk halus atau tidak?” Fidel kembali bertanya, untuk memastikan.
“Percaya! Seperti kepercayan adanya angin dan perasaan cemas.”
“Aku mempercayai keberadaan mahluk halus bukan karena menyandarkan pada analogi atau perumpamaan suara, angin dan perasaan. Itu cuma untuk membedakan pengertian kata keberadaan dan wujud,” Fidel tertawa. Riang tidak. Otaknya keriut.
“Jika kebanyakan orang mempercayai keberadaan mahluk halus dikarenakan merasakannya, sedangkan aku tidak,” Fidel meluruskan penangkapan Riang.
“Aku mempercayai keberadaan mahluk halus karena menyandarkan kepercayaan dari informasi yang disampaikan Tuhan melalui kitab suci.”
“Lantas, orang lain mempercayai mahluk halus dari mana?”
“Bisa dari informasi yang diberikan oleh sesuatu yang ia percaya: bisa dukun bisa manusia.”
“Bisa juga ia benar-benar melihatnya,” sanggah Riang.
“Bisa iya melihatnya, dan bisa juga tidak, tetapi untukku .... aku tetap tidak mempercayai penggambaran mahluk halus sebelum benar-benar melihat dan membuktikannya sendiri, karena terkadang ketika orang mengatakan melihat wujudnya, padahal terkadang wujudnya memang tidak ada.” Pembicaraan ini semakin sulit bagi Riang.
“Orang sering kali menyimpulkan wujud mahluk halus padahal bisa jadi ia salah menganalisa fakta. Kita sering melihat atau mendengar orang lari terbirit-birit karena menurut penuturannya, mereka melihat hantu hitam, melihat sosok mahluk menyeramkan yang dikepalanya menggeliat-geliat ular, padahal setelah diselidiki ternyata bukan mahluk halus atau hantu. Apa yang mereka lihat adalah bayangan pohon kering yang disinari cahaya bulan.”
“Lantas dari mana Mas mempercayai keberadaan mahluk halus?”
“Kan sudah kubilang mempercayainya dari kitab suci. Mengenai wujudnya seperti apa aku tidak tahu, sebab aku belum menemukannya. Aku akan mempercayai wujud atau penggambaran mahluk halus bila aku menemukan wujud, melihat dan membuktikannya langsung, atau menemukan informasi penggambaran mahluk halus dari kitab suci dan informasi yang kitab suci menyuruhku untuk mempercayainya. Aku belum merasa perlu mempercayai penggambaran wujud mahluk halus dari dukun atau manusia di sekitar kita karena manusia itu selalu alpa.”
“Lantas kita harus mempercayai dari siapa?”
“Dari firman Tuhan yang disampaikan melalui kitab suci.”
“Bagaimana kita percaya pada informasi yang diberikan Tuhan?” Pertanyaan Riang naik jabatan. Ia maju selangkah.
“Bagaimana kita bisa tidak mempercayai Tuhan Pencipta Semesta Alam jika kita telah membuktikan-Nya? Bagaimana kita bisa tidak mempercayai informasi yang disampaikan-Nya, jika kita telah membuktikan keberadaan Tuhan sementara kita tidak mempercayai informasi yang diberikan-Nya? Lalu kepada siapa lagi kita menaruh kepercayaan?” jawab Fidel.
“Apa Riang pernah disuntik?” tanyanya. Riang tidak melihat adanya keterkaitanan antara suntik menyuntik dengan kepercayaan terhadap Tuhan, namun ia berusaha mengikuti alur pembicaraan.
“Pernah.”
“Di mana?”
“Di tangan.”
“Berapa kali?”.
“Di tangan sekali, di pantat berkali-kali! Aku tidak menghitungnya. Sebegitu pentingkah?”
“Sebegitu pentingkah pantat, maksudmu begitu?”
“Ya bukan to Mas!”
“Maksudmu, sebegitu pentingkah keterkaitan antara disuntik dengan kepercayaan terhadap informasi yang diberikan Tuhan?” Riang lega, orang yang ia pikir kehilangan fokus pembicaaraan ternyata mengerti sepenuhnya apa yang akan dibicarakan.
“Kau akan mengerti kaitannya, tetapi sebelumnya mari kita sistematikakan dulu.” pandu Fidel. “ Tetap di lanjutkan?” tanyanya.
“Ya.”
“Sehabis disuntik pernahkah Riang bertanya mengenai racikan bahan kimia apa yang dimasukkan dokter ke dalam tubuh Riang?”
“Tidak. Untuk apa bertanya?”
“Bukan untuk apa, tetapi mengapa, mengapa tidak menanyakannya?!”
“Sebab aku percaya penuh pada dokter.”
“Mengapa harus percaya penuh, padahal banyak dokter yang melakukan praktik ilegal, praktik gelap. Padahal, banyak dokter yang menyuntik cairan kimia yang salah dan membuat penyakit seseorang bertambah parah.”
“Dokter di desaku pintar dan baik,” sergah Riang. “Tidak pernah satu orang pun yang bertambah parah setelah diobati olehnya!”
Fidel tersenyum, “Riang mempercayai dokter, karenanya Riang menganggap tidak perlu untuk bertanya: mengenai bahan kimia apa yang dimasukkan dokter ke dalam pantat?”
“Ya”.
“Nah, sekarang kembali ke pokok permasalahan yang kita bicarakan: mengapa Riang tidak mempercayai sesuatu yang di sampaikan Pencipta manusia, mengenai suatu hal sementara Riang malah lebih mempercayai yang diciptakan-Nya?”
“Mempercayai yang diciptakan-Nya? Mempercayai siapa?”
“Orang-orang yang membicarakan wujud mahluk halus ciptaan Tuhan?” Riang diam.
“Apa mungkin kita menuduh Tuhan berbohong berkenaan dengan informasi yang disampaikan-Nya, sementara kita mengakui bahwa dia Pencipta manusia?”
Riang menggaruk kepala, “Oh iya, tapi ...”
“Tapi apa?”
“Bagaimana kalau kita tidak mengakui adanya Pencipta manusia?”
“Kalau tidak mengakui adanya Pencipta, wajar jika dia tidak mempercayai informasi yang diberikan Tuhan. Karena baginya Tuhan tidak ada.”
“Berarti dia tidak mempercayai keberadaan dan wujud mahluk halus?”
“Itu wajar. Bagaimana mau mempercayai keberadaan mahluk halus terlebih wujudnya sementara mempercayai Tuhan yang menciptakan mahluk --termasuk diantaranya mahluk halus-- saja tidak?"
Riang berpikir lama. “Lantas,” tanyanya, “informasi dari Tuhan mana yang dapat kupercaya.” Fidel menganggap pertanyaan itu sebagai sebuah kejutan. Riang cerdas.
“Banyak orang yang mengatakan bahwa kitab yang dipegangnya adalah kitab informasi yang paling terpercaya. Artinya kitab yang di pegangnya dianggap sebagai sebenar-benarnya kitab suci ciptaan Tuhan untuk mengatur dan memberikan informasi gaib, termasuk mahluk halus pada manusia. Maka, ketika ada banyak orang yang mengatakan kitab suciku adalah kitab suci ciptaan Tuhan, apa yang harus kita lakukan?”
“Aku tidak tahu.”
“Membandingkan!”
“Membandingkan?”
“Ya! Membandingkan, meneliti kitab suci yang mana yang sesungguhnya ciptaan Tuhan atau malah reka-rekaan manusia belaka,” Fidel memperhatikan wajah Riang yang bersinar. Riang mendapat pencerahan.
“Kau memahami bagaimana manusia menemukan alur untuk mempercayai keberadaan sesuatu yang gaib, bukan saja mengenai mahluk gaib, tetapi juga mengenai surga, neraka bahkan awal penciptaan manusia dari mana?” Riang berpikir hingga semenit. Fidel membiarkan.
“Aku memahaminya,” ucap Riang tiba-tiba.
“Dan kau memahami alur fikiran manusia yang tidak mempercayai hal gaib?”
“Setidaknya faham sedikit Mas.”
“Sedikit juga tidak apa!” Riang kembali menghirup teh yang sedari tadi ia biarkan menganggur.
“Mas?”
“Apa?”
“Saat kita percaya keberadaan mahkluk halus melalui informasi yang disampaikan kitab suci-Nya, lalu bagaimana cara kita mempercayai keberadaan Tuhan? Kepercayaan terhadap Tuhan disandarkan pada apa?”
“Disandarkan pada alam semesta menggunakan kekuatan akal kita,” jawab Fidel gembira. Pertanyaan Riang mengejutkannya lagi.
“Mengapa untuk mengetahui keberadaan Tuhan kita harus menyandarkan pada alam semesta menggunakan kekuatan akal? Mengapa bukannya dengan panca indera?”
“Mengetahui keberadaan alam semesta menggunakan apa?” tanya Fidel tersenyum memahami.
“Menggunakan Indera?”
“Benar! Menggunakan telinga, penciuman, penglihatan. Dan salah satu syarat untuk menjalankan akal dengan baik ialah menggunakan hal hal tadi, menggunakan perangkat indera. Kamu mempercaya Tuhan?”
“Aku mempercayainya!”
“Lantas Kau mempercayai keberadaan Tuhan dengan apa?” Fidel menguji.
“Aku tidak tahu! Tetapi yang kutahu alam semesta itu teratur. Dan apa pun alasannya keteraturan selalu ada yang menciptakan.”
“Alam semesta memang teratur sehingga terkesan mustahil jika terjadi dan muncul dari sebuah kebetulan. Sebagai contoh, ada beberapa angka yang dianggap membuktikan penciptaan yang tak mungkin kebetulan. Dan ini harus diuji.” Ujar Fidel. “Contoh ini sedikit klasik.”
Fidel mengambil penggaris pita di dalam tabung hitam. Ia meminta Riang berdiri. Riang mengikuti arahannya. Ia mengambil penggaris untuk mengukur tinggi badan,kemudian membagi dengan jarak pusar ke telapak kaki; mengukur pinggang ke kaki dan membagi dengan panjang lutut sampai kaki; membagi panjang jari dan membagi dengan lekuk jari; yang terakhir, membagi panjang pundak ke ujung kaki dan membaginya dengan siku ke ujung jari.
“Hasilnya: selalu 1,618: phi” ucap Fidel.
Riang terperanjat amat sangat. “Menakjubkan!” teriaknya.
“Mengapa bisa seperti ini?”
“Mengapa? The golden number of human life Fibonaci jawabannya. The golden number of human life, merupakan bukti keberadan Arsitek Agung penciptaan. Semua manusia kalau diukur seperti itu hasilnya, sama.”
“Mungkin Tuhan menggunakan penggaris saat menciptakan manusia?” Fidel tertawa. “Dan menggunakan millimeter blok untuk menggambar cetakan wanita cantik,” sambutnya.
Riang menggelengkan kepala berulang-ulang. “Menakjubkan! Me-m-menakjubkan!”
“Jangan dulu bahagia!” Fidel kembali mengetes Riang. “Latas, bagaimana dengan manusia cacat yang tak memiliki jemari tangan dan kaki untuk membuktikan adanya angka fibonacci? Apa mereka tak menakjubkan juga?”
Riang tak dapat menjawab. Penemuan yang membahagiakan itu dihantam palu. Kebahagiaannya melesak hingga ke dasar bumi. Fidel tidak mau membiarkan Riang kebingungan. Ia segera mengangkatnya kembali.
“Riang ...” ujar Fidel. “Manusia tak begitu memerlukan angka fibonaci untuk membuktikan keseriusan penciptaan. Susunan saraf yang ada di dalam tubuh orang cacat, di dalam aliran darah, di degup jantung mereka membuktikan betapa rumitnya proses penciptaan. Alam semesta, termasuk manusia di dalamnya, tidaklah terjadi secara kebetulan seperti saat kita mendapat lotre”.
Riang merasa lega, namun ada lagi yang hendak ia pertanyakan. ” ”Mas?”
”Ya?”
”Maaf ...” Riang bertanya hati-hati. ”Agama yang Mas Fidel anut, apa?”
”Memangnya kenapa?”
”Hanya ingin tahu saja.”
Fidel mengatur nafas. ”Menurut bahasa, agamaku bermakna damai. Islam berarti damai.”
Mendengar kata damai Riang tiba-tiba terkena setrum! Bukankah suara yang menghantuinya itu menambahkan perkataan:
M a s u k ke d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!
M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!
Sesuai dengan apa yang Fidel sampaikan. Riang tenggelam di dalam arus deras pikirannya. Ia tak begitu memperhatikan lagi apa yang Fidel sampaikan. Kata damai terus menerus mengiang-ngiang di telinganya. Memompa jantungnya, mempercepat aliran darah di aortanya dan membangkitkan perasaan yang tak menentu. Mata Riang melompong! Pandangannya kosong!
Originally written by : Divan
Edited n covered by: Devan
KEMARIN SORE Kardi masih berharap bisa menyusul sasarannya, tetapi ketika kabut datang menyandung harapannya menjadi pupus. Kabut mengaburkan semua benda. Jangankan menemukan kedua pendaki, untuk pulang pun mereka kesulitan. Sore datang dan kabut tak jua hilang. Malam datang dan kabut menghilang. Ketiadaan senter memaksa gerombolan itu menginap. Mereka menebasi ranting pepohonan, mengumpulkan dedaunan untuk mereka jadikan atap bivak.
Pagi harinya, kekesalan memuncak! Malam dingin yang memaksa Kardi untuk tidur bertumpuk-tumpuk bersama anak buahnya membuat Kardi mengutuk. Ia menghabiskan seluruh perbendaharaan makian. “Asu!” teriaknya.
Kardi membangunkan beberapa orang anggota gerombolan yang mendengkur. Dalam perjalanan pulang, pepohonan menjadi sasaran goloknya. Kardi membacok mereka. Sampai di kaki gunung, penduduk kampung menjadi pelampiasan kemarahannya. Gerombolan Kardi membuat onar.
###
Setelah mendengar kata damai yang dikatakan Fidel, Riang berjibaku menghilangkan sejuta macam pertanyaan yang mengganjal pikirannya. Ia bingung: mengapa di kepalanya antri pertanyaan yang ingin keluar dari loketnya? Mengapa sejak kenal mereka pertanyaanpertanyaan yang dulu ia penjarakan kabur melarikan diri dan menemukan kebebasannya?
Jeruji dibobol. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah maling yang merongrong kenyamanan hidup Riang. Sejak Riang menyelesaikan sekolah menengah atas, sejak ia pulang dari Yogya ke Thekelan pertanyaan-pertanyaan menghilang untuk sementara tetapi ketika Pepei meracau di jalan setapak, di dekat pohon mati, pertanyaan-pertanyaan itu kembali mengendap-endap seperti copet. Pertanyaan-pertanyaan itu tengah menunggu Riang lengah. Pertanyaanpertanyaan tersebut menyerupai gerilyawan Siera Maestra saat menjatuhkan rezim Batista.
RIANG MASIH MELAMUN saat Pepei menyerahkan dua ekor ikan pada Fidel. Riang merasa tidak nyaman. Ia bangkit, membantu Fidel memasak satu ikan lagi. Usai sarapan mereka berkemas.. Meninggalkan danau, Riang tidak mendengar suara aneh sekedar untuk mengucapan selamat jalan. Danau yang Riang lihat untuk pertama dan terakhir kalinya itu menghilang.
Hanya ceritanya saja yang hidup dari mulut ke mulut, dari kicau ke kicau: menjadi obrolan para pendaki dan setiap penduduk desa. Ketiga orang itu berjalan perlahan menembus belantara. Parang berpindah tangan saat seorang di antara mereka kelelahan, karenanya, yang memimpin jalan pun bergantian.
Tantangan terberat selama tersesat hanya pada saat mereka melipiri jurang yang dalam. Selanjutnya tak ada masalah kecuali sepatu karet Riang yang menyebabkan kakinya koyak. Kaki Riang lengket mengeluarkan bau tak sedap. Pepei mengambil tindakan. Ia mempelester kaki Riang dan melapisinya dengan kain katun dan wol. Riang merasa langkahnya menjadi nyaman, rasa sakitnya berkurang. Beberapa jam kemudian, ketiga orang itu sudah melewati vegetasi khas pegunungan.
Ketika sebuah semak duri berbuah warna warni mereka sibak, perjalanan pulang menemui titik terang. Jalan setapak yang semula Riang kira jalan air, memandu ketiga orang itu menuju arah perkampungan. Semua keletihan dan ketidak pastian musnah saat mereka melihat genting warna hitam terpanggang matahari. Di tempat itu kumpulan ternak mulai tampak sebesar potongan lidi. Pemandangan ini membuat orang yang tersesat kembali merasa berbudaya. Pemandangan itu membuat mereka tentram. Dan dari bukit terakhir pun, suara sungai kecil terdengar berdenyar. Sampai di sana mereka berleha-leha di alirannya.
Ketiga orang itu memakan biskuit, meminum air hujan dan mencampurnya dengan sirup. Usai rehat cukup lama, mereka kembali berjalan. Sore harinya ketiga orang itu sudah sampai di perkampungan. Riang tak mengenali perkampungan yang ia lewati, sebab memang perkampungan itu jarang dilewati pendaki. Penduduknyapun merasa janggal melihat tiga orang tiba-tiba berjalan beriringan. Biasanya iring-iringan yang mereka lihat adalah iring-iringan tukang panggul kantung mayat.
Di gerbang kampung, energi mereka isi. Ketiga orang itu melahap nasi dan lauk pauk sederhana, namun –nasi dan lauk pauk itu-- mereka rasakan paling nikmat sedunia. Dan di warung itulah desas desus mengenai munculnya gerombolan residivis yang mengacau desa Selo terdengar siaranya. Sekitar jam sembilan tadi, berita di radio menginformasikan bahwa ketika gerombolan membuat kekacauan, tak ada yang melawan sebab saat itu ketika gerombolan –yang diberitakan radio berjumlah puluhan orang datang-- hampir seluruh lelaki dewasa tengah berada di lahan pertanian. Berita di radio diulang-ulang hingga menjadi topik pembicaraan yang paling hangat hari ini.
“Iki lho! Iki lho beritane, ini lho. Ini lho beritanya!” pemilik Radio berteriak antusias sewaktu duri ikan pindang selip di geraham Riang. Jumlah orang-orang yang mengacau kampung terdengar terlalu berlebihan. Jumlah gerombolan hanya belasan orang.
Keresek ... keresek... keresek
“Mboten jelas Pak! volumene di agengaken. Kurang jelas Pak! Volumenya diperbesar!” pinta Riang.
Keresek ... keresek ... Volume radio diperbesar.
Sejak tadi siang aparat kepolisian bergerak. Dalam investigasinya, radio menyiarkan langsung komentar korban.
“Dasar mucikari!” kata seorang perawan kampung yang diisengi perabotannya. Wanita lain yang mengaku rambutnya dijambak dan seorang ibu yang ditendang, memaki-maki.
“Polisi harus segera menangkap bajingan-bajingan itu!” kata dua orang pemilik warung yang tabungannya dibobol.
Berita selesai. Penyiar menjanjikan kabar terbaru beberapa saat ke depan dan di saat berita beralih menuju berita harga kol dan jantung pisang, dahi Pepei tiba-tiba mengkerut. Bukan, bukan dikarenakan pemberitaan radio. Sesuatu yang menjalar di pangkal paha Pepei membuatnya gatal. Seekor binatang –menyerupai lintah—menempel di sana. Pepei mencabut lalu meletakkan binatang itu di tanah. Ia meminta satu kantung plastik air panas pada pemilik warung. Pepei meletakannya di kantung celana untuk merredakan gatal. Setelahnya barulah mereka turun dari perkampungan menuju jalan aspal.
Dalam perjalanan itu Riang membujuk Pepei dan Fidel agar tidak mengantar dirinya. Ia mengkhawatirkan keselamatan dua orang, yang sebenarnya lebih banyak menyelamatkan dirinya. “Mengenai jam yang ketinggalan, biar kuantar,” ucap Riang membujuk. Tetapi, kedua orang itu tetap bersikukuh.
“Ini bukan tentang jam,” elak Fidel “Jika gerombolan Kardi mencegat, apa yang akan Riang lakukan jika sendiri melawan lima belas orang? Jika bertiga, setidaknya gerombolan itu akan berfikir dua kali untuk menyerang?”
Tentu saja. Pepei menambahkan. “Mungkin, kita tidak sanggup melawan mereka semua, tapi semakin banyak jumlah orang yang melawan, semakin banyak pula waktu yang bisa kita ulur?”
“Mengulur apa?” tanya Riang.
“Memberi kesempatan agar penduduk Thekelan memberi pertolongan.” Tak ada lagi yang bisa Riang lakukan. Ia tahu pernyataan mereka tak mungkin bisa digubrisnya. Pernyataan kedua orang itu merupakan keputusan yang fix. Riang segera menghentikan bus yang melaju di jalan aspal. Mereka berada di dalamnya hingga dua jam perjalanan. Ketika sampai di pasar Kopeng bus berhenti.
Ketiga orang itu turun lalu berjalan melewati gerbang wisata. Mendung di lokasi wisata Kopeng menyebabkan suasana menjadi suram. Riang menemui penjaga. Ia yang sudah Riang kenal bertahun-tahun tidak tahu menahu mengenai peristiwa yang terjadi di Selo tadi pagi. Penjaga yang dahulu pernah tinggal di Thekelan tidak melihat gerombolan Kardi memasuki lokasi wisata tempatnya bertugas.
Ketiga orang itu berjalan lagi, naiki tangga tanah sambil sesekali menyapu pandangan ke segala arah. Tak ada yang mencurigakan namun Riang belum yakin selamat hingga ia melewati gerbang kuburan. Kabar baik dari penjaga Kopeng tidak menyurutkan kekhawatirannya. Riang bukan saja khawatir akan keberadaan gerombolan Kardi. Gerbang kuburan yang nanti akan mereka lewati mengingatkan dia pada bisikan yang membuatnya sulit pejamkan mata.
Gerbang kuburan semakin dekat, ratusan nisan tampak kusam dan mengerak Angin mendorong pohon-pohon sampai doyong. Suara krak yang ditimbulkan mengingatkan Riang pada tulang yang patah.
Di tempat itu segalanya tampak mencurigakan dan ... sebuah suara pekak tiba-tiba menjadi sangsakala yang seolah menggulung tulang ekor Riang. Seorang lelaki yang dikenalnya muncul dari balik semak.
“Setan alas!” mata Kardi terbelalak, melalap. “Rupanya anak setan ini yang membuat semua kacau! Asu!”
Seorang lelaki mengelus brewoknya, anggota gerombolan yang lainnya melompat keluar dari semak-semak di pinggir jalan setapak. Lima belas orang mengepung. Empat orang lelaki memegang pentungan kayu, lima lainnya memegang golok, senjata sisanyakepalan tangan. Riang merasa tulangnya dipresto. Tulang punggungnya tiba-tiba rapuh, kekurangan zat kapur.
“Kalau tidak mau mati, jangan melawan!” Kardi memperingatkan. “Serahkan barangbarang Kalian!” Kardi berteriak mengancam Pepei dan Fidel, lalu menunjuk Riang.
“Untuk Asu yang satu itu!” Goloknya ia mainkan. “Aku akan memberinya pelajaran yang tak mungkin dilupakan! Kau akan mengisi sisa hidupmu dengan penyesalan!” Kardi hendak membuat cacat.
Ancaman itu membuat Riang tak mampu gerakkan badan. Ancaman adalah sirap. Tak terpetik keinginan Riang untuk melawan. Ia mendadak mencium bau kemboja. Riang merasa, dirinya tengah dimasukan ke dalam keranda. Riang hanya bisa menaruh harapan. Ia hanya bisa memandang, meminta tolong dan menatap. Tetapi apa yang Riang harap? Ia tak melihat adanya indikasi Pepei dan Fidel akana bergerak. Kedua orang itu malah meletakan ranselnya di tanah.
Lelaki yang perkataannya tentang mahluk halus demikian meyakinkan, kini Riang saksikan --dengan mata kepalanya—sendiri, gemetar. Lutut kaki Fidel tampak bergerak secepat jarum mesin jahit. Yang lebih tak bisa dipercayai, lelaki lain yang sok-sokkan bersabda tentang kegunaan pohon tumbang, yang belagak bicara kematian: o kematian adalah kepastian, o apa yang akan kita hadapi setelah kematian, o dan o berlagak seolah jalan setapak adalah panggung teater itu, membuat Riang ingin hoek sor! Pepei yang sok-sok-an itu kencing di celana.
Gerombolan Kardi tertawa. “Badan dan muka boleh keren, tapi kelakuan? Kayak banci!” Teriak Kardi mengejek. Riang kecewa. Mengapa bisa seperti itu? Dimanakah janji mengulur waktu, sebelum penduduk desa datang membantu? Kepercayaan Riang akan keberanian ke dua orang itu wafat. Riang ingin menangis.
Namun ... tiba-tiba ... di detik-detik yang tak mungkin ia duga, sebuah senter terbang dan menghantam! Bersamaan dengan itu, ketika Pepei melempar ranselnya, sebuah tas kecil berwarna coklat terjatuh. Pepei segera mengeluarkan parang dan mengayunkannya menuju bahu lelaki bertubuh paling besar. Lelaki itu mengelak lalu membuat sabetan ke arah kepala. Pepei menghindar. Ujung golok tipis membeset wajah. Ia tak merasakan apa-apa, luka itu terlampau ringan.
Dan jeda waktu antara sabetan dan tarikan tangan itu lantas Pepei manfaatkan. Ia menyerang balik dan “Krak!” Bunyi tulang terdengar patah. Tak ada darah yang memancar. Pepei belum mengeluarkan parang dari sarungnya, namun dua orang sudah terkapar.
Di sisi lainnya, senter yang sebelumnya Fidel lempar membuat anak buah Kardi terhempas di tanah. Di tangannya alat penerang itu menjadi senjata yang berbahaya. Usai menghantam satu kepala lagi, senter yang ada di tangan Fidel hancur berkeping. Tak ada lagi senjata, namun Fidel tak mau memberi kesempatan bernafas. Ia meringsek dan memukul satu lelaki lain dengan tangkas! Ia bergulat di tanah dengan seorang yang –tubuhnya—lebih kecil darinya. Beberapa pitingan dan bogem ke arah dagu membuat penjahat bertubuh kecil pingsan.
Di tengah-tengah kejadian yang begitu cepat, Riang tersulut. Ia kalap. Ketakutan membuatnya nekat. Ia menyabet pinggang anak buah Kardi yang bertubuh tambun. Usus yang terburai membuat lelaki itu kelojotan hampir mati.
Lelaki brewok yang Riang temui di gerbang kuburan ia kejar. Ia menebas golok di lambung. Lelaki brewok berkelit cepat. Parang Riang menggombang angin. Peristiwa yang begitu cepat terjadi membuat gerombolan Kardi mundur dan tak lagi mengelilingi mereka rapat. Lima orang telah terkapar di jalan, dan semak-semak. Keraguan mulai mengganggu gerombolan yang tersisa. Mereka tak mau lagi bertindak gegabah.Mereka mulai menaksir kekuatan lawan, dan saat taksir menaksir itu terjadi, akal Riang yang beku mulai mencair.
“Tolong! Toloooooooong, begal! Ada begaaaaaaall!!” pita suara Riang bergetar hebat. Teriakan pertama mengantarkan dua orang petani yang melengkapi dirinya dengan pacul dari lokasi wisata Kopeng. Teriakan kedua membawa seorang ibu penggarap lahan kentang. Clurit berada di genggamannya.
Kardi bimbang. Ia dan gerombolannya kebingungan.
Riang terus teriak. “Begaaaaall! Toloooooooooooong! Ada begal!” Teriakan Riang yang terakhir disambut kentongan dari arah Thekelan.
Keputusan diambil. Gerombolan Kardi surut. Kardi menyuruh anak buahnya berlari masuk ke dalam hutan. Lelaki berewok segera memungut tas coklat yang terjatuh saat Pepei melemparkan ranselnya. Bersama Kardi, ia menyusul sisa gerombolan. Kedua orang itu memotong lahan pertanian bersama delapan orang lainnya. Dari kejauhan Kardi berhenti. Ia berteriak mengancam. “Riang!! Lusa Kau pasti mampus di tanganku!” Kemeja planel Kardi berkibar sebelum tubuhnya menghilang.
DARI ARAH THEKELAN kerumunan orang lari membawa macam senjata. Sisa anak buah Kardi yang terkapar menjadi bulanan penduduk desa. Beberapa orang hampir mati setelah kepalanya diadu dengan batu. Polisi kemudian datang memisahkan. Mereka langsung menggiring lima pesakitan menuju bak mobil di pintu wisata Kopeng. Di tempat itu mereka menyusun siasat: memobilisasi masyarakat untuk mengadakan penyisiran.
Hingga beberapa hari kemudian, penyisiran tak menghasilkan apa pun juga, namun kini, peristiwa dikalahkannya gerombolan menyehatkan kepercayaan diri penduduk Thekelan. Jika gerombolan Kardi dibekuk oleh tiga orang, bagaimana hal nya jika orang-orang satu desa bersatu meringkus mereka?
SORE SETIBANYA di rumah, bapak memeluk Riang erat-erat. Di ruang tengah ibu menggamit langannya. Pada wajah Riang ibu meletakkan pipinya yang dicucuri air mata.
“Ndak kurang apa pun Bu... ndak kurang apa pun...” sahut Riang menenangkan. Di luar rumah, ia melihat Fidel dan Pepei diinterogasi tentang ihwal kejadian oleh aparat kepolisian. Mereka dikelilingi penduduk desa yang mengharap datangnya kisah perkelahian yang hebat. Kedua lelaki itu berusaha meminimalisir peran yang mereka lakukan. Dan hal ini membuat banyak penduduk desa kecewa.
Malam hari itu, sebenarnya Riang ingin mendengar kembali, ia ingin mengulangi lagi kejadian yang telah mereka alami bersama. Tetapi sehabis makan ikan yang mereka dapatkan di danau Merbabu, kedua orang itu tidak membicarakan hal yang Riang inginkan. Mereka tertidur begitu saja, seolah-seolah mengalami hal yang biasa terjadi.
Esok hari, tepat jam delapan pagi Fidel dan Pepei memutuskan pergi. Riang kemudian menyerahkan jam tangan Fidel yang tertinggal. Di gerbang kawasan wisata Kopeng, mereka berpisah. Kedua orang sahabat itu Riang dekap erat. Mereka membalasnya dengan peluk erat dan genggaman tangan yang rekat.
“Sampai jumpa lagi Mas!” ujar Riang. “Suatu saat nanti, mungkin aku akan mengunjungi Mas di Yogja.” Lalu Riang beralih ke arah Fidel. “Mudah-mudahan Mas Fidel senantiasa sehat dan bisa lekas kembali ke Thekelan!” katanya.
Fidel tersenyum dan entah mengapa Riang tiba-tiba tertawa. “Lain waktu bukan aku yang ke Thekelan. Lain waktu Riang yang akan ke tempatku?”
Mobil kemudian berjalan perlahan. Sesekali klaksonnya terdengar. Dari kejauhan Riang melihat tangan Pepei keluar dari jendela angkutan. Lelaki itu membuang kantung plastik transparan ke dalam bak sampah. Terulang dalam ingatan Riang, kilasan peristiwa saat Pepei memasukkan air panas ke dalam kantung celana untuk meredakan gatalnya. Riang tertegun. Ia tak sadar menepukkan tangan di jidatnya! Riang menginsyapi. Riang bersyukur. Lelaki itu ... Pepei, mengetahui benar, betapa pentingnya fungsi toilet umum. Riang sungguh-sungguh bersyukur.
gak ada pelangi banget ya? kekekekek
ni masih dalam proses editing n covering sebenarnya.
jadi mohon saran2nya ya
@ularuskasurius
@gumawoyo
@rysan_80
@rarasipau
@midi
@freakymonster58
@lee
@BleezeB
@HE20X
@dewa91
@R3ndy_surabaya:
@pokemon
@arieat
@nega
@wiraone
@budhayutzzz
terima kasih dah mampir. jangan lupa komennya
@arieat
thanks
@ularuskasurius
@gumawoyo
@rysan_80
@rarasipau
@midi
@freakymonster58
@lee
@BleezeB
@HE20X
@dewa91
@R3ndy_surabaya:
@pokemon
@arieat
@nega
@wiraone
@budhayutzzz
@n0e_n0et
ini yang versi straight. yang versi pelangi ada di algibrannayaka.wordpress.com
@ariet: masih on progress covering hehehehe