It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Originally Written by Divan
Edited n covered by Devan
Api padam sejak subuh. Bakaran rantingnya menghitam menjadi karbon. Pagi, ini ada begitu banyak energi yang terkumpul. Riang keluar dari batu. Ia menuju ujung atas Watu Gubug, mencermati adakah jejak kaki gerombolan Kardi di dalam kompleks di mana batu bersiul berada. Riang tak menemukan jejak apa pun. Ia lantas berbalik dan mendapati Fidel tengah menggulung sleeeping bag bulu angsa, memasukan matras dan sebuah tabung hitam, sementara Pepei tengah sibuk memasak telur.
Setelah sarapan, perjalanan mereka lanjutkan. Sekitar satu jam ke depan mereka sudah mulai meniti jalan menanjak yang berujung di kompleks pemancar. Tanjakan yang membuat pening tersebut membuat ketiga orang itu kehausan. Sampai di pemancar air habis. Di tempat ini, pendaki yang masuk di luar jalur Kopeng biasa mencari air di dekat kawah kecil. Mereka tak tahu bahwa di dalam kompleks pemancar itu, di balik kawat berduri itu, terdapat tong berisi air bersih.
Riang segera membuka tas. Ia mengambil celana jeans untuk ia jadikan pembalut. Riang tak rela jika tangannya berdarah saat memanjat. Hap! Riang sampai di kawat tertinggi. Hap! Tubuhnya mendarat di tanah. Mimiknya melambangkan kejayaan. Riang pun berjalan dipenuh kebanggan. Tak lama kebanggaan itu pun pupus saat ia menemukan Fidel dan Pepei tengah mengisi beberapa botol plastik tanpa rasa bersalah. Kedua orang itu masuk ke dalam kompleks pemancar melalui sebuah celah. Maka di hadapan tong itulah kejayaan Riang pun hancur menjadi puing.
Selepas menara pemancar, rerumputan di lembah dan puncak bukit terlihat serapih karpet lapangan futsal. Kicauan burung terdengar. Saat itu matahari yang berada di posisi seperempat kubah langit belum mampu menerangi lembah dengan cahaya. Fidel mengambil sudut yang pantas diabadikan. Jeprat sana, jepret sini. Semuanya pantas diabadikan. Tak ada yang tidak pantas. Lantas Fidel berdecak tiada henti mengagumi keindahan yang diciptakan Yang Maha Indah.
Dari tempat ini perjalanan menuju puncak masih lama. Masih harus lewati bukit-bukit dan tebing yang indah. Mereka melanjutkan perjalanan meniti Kenteng Songo –sebuah jalur selebar satu meter dengan jurang yang dalam dengan bebatuannya yang mudah runtuh. Kerikil menggelinding menuju jurang. Debu dan pasir menghalangi pandangan. Kawah Condro Dimuko terlihat samar. Inilah jalan terberat di Merbabu yang mewajibkan para pendaki untuk menghemat nafas.
Tiga orang lelaki itu tak banyak bicara, mereka menekuni jalan. Sepi menyebabkan suara keresek ransel, serta langkah kaki terdengar jelas. Di saat-saat letih dan sunyi seperti ini, tak mungkin, ada satu pun pekerja yang masih memikirkan kantornya. Di saat seperti ini, --bahkan-- seorang penakut yang berjalan di tengah malam, tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk berpikit tentang hantu. Yang menguasai tempat ini hanya adalah ketenangan yang membuat tentram, ketenanganan yang mengingatkan pada kematian.
Akhirnya, setelah meniti tanjakan itu selama setengah jam mereka sampai di tanah datar yang bagi para pendaki berarti surga. Mereka istirahat. Ketiga orang itu berada di puncak dua tanduk: puncak Syarif dan Kenteng Songo.
“Inilah tanjakan setan.” Riang memberikan informasi.
“Kalau disebut tanjakan setan, ... yang meniti tanjakannya disebut apa?!” Pepei melempar botol mineral lalu Fidel menyerahkan botol air mineral pada Riang.
“Yang menaikinya berarti setan!” Riang asal bicara sambil memuaskan dahaga.
“Berarti ada tiga setan di tempat ini!” kata Pepei tertawa. Setelah mengatakan itu angin tiba-tiba datang. Bunyi lengkingan terdengar jelas.
Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!!
Dari kejauhan rombongan orang terlihat berjalan beriringan. Kilatan-kilatan besi memantul. Riang tak tahu siapa mereka tapi dari kecepatan langkah kaki nya ... Firasat datang ... sepertinya ... sepertinya ... ya Tuhan, mudah-mudahan jangan! Riang berdoa. Wajahnya seputih bedak. Jemarinya pucat, kakinya bergetar hebat.
Menyaksikan perubahan itu, Pepei segera membuka ransel. Ia mengambil teropong dan memberikannya pada Riang. Melalui lensa Riang melihat beberapa orang memegang parang. Riang tidak mengenal orang-orang itu tetapi beberada detik kemudian dia melihat deja vu. Di patahan setapak dekat pemancar sesosok lelaki brewok yang ditemuinya di gerbang kuburan muncul. Segerombolan lelaki sangar tampak! Hati Riang diboyong huru-hara. Fidel dan Pepei menatap Riang meminta penjelasan. Namun Riang tak sempat memberi keterangan secara detail. Ia meringkas.
“Kita harus berangkat, mereka begal!”
“Begal apa?” Fidel meneropong barisan itu.
“Aku tak bisa menjelaskan! Satu jam lagi mereka sampai di tempat ini! Kita harus segera pergi menuju puncak, sekarang!” Riang beranggapan ke dua orang di samping dia merupakan tanggung jawabnya. “Kalian harus selamat sampai di Jogja!” katanya terdengar hebat.Fidel menepuk bahu Riang. Ia berjalan lebih dulu, namun langkahnya terhenti.
“Del?!” tegur Pepei mengingatkan.
“Ya!?”
“Foto! Siapa tahu ini hari terakhir kita di dunia,” Pepei tertawa. Setelah menghabiskan sepuluh buah jepretan mereka berjalan seperti dikejar setan! Riang tak habis pikir mengapa gerombolan Kardi bisa mengetahui keberadaan mereka. Ia tak mengerti apa yang terjadi, namun mendadak, angin besar mengiibarkan rambut Pepei yang panjang.
Suuuuuuuuuuuuuuuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttt...........Suara siulan kembali terdengar.
Aaaaaaaah, bolongan batu di Watu Gubug tidak bersiul tadi malam. Bagaimana mungkin gerombolan iblis itu berfikir ke sana. Sial! Riang mengutuk. Ia memukuli kepalanya. Pepei segera menenangkan Riang dengan sebatang rokok yang terbakar. Mereka kemudian menyusul Fidel yang tengah meniti tebing curam.
Beberapa saat kemudian, batu besar berwarna hitam menghadang perjalanan mereka. Sepintas tak ada jalan, namun di samping batu itu terdapat setapak kecil selebar setengah meter. Ketiga orang itu kemudian meretas jalan dan menemukan gundukan eidelweis.
Setelah tebing curam terlewati, ketiga orang itu pun sampai di puncak tertinggi. Sebuah letusan menyambut. Merapi terlihat kokoh berdiri. Tubuhnya kelabu. Bagi Pepei dan Fidel gunung itu tampak menakjubkan, tetapi bagi Riang, tidak! Bentuk mengkerucut itu menandakan angkuhnya kekuatan alam. Merapi –baginya—merupakan lambang kejahatan. Merapi memang tak memiliki jiwa dan keinginan, Riang memahami itu tetapi ketidaksukaannya tetap sukar untuk dihilangkan.
Di atas puncak tertinggi Merbabu itu ia lebih suka melayangkan pandangannya menuju arah barat tempat Sindoro dan Sumbing: dua buah gunung yang kini sebagian hutannya telah habis dibabat.
Riang mengingatkan, tak ada waktu untuk mengaso di puncak Merbabu. Pepei segera membuang air di botol, meringankan beban. Kini langkah kakinya tidak lagi tersendat. Ia bahkan mampu berlari menuruni bukit yang jalur setapaknya sambung menyambung dengan Merapi.
Fidel yang lebih dulu berangkat, tersusul. Semakin cepat berlari, semakin jauh gerombolan Kardi berada di belakang mereka. Saat ketiga orang itu memasuki padang eidelweis udara menjadi dingin. Sengatan matahari menjadi tak terasa di kulit. Kabut pun datang menyandung perjalanan.
Fidel dan Pepei segera menyalakan senter, lalu mengenakannya di kepala sementara Riang yang tak membawa alat penyinaran mereka tempatkan di tengah. Perjalanan menembus kabut tebal dilanjutkan hingga dua ratus meter ke depan. Setelahnya senter tak bisa lagi diandalkan.
“Berhenti di sini dulu,” Fidel mengusulkan, namun dalam kebingungan Riang merasakan gerombolan Kardi masih tetap menghantuinya. Riang ketakutan. Ia memaksa Fidel dan Pepei untuk terus melangkah.
“Mereka tidak akan diam diri!” kata Riang tercekat.
“Gerombolan itu mengetahui seluk beluk Merbabu! Kita harus pergi... kita harus pergi!” Fidel dan Pepei tak sampai hati mendengar suara itu. Mereka langsung melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya buah ketakutan Riang menjadi penyebab hilangnya arah perjalanan mereka menuju Selo. Riang menyesal. Mereka tersesat!
Menembus kabut tebal memang merupakan perbuatan terkutuk. Riang tahu itu. Tapi terkadang ketakutan membuat seseorang hilang akal. Ia tidak lagi mengenal kawasan yang saat ini dipijaknya. Kabut hilang beberapa jam yang lalu. Hutan seperti labirin yang diciptakan untuk menyesatkan. Pepohonan tinggi menghalangi riang Riang melihat matahari untuk mengetahui kepastian waktu.
Fidel segera mengambil inisiatif setelah Riang berulang kali menggelengkan kepalanya saat ditanya mengenai posisi mereka. Fidel langsung naik ke atas pohon. Sampi di dahan pertama ia meminta Pepei untuk melempar tabung berwarna hitam. Fidel menggantungkannya di leher. Ia merayap lincah setangkas cicak di batang dan dahan pohon. Cara memanjat Fidel tidak tampak seperti gerakan penyadap terpentin yang kaku. Keahlian memanjat tebing membantunya mengurangi pijakan kaki dan genggaman jari yang memboroskan energi.
Dalam sekejap pohon setinggi lima belas meter ia taklukan hingga batang yang paling ujung. Fidel mengeluarkan teropong dari balik bajunya. Ia memandangi seluruh kawasan hutan, lalu membuka tabung berisi selembar peta. Fidel meneropong, melihat peta, matanya berkeliling, mulutnya mengguman: Merapi, Merbabu. Ia mencari tanda untuk menentukan arah utara kemudian merogoh kompas. Ia membidik puncak Merapi dan Merbabu, lantas mengeluarkan bolpoint dan menuliskan angka-angka di balik peta.
Usai menghitung, Fidel menggulung dan menjatuhkan peta bersamaan dengan tabung hitam. Saat peta jatuh ke tanah, Riang melihat peta itu mirip dengan peta selalu di bawa tim SAR. Peta itu dilengkapi dengan garis-garis kontur, garis imajinasi yang menyerupai sidik jari manusia.
“Ini aliran air yang kita lewati saat menuju Watu Gubug. Ini puncak Merapi dan Merbabu! Kita berada di sini, di pinggir jurang ini,” Fidel menjelaskan sembari menunjuk garis kontur yang rapat bersinggungan antara satu garis dengan garis lainnya.
Pepei berjalan menyelidik. Ia menembus pepohonan. “Di sini jurang curam,” Pepei berteriak, memastikan.
“Sebelum potong kompas sebaiknya kita menyusuri jurang lebih dulu,” ujar Fidel sambil memandang Riang.
“Bagaimana kalau kita kembali mencari jalan menuju Selo?” Riang mengusulkan.
“Kita sudah jauh tersesat. Kalau pun menemukan jalur menuju Selo, kemungkinan besar gerombolan itu berada di depan kita. Aku khawatir mereka membagi diri menjadi dua kelompok. Jika bersikukuh, kita akan terjebak di antara dua kelompok itu!” katanya.
Riang faham, terjebak berarti berbahaya. Ia menghela nafas, menghela beban perasaan bersalah, menghela kekesalan terhadap dirinya sendiri karena kedua orang itu untuk melanjutkan perjalanan karena alasan yang ia buat.
“Se...se... sebenarnya...” Riang gugup, “sebenarnya, gerombolan Kardi mengincar kalian sejak di Thekelan,” ia mengaku. Siapa Kardi tentulah Pepei dan Fidel mana tahu.
Riang pun mengkisahkan tentang Kardi Cs yang sering membegal penduduk dan pendaki.
“Seandainya aku berfikir sedikit ... kejadiannya tidak akan sesulit ini! Maafkan aku ...,” Riang memohon.
Pepei tersenyum. “Berfikir sedikit itu yang seperti apa?” Ia malah mempertanyakan hal yang tidak penting.
“Harusnya aku berpikir nyawa lebih penting ketimbang antarkan kalian,” jawab Riang yang tak menyadari jika ia tengah dialihkan.
“Jadi harusnya Kau menyelamatkan dirimu sendiri?!” Pepei menaikan tempernya.
“Bukan! Bukan Mas!” Riang terdesak. “Aku seharusnya memberitahu kalian sejak di Thekelan. A-ak- aku ... aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku berpikir kepalang... kepalang kalian jauh-jauh datang... sayang apabila perjalanan ke puncak Merbabu tidak kalian lanjutkan.”
Pepei dan Fidel tertawa.
“Seandainya siulan batu Watu Gubug kuperhitungkan,” lanjut Riang, “kejadiannya mungkin tidak akan begini.”
“Apa hubungan gerombolan Kardi dengan siulan di Watu Gubug?” tanya Fidel.
“Kalau ada angin dan di dalam batu tidak ada orang, batu itu akan terus menerus bersiul. Hilangnya siulan di sore hingga subuh hari menandakan adanya beberapa orang yang tengah berkumpul di dalam bolongan batu. Melalui ketiadaan siulan batu, gerombolan Kardi mengetahui: ada orang yang melewati jalur pendakian yang sudah lama tidak biasa dipakai pendaki. Aku sungguh menyesal!” ucap Riang.
Pepei bosan. Ia mengingatkan. “Mas?!” tanyanya.
“Ya,” jawab Riang.
“Tak ada yang harus disalahkan,” kata Pepei. “Setidaknya kami bisa lebih mengenal Masnya.” Pepei melirik Fidel yang tengah tersenyum.
“Nyawa memang harus dipikirkan,” kata Fidel menyambung,
“Tetapi jika mati, matilah karena ajal memang sudah tiba. Kalau kami mati kelaparan, mati kekurangan air, terkena hipotermia atau mati dimakan binatang buas, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena itulah hidup.”
“Asal jangan mati sewaktu kami buang air besar!” celetuk Pepei tertawa.
“Memang mati buang air besar dosa?!”
“Tidak, tapi malu.” ” Fidel menyanggah Riang, Senyum Riang muncul untuk yang pertama kalinya di pagi ini.
“Mas Riang...” Fidel mengingatkan. “Jangan menjerumuskan diri dengan menyalahkan terlalu berlebih. Tak usahlah terlalu dipikirkan! Yang penting Mas Riang sudah berani menentukan hidup! Berani menantang!”
“Berani menentukan hidup, keberanian menantang?”
“Ya! Keberanian menantang hidup! Keberanian untuk menantang ego, keberanian untuk tidak mendekam saat kami tengah diincar bahaya.”
Mendengar sanjungan itu wajah Riang mendadak merah.
“Riang sudah berani memilih! Berani mengganti ego dengan sikap altruis. Riang sudah berani mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang.”
“Ah Mas ini. Bukankah itu...e...sikap apa tadi?” Rasa berdosa Riang hampir hilang.
“Sikap altruis: mau mengorbankan diri.”
“Bukannya lebih baik aku memberikan informasi mengenai gerombolan Kardi, pada saat ketika kita masih berada di Thekelan, ketimbang dekati bahaya seperti ini? Bukankah sikap yang aku miliki ini sikap yang bodoh .... Ini bukan, .... sifat apa tadi, ... Mas ...?”
“Altruis!”
“Ini bukan sifat altruis yang pintar Mas. Ini altruis yang bodoh!”
Fidel menunjuk dada. “Riang .... Jangan pernah menyesali apa yang pernah Kau perbuat! Jangan pernah mengandai-andai, mengulur angan-angan mengenai suatu kesalahan di masa lampau! Penyesalan tidak akan berfungsi jika tidak menjadikan peristiwa masa lalu sebagai pembelajaran! Penyesalan hanya untuk sekali! Setelahnya tatap masa depan! Jangan pernah melihat ke belakang!”
Riang merasa senang di angkat-angkat, di puja puji. Ia menggunakan cara-cara
merendahkan untuk mendengarkan bujukan dan sanjungan berkali-kali.
“Tapi, sikapku tetap bukan altruis yang pintar. Aku tetap bodoh,” ujar Riang membantah.
Fidel memangkas. Ia bukannya tak tahu apa yang tak sadar Riang lakukan. Fidel hanya menjawab. “Perihal bodoh atau tidaknya, terserahlah ...”
Pepei tertawa. Tawa itu bukan untuk merajam Riang. Tawa itu merupakan pertolongan pertama agar Riang mau melepaskan dirinya dari rasa bersalah.
Tak lama setelah berbincang, ransel pun sudah berada di punggung masing-masing orang. Mereka beranjak menempuh jurang yang dibentuk oleh bebatuan kapur. Dalam perjalanan itu lumut-lumut terlihat menyediakan tempat bagi tanaman kecil di tebing untuk tumbuh. Lumut gemuk tersebut meneteskan air bening yang steril. Dari jurang ini ketiga orang itu menyaksikan pinus pegunungan tumbang. Suaranya terdengar berderak menakutkan. Sampai di bawah, Riang memandang ke atas. Tebing terjal itu –setidaknya-- memiliki ketinggian lebih dari duapuluh meter.
Matahari terlihat jelas dari bawah. Bolanya tampak condong ke arah barat. Tanah yang mereka pijak tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau pernah dilewati manusia. Beberapa meter ke depan kaki ketiga orang itu mulai menginjak rawa-rawa.
Setelah berputar-putar sekian lama di tanah yang basah, mereka menemukan sebuah danau mungil. Fidel dan Pepei bersiul girang. Riang menyapu pandangan. Mengapa danau ini tidak pernah diceritakan orang? Aneh.
Di tengah danau, asap tipis terlihat membumbung, melayang-layang lalu diam seperti sesosok mahluk yang seram. Ikan-ikan putih dan abu-abu sebesar telapak tangan
berseliweran di dalam danau. Di pinggirnya, lumpur coklat bergerak-gerak: ada beberapa kepiting yang lezat untuk disantap. Seekor belibis terbang di ujung danau paling jauh lalu masuk ke dalam semak dan berkoak.
“Tempat apa ini?” tanya Pepei mendahului pertanyaan Fidel Riang menggeleng. Tak berapa lama kemudian, --setelah menyibak tanaman--, Fidel menemukan lahan yang dipenuhi bantalan lumut. Riang tak mampu menutupi kegirangan saat ia memperhatikan tempat yang nyaman bagi mereka untuk bermalam.Tenda dibuka sementara Fidel menggelar peta.
“Daerah ini tidak terpetakan,” Fidel tenggelam. “Danau ini mungkin tidak pernah disinggahi para pendaki.”
“Danau mistis!” komentar Pepei.
“Bukan mistis. Hanya suram,” jelas Fidel menyamarkan. Riang terganggu saat Pepei mengucapkan kata-kata mistis. Mistis? Danau ini misterius! Bayang-bayang kejadian di gerbang kuburan menziarahi Riang lagi. Riang bergidik. Pepei merasakan getaran itu.
“Ada apa?” tanyanya berusaha menenangkan.
“Tidak apa-apa.” Hati Riang mulai diselipi rasa tidak aman.
TENDA DOOM BERSIH seperti baru. Warnanya didominasi merah marun, sisanya kuning. Rangka yang terbuat dari serat fiber melengkung di luar. Setelah selesai mendirikan tenda Pepei mengambil benang pancing dan kail di antara gulungan tali rapia. Ia masuk ke dalam tenda, mengambil parang dan roti. Ia mengitari danau, mencari ranting yang cukup kuat untuk menahan tarikan ikan. Tak menemukan, kemudian Pepei naik ke atas pohon, mengayunkan parang yang menimbulkan suara erangan.
“Apa alam memiliki jiwa?” Riang bertanya pada Fidel. “Apa pepohonan memiliki nyawa?”
“Nyawa?” Fidel kebingungan dengan pertanyaan serius yang datang tanpa lampu sen. “Jika yang dimaksud nyawa seperti jiwa manusia, aku mana tahu? Tetapi, jika yang dimaksud nyawa adalah kemampuan untuk tumbuh dan berkembang, mungkin pohon memilikinya.”
“Mungkin?”
“Mungkin artinya aku tak dapat memastikan jawabanku tepat atau tidak.” Fidel menatap Riang. Ia meminta penjelasan: pertanyaan yang datangnya tiba-tiba itu.
“Suara pohon yang Mas Pepei tebang, terdengar sedih. Pohon itu mengerang!”Fidel merenung. “Aku merasakan keanehan yang Kau rasakan. Kupikir yang dirasakan Pepei pun demikian.” Hati-hati Fidel bertanya, “Maaf ... agamamu apa Yang?”
Riang menggelengkan kepalanya.
“Tidak tahu agamamu apa?” Suara Fidel datar, tak berteriak, tak berkecipak.
“Aku tidak tahu.”
“Percaya Tuhan?”
“Tentu.”
Fidel menghela nafas. Nampaknya penjelasannya akan panjang. Ia mengetahui benar jika lelaki di hadapannya takut setan. “Ini pemahamanku. Ini kepercayaanku.” Fidel memilih kata-kata dan memulainya. “Aku sangsi mahkluk halus dapat dilihat di bumi. Aku belum bertemu mereka. Banyak orang yang mempercayai wujud halus seperti palasik, pocong yang –yang tubuhnya dibelit kain kafan; genderuwo yang seram; atau tuyul yang dianggap sebagai penyebab raibnya uang, tapi, aku ... seumur hidupku belum pernah melihat mereka, belum begitu mempercaya jika mahluk-mahluk itu mampu menampakkan diri. Aku hanya mempercayai hal-hal yang gaib, tanpa embel-embel penggambaran bentuknya seperti apa,” Saat mengatakan itu wajah Fidel mengesankan ketenangan yang sulit dicapai.
“Mengenai keanehan yang kita rasakan, saat ini, adalah hal yang wajar. Keanehan adalah sesuatu yang alami.” Fidel berusaha meraba kondisi orang yang ada di sampingnya.
“Riang?” Fidel bertanya.
“Ya?”
“Waktu pertama kali melihat kota yang baru Kau lihat, apa yang Kau rasakan?”
“Bingung,” jawab Riang singkat.
“Dulu kau bingung dengan kota yang dipadati orang, sekarang kejadiannya sama! Siapa yang bakal merasa nyaman berada di tempat yang tak tercetak di dalam peta. Siapa yang langsung merasa nyaman saat tersesat tiba-tiba menemukan danau yang airnya berwarna hijau pekat, danau yang seolah dihuni mahkluk hijau menyeramkan. Riang ... merasa aneh tidak merupakan sebuah masalah. Merasakan keanehan pada saat ini merupakan sesuatu sikap yang wajar.”
Fidel membiarkan Riang mengendapkan apa yang ia katakan. Setelah agak lama, barulah ia melanjutkan. “Riang pernah melihat mahkluk halus?”
“Tidak,” jawab Riang. “Tapi teman-temanku pernah melihatnya. Mas Oerip pernah menjumpai lelembut Merbabu. Rambutnya panjang, wajahnya cantik tapi pucat,” Riang sedikit bersemangat, seolah peristiwa itu ia sendiri yang mengalami..
“Apa Mas Oerip melihat lelembut dengan mata kepaalanya sendiri? Menyetuh dengan tangannya sendiri?” Tanya Fidel. Riang tak yakin. Ia tak menjawab.
“Bagaimana jika kuusulkan saja, ... Kau bisa mempercayai penggambaran mahluk yang menyeramkan seandainya Kau melihat atau menyentuh mahluk itu dengan tanganmu sendiri.”
Pertanyaan cerdas keluar dari mulut Riang, “Apa untuk meyakini, kita harus menyentuh dan melihat terlebih dulu?”
“Meski tidak mutlak seperti itu, tapi untuk kasus ini, ya! Demi menjaga dirimu dari ketakutan yang berlebih, dari hal-hal yang bisa membuat kita kehilangan kontrol diri. Ya! Kau harus melihat dan menyentuhnya dulu sebelum mempercayai penggambaran yang dikatakan orang. Yang ...” kata Fidel menekankan, “manusia terkadang melakukan dusta.”
“Aku tidak mengerti?” Riang berusaha mencecar. “Mas tidak mempercayai hantu?”
“Aku mempercayai jika mahkluk halus itu ada, tetapi aku belum mempercayai jika mahluk-mahluk itu dapat mengganggu manusia dengan penampakannya. Ingat ... pe nam pak kan nya,” Fidel mengeja, “sebab bagaimana mau percaya, bagaimana dikatakan menggangguku jika bertemu sekali seumur hidup pun, aku tak pernah. Kadang, aku baru bisa meyakini sesuatu setelah melihat atau menyentuhnya, tapi itu kadang-kadang, ... dan teknik ini ternyata berhasil membebaskanku dari rasa takut yang menjijikan.”
Riang tidak mencecar dengan pertanyaan ‘maksudnya?’ ia mengerti sebagian dan tak mengerti sebagian yang lainnya. Ia cuma bilang, “Kata-kata Mas membuatku pusing.”
Fidel tak perlu melanjutkan toh tujuan awal dia untuk mengurangi ketakutan pada diri Riang berhasil dilakukan. Fidel tersenyum. Riang membalas. Rupanya senyum dapat membuat orang yang kalut menjadi tenang. Yang suram menjadi bahagia.
@ularuskasurius
@gumawoyo
@rysan_80
@rarasipau
taraaa....
Riang Merapi, silahkan dinikmati. tapi ni agak kurang terasa pelanginya hehehehe
@freakymonster58
@lee
@BleezeB
@HE20X
@dewa91
@R3ndy_surabaya:
@pokemon
silahkan dinikmati, salam kenal
[email protected]