Salam...
Akhinya bisa buka BF tanpa terblok oleh Nawala.
Mau posting cerita bersambung. moga kawan2 bersedia membaca, terlebih lagi mengomentari. Judulnya Riang Merapi, sesuai dengan nama tokoh sentral dalam cerita ini.
Sebagai info, cerita ini adalah tulisan Abang Divan Semesta. Aslinya straight, walau pun agak nyerempet
. Tapi tenang aja, Abang Divan dan aku sama-sama pembajak dan pemuja Dewi Penggandaan Masal. Jadi udah biasa saling membajak, tapi tak lupa selalu menyertakan credit
Terima kasih
Riang Merapi 1: BISIKAN
MERBABU TEGAK membentengi Desa Thekelan dari risauan angin. Baik pagi, siang, terlebih malam, suasananya sejuk. Di pagi dan senja, horison benteng alam setinggi lebih dari tiga ribu meter itu berubah menjadi warna beludru. Bersamanya lautan aura mistis mengambang di angkasa, bersinar-sinar memberitahu bahwa cahaya alam adalah perlambang keajaiban.
Di sini, di tempat Riang berada ini, kegelapan dan cahaya dapat bersatu menjadi sebuah lukisan surealis yang indah. Saat awan berbondong-bondong datang, angin membentuknya menjadi kuda berkepala harimau; cabikan daging manusia yang digilas kereta; atau bulatan-bulatan misterius seperti lukisan si bohemian kuping rebing Van Gogh.
Desa Riang berada di kangkangan gunung itu, menyempil di lekuk lembah, di sisi belantara dan hutan yang sedikit pepohonan besarnya. Lerengnya ditumbuhi kol muda yang berwarna hijau pastel. Sementara di sisi lainnya, umbi wortel berwarna oranye menghunjami lahan pertanian dan daun-daun bawang menyucuk-nyucuk angkasa mengeluarkan aroma menyengat yang nikmat.
Ya, kisah ini berawal dari desa di Lereng Merbabu yang indah ketika rintik air melayang dibawa kabut, ketika untuk pertama kalinya Riang melihat dua lelaki berjalan seperti kalkun, mengaso di pos penjagaan Lokasi Wisata Kopeng. Saat itu Riang memberi mereka sedikit perhatian. Hanya senyum yang dilampirkan. Ia yakin jika kedua lelaki itu bakal bertemu dengannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, secepat-cepatnya.
Setengah jam kemudian kedua lelaki itu sudah sampai di tepi halaman rumah Riang. Salah seorang di antara mereka membuka tas, mengendurkan otot dan menggerakkan jemari tangan sambil melirik jam saat lelaki satunya mengetuk pintu rumah. Bapak menyambut mereka selagi Riang mengintip dari balik jendela. Percakapan terdengar. Kedua orang itu menuju ruang sebelah, ruang yang khusus didirikan untuk menampung para pendaki sebelum mereka tancap gas menuju puncak.
Di dalam ruangan yang bisa menampung hingga empat puluh pendaki itu tidak terdapat tempat tidur konvensional. Keluarga Riang sebatas menyediakan panggung sederhana agar para pendaki tidak tidur di lantai. Kondisi itu pun sudah lebih dari cukup. Sebab mereka memang sudah terbiasa tidur beralas tanah dan berselimut ponco. Bahkan sebagian kecilnya sudah terbiasa tidur dan melamun di samping jenazah.
Setelah cukup lama berada di dalam rumah, Riang keluar mengantar teh panas, hendak mengundang kedua pendaki itu mengikuti ‘syukuran kecil’ atas panen berlimpah yang keluarga Riang nikmati tahun ini. Masuk ke dalam, ruangan kosong melompong. Riang tidak dapat menemukan mereka. Ia menyimpan baki teh panas di atas panggung kayu.
Angin dingin masuk, pintu lantas ditutup. Riang termenung. Sesuatu mengganggunya. Sewaktu berjalan melewati gerbang kuburan, ia berpapasan dengan beberapa lelaki. Sekilas Riang merasa pernah melihat salah seorang di antara mereka, tapi hingga saat ini ia belum dapat menyimpulkannya.
Riang pun keluar, dan di bawah pohon beringin dekat rumah ia menjumpai Oerip. Tetangganya yang baru menikah itu tidak melihat pendaki yang Riang maksud. Setelah memberitahu Oerip bahwa penjualan panen tahunan bisa diambil di rumahnya, Riang lantas pergi menyusuri jalan batu. Ia berpikir kedua pria itu hendak membeli Djarum Coklat, rokok yang konon paling mantap jika dihisap di ketinggian, sembari melengkapi kekurangan bahan makanan.
Sesampainya di warung Riang menemukan Simbok Rahayu tengah menyeduh mie instant rasa rawon untuk anaknya, Parman.
”Hari ini ndak ada pendaki yang ke sini, Mbok?” tanya Riang.
”Ada juga yang beli batu baterai, Yang,” jawab Simbok.
“Dua orang?!”
”Bukan, sendiri Yang.”
Riang menduga. ”Lelaki berewok, yang pakai kupluk, yang lehernya dililit kain merah?” tanyanya. Simbok mengiyakan sambil mengetuk mangkuk mie hingga menimbulkan bunyi ting berkali-kali.
“Orangnya sendirian Mbok?”
“Memangnya kenapa Yang?”
”Di gerbang kuburan aku melihatnya tidak sendirian.” Riang meminta penegasan, ”Benar dia sendirian, Mbok?”
Simbok sewot “Sudah dibilang sendirian, ya sendirian!” Riang tertawa. Ia mencomot pisang goreng lalu pergi menuju lahan tempat leluhur desa Thekelan dikubur.
Menuruni jalan batu yang menyimpan dingin, sunyi menjadikan ketukan langkah kaki Riang terdengar lebih keras. Di kuburan itu tak ada tanah merah yang baru. Semuanya menua. Batu-batu nisan terlihat jompo, gerbang kuburan lembab dan tampak kehilangan vitalitas dimakan usia. Jangkrik mengerik. Kerosak pohon kemboja yang disiurkan angin menciptakan suasana yang mencekam. Bayang-bayang hitam pohonnya bergerak-gerak melambai. Sunyi kembali datang dan sebuah bisikan tiba-tiba terdengar:
R
i
a
n
g
K e m a r i
R
i
a
n
g
A y o
K e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i
M
b
a
h
m
u
J a n g a n
T
a
k
u
t
Sesuatu di luar akal tiba-tiba menyebut nama Riang berulang-ulang Mendengar bisikan itu tubuh Riang mendadak dijalari dingin yang aneh. Bulu kuduk Riang meremang menancapi udara. Ia ingin berlari tetapi takut jika sesuatu yang membisiki telinganya itu memiliki persamaan dengan tingkah laku anjing. Anjing semakin garang dan semakin kurang ajar apabila yang digonggongi mengeluarkan ilmu mustika alias ilmu musti kabur.
Saat pinus hutan menjadikan bayangan bukit di sebelah barat Merbabu terlihat seperti pucuk senjata tajam, Riang berbalik. Sesampainya di halaman rumah ia melihat halaman pintu ruangan di samping terbuka lebar. Kedua orang yang dicarinya sudah kembali. Riang masuk ke dalam rumah menghangatkan badan. Tak terpikirkan lagi olehnya untuk berbincang dengan kedua lelaki pendaki itu.
Yang kini mengisi tempurung kepala Riang hanya bisikan yang masih menyisakan rasa heran bercampur kekhawatiran. Riang menyegerakan masuk ke kamar. Orang tuannya menganggap biasa. Mereka pikir anaknya tengah membutuhkan waktu menyendiri, melakukan semedhi. Mereka tidak tahu jika hati anaknya kebat-kebit seperti hati perawan yang baru saja dirogol satpam.
Sekeping merah tersisa di angkasa. Bintang-bintang menyala, menggantikan matahari yang meredup di batas cakrawala. Usai selamatan Riang tertidur dan keesokan harinya ia sudah bisa memulai kehidupan seperti biasa.
Comments
Originally writed by: Divan Semesta
Edited and covered by: Desem
D u m! Du m! Du m! Dentum Merapi menghamparkan permadani ketakutan. Suaranya mengkelebat di seluruh penjuru mata angin. Echonya menggelegarkan desa hingga keraton Yogyakarta. Dentum pertama menyebabkan ketuban seorang Ibu pecah. Tak lama berselang lelaki itu lahir ke dunia berbekal nama Riang sebagai lokomotifnya dan Merapi sebagai gerbongnya.
Riang Merapi demikian gagah perwira namanya. Beruntunglah dia yang memiliki nama sedemikian wow-nya sebab dalam setiap perkenalan pertama yang hangat, hampir setiap orang merenungi dan sejenak mengomentarinya. Dan itulah sebab, mayoritas orang-orang yang baru mendengar nama Riang pasti membayangkan perawakan yang tegap, membayangkan keberadaan lelaki yang bugar berotot selang, berkulit plat kuningan, berambut gimbal dengan karakter khas Merapi yang meledak-ledak.
Benar kulit Riang berwarna coklat. Benar jika dia cukup kuat mengangkat beban yang dua kali lipat dari massa tubuhnya. Tapi jika ada yang mengatakan badan dia tegap seperti anggota angkatan bersenjata Timor Leste, atau kalau dibayangkan rambutnya didreadlocks seperti rambut penyembah kaisar Ethiophia Hailie Selasie, maka dia salah. Pada kenyataannya penampakan Riang bisa dikatakan biasa-biasa saja.
Setiap nama adalah cangkang yang memiliki kisah menarik dibaliknya, demikian pula dengan nama Riang. Dia sang pemilik nama yang menggetarkan itu tidak begitu saja mengetahui asal muasal penamaan dirinya setelah plop keluar dari uterus ibunya. Riang baru memahami makna keramat yang disematkan kepadanya, itu pun setelah usia dia sama dengan pertambahan usia planet biru sewaktu mengorbit matahari selama 1826 hari dengan kecepatan rata-rata 107 ribu km/jam.
*uterus = rahim
** 1826 hari = 5 tahun
“Le kemari. Duduk di sini. Bapak mau cerita,” bujuk bapaknya mengajak Riang bicara. Riang meletakan pengki yang sedari tadi ia buat mainan. Riang duduk bersandar di dada bapak sambil memandangi Puncak Merapi yang mengepulkan asap.
*** le = tole = kontole = idiom jawa untuk sebutan anak lelaki
“Cerita apa Pak’e?” tanyanya.
“Mau tahu kenapa bapak menamakanmu Riang?” Kepala Riang mendongak ke arah dagu bapak.
“Mau Pak’e.”
“Kamu tahu Riang artinya apa?”
“Ndak Pak’e”
“Nama Riang artinya bahagia. Bapak bahagia dikaruniai anak lelaki sepertimu.”
“Kalau bukan anak lelaki, apa Bapak tidak bahagia?” tanya Riang menyela.Bapak tersenyum.
“Ya bahagia.” Beliau mengusap bulir keringat di cambang Riang. Pertanyaan anaknya kadang memang merepotkan.
“Kalau nanti Kau sudah besar” kata bapak melanjutan. ”Le, kalau nanti kamu sudah menikah, punya anak lelaki atau perempuan, Kamu akan memandang sama untuk anak pertama”
“Lantas kalau sama, kenapa Pak’e bahagia?”
“Ya bahagia. Ya … ya …” Bapak bingung memikirkan pertanyaan Riang. Di kepala bapak ada banyak kata yang dibolak-baliknya. Kalau anak perempuan tidak sama berarti tidak bahagia. Hm, kalau sama berarti bahagia. Bukannya sama-sama yang justru sama bahagianya. “Ya… ya …honocorokodotosowolo …” ujar bapak berusaha menepiskan pertanyaan yang membingungkan itu, tapi Riang malah terus menerus bertanya.
“Kenapa honocoroko Pak’e?” Bapak tertawa. Ia tak mau ikut mencampur pikiran anaknya yang kompleks. Dihisapnya rokok klobot yang sedari tadi nangkring diantara telunjuk dan jari tengahnya.
“Begini Nak …” Bapak menghisap rokok klobotnya, “namamu itu dulu bukan Riang pada awalnya. Bapakmu ini ndak tahu harus menamakan kamu apa, padahal ... waktu ibumu itu hamil tua, bapak suka menghina,” bapak tertawa. ”Nama yang dulu ibumu berikan jelek semua,” katanya.
“Kenapa dihina? Menghina kan dosa Pak’e?”
Bapak seperti dipentung. “Ya … ya, ya tapi bagaimana?” Bapak gagap. Ia menyerah. ”Memang dosa ... memang dosa, tapi nama yang ibumu beriitu kurang Le’ …”
“Kurang apa Pak’e?”
“Ya kurang sreg poko’e.”
“Tapi kan dosa Pak’e?”
“Iya! Tapi ... tapi apa Kamu mau dikasih nama Pitono?” Bapak membuat muslihat: mengalihkan pertanyaan Riang. ”Lha kamu lahirnya kapan saja belum ada yang tahu! Aneh ibumu itu!”
“Pitono artinya apa Pak’e?”
“Jam pitu wes ono! Kamu mau dikasih nama itu?!”Riang meraba-raba.
“Ya ndak Pak e’!” Nama yang diberikan ibu memang kurang menjanjikan dibandingkan namanya sekarang.
“Nah,” sambung bapak, ”Kamu saja ndak mau dinamai Pitono apa lagi aku!” Bapak menjentikkan abu rokok lalu menghisap dalam-dalam dan menjadikan hisapannya itu sebagai ancang-ancang. “Dulu ... namamu bukan Riang. Waktu bapak mentertawakan nama Pitono itu ibumu marah. Ya sudah! Kata ibumu. Cari nama yang sampean mau! Akhirnya Bapak jadi kelimpungan Le’.”
“Kenapa bisa kelimpungan Pak’e?”
“Soalnya sampai kandungan ibumu tua, Pak’e belum menemukan nama yang kedengaran enak, kedengaran nikmaaaaaaaaat.”
”Lalu, lalu Pak’e?”
”Pas Merapi meledak, Kamu lahir!” Ya! saat dentum Merapi terdengar, sewaktu letus pertamanya menjungkir balikkan bebatuan, memuntah dan melelehkan agar-agar bersuhu ribuan derajat yang mengkilat, serta merta saat itu juga bapak Riang melunjak gembira. Nama yang sedari dulu pusing dipikirkan tiba-tiba meng-eureka dari balik gumpal otaknya.
Bapak memberi anak pertama yang keluar dari uterus istrinya itu nama Gembira. Penamaan awal itu merupakan ungkapan yang jujur melompat dari hati seorang bapak yang baru mendapat jagoan pertama –yang juga bakal satu-satunya selamanya. Kebahagiaan yang luar biasa itu pula yang menyebabkan bapak meletakkan nama Merapi sebagai tetangga nama Gembira.
Namun, karena tidak enak dalam mengucapkannya, maka di hari kedua, nama Gembira bukan saja diusir tapi disemayamkan seperti ari-ari yang tak boleh dipungut kembali:Gembira diganti Riang, yang hingga kini masihlah Riang.
\ː̗;)ː̖/
Ɓ∂∂∂gưưưs..!!
_/ \_
Lanjjuuttt.......
btw kok feelnya ampir sama kek bilangan fu yah....hoho
atun: nyaris sama, beda ideologi aja. BTW kamu dah punya seri Bilangan Fu?
Sandi Yudha dan Parang Jati tuh kayaknya ada apa2 ya heheheh
Originally Writed by Divan Semesta
Edited n Coverd by Desem
CAHAYA MATAHARI sampai di desa Thekelan setelah melakukan perjalanan yang cukup lama. Cahayanya mendandani wajah angkasa, mengelus lekukan lereng Merbabu yang sedikit mirip pinggul janda. Cahayanya yang eksotis berbisik agar ‘janda raksasa’ itu menyiapkan tubuh semloheinya untuk menyambut para pendaki yang akan berteriak kelojotan ketika mengagumi keindahan belukar dan gundukan karangnya.
Pagi itu di Thekelan, kayu pagar dan rerumputan yang menyempil di bebatuan jalanan, berembun. Suara burung memantul di dinding lembah. Ada yang bersuara seperti tekukur, ada pula yang melengking. Riang bangun. Ia membuka pintu rumah, merasakan udara dingin menyapu wajahnya
Setiap subuh kerjaan Riang ya begini ini. Keluar dari kamar, membuka pintu, melamun, memegang pokok pagar dan mengharapkan sapu yang digenggamnya tiba-tiba beraksi membersihkan halaman sendiri. Setiap pagi seperti inilah, Riang memandangi lanskap, mensyukuri betapa hidup dia dipenuhi berkah meski migrasi keluarganya menuju Thekelan tidak dilakukan atas dasar pilihan.
Dulu, Riang memiliki keluarga besar yang tinggal di bawah Merapi di dekat Kali Boyong, tetapi itu dulu pada tahun 1995 sebelum aliran awan panas memangsa enam puluh empat nyawa. Kakek, nenek, bibi, paman, ponakan dan sepupu dari pihak bapak serta ibu Riang lebih baik nasibnya, dibandingkan dengan nasib penuduk yang menjadi arang.
Bagi keluarga besar Riang, tak ada istilah manusia panggang, sebab tak ada yang tersisa. Alakazam, sim salabim, abracadabra! Keluarga Riang hilang. Amblas dikremasi wedhus gembel gunung Merapi. Dari tanah liat menjadi debu.
Riang mengingat apa yang ia lakukan sewaktu awan panas menimbulkan suara daging yang mendesis dan tulang penduduk desa yang mengkeretak. Saat itu Riang dan
ibunya tengah memasukkan rumput ke dalam karung goni di lereng barat gunung Merapi. Riang masih mengingat bagaimana dengkur mengerikan terdengar dari kejauhan, awan hitam gerak cepat menyelancari angin. Semakin awan itu mendekat, suhu bertambah panas dan cuaca menjadi semakin kelam, dan burung-burung menjadi seperti buah masak yang berjatuhan.
Riang menatap langit. Menyaksikan awan hitam yang memberik kiriman guntur menakutkan, Riang segera membuang sabit yang menggantung di celana pendeknya. Ia
melemparkan ranting kayu yang berada di punggung ibunya. Kedua anak beranak itu berlari menuruni jalan setapak, menerjang bebatuan dan onak, terpontang panting dalam kebingungan dan ketakutan.
Lima puluh meter dari tubuh mereka gugusan cemara terbakar. Suasana mencekam. Dan ketika manusia sudah tak mampu lagi melihat harapan, ketika manusia sudah harus ikhlas melepaskan diri dari usaha yang dilakukan, sebait angin puitis datang menjinakkan aliran wedhus gembel liar itu. Aliran awan panas itu mendadak belok kiri dengan rapi, serapi barisan tentara yang dikomando pemimpinnya.
Entah bagaimana kejadiannya, anggota keluarga kecil Riang selamat. Kawasan penambangan tempat bapak biasa menambang pasir tidak dilalui aliran awan jahanam. Dan kalau pun awan itu tetap bersikukuh keluarga nuklir Riang tetap bakal selamat sebab –kebetulan—di hari yang naas itu bapak mengirim dua truk pasir ke Bantul. Jadi begitulah, hanya keluarga Riang yang disisakan bencana, hanya keluarga Riang yang menjadi penerus trah keluarga.
Usai kejadian tak ada yang tersisa kecuali petak peninggalan kakek di Thekelan yang tanpa bukti surat tanah, kecuali patok dan beberapa penanda yang apabila dibawa ke pengadilan tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan. Keluarga Riang benar-benar harus merangkak dari awal, namun hidup harus tetap berjalan. Bapak segera mendirikan rumah kecil di bawah gunung Merbabu.
Saat itu tidak ada orang Thekelan yang memanfaatkan pengetahuan hilangnya surat tanah keluarga Riang. Mereka bersimpati. Semuanya berbudi kecuali satu orang yang hidupnya senantiasa disarati keburukan dari rongga mulut hingga ke liang feses. Seorang lelaki yang di paru-parunya dijamuri syakwasangka. Seorang lelaki yang terbiasa membuat masalah sepele menjadi alat berkelahi.
*feses = air besar
Lelaki itu Kardi. Lelaki yang hatinya disiasati purbasangka itu pernah memukul kakek mas Oerip dengan bata merah karena ia merasa diperhatikan. Kardi, yang tidak ketulungan itu tidak pernah menganggap perlu menghormati orang lain. Mau kepala pamong praja, mau anak gorila, mau turunan siluman ular sanca dia tidak peduli. Bagaimana dengan keluarga Riang yang baru menetap di Thekelan?
Semula keluarga Riang tidak tahu menahu siapa Kardi, hingga lelaki liar itu datang tanpa spada tanpa kulonuwun. Dalam syukuran pendirian rumah keluarga Riang itu Kardi memasuki ruang tengah tanpa melepaskan sandal.
Di luar, lima orang temannya berjaga. Lengan kaus mereka dilinting. Beragam corak tato dari yang cabul macam lukisan di bak truk antar kota, tulisan norak seperti I Love You Ratna hingga yang seram-seram semisal tato kalajengking dan kepala macan kumbang sengaja mereka perlihatkan.
Suasana rumah saat itu berubah. Muka penduduk pias. Suasana canda mendadak berhenti. Kardi berkacak pinggang. Seperti periskop kapal selam kepalanya berputar.
*periskop = alat untuk melihat permukaan laut dari kapal selam.
“Namaku Kardi.” Satu persatu dilihatnya wajah penduduk desa. “Orang-orang ini tahu siapa aku!” ia menunjuk dan mengultimatum ”Jadi … Kalian keluarga baru di desa ini harus tahu siapa penguasa di sini! Kalian harus tahu siapa aku!” Riang menatap wajahnya.
“Kau! Sini!” Kardi berteriak. Ia marah. Riang diam. Ia menatap bukan karena keberanian. Riang yang masih empat belas tahun diam ketakutan. Merasa perintahnya Riang elakkan, mata Kardi langsung membelalak. Bola matanya membesar dua kali lipat.
Kardi menggoyang golok pada sabuknya. Semua mata mengarah kepinggang Kardi. Kehawatiran membuat kupu-kupu berada di perut semua orang. Beberapa orang penduduk desa mulai kesemutan.
Namun rasa yang diindera Riang berbeda. Ketakutan menimbulkan gempa berskala dua richter mengguncang tubuhnya. Riang mengingat ketakutan yang sama seperti saat ia berlari menyelamatkan diri dari awan panas Merapi.
Gelas kopi yang Riang pegang tumpah.
Lelaki bau ikan asin itu menyarungkan golok lalu melanjutkan koakannya di ruang tengah. “Aku begini supaya kalian, koak koak! … Sekarang kumpulkan sumbangan." Penduduk desa merogoh kantung, seribu per kepala. "Koak-koak! Jangan sampai ada yang berani koak-koak! Dan siapa saja yang memberi informasi ke polisi maka akan ku koak-koak!”
*koak - koak = suara buang dahak
Setelah kedatangan yang tak jelas titik komanya itu, Kardi pulang membawa belasan bungkus rokok yang dimasukan ibu ke dalam gelas hadiah cat Avian. Ia tidak sadar punggungnya ditusuk-tusuk kebencian penduduk sedesa. Ia tidak sadar jika mata penduduk desa merapal kutukan untuknya.
Dialah Kardi, si Begal Gunung Merbabu. Dari sejak dulu hingga sekarang, tidak ada yang berani melawan atau melaporkannya. Aparat keamanan pun letih dengan pencarian yang tak pernah didukungan penduduk Thekelan.
Kini, --mesti penduduk desa yakin jika gerombolan Kardi masih ada di sekitar Merbabu—mereka tak lagi bisa
memastikan apa Kardi dan gerombolannya masih berada di dalam gubugnya.
Setelah sekian tahun jadi buronan dan tidak pernah tertangkap, mereka semakin memperluas wilayah pencurian mereka. Mereka selalu berpindah-pindah tempat ala orang purba.
Beberapa bulan lalu Riang sering menerima laporan dari para pendaki yang kehilangan ransel dan barang. Riang menduga, pencurian itu dilakukan di pertigaan jalan setapak, antara puncak Syarif 3119 m dan Kenteng Songo 3142 m. Riang terbayang kedua wajah lelaki pendaki yang menginap di rumahnya. Mendadak leher belakang Riang terasa dingin.
Originally written by: Disem
edited and covered by : Desem
Riang tersadar dari lamunannya. Riang segera mengambil kesimpulan. Pertama: lelaki brewok yang berpapasan dengannya di gerbang kuburan adalah tangan kanan Kardi. Ke dua: orang itu hendak berbuat jahat. Riang kemudian teringat dua orang lelaki yang hendak mendaki Merbabu pagi ini. Kesimpulan ketiga ditariknya. Ya! Gerombolan Kardi mencuri atau bahkan merampok dua lelaki pendaki itu.
Setelah menyimpulkan apa yang harus dilakukan, apa lantas Riang harus memberitahu ke dua orang itu agar tidak mendaki pagi ini? Sebaiknya begitu. Namun, pikiran sederhana Riang berkerja untuk mencari alternatif lain agar kedua orang itu tidak merasa rugi ketika Merbabu telah nampak di depan mata mereka!
Sepilon-pilonnya Riang dalam mengambil kesimpulan, setidaknya anak pegunungan ini berbeda dari kebanyakan ahli filsafat yang hanya memikirkan kondisi dunia namun tidak ikut serta merubahnya, maka melalui tesis ke empat, Riang pun memutuskan untuk mengantar kedua lelaki itu hingga selamat sampai di puncak.
Riang mungkin mengigau ingin menyelamatkan dunia tapi bukankah kitab moralitas berkata menyelamatkan satu nyawa ibarat menyelamatkan seluruh umat manusia?
Tesis ke empat inilah yang menjadikan wajah Riang berpendar cerah.
Di pagi hari itu salah seorang pendaki memergokinya: mendapati Riang tengah tersenyum memperhatikan dinding Merbabu, menggenggam sapu sambil menyaksikan
matahari yang tengah mengoplos warna-warna di angkasa menggunakan cahayanya yang indah
“Sudah lama melamun?” tanya seorang pendaki sambil menyisir rambutnya menggunakan jemari tangan.
“Sudah setengah jam yang lalu.” Riang tersenyum. Lelaki pendaki itu pendendam. Ia merasa harus membalas senyuman Riang dengan senyuman yang lebih lebar.
“Namaku Pepei,” katanya, mengulurkan tangan. Tangan yang dingin berjabatan dengan tangan yang hangat.
“Kemarin sore Mas mencari kami ya?!” tanyanya tiba-tiba. Bagaimana lelaki ini bisa tahu? Riang bingung.
”Dari mas Oerip,” Pepei menjelaskan.
”O” Jawab Riang. Lalu mereka terdiam
Pepei mengalihkan pembicaraan. “Dini hari begini Masnya sudah keluar rumah?”
“Iya.”
Pembicaraan kemudian berlanjut dengan dengan huruf o dan gabungan y dan a: ya. O ya, o ya, o dan ya. O dan ya yang keluar dari mulut Riang membuat Pepei bosan.
Pepei memilih pergi usai meminjam sendal. Ia balik ke dalam, mengambil sikat gigi yang diimbuhi pasta, kemudian pergi menuju bak penampungan air di dekat wihara. Di sana ia menjumpai lelaki pendaki karibnya yang bahunya bergetar menahan dingin. Ia mencium wangi pasta gigi dan pembersih di wajah sahabatnya yang berambut klimis itu.
Sejenak Pepei menatap lekat karibnya itu, lalu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Sang karib nampak marah hendak melempar sebotol sabun muka. Pepei segera meninggalkan karibnya lalu memenuhi hajatnya untuk sikat gigi dan cuci muka.
Sekembalinya dari bak penampungan, Pepei mendapati karibnya tengah bicara dengan orang yang sebelumnya berkata o ya o ya menyebalkan. Pepei masuk ke dalam ruangan, lalu keluar membawa sebungkus rokok. Dimasukkannya sampah plastik ke dalam kantung celana. Disodorkannya bungkus rokok untuk Riang.
Riang menjentik sisa rokok kreteknya, ia mengambil yang ditawarnkan Pepei sebatang. Pepei memantikkan geretan untuknya. Api menyerobot keluar dari dalam lubang geretan. Asap pun mengepul. Riang kini leluasa bicara.
“Hendak mendaki jam berapa?” tanyanya. Riang merasa ujub dan bangga dengan bau mulutnya.
“Jam tujuhan.” Pepei memasukan batang rokok ke dalam mulut. Badan yang sebelumnya bergetar hebat bergerak beraturan. Hisapan rokok membantu kinerja paru-parunya.
“Tidak berangkat bertani?” tanya dia kepada Riang.
“Tidak, Mas. Paling-paling nanti pagi mencari kayu. Seminggu yang lalu bapak, melihat pohon besar tumbang di jalan setapak dekat Pereng Putih. Dari pada busuk, sebaiknya pohon itu dimanfaatkan.”
“Penduduk yang lainnya ndak tahu?”
“Ndak tahu apa?”
“Pohon yang tumbang?”
“O… Kayunya pasti masih teronggok di jalan. Saya belum melihat penduduk Thekelan membawa lempengan kayu sejak seminggu yang lalu.”
Pendaki satunya yang berada di samping mereka, tersisih. Ia membiarkan kedua orang itu berbincang sementara dirinya memandangi dinding Merbabu yang setiap pertambahan detiknya mengingatkan dia pada keajaiban teknologi yang membuat foto hitam putih menjadi berwarna.
“Mas baru pertama kali naik Merbabu, ya?” kali ini Riang yang ganti bertanya.
“Ya? Tapi, sahabat saya ini pernah,” Pepei melirik Fidel.
“Masnya pernah lewat mana?” tanya Riang pada Fidel. Fidel lupa, tetapi ia yakin selama ini ia belum pernah melewati jalur Kopeng.
Jawaban inilah yang menimbulkan ilham di dalam diri Riang. Ia lantas menjelaskan beberapa jalur yang ada namun ia menekankan bahwa jalur yang pemandangannya paling menarik, jalur yang paling indah yang pernah ia lalui adalah jalur Kopeng.
”Start awalnya, ya dari desa ini!” ujarnya bangga. “Dan, kalau seandainya masih menginginkan pemandangan yang lebih indah lagi, Mas-Masnnya harus berbelok ke arah Tenggara dari jalur yang biasa pendaki tempuh.” Riang terkekeh, ”trek rahasia Mas! Karena jarang ada pendaki yang mengetahui, jalurnya sudah lama tidak dilalui.”
Kedua orang itu mulai terpengaruh oleh kekehan Riang yang bernada misteri itu
Fidel yang sedari tadi tenang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya,
“Petanya bisa dibuatkan?” pintanya pada Riang. Aha, inilah saatnya.
“Sulit Mas! Sukar!” Riang pura-pura berpikir. ” Begini saja ... bagaimana kalau kalian aku antar saja?” Berpandang-pandanglah mereka.
Dan pada jam tujuh lewat dua menit, Fidel serta Pepei melakukan packing, sementara sang gembala mempersiapkan semuanya: Riang menukar uang dengan sendal capit baru. Ia memasukan pakaian, bahan makanan berupa beras dan beberapa bungkus mie. Ia mengambil geretan yang tergeletak di perapian dan memasukan golok ke dalam sarung lalu ia selipkan ke pinggang sewaktu ibu tengah membungkus nasi dan sayuran untuk bekal di perjalanan.
Beberapa belas menit kemudian, --di depan rumah-- Pepei mengeluarkan dua lembar poto kopi KTP dari dompetnya. Ia memberikannya secara estafet kepada Fidel, lalu Fidel menyerahkan lembaran dengan tambahan beberapa helai uang pada Bapak sebagai balas jasa penginapan. Bapak menolak.
Mereka pun berangkat. Wajah Fidel dan Pepei tampak jelas bahagia. Mereka tak sadar jika kebahagiaan menjadikan alpa: jam tangan Fidel ketinggalan di Thekelan. Kedua orang itu begitu bahagia hingga tidak mengetahui jika hati orang yang mengantarkan mereka mulai dirawani kerusuhan.
<' SÏ !!!!
^ lah....... Walau lom nemu ape2nye! ЂёђёђёЂёђёђё
Originally written by Divan
edited n covered by Devan
Riang tak mau terus terang. Tetap ia tak mau. Ia memasukan kekhawatiran ke dalam peti dan menggemboknya di dasar hati. Apa yang sebenarnya bakal Riang lakukan, apa yang hendak Riang rencanakan jika gerombolan Kardi memergokinya? Tidak ada.
ANGKASA BIRU diarsir ujung pohon pinus yang tajam. Awan melayang perlahan menuju tenggara. Angin mengajak bercanda penduduk Thekelan yang beranjak dari peraduan untuk menuntaskan panenan. Angin bersiul memainkan simfoni ketenangan yang dalam.
Satu persatu penduduk Thekelan menyimpang dari jalan batu menuju lahan garapan. Menuju gundukan yang ditutupi plastik pupuk terlihat dari jalan batu. Gundukan itu berisi tumpukkan wortel, kol, bawang, dan kentang yang kemarin
siang tak sempat mereka bawa. Beberapa orang menyelinapkan tangan di bawah plastik hitam, lantas melemparkan beberapa ikat hasil pertanian ke arah Riang. Ia menerima sayuran segar yang bisa ia jadikan sup ke dalam tas gendongnya.
Memasuki hutan habislah iring-iringan penduduk. Tinggallah mereka bertiga di jalan setapak yang ditutup helai dedaunan pinus mati. Buah pinus yang berbentuk lonjong dan berbuku berserakan. Beberapa pohon terlihat cedera. Pada batangnya terdapat goresan beralur spiral berupa jalan bagi lendir terpentin, menuju wadah yang terbuat dari batok kelapa.
* terpentin: getah pinus, bisa diolah menjadi bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamfer dan farmasi.
Pepei menyepak kebekuan saat perjalanan mendekati dua jam. Riang tak mendengar suara sumbang keluar dari lubang penciumannya. Nafas Pepei teratur. Sambil berjalan ia bersajak.
“Oh.... Jalan setapak,
udara segar,
potongan kayu,
semuanya merupakan partikel-partikel pembentuk alam.
Mereka mampu mengolah dan memanfaatkan unsur-unsur yang terkandung di dalam diri, untuk meningkatkan kehidupan manusia, meningkatkan taraf peradaban yang sudah dikembangkan semenjak manusia ada."
"Pernahkan setiap manusia berpikir bahwa hidup memiliki awal dan akhir, bahwa pada akhirnya manusia akan mati dan melebur menjadi bagian dalam keagungan semesta.
Adakah manusia yang akan mati, berakhir setelah memiliki guna?”
Pepei tidak menujukan perkataannya pada Riang mau pun pada Fidel. Riang menengok Fidel. Ia tengah menggigit pangkal bolpoint. Orang yang dimintainya pendapatangkat bahu –tersenyum. Fidel menjawab tanda tanya yang ada di muka Riang dengan memiringkan telunjuk di keningnya. Belum selesai Riang membalikan badan, Pepei kembali berkata-kata.
“Manusia. …manusia, Ah manusia.
Bagaimana seandainya jika kau tidak ada?
Kalau manusia tidak ada, mengapa kita ada?.
Mengapa kita merasa.
Lantas apa yang dimaksud rasa?
Duhai gila.
Mengapa kita ada?.
Dengan maksud apa kita ada?”
Riang memikirkan apa yang Pepei lontarkan.
“Mengapa aku harus ada?” Parau, Pepei menekankan kata-kata.
“O, mengapa aku harus ada!”
Rintang memutar badannya. Fidel kembali memiringkan telunjuknya.
“O, seandainya tuhan ada,
mengapa Tuhan tak memberi tahu
tujuan penciptaan manusia dan semesta?
O, siapa yang mengetahui tujuan keberadaan kita?
Manusia manakah yang mengetahuinya?
Pendetakah?
filosofkan?
ilmuwankah?
petapakah?
O, haruskan hidupku terombang-ambing seperti ini?
O’ haruskan Tuhan ada?”
Riang membalikan badannya. Seperti mimpi yang datang berulang, ia menemukan Fidel tengah memiringkan telunjuk di keningnya. Tiba-tiba Pepei berhenti.
“Di depan tampak sebatang pohon menghalangi jalan,
Ini merupakan tanda bahwa keberakhiran.
Akhir kepastian.
Tak mungkin dihindari, tak mungkin ditepis.
Batu kelamaan akan menghilang digerus angin.
Manusia,
binatang dan tumbuhan …
tinggal menunggu waktu, menanti tanggal mainnya.
Mati adalah kepastian.
O’, lantas apa yang akan kita hadapi
setelah kematian?”
Riang mulai terganggu. Ia melihat berkeliling, berusaha matikan ucapan Pepei Tebing batu warna putih keabu-abuan memanjang di sebelah kanan. Seekor elang melayang. Rimbunan tanaman perdu menempel. Ada tetesan air yang masuk ke dalam rimbunan tanaman perintis itu.
“Kita sampai di pereng putih. Ini pohon mati yang kemarin aku ceritakan.” Kali ini Riang yang ganti bicara Sambil mendengarkan penjelasan, Pepei memegang pohon yang tumbang.
“Biasanya pohon tumbang dijadikan apa oleh penduduk desa?” Pepei membelai batang pohon. Wajahnya diselimuti kasih sayang.
“Tergantung kebutuhan”, jawab Riang. Ia bersyukur berhasil menimbulkan penasaran yang mengalihkan kegilaan Pepei.
“Kalau butuh lemari pakaian,” lanjut Riang, ”ya, dibuat lemari. Kalau butuh perluasan kandang ya dijadikan kandang. Kalau dinding rumah lapuk, ya, dijadikan dinding.” Pepei mengangguk, terantuk-antuk.
Beberapa saat kemudian sesal mendatangi Riang. Penjelasan Riang Pepei gunakan untuk mengganggu Riang dari pangkal, hingga menghunjam ke akar eksistensinya.
“Pohon seperti ini. Pohon yang terlihat tak memiliki daya di hadapan manusia ini … pohon yang sering manusia tebang sekedar dijadikan penunjuk arah … pohon yang sering ditendangi pendaki hanya untuk perlihatkan lelucon barbarnya … ternyata … O ... O .. dalam kematiannya masih memberikan bakti untuk kita. Untuk manusia. Bakti untuk apa?”
Pepei bertanya dan menjawabnya sendiri pula.
“Baktinya untuk menjadi, menjadi tempat menyimpan pakaian, baktinya untuk dijadikan pelindung bagi hewan peliharaan dari terkaman binatang liar, bakti diri dibakar, agar tubuh kita memperoleh kehangatan.“
Pepei menetesi kepala Riang dengan kata-kata seperti penyair gila.
“O, pohon ini memberi makna
untuk
Kehidupan manusia,
O’, sudahkan manusia berikan makna
Untuk alam semesta?
O, sudahkah kita?
Jika di dunia, manusia hanya hidup untuk dirinya,
hanya untuk kepuasannya dan kesombonganya saja …
lantas mengapa manusia dianggap sebagai mahkluk
yang paling mulia melebihi kemuliaan emas, topaz ... O intan.
Sementara, sementara ... tumbuhan pada kenyataannya
lebih mulia jika dibandingkan dengan manusia.”
Riang meminta pertolongan. Ia mengais penjelasan yang tak mampu ia temukan. Sial! Jawaban Fidel idem, sama, menduplikasi layaknya amuba! Hati Riang kacau. Benarkah tindakannya menemani mereka menuju puncak Merbabu? Haruskah ia mendampingi orang-orang yang di setiap pertambahan langkahnya semakin membuat ia ragu?
Ah bukan ragu! Riang ketakutan! Ia ingin berlari meninggalkan mereka. Berada di tengah orang gila adalah pilihan yang gila pula. Riang masih sehat. Ia tak mau terular. Ia harus pergi berlari tetapi pikiran untuk meninggalkan mereka tertimbun pasir.
Bagaimana dengan keselamatan dua orang ini? Bagaimana? Riang terdampar pada dua pilihan. Ia termenung di atas pohon yang telah mati. Hatinya bimbang. Sangat-sangat bimbang! Ia tak sadar jika tetesan kata-kata Pepei mulai merembes di dalam pikirannya.
”Pepohonan selalu memberikan bakti pada manusia, apakah manusia lebih mulia bila tak pernah memberikan baktinya?”
Racauan itu menelusup, menembus masuk ke dalam tulang tengkorak. Ucapan itu membuat Riang –seakan— mandi di pancuran. Suhu tubuhnya sontak sejuk, pikirannya terbuka seluas cakrawala, pikirannya hampir tak bertapal hampir tak berbatas.
"Aku harus menolong mereka. Kegelisahan ini tidak sebanding dengan keselamatan mereka. Aku harus berkorban seperti pohon yang tumbang. Berbakti! Aku harus berbakti seperti pohon yang tumbang itu!... Tak kan, tak akan kubiarkan mereka menjadi arwah!" sumpah Riang dalam hati.
Dan mereka pun beranjak. Setengah jam perjalanan dari pohon mati Pepei tidak lagi berbicara. Ia hanya bersiul-siul. Tanda-tanda yang menjadi penghalang jalan setapak rahasia mulai tampak. Rerumputan nampak mengembang di kanan kirinya. Jalan rahasia itu terhalang batu dan longsoran tanah yang terjadi setahun lalu.
Sebelum menyimpang dari jalan protokol Riang menyuruh Fidel dan Pepei istirahat. Riang memeriksa keadaan. Lima menit kemudian ia kembali, menyerahkan buah arbei yang memenuhi kantung bajunya. Setelahnya Riang berjalan melawan arah dari jalan yang tadi telah ditempuhnya.
”Apa yang kau lakukan?” Tanya Pepei sebelum Riang menjauh.
"Mencari jamur"Riang menjawab asal.
Empat menit kemudian Riang kembali. Tak ada yang ditenteng, oleh tangan Riang, sebab alasan sebenarnya bukan itu. Riang menyelidik, ia memastikan mereka aman dari kuntitan gerombolan Kardi. Fidel memasukan arbei ke dalam kantung plastik transparan dan mengaitkannya di pinggang.
Sebelum rute baru dimulai Riang mengatakan bahwa monyet dan kucing hutan bersarang di sepanjang jalan yang akan mereka lewati. Pepei berhenti bersiul. Itu yang diharapkan. Riang khawatir jika rombongan Kardi mendengar siulannya.
Riang kemudian mengitari longsoran. Ia lantas memasuki jalan setapak yang tertutup semak-semak. Duapuluh meter kemudian ia keluarkan golok. Ranting pohon yang menghambat dibabat. Mereka berjalan dalam diam. Hening diganti kepak sayap belalang. Pekik monyet terdengar. Jalan semakin curam, menurun. Hingga ...
Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!!! bunyi melengking terdengar panjang.
”Suara apa itu?” tanya Fidel.
”Suara angin di Watu Gubug.” Jawab Riang sambil membersihkan wajahnya yang gatal.
Beberapa langkah kemudian ketiga orang itu sampai di kali kecil yang bening. Riang turun mengisi air. Pepei dan Fidel mencuci mukanya. Aliran kali kecil mengalir hingga ke penampungan Thekelan.
Fidel mengetatkan tali ransel, saat perjalanan kembali dilakukan. Sesampainya di puncak lembah, Pereng Putih tampak. Dua ekor elang terlihat melanglang di atasnya. Pemandangan itu membuat Pepei dan Fidel menggelengkan kepalanya.
Desa Thekelan terlihat jelas di bawah. Atap wihara berwarna merah cerah. Petak-petak sayuran terhampar bagai permadani yang dibentangkan raksasa. Kilau-kilau air pada bak penampungan menyilaukan mata. Pemandangan menakjubkan itu melukis kegembiraan di wajah Pepei dan Fidel.
Riang bersyukur benar. Kegembiraan mereka memupuskan kekhawatiran di dalam dirinya hingga kemudian sepi pun datang dan ...
Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!!Bunyi melengking kembali terdengar panjang.
Perjalanan dilanjutkan hingga sampai di batu berkumpul yang kumpulannya mengesankan persekutuan. Batu-batu itu memanjang hingga menuju ujung Watu Gubug. Bebatuan itu tersusun rapi, seolah ada yang menatanya.
Tepat jam dua siang mereka berhenti di depan batu besar yang masyur. Batu memiliki bolong besar tepat di tengah.
Suiiiiiit! Bunyi menjadi pendek.
Pepei dan Fidel masuk ke dalam batu hingga otot-otot mereka menjadi lemas. Mereka mengantuk ... Lalu hening menyirap mereka. Lantas kemana bunyi suit? Hilang?!
ntunye lom nemu ЂёђёђёЂёђёђё
Originally written by: Divan
Edited n covered by: Devan
* Gnothi Seauton (Yunani) = Pahamilah dirimu sendiri.
Sirkulasi yang baik membuat mereka tidur pulas selama tiga jam dan si penunjuk jalan baru bangun saat matahari tenggelam. Riang keluar dari bolongan batu. Fidel menyodorkan cangkir dan roti saat melihat Riang telah berada di sampingnya. Roti tenggelam di dalam cangkir. Perut Riang kenyang. Ia mengmpulkan ranting-ranting kayu untuk menghangatkan badan. Dimasukannnya kayu ke dalam batu yang dapat bersiul.
Dinding bolongan di dalam batu itu dibercaki butiran kaca. Ruangannya mampu memuat lima orang dewasa, tingginya sekitar satu meter, memiliki dua lubang, yakni lubang yang mereka tempati sementara lubang lainnya yang sebesar roda mobil bisa mereka jadikan perapian mini. Riang memperhitungkan agar api tidak terlihat dari gubuk gerombolan Kardi. Ia membuat rangka menggunakan ranting yang tersisa. Atap rangkanya ia lapisi kertas koran dan rerumputan. Selesai mengerjakan Riang merasakan angin menderas di buhulnya. Ia masuk ke dalam bolongan dan mengeluarkan sayuran.
Tanggap oleh kesibukan Riang, Fidel masuk ke dalam dan memasang kompor parafin di dekat lubang perapian. Matras digelar, tak lama berselang, sup jadi. Mereka makan. Dua kali perut Riang kenyang. Setelahnya, Rokok putih dinyalakan. Riang menolak tawaran Pepei. Rokok kretek yang diselipkan di dalam dompetnya dimainkan. Busss...Buss...Buss! Dalam sekejap ruangan menjadi pekat.
Di saat saat seperti ini cerita pun mengalunlah. Batu yang mereka tempati biasa di beri makan oleh penduduk desa dan pendaki yang percaya. Makanan batu ini adalah sebungkus rokok kretek dan klobot, dua genggam bunga mawar melati, cerutu menyan, bunga kemboja, satu kendi besar berisi air, ditambah nasi dan ayam bakar camani merupakan persyaratan dasar pemberian sesaji.
Semuanya dimasukkan ke anyaman besar dan ditujukan untuk mencari jodoh, menebak toto gelap, memohon arwah leluhur memerangi hama, agar lelembut Merbabu tidak lagi menjahili pendaki. Untuk keperluan yang terakhir tadi Riang pernah menyaksikan dua kepala kerbau disajikan diatas nampan, dimasukan ke dalam bolongan batu setelah belasan pendaki hilang.
Pepei dan Fidel berusaha memahami. Mereka serius mendengar apa yang Riang paparkan dan –mereka-- tak mengeluarkan satu komentar apapun pun, hingga ketika Riang mengemukakan keraguannya akan pengaruh mahluk gaib yang bisa mencelakakan atau membuat manusia bahagia, penuturan pun dimulai.
”Sejak zaman purba manusia memiliki ketertarikan terhadap keajaiban yang berada di luar dirinya.” Tutur Pepei.
”Manusia, kita, mengagumi gumpalan awan dan berkah hujan. Manusia, kita, berdecak-decak atas kemampuan hujan menyulap tanaman untuk tumbuh dengan cantik dan baik. Manusia terkagum-kagum menyaksikan hasil bercocok tanam yang semarak, manusia terkagum-kagum tasa melimpahnya hasil perburuan, besarnya gelombang di samudera, tiupan angin yang mampu membawa bahtera berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya. Manusia pun terbelalak manakala menyaksikan kekuatan negatif alam berupa gempa, kekuatan air bah, kekuatan taufan di kepulauan tropis! Manusia heran, kita super heran. Hal ini menjadi semacam rahasia dan untuk medapatkan jawaban atas rahasia yang membuat heran itu, segala peristiwa kemudian manusia sangkutpautkan dengan kekuatan gaib yang manusia anggap berada di balik seluruh kejadian. Manusia berkhayal, fenomena alam nan dahsyat mereka kaitkan dengan kebahagiaan dan amarah mahluk kasat mata yang tak mampu manusia indera ...” Jelas Pepei.
”Kalau melihat ibu Masnya murka, apa yang akan Mas lakukan?” Tanya Pepei.
Apa maksudnya ia bertanya? Mau mengetes Riang? Bukankah tidak semua orang bisa ditanya seenaknya, --namun-- bukannya balas bertanya, Riang malah terburu-buru untuk menjawab apa yang Pepei tanyakan.
”Melakukan sesuatu yang beliau mau.” Tanggap Riang.
”Seperti halnya Mas, jika alam tampak menakutkan, manusia zaman purba melakukan tindakan yang --manusia anggap—akan disenangi mahluk kasat mata. Manusia memberi sesaji, mereka mengabulkan pesanan yang dianggap keinginan mahluk kasat mata yang menguasai alam. Mereka melakukan berbagai macam hal agar pertanian, perburuan, dan segala hal yang mereka usahakan tidak dikenai bala.”
”Dulu ...” Pepei panjang bercerita, ”bangsa Teotihuakan memiliki ritual agar dewa musim semi Xipo Totec tidak menurunkan murka. Imam-imam yang dianggap paling mengerti keinginan dewa menyeleksi wanita terpilih untuk mereka tikam dengan belati batu lalu jantung wanita-wanita terpilih yang masih segar, yang masih berdenyut itu diambil hidup-hidup. Para Imam dan pengikut agama Teotihuakan menganggap apa yang mereka lakukan sebagai simbol penyambutan bergantinya musim dingin menuju semi. Tak selesai sampai di sana, mereka menganggap para dewa membutuhkan simbolisasi yang sempurna, lantas kulit wanita-wanita pilihan itu mereka kelupas untuk dikenakan para imam selagi merapal mantra dan menari-nari sembari mengelilingi altar.”
*suku bangsa asli di Benua Amerika, khususnya Mexico
Riang mengatakan cerita itu seram sekali. Ohoi bangsa bangsa Toltec lebih seram lagi, sanggah Pepei. Apa yang dilakukan bangsa Toltec lebih memuakan lagi, apa yang mereka lakukan lebih menakutkan dari bangsa Teotihuakan.
Datangnya musim semi –adalah-- berarti pengurbanan besar. Tentara Toltec kemudian mencari kurban dengan menculik atau memerangi suku-suku kecil yang tersebar mengelilingi kota besar mereka. Suku-suku itu diburu, dimatikan dan kurbannya bukan hanya ratusan. Dalam satu hari tumpukkan mayat bergelimpangan di dekat altar. Oh, Riang tak bisa membayangkan bila pengurbanan manusia masih berlaku di abad ini. Ia tidak sanggup membayangkan jika imam abad kontemporer ini adalah Kardi.
Riang bersyukur ketika Pepei mengisahkan bahwa manusia sudah mampu memperkiraan alam, manusia sudah mampu mempelajari gejala, sudah mampu mengendalikan bahkan memanfaatkan alam untuk kehidupan. Semakin abad bertambah kemampuan manusia makin baik. Jika dulu manusia mengetahui musim yang baik untuk bercocok tanam melalui rasi bintang tapi manusia tidak mempu mendatangkan hujan, kini manusia sudah bisa membuat tempat bercocok tanam yang tak terpengaruh musim.
“Tidak berhenti di sana kita yang semula hanya menunggu hujan terbang ke awan,membawa berkarung-karung bubuk garam, ammonium nitrat dan bahan kimia lain untuk ditebarkan di atas awan: untuk memaksa awan menurunkan hujan.”
“Dari yang percaya, menyerahkan nasib serta memberi sesaji pada pada penguasa alam, manusia mulai beralih mempercayai dirinya sendiri, pada kekuatan dirinya, tidak pada yang lain! Hanya kepada dirinya manusia percaya! Menyandarkan segala!”
“Maksudnya?” tanya Riang kepada Pepei.
“Jangan menyandarkan diri pada kegaiban, masukilah dirimu sendiri, temukanlah kekuatan untuk mengelola kehidupan. Temukanlah kekuatan ilmiahmu sendiri!”
“Maksudnya?” Setelah–di rumahnya-- Riang mengatakan o dan ya, o dan ya, kini pertanyaan ‘maksudnya-maksudnya’ yang bertubi ia sampaikan, membuat Riang tampak seperti anggota sekte yang tidak memiliki kreatifitas.
Padahal, --di dunia tertentu—perkataan Pepei masih standar. Pemaparan tersebut belum merambah perkataan bapak atom Democritus hingga Menheim, dari Durkheim, si kere Marx hingga pemikiran Deridda yang licin berlendir seperti belut.
Beberapa hal yang Pepei paparkan memang masih terlalu cepat untuk Riang cerna, tetapi pada kenyataannya Riang memang tidak bodoh bodoh amat. Yang ia perlukan saat ini hanyalah duduk manis dan tidak terburu-buru mempertanyakan hal-hal yang mendesak di kepalanya.
Selanjutnya, Riang tak mengetahui kelanjutan arah pembicaraan ketika Fidel menggertak Pepei dan mengejeknya. Untuk sementara keikutsertaan Riang dalam pembicaraan berakhir. Ia merasa belum mampu masuk ke dalamnya. Pembicaraan itu masih terlalu cepat.
Riang hanya menyimak, menyaksikan bagaimana Fidel menyangkal bahwa tidak semua manusia yang percaya pada Yang Maha Mengendalikan alam menjauhi pemikiran ilmiah. Newton, Pascal dan Einstein adalah bukti. Yang lainnya pun tidak hanya berdoa agar taufan reda. Manusia beriman menerbangkan kamera kecil super canggih untuk mengetahui, untuk menggali penyebab, untuk mengendalikan kebuasan alam, tetapi mereka tetap menyadari bahwa tidak semua hal bisa di laboratoriumkan, dan tidak semua hal yang tidak bisa dilaboratoriumkan bukan merupakan sesuatu nyata.
“Kita tahu di dunia ini ada banyak paham,” Fidel menyambung, “keyakinan akan keberadaan Tuhan ataupun penafikan terhadap-Nya, tidak ada sangkut pautnya dengan upaya manusia menjelajah, mengeksplorasi alam semesta. Di alam ini ada manusia beriman tapi pemalas, ada pula manusia yang tak percaya tetapi juga pemalas yang sama. Yang satunya menyandarkan semua hal dengan jawaban sederhana: “ya itu karena Tuhan” sementara yang satunya lagi mengatakan, “tidak ada tuhan, yang terjadi di alam semesta hanyalah hukum alam. Lalu mereka diam membatu dan berlumut di dalam dunia filsafat yang pasif.”
Pepei menyepak Fidel “Kebenaran itu relatif!” kataya, “Tetapi, di antara kebenaran yang relatif itu hanya pemahamankulah yang benar,” Pepei bercanda.
“Gnothi Seauton! Pahamilah kaplingmu sendiri!” Fidel menyalak.
“Sialan! Obrolan kita tak pernah berakhir. Sudah berapa kali kita bicara dan Kau tak lantas meyakinkanku!”
“Justru argumentasimu yang tak meyakinkan!” Mereka saling membantah. Pepei meninju lengan Fidel, sahabatnya yang telah lama dipisahkan oleh bus antar kota dan provinsi. Pepei merindukan Fidel. Dan di atas bolongan batu itu, langit yang menggantung menyerupai atap tenda yang melengkung.
Atmosfer seakan kantung plastik yang melindungi kemah bumi dari canon ball angkasa yang tajam laksana belati. Bintang-bintang silih berganti berpijar. Ketiga lelaki itu pun tertidur hingga matahari datang menyepuh pagi.
BEBERAPA RATUS METER dari bolongan seorang lelaki memaki-maki dengan kata-kata kasar sambil menendang batang pohon, menjatuhkan dua ekor tentara semut yang tengah menggendong larva anggota koloninya. Sementara itu, belasan orang lelaki yang mengelilinginya menadah tetesan anggur murahan yang masih menempel di pohon sembari memainkan kartu remi porno, untuk membunuh rasa bosan.