It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
But its (>̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴͡)keeee ;)lah @wessel, tetep ditunggu lanjutannye. Semoga masalah cepeat selesai ya!
Aku musti baca apa nih di BF? hikz...hikz...hikz....
But, I've been in your position so I understand. tapi, gak perlu dikasih Closed lah di judulnya, kan jadi berpikir ditutup beneran alias gak dilanjutin. Kalau cuma sementara waktu, ya dijelasin aja.
Anyway *ngelus dada* wish you could find a way out of whatever problems you are facing right now. Semangat!
*ngelanjutin jedotin kepala ke tembok*
Tanyakan saja pada aku kalau bahasa ku tidak difahami
#dirundung ketidakpastian
dirundung ketidakpastian
bahasanya loo... gak gak kuatt.. )
#efek senin slalu libur.
jadi semenjak 3 minggu lebih dah gak update, kali ini 3 part dipangkas digabung jadi satu, jadi agak panjang. dan setelah ini bakal gak pasti lagi kpan bsa update. makasih. sperti biasa ditunggu komentarnya.
****-****
Aku masih memain-mainkan kerikil kecil bercampur salju dengan kaki kananku sementara di depanku, Young Min masih berdiri dalam diamnya, memandangku. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami semenjak kami berdua keluar dari rumah Will dan pada akhirnya sampai di sini lima menit yang lalu, di Taman Yangcheon dan beristirahat di salah satu saung kecil bercat merah menyala yang kusadari tidak berubah sama sekali sejak aku meninggalkan Korea setahun yang lalu.
Sekarang ini, aku bisa dengan mudah merasakan suasana canggung di antara kami berdua. Tadinya, aku berharap bahwa dengan melihat wajah teman lamaku untuk pertama kali setelah satu tahun tidak bertemu, aku bisa merasakan sebuah kerinduan. Tapi, rasa bersalahku padanya seolah sudah menutup rasa rindu itu sehingga sekarang ini aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan atau apa yang harus kukatakan padanya. Aku bahkan belum memeluk atau menanyakan kabarnya, dan aku hanya bisa berharap Young Min akan membuka pembicaraan di antara kami terlebih dahulu.
Sebenarnya, aku memang belum siap untuk bertemu dengannya. Bukan berarti aku tidak ingin bertemu dengannya, tapi yang kumaksud adalah apa yang kualami sekarang ini. Aku masih belum bisa menghilangkan rasa gugupku, dan melihat wajah Young Min terlalu lama hanya akan mengingatkanku akan semua hal yang pernah kami alami. Yang kutahu tentang Young Min, dia menyimpan sebuah kekecewaan padaku, sama halnya dengan apa yang dirasakan Jin Hee pada Will.
“Jadi apa kabar, Dokter Kang?”
Young Min menatapku dengan tatapan heran. Baru saja, aku memang sudah memaksa diriku sendiri untuk mengatakan sesuatu padanya seperti menanyakan kabarnya, karena setidaknya usahaku untuk memecah kesunyian di antara kami sudah berhasil. Dan menunggunya untuk membuka pembicaraan terlebih dulu seperti apa yang kuharapkan sebelumnya, sepertinya bukan merupakan keputusan yang tepat. Walaupun, kata-kata yang keluar dari mulutku pada akhirnya adalah kata-kata yang sangatlah aneh untuk ukuran dua orang teman yang dulu sangat akrab.
“Apa harus seformal itu, Tim? Apa kamu menganggapku orang lain yang baru kamu kenal?”
“Ya, karena sekarang ini aku seperti tidak mengenalmu. Hanya setahun, dan kamu sudah terlihat sangat berbeda sekarang.”
Aku merasa takjub, bukan karena keindahan Taman Yangcheon di penghujung musim dingin ataupun karena melihat pesona pria gagah yang berdiri di hadapanku sekarang. Aku merasa takjub karena kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri yang kali ini cukup lancar. Aku bahkan tidak percaya bisa mengatakan beberapa kalimat basa-basi seperti itu dalam situasi yang sekarang. Aku merasakan bahwa aku seperti sudah menemukan dan menjadi diriku yang dulu. Mungkin, ini adalah wujud nyata dari kerinduanku yang berhasil menyeruak muncul, kerinduanku akan keakraban kami yang sudah terjalin hampir sepuluh tahun lamanya yang sebelumnya tertutup oleh rasa gugup dan rasa bersalahku.
Young Min tertawa pelan. “Memangnya apa yang berbeda dariku, Tim?”
“Young Min, apa kamu tidak sadar kalau kamu itu sudah tidak lagi terlihat seperti seorang dokter sekarang? Walaupun dengan kacamata itu ataupun sikapmu yang sok keren seperti ini. Tapi, model rambut seperti tentara itu? Tampilan khas anak muda? Ada apa denganmu?”
Dia menggaruk belakang kepalanya, seperti sedang bingung memikirkan jawaban dari pertanyaanku. “Kupikir, aku mungkin bisa mendapat kesan yang berbeda darimu. Tidak berhasil ya?”
“Tidak, sisi baiknya, kamu memang terlihat lebih muda. Kalau aku tidak mengenalmu, mungkin aku akan berpikir bahwa kamu masih dua lima.”
Young Min mengangkat kedua alisnya. “Terima kasih, kuanggap itu benar-benar pujian.”
Sepertinya, basa-basi kami seperti ini sangat membantu mencairkan suasana, tentu saja sangat kami butuhkan. Mungkin untuk beberapa menit ke depan, sebaiknya memang tetap seperti ini. Saling melontarkan obrolan ringan dengan sedikit unsur candaan seperti yang sering kami lakukan dulu sebelum kami membahas hal lain yang lebih serius. Aku bahkan ingin menghela napas sebanyak yang kubisa saat aku kembali mengingat ‘hal lain yang lebih serius’ itu.
Aku kembali bertanya padanya. “Oh ya, kudengar Will mengundangmu untuk datang makan malam. Tapi, bukankah ini masih terlalu pagi untuk datang ke acara makan malam?”
Young Min menundukkan wajahnya. “Aku baru pulang dari Yongin pagi ini. Dan menunggu waktu makan malam, cukup mengangguku. Jadi kuputuskan datang sedikit lebih awal untuk menemuimu, ketika aku sudah tiba di Seoul.”
Kalimat terakhir Young Min, seakan sudah menjadi angin dingin yang berhembus dan membekukan kembali kehangatan yang sudah tercipta di antara kami beberapa saat lalu, dan membungkam mulutku pada waktu yang bersamaan, setidaknya itulah yang kurasakan. Memang, tidak ada yang salah dengan ucapannya, tapi aku merasa sedikit tidak nyaman dengan maksud di balik itu, terlepas apakah benar ada atau tidak.
“Maaf, Tim. Kuharap kamu tidak salah paham. Maksudku, kita sudah tidak lama bertemu. Jadi tidak ada salahnya kan jika aku merindukan temanku sendiri? Menghabiskan waktu bersama sebelum makan malam, bukan ide yang buruk kan?”
“Menghabiskan waktu bersama?” Young Min terlihat sedikit salah tingkah ketika aku mengulang kalimat terakhirnya.
“Sebagai seorang teman, Tim. Kamu tahu kan? Ngobrol atau mendengarmu menceritakan setahun hidupmu di Assen atau semacamnya.”
Sepertinya Young Min telah membuka jalan bagi kami berdua untuk segera membahas masalah yang lebih serius karena aku tahu, cepat atau lambat kami memang harus membicarakan tentang bagaimana perasaannya padaku saat ini. Kami sudah bertemu sekarang, dan setelah Will tanpa rasa cemburunya sudah menyuruh kami berbicara berdua di sini, maka mau tidak mau kami memang harus membicarakannya. Dan aku tahu bahwa ini bukanlah sebuah pilihan, tapi keharusan.
“Young Min...”
Young Min seperti sudah menangkap ekspresi cemas di wajahku, dan sangat keterlaluan kalau dia tidak mengerti apa maksudku. “Tenang saja, Tim. Aku tahu posisiku sekarang dan mana mungkin aku berharap lebih pada pria yang sudah menikah sepertimu? Sudah setahun berlalu dan kurasa aku mulai bisa merelakanmu. Itu kan yang ingin kamu dengar?”
Aku tidak tahu alasan pastinya tapi aku meragukan perkataan Young Min, sangat. Aku memang berharap bahwa apa yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran, bahwa dia sudah bisa mulai merelakanku. Tetapi aku merasa bahwa sekarang, ada sebagian dari diriku yang menyuruhku untuk tidak percaya begitu saja padanya. Terlebih setelah dia mengatakan padaku tentang ‘hal yang ingin kudengar’ bukan ‘hal yang sebenarnya tengah dia rasakan sekarang’.
Aku memang berteman lama dengannya, tapi terkadang sampai saat ini aku masih saja kesulitan untuk membaca isi hatinya. Seperti kegagalanku dulu yang tidak menyadari bahwa Young Min telah jatuh hati padaku cukup lama, jauh sebelum aku bertemu dengan Will. Dan dengan bodohnya, aku sangat sering memperlakukannya sebagai seorang kekasih tanpa tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya karena kupikir dia tidak akan mungkin jatuh cinta padaku. Apalagi kata-kata itu juga kudengar dari mulutnya sendiri, secara langsung.
Aku baru mengetahui kenyataannya pada saat Young Min mengajakku makan malam bersamanya, sekitar seminggu setelah Will melamarku di Incheon. Pada saat itulah Young Min mengatakan padaku semua kebenarannya. Satu kesalahanku yang lain, sampai saat itu aku masih menyembunyikan hubunganku dengan Will, sehingga Young Min pasti beranggapan dan hanya mengetahui seorang Tim sebagai pria yang tidak memiliki cinta untuk siapa-siapa, selama hampir dua setengah tahun. Dan sekalinya dia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan kebenarannya, maka saat itu juga dia harus tahu bahwa aku adalah pria yang sudah memiliki cinta, dan cinta itu bukan untuknya.
Young Min membuyarkan lamunanku. “Kenapa diam, Tim? Apa kata-kataku sudah menganggumu?”
“Tidak, tapi... apakah yang kamu katakan tadi...” Ada sedikit keengganan untuk menanyakannya, tapi aku lagi-lagi harus memaksa diriku. “Apakah... benar?”
Dia tengah menatapku dengan pandanganya yang seolah meneriakkan rasa tidak terima, karena aku seperti sudah terang-terangan menunduhnya berbohong. “Tentu saja, Tim. Bukankah sudah kubilang, aku tidak mungkin mengharapkan seorang pria yang sudah menikah. Jika kamu bisa bahagia dengan Will, aku juga akan ikut bahagia untukmu. Aku sudah banyak belajar dari Jin Hee untuk masalah seperti ini. Dan satu-satunya cara untuk membuat diriku merasa lebih baik adalah dengan merelakanmu dengan Will. Apa yang kurang? Karena kita masih berteman kan?”
Seperti yang kupikirkan sebelumnya, aku memang terkadang sulit untuk memahami jalan pikirannya dan bagaimana isi hatinya yang sebenarnya. Tapi, akan berbeda kasus jika Young Min yang mengatakannya sendiri padaku, dengan sejujur-jujurnya. Maka, aku berdiri dari dudukku dan menghampirinya. Saat aku benar-benar sudah di hadapannya, aku memegang kedua lengannya dan perlahan turun ke pergelangan tangannya. Young Min tetap terdiam dan membiarkanku menyentuhnya, tapi ada sedikit raut cemas yang kutangkap di wajahnya.
Dengan perlahan, aku menarik keluar kedua tangan Young Min dari dalam saku celananya dan membiarkannya menggantung di kedua sisi tubuhnya.“Sekarang, ulangi sekali lagi perkataanmu tadi.” Aku memerintahnya.
Kulihat jemari tangan Young Min, terutama ibu jari dan jari telunjuknya sekarang ini mulai bergerak gelisah tak beraturan, ingin berusaha memegang sesuatu seperti kain celananya atau mencoba menggenggam sendiri tapi kemudian diurungkannya. Dan beberapa saat kemudian kedua tangan itu kembali masuk ke dalam saku celananya, sementara itu wajahnya enggan untuk menatapku.
“Young Min...” Aku kembali meraih pergelangan tangannya lagi, dan untuk kedua kalinya, aku menariknya keluar. “Young Min, katakan saja padaku.”
“Bukankah aku sudah mengatakannya? Selama kita masih berteman, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Aku memang menyukaimu dan kamu tahu itu, tapi itu dulu, Tim.” Sekarang, ibu jari dan jari telunjuknya sudah memegang kuat sedikit kain samping celananya. Kebiasaan dan tingkah laku Young Min yang sempat kubilang dulu sebagai kebiasaan aneh, dan sekarang aku justru berterima kasih karenanya.
“Young Min, kamu berbohong.”
Young Min terlihat semakin enggan untuk menatapku, dan seperti sudah tertangkap basah. Aku yakin dia sudah berpikir bahwa tidak ada gunanya lagi menutupi semuanya sekarang. “Jika kamu tahu bagaimana cara memaksaku untuk berkata jujur, kenapa kamu dulu tidak melakukan hal seperti ini untuk menanyakan padaku tentang perasaanku padamu, Tim?”
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menunjukkan betapa bodohnya aku saat itu. “Young Min, aku dulu memang bodoh dan kamu tahu itu. Topik itu tidak pernah sekalipun menjadi bahan pembicaraan kita bahkan sekalipun tidak terlintas di benakku selama kita berteman. Itulah sebabnya kenapa aku tidak pernah menanyakannya ataupun membahasnya denganmu. Apalagi saat itu kamu tidak pernah sekalipun memberi isyarat secara langsung padaku. Jika aku tahu, setidaknya ada yang bisa kulakukan dulu sehingga mungkin keadaan yang sekarang tidak akan serumit ini.”
“Seperti apa? Seperti selalu meyakinkan padaku bahwa kamu tidak akan pernah bisa jatuh cinta padaku karena kita hanya berteman? Bahkan dengan semua perlakuanmu padaku?”
Aku tidak menjawab, melainkan hanya menganggukkan kepalaku, penuh dengan rasa bersalah dan permintaan maaf. Walaupun aku tahu, rasa kecewanya tidak akan terhapus begitu saja.
Kali ini, Young Min memandangku lekat-lekat. Rahangnya menguat seakaan dia tengah menahan emosi dan aku tidak akan keberatan jika dia marah padaku sekarang juga. “Bahkan saat malam itu, Tim?”
Sekarang, aku hanya bisa menunduk dan tak berani menatap wajahnya. “Malam itu, bukankah kita melakukannya tanpa melibatkan perasaan? Kamu tahu kan? Karena aku sudah mengatakannya padamu.”
Inilah maksudku yang terkadang aku memperlakukan Young Min sebagai seorang kekasih. Waktu itu, saat usiaku sekitar dua puluh tiga tahun, yang ada dipikiranku hanyalah satu, yaitu bersenang-senang, ditambah sifatku yang memang tidak bisa menahan diri. Setidaknya itu adalah diriku yang dulu, hingga aku bertemu dengan Will dan semuanya kusadari berubah secara perlahan-lahan meskipun aku tidak pernah bisa menghilangkan kebiasaanku untuk memperlakukan Young Min seperti sebelumnya. Dan ketika sekarang aku mengingat kejadian-kejadian yang telah kulewatkan bersama Young Min, membuatku semakin merasa bersalah padanya lebih dari yang sebelumnya. Apalagi, Young Min benar-benar ada di hadapanku sekarang dan bukan hanya terlintas di benakku seperti sebelum-sebelumnya.
“Ya, aku tahu maksudmu, Tim. Kita hanya mencari kesenangan, seperti itu kan?”
“Young Min, maaf...”
“Kamu ingin aku jujur, Tim? Tapi sekarang tanpa kuberitahu, kamu sudah tahu sendiri kan? Apa aku masih perlu menjawabnya?”
“Young Min, aku benar-benar minta maaf.” Young Min tidak langsung menanggapi permintaan maafku melainkan berjalan melewatiku dan pada akhirnya memutuskan untuk duduk. Kedua tangannya kini dia masukkan ke dalam saku jaketnya saat aku sudah ikut duduk di sampingnya. Dia hanya menatapku, dan sepertinya akan terus seperti itu sehingga aku merasa sudah terpojok saat ini. Bukan karena Young Min, karena aku tahu dia tidak berniat memojokkanku. Hanya saja aku merasa bahwa tatapannya terlalu mengintimidasiku.
“Aku bukan Jin Hee, Tim. Tentu saja aku tidak bisa seperti dia. Aku mungkin memang sudah kalah, aku mungkin juga tidak tahu diri, mungkin juga egois. Tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaanku padamu begitu saja, Tim. Lebih tepatnya, aku tidak mau walaupun aku tahu bahwa mengarapkanmu seperti ini adalah hal yang sia-sia.”
Aku hanya menatap Young Min dalam diam. Aku masih teringat ketika dia mengantarku ke Bandara Incheon, menemaniku di sana sampai Will muncul. Dan kalimat terakhir yang dia bisikkan padaku saat pelukan terakhir kami hanyalah jika ada takdir lain yang bisa memberinya kesempatan, maka dia tetap akan berjuang untuk merebut hatiku. Aku bisa saja menyebutnya bodoh jika sekarang dia tetap pada pendiriannya. Tapi aku tidak yakin akan bersikap lain jika aku ada di posisi Young Min sekarang sedangkan Will menggantikan posisiku. Di mana aku akan tetap mencintai Will, sedangkan aku harus berandai-andai bahwa Will tidak mencintaiku. Karena jujur saja, mungkin aku akan tetap berharap untuk bisa hidup bersama Will, seperti apa yang Young Min harapkan dariku sekarang.
“Aku memang tidak bisa berbuat apa-apa sekarang karena tetap saja aku harus menghormati pernikahan kalian, walaupun di sini, di Korea. Tapi aku mohon jangan minta padaku untuk berhenti berharap, Tim. Aku juga berharap kamu tidak menjauhiku hanya karena aku masih memiliki perasaan padamu karena mulai sekarang, aku akan diam, Tim. Setidaknya kita masih berteman kan?”
“Aku tahu Young Min, ini semua salahku, kan? Sifat mata keranjangku, memperlakukanmu seolah-olah kekasihku, dan menyembunyikan hubunganku dengan Will. Aku benar-benar minta maaf.” Lagi-lagi, Young Min memilih untuk tidak menanggapi ucapanku, mungkin dia menyadari bahwa kata maaf akan terus meluncur dari bibirku di setiap kalimat yang kuucapkan. Dan sejauh yang kutahu, Young Min paling tidak suka jika aku meminta maaf padanya, bahkan jika aku benar-benar melakukan kesalahan padanya.
Dia mengalihkan pandangannya dariku ke pohon buah kesemek yang tidak jauh dari tempat kami duduk. “Tidak akan ada yang berubah, Tim.” Ujarnya lirih.
Sepertinya kali ini aku akan benar-benar mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalahku dengan Young Min. Aku tidak mungkin memaksanya untuk menghapus perasaannya padaku begitu saja, karena sudah pasti aku hanya akan menyakitinya, lagi. Tapi aku juga tidak mungkin membiarkan Young Min terus menerus mengharapkanku.
“Tim, masih ada banyak waktu sebelum makan malam. Jadi, apa kamu mau jika aku mengajakmu pulang ke Pyeongchang sekarang?”
Aku tercekat. “Apa kamu ingin mengajakku ke rumahmu?”
Young Min hanya tersenyum setelah melihat reaksiku. “Apa ada yang salah, Tim? Bagaimanapun juga dulu kamu pernah tinggal di sana. Pulanglah Tim, sekali ini saja. Lagipula, Will sudah mengijinkanku.”
****-****
“Selamat siang! Ini alamat Tn. Kang Young Min?”
Ketika aku membuka pintu rumah Young Min, kulihat sudah ada dua pria dengan jaket seragam dan topi bewarna biru memberikan senyumnya padaku ditambah kata sapaan itu. Dari tampilannya sudah bisa kutebak bahwa mereka adalah pengantar pesanan.
“Iya benar, ini rumah Kang Young Min.”
“Ada kiriman untuk Tn. Kang.”
Aku menerima dua buah kotak bewarna putih, yang satu berbentuk kubus berukuran sedang dan satu lagi agak memanjang berukuran sedikit lebih besar. Aku menatap kedua pria itu untuk meminta penjelasan. “Ini...?”
“Tiramisu dan sup rumput laut.”
Aku kembali memandang dua buah kotak yang sekarang masih ada di tanganku dan aku merasa seperti telah melewatkan sesuatu hari ini, sesuatu yang penting. Tiramisu dan sup rumput laut?
Dan pada akhirnya, seperti orang yang baru bangun dari tidur dan seketika menyadari bahwa tempat tidurku sedang terbakar, aku tidak bisa menahan keterkejutanku karena aku baru teringat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Young Min. Bagaimana aku bisa melupakannya?
Dengan cepat, aku menatap kedua pria di depanku. “Maaf, tapi siapa pengirimnya?” Salah satu pria yang lain menyerahkan secarik kertas padaku.“Ini kiriman dari Tn. Shin Ki Woon.”
“Apa?” Sekarang, keterkejutanku bertambah dua kali lipat karena satu hal lain yang tidak kuduga hari ini. Kedua pria yang ada di hadapanku hanya menatapku dengan heran dan setelah memberi hormat padaku, mereka memutuskan untuk pergi.
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggangguku, aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam, menuju ruang makan. Aku bahkan masih belum berhenti berpikir hingga tiramisu dan dua mangkok sup rumput laut sudah kusajikan di atas meja makan sembari menunggu Young Min menyelesaikan acara mandinya. Kedua mataku juga seperti enggan untuk berpaling dari kedua makanan itu sampai aku benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Maksudku, bukan tentang aku yang melupakan hari ulang tahun Young Min, tapi kenapa aku bisa di sini sekarang dan akan merayakan ulang tahun Young Min berdua saja dengannya, apalagi semuanya sekarang ini seolah-olah sudah diatur.
“Sudah menerima kiriman dariku, Tim?” Sesuai dugaanku, tanpa satu kata pun yang kukatakan padanya, dia sepertinya sudah dapat mengerti maksudku kenapa aku menghubunginya sekarang.
“Ya, tapi apa maksudmu dengan mengirimkan semua ini?”
“Apa yang kamu bicarakan, Tim? Hari ini Young Min ulang tahun, kamu pasti lupa dan aku tidak heran dengan itu. Jadi tentu saja aku mengirimkan kue dan sup rumput laut itu agar kalian bisa merayakan hari ulang tahun Young Min di sana. Bisa sampaikan ucapan selamatku padanya?”
“Will, itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.”
“Aku tahu kalian adalah teman dekat dan aku juga tahu pernikahan kita telah menyakiti Young Min. Tapi, sangat disayangkan kalau hubungan di antara kalian yang sudah terjalin hampir sepuluh tahun itu merenggang begitu saja.”
“Will, aku mengerti dengan semua yang baru saja kamu katakan padaku. Tapi itu juga belum menjawab pertanyaanku.”
“Kamu tahu, Tim? Aku juga sedang kebingungan untuk menyampaikan maksudku padamu sekarang.”
Aku menghembuskan napasku dengan berat. “Bukankah hal seperti ini sudah kamu pikirkan selama kita di Assen? Ini termasuk dalam rencanamu kan?”
“Iya, tapi aku bingung bagaimana mengatakannya padamu. Begini saja, apa kamu masih ingat tentang usahamu untuk mempertemukanku dengan Jin Hee, lima hari setelah aku membuka jati diriku padanya?”
Tentu saja aku masih ingat tentang malam di mana aku merancang pertemuan untuk Will dan Jin Hee setelah lima hari sebelumnya, Will mengungkap jati dirinya pada Jin Hee. Aku mempertemukan mereka di Gae Hwa Oak untuk sebuah acara makan malam bersama. Saat itu aku mengatakan pada Will untuk berbicara pada Jin Hee tentang masalah di antara mereka dan membahasnya secara menyeluruh, dari hati ke hati. Dan aku meninggalkan mereka berdua, sehingga untuk pertama kalinya Will memberikan predikat orang yang kejam padaku.
Aku tahu saat itu Will masih merasa bersalah dan Jin Hee masih merasakan sakitnya sebuah rasa kekecewaan. Jadi aku berharap dengan pertemuan mereka saat itu, setidaknya mereka lebih mengetahui perasaan mereka masing-masing, mengetahui apa keinginan mereka dan siapa yang menyangka bahwa pertemuan itu menjadi awal dari sebuah penyelesaian masalah. Karena tiga hari setelahnya Jin Hee datang menemuiku dan menawarkan diri untuk merencanakan pernikahanku dengan Will di Assen.
“Jadi kamu ingin balas dendam padaku, Will?”
“Iya, kamu bisa bilang seperti itu. Pada waktu itu kamu juga tidak mengatakan padaku kalau Jin Hee ikut acara makan malam kita dan dengan teganya kamu meninggalkan kami. Apa kamu tahu betapa aku merasa tersiksa saat itu? Aku bahkan belum menyiapkan kata-kata untuk menghadapi Jin Hee setalah aku mengaku padanya dan membatalkan acara pertunangan.”
“Bukankah aku sudah minta maaf padamu soal itu, Will?”
“Iya, aku tahu. Tapi sekarang ini giliranmu. Dengar Tim, aku tidak mengharapkan masalah di antara kalian selesai hari ini juga, tapi aku yakin kamu bisa menanganinya dengan baik dan aku tidak akan ikut campur terlalu banyak.”
Ada selang beberapa detik hingga aku mengangguk dengan berat. “Aku mengerti, Will. Aku akan mencobanya.”
“Dan satu lagi, Tim. Kue dan sup rumput laut itu darimu, bukan dariku.”
“Tapi bukankah kamu yang membelikan ini untuk Young Min?”
“Tidak, aku menggunakan uangmu untuk membeli itu, Tim. Tadi pagi aku memintanya langsung darimu, ingat?”
“Kalau begitu bulan depan uang jajanmu akan kupotong untuk menggantikannya. Lagipula kamu bisa membelikan kue ulang tahun biasa yang lebih kecil dan murah, Will. Ini pemborosan namanya.”
“Tim, bisa tidak untuk sehari saja berhenti menjadi orang pelit? Itu untuk temanmu sendiri dan kenapa kamu selalu perhitungan?”
Aku tertawa. “Aku bercanda Will. Apa Young Min tahu tentang ini? Biar kutebak, dia sudah tahu kan?”
“Young Min memang tahu kalian akan merayakan hari ulang tahunnya di rumahnya bersamamu. Dan yang dia tahu, kamu yang menyiapkan semuanya karena aku bilang seperti itu padanya. Tapi, dia tidak tahu kalau kalian akan membicarakan masalah perasaannya lebih jauh lagi. Jadi, jangan kecewakan dia, Tim.”
“Kamu tahu, Will? Aku masih merasa sangat heran dengan sikapmu hari ini. Tiba-tiba menyuruh kami untuk menghabiskan waktu di luar bersama, dan menyiapkan ini semua untuk kami? Bagaimana bisa kamu bersikap seperti ini karena biasanya sangat jarang sekali kamu tidak merasa cemburu.”
“Apa maksudmu, Tim? Kita sudah menikah dan kamu sudah menjadi milikku. Apa yang kucemaskan lagi? Untuk apa aku harus merasa cemburu? Bukankah itu tidak perlu dan hanya membuang-buang waktu?”
Aku mengangguk takjub. “Oh, jadi kamu sudah bisa berpikir seperti itu?”
Kudengar dengan sangat jelas, Will menghela napasnya. “Kamu ingin mendengar jawabanku yang sebenarnya? Baik akan kukatakan. Aku sangat cemburu, Tim. Melihatmu menghabiskan waktu di luar bersama pria lain seharian benar-benar membuatku cemburu. Aku bahkan masih tidak percaya bahwa ini semua adalah ideku sendiri. Dan jika kamu bilang aku kekanak-kanakan, aku tidak peduli.”
Biasanya, Will akan mengatakan semua itu dengan nada marah jika kami masih ada di Assen, tapi sekarang aku sama sekali tidak menangkap adanya kemarahan darinya. Sebenarnya, ada sesuatu yang hilang, bukan berarti aku mengharapkan dia akan marah seperti dulu seperti apa yang kurindukan. Tapi kali ini, dengan nada yang seperti menyiratkan ketulusan itu, aku merasakan sesuatu yang lain. Bahwa dia mencintaiku, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya.
“Ya Tim, aku cemburu, walaupun tidak terjadi apa-apa di antara kalian pun aku akan merasa cemburu. Karena aku hanya ingin setiap detik waktumu, bisa kita nikmati bersama, hanya berdua, tidak ada orang lain. Kamu ingin bilang aku egois?”
“Will...”
“Tim, kamu akan pulang tepat waktu kan?”
Aku mengangguk. “Akan kuusahakan.”
Setelah Will menyudahi panggilanku, tanpa senyum yang bisa kutahan aku memandang layar telepon genggam yang menunjukkan fotoku dan Will di mana aku sedang mengecup pipinya saat dia masih terlelap. Aku selalu merasakan kebahagiaan tersendiri jika Will selalu menunjukkan rasa cemburunya seperti beberapa saat lalu, walaupun kali ini terasa lain. Will memang mengenalku sebagai pria mata keranjang saat awal kami saling mengenal dan itu memang benar. Tapi, sesuai dengan perkataan yang sering kusampaikan padanya, bahwa dengan hadirnya Will di sisiku, aku seperti sudah tidak mempunyai kesempatan untuk memikirkan pria lain, sedetikpun. Will seakan sudah mengunci hati dan pikiranku rapat-rapat sehingga tak akan pernah ada istilah ada pria lain dalam hidupku setelah ini. Yang kutahu dan sangat kuyakini, Will adalah yang terakhir.
Aku beranjak menuju ruang tamu untuk menunggu Young Min. Dan tidak lama setelahnya Young Min telah muncul bahkan sebelum aku duduk di sofa ruang tamu. “Jadi bagaimana, Tim? Sudah melihat-lihat seluruh isi rumah ini? Tidak ada yang berubah kan?”
“Ya, hanya saja ruang tamu ini sedikit berbeda. Kamu mengubah warna cat dindingnya?” Young Min datang menghampiriku dan aku bisa melihatnya yang tampak lebih segar sekarang. Dia mengenakan sweater bergaris abu-abu dan hitam yang tentu saja pilihan yang tepat untuk cuaca dingin seperti ini, dan kusadari dia sudah tidak memakai kacamatanya.
“Kenapa melihatku seperti itu, Tim?”
“Kutarik lagi kata-kataku, kamu terlihat seperti remaja awal dua puluh tahun sekarang.”
Kedua alis Young Min terangkat, yang kutahu adalah salah satu kebiasaan lamanya ketika aku melontarkan pujian padanya, tidak berubah sama sekali. “Apa jika ukuran tubuhku lebih kecil dari yang sekarang, aku akan terlihat seperti anak berusia lima belas tahun, Tim?”
Aku tertawa. “Mungkin. Oh ya, apa kamu sering berolahraga sekarang? Kamu benar-benar berbeda semenjak terakhir kali aku melihatmu.”
“Ya sangat sering, setiap hari. Hanya untuk mencari kesibukan setelah pulang dari Asan. Agar aku tidak selalu memikirkanmu.”
Aku kembali merasa tidak nyaman. “Young Min...”
Young Min dengan cepat mengangkat kedua tangannya. “Iya aku tahu, Tim. Aku akan diam, aku hanya perlu membiasakan diriku.”
Aku menggeleng cepat. “Tidak, Young Min. Kali ini kamu harus bicara dan mengatakan padaku, semuanya dan sejujur-jujurnya. Pembicaraan kita di Taman Yangcheong belum berakhir dan aku mau tahu semuanya, detail.”
Aku meraih tangannya dan menariknya menuju ruang makan sebelum Young Min berkomentar lebih banyak. Tapi setelah beberapa langkah, aku berhenti karena menyadari sesuatu. Dengan rasa menyesal, aku melepas genggaman tanganku secara perlahan-lahan. Kembali ke rumah ini dan bersama Young Min untuk beberapa saat membuatku kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan lama secara spontan yang menunjukkan betapa dekatnya kami dulu. Dan sepertinya mulai sekarang aku harus berusaha membatasi diriku dalam bersikap padanya.
Aku masih terdiam sementara Young Min sudah berdiri di sampingku. Pandanganku tetap lurus ke depan tanpa berniat untuk memalingkannya pada Young Min. “Jika tidak keberatan, jangan rubah sikapmu, Tim. Jangan memperlakukanku seperti orang asing.”
Aku merasakan Young Min menggapai tanganku dan menuntunnya kembali untuk memegang tangannya. “Young Min, aku hanya akan menyakitimu lagi jika aku tetap memperlakukanmu seperti dulu. Aku tidak mau seperti itu.”
Aku merasakan tangan Young Min yang lain menyentuh pundakku, terus perlahan bergerak menelusuri punggungku dan pada akhirnya tubuhnya semakin mendekat ke arahku dan memelukku dari samping. “Sampaikan kata maafku pada Will karena tanpa ijinnya, aku sudah memelukmu seperti ini.”
“Young Min...”
“Jangan bersikap lain sebagai orang yang tidak kukenal. Aku akan diam, Tim. Aku akan diam. Dan aku bersungguh-sungguh.”
****-****
“Jadi, tadi siang kalian membahas apa saja?”
Aku ikut duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping Will yang tengah menatapku seperti ingin mengorek informasi sebanyak mungkin mengenai aku dan Young Min tadi siang. Aku tahu Will sudah melihat raut wajahku yang lesu dan tidak puas sepanjang kami makan malam dan pasti dia sudah dapat menebak apa hasil dari percakapanku dengan Young Min. Tapi, dia terlihat ingin aku menyampaikan setidaknya satu kabar kembira untuknya. “Tidak seperti yang kuharapkan, Will. Kami tidak membicarakan banyak hal.” Kataku.
Will nampak tidak percaya. “Benarkah?”
“Apa yang harus kulakukan, Will? Menyuruh atau memaksa Young Min untuk menghapus perasaannya padaku begitu saja, sama artinya dengan menyuruhku untuk menghapus perasaanku padamu, tentu saja bukan hal yang mudah dilakukan atau bisa kubilang tidak akan pernah bisa. Pernikahan kita bahkan sepertinya tidak mampu untuk meredam harapannya, walaupun dia tahu posisinya sekarang.”
“Bukankah itu artinya dia hanya akan menyiksa dirinya sendiri, Tim?”
“Aku juga tidak mengerti kenapa Young Min tetap seperti itu karena aku bukan Young Min, Will. Untuk sekarang ini, tetap berteman denganku sudah lebih dari cukup baginya. Dia juga berjanji bahwa tidak akan terjadi apa-apa diantara kami ataupun dia tidak ingin kami membahas lagi masalah perasaannya padaku. Maksudku, dia akan tetap menghormatiku sebagai pria yang sudah menikah, dan tentu saja dia tahu batas-batasannya.”
Will semakin menatapku dengan pandangan menelitinya, sedikit ada kecurigaan di sana seolah aku menyembunyikan sesuatu darinya. “Apa benar-benar tidak ada cara, Tim?”
Aku menggeleng pelan. “Aku sedang memikirkannya, Will. Membayangkan aku menjadi Young Min, kemudian aku mencintaimu seperti sekarang, membayangkan kamu tidak mencintaiku dan kamu menikah dengan pria lain, kemudian kamu tetap menganggapku sebagai temanmu. Aku mungkin akan melakukan apa yang Young Min lakukan. Aku juga akan tetap memintamu menjadi temanku, menghabiskan waktuku bersamamu sebagai seorang teman walaupun hanya semenit atau dua menit bertemu, dan berusaha untuk tidak mengharapkan apa-apa, karena aku harus mencoba menghormati pernikahanmu. Mungkin itu semua akan cukup bagiku. Tapi jika ada takdir lain yang memungkinkanku untuk merebut hatimu, maka aku tidak akan menyia-nyiakannya. Apa aku benar-benar terdengar bodoh sekarang, Will?”
“Ya, itu cukup terdengar bodoh.” Will menghela napasnya, besamaan denganku. “Apa kamu memikirkan apa yang tengah kupikirkan sekarang, Tim?”
Aku kembali menatap Will, mencoba untuk menebak apa yang tengah dia pikirkan. Mencoba menantang diriku sendiri untuk menyamakan pikiran kami. “Mungkin iya, mungkin juga tidak.”
“Lee Dong Sun.”
Kami menyebut satu nama itu secara bersamaan dan membuat kami saling menatap. Aku tersenyum. “Baik, ternyata kita memikirkan hal yang sama.”
Aku kembali menerawang. “Tapi apakah mungkin, Will? Apa kita harus membiarkan Young Min menunggu?”
“Aku juga tidak tahu, Tim. Tapi kamu pasti berharap semuanya berjalan dengan sendirinya kan? Tanpa adanya paksaan atau campur tangan kita. Kurasa itu memang jalan satu-satunya.”
Aku mengangguk mantab. “Ya, kurasa itu jalan satu-satunya.”
Mungkin memang aku tidak bisa membantu Young Min untuk menghapus perasaannya padaku, mungkin memang inilah cara terbaik yang Young Min pilih agar dirinya merasa lebih baik. Tapi, jika harapan itu ada, maka suatu saat nanti apa yang kuharapkan atas kebahagiaan Young Min mudah-mudahan bisa dan akan terwujud. Aku akan menyaksikan salah satu teman dekatku mendapat kebahagiaannya sendiri, tanpa adanya paksaan, tanpa adanya campur tanganku. Semuanya akan berjalan dengan sendirinya. Memang apa yang kudapat hari ini tidak seperti apa yang kuharapkan, aku tidak merasakan kebahagiaan yang besar seperti saat Sarah menerimaku di sini, kemarin. Tapi, aku yakin suatu saat nanti masalah yang harus kami hadapi, akan terselesaikan satu-persatu. Dan kebahagiaan, akan datang kepada kami satu persatu.
“Oh ya, Will. Ngomong-ngomong, kamu besok jadi bertemu dengan Paman Sung?” Will menggeleng pelan dengan wajah tertunduknya. Jika aku merasa bahwa suasana di antara kami menegang sedikit demi sedikit, itu bukanlah tanpa alasan. Ekspresi wajah Will telah memaksa rasa cemasku muncul kembali ke permukaan, padahal suasana yang kurasakan saat membahas Young Min terasa lebih menenangkan karena pada akhirnya ada satu titik terang.
“Will...”
“Aku memang akan ke Seocho untuk bertemu Paman Sung dan membahas pekerjaanku. Tapi setelah itu aku juga akan ke Gangnam untuk bertemu dengan Song Choon He.”
Aku memutar posisi dudukku sehingga aku benar-benar menghadap Will. “Apa yang terjadi, Will? Apa semuanya baik-baik saja?”
Will mengangguk ragu, yang aku tahu artinya bahwa semuanya tidak sedang baik-baik saja. “Tim, kamu pasti tahu kalau Anthony dan Choon He memajukan hari pernikahan mereka menjadi akhir tahun ini. Dan tiga minggu yang lalu saat Anthony selesai dari wamilnya, dia datang menemui keluarga Choon He.”
Aku tercekat. “Will, jangan bilang kalau Anthony...”
“Ya, Tim. Anthony sudah mengaku pada keluarga Choon He tentang kita. Tapi, baik Anthony maupun keluarga Choon He sampai sekarang belum memberitahu ibu masalah ini. Dan aku berencana akan menemui mereka besok, dengan Sarah. Sekarang kamu mengerti kan kenapa aku memang seharusnya ada di sini sekarang?”
“Kalau begitu aku ikut.” Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghalau rasa cemasku selain mengatakan kalimat itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi aku sudah tahu akibat terburuk dari masalah yang akan kami hadapi setelah ini. Sesuatu yang bahkan tidak terpikir dan tidak terlintas di benakku selama aku di Assen, dan selama dua hari aku berada di sini.
“Kita bahas masalah ini besok pagi saja Tim. Sebaiknya kita istirahat dulu.”
Aku menggeleng keras, tapi Will meraih kedua pipiku dan menyatukan kening kami saat aku ingin mengatakan sesuatu padanya. “Jika kali ini aku bilang sekali lagi bahwa semuanya akan baik-baik saja dan aku masih dapat mengatasinya, kamu akan diam kan, Tim? Ini adalah masalah terakhir yang perlu kita hadapi sebelum ibu dan Anthony pulang dari Jeju dua hari lagi. Kita bisa melakukan ini, Tim. Tapi kali ini, aku sendiri yang akan menghadapinya, karena ini adalah tanggung jawabku sebagai kakak Anthony, tanggung jawabku untuk memperbaiki kekacauan yang kubuat sendiri. Tidak perlu merasa cemas, aku masih bersama Sarah.”
“Will, bagaimana aku bisa diam dan tidak melakukan apa-apa sementara aku jelas-jelas sudah terlibat?”
“Tim, aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari karena masalah seperti ini pasti akan kuhadapi. Dan menyertakanmu untuk ikut bersamaku menemui keluarga Choon He, tidak termasuk dalam rencanaku. Mengertilah, Tim! Sekali lagi saja aku mohon paksa dirimu lebih keras lagi. Lagipula bukankah besok kamu ingin ke Yongsan?”
“Tapi, Will...”
Kali ini, Will memelukku dengan erat. “Aku hampir bosan untuk terus-menerus meyakinkanmu, Tim. Berapa kali lagi aku harus bilang padamu bahwa semuanya akan baik-baik saja? Paksa dirimu lagi, Tim. Aku mohon karena ini adalah yang terakhir.”
Se umuran kali dengan mpu gandring. )
eh? Knp emangnya?
@Yogatantra apa aku udah secara gak langsung udah nulis sesuatu yang nunjukin klo aku dah tua?
#panik
#srius gak tahu
#gak nyadar mungkin
ahh.. poor Young Min.. #pukpuk
baru tau kalo will masih pake nama korea juga.. Shin Ki Woon? Will nya dari mana ya?haghaghag
kenapa 3 part dipangkas dan dijadikan satu? kepanjangan? bukannya lebih enak 3 part tetap tapi apdetnya 3 kali juga?
Rasanya kok ada beberapa yg kurang di part ke 1 pas percakapan di taman itu..
Tapi udah cukup jg sih.. jadi mikir dialog apa yg dipotong itu..